Jumat, 17 April 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 50. Sebuah Perburuan


Jaka someh berjalan cepat bahkan sesekali dia berlari dan berlompatan menuruni curamnya Gunung Tampomas. Tak membutuhkan waktu lama dia pun sudah sampai di bawah kaki gunung. Setelah itu dia berlari cepat menuju arah wilayah sumedang. Dia terus berlari dengan kecepatan berkisar antara 30-40 km per jam. Staminanya memang luar biasa, meskipun berjam-jam berlari namun belum nampak ada rasa payah di wajahnya, mungkin karena buah dari latihan keras yang telah dia jalani. Jaka Someh beristirahat hanya pada saat akan menjalankan ibadah sholat, makan dan tidur di waktu malam.
Saat hari menjelang sore, Raden Jaya Permana bersama dua orang temannya sudah bersiap-siap untuk berangkat menyusul Jaka Someh.
Mereka berjalan dengan sangat cepatnya. Setengah berlari. Mereka berharap dapat menyusul Jaka Someh tepat di bawah kaki gunung Tampomas. Namun meski sudah berjalan sedemikian jauh, ternyata masih belum mampu menemukan Jaka Someh.
Malam sudah sedemikian larut, Jaya Permana dan kawan-kawannya sudah jauh berjalan menjauhi gunung Tampomas. Mereka merasa heran karena tidak mampu menemukan jejak Jaka Someh sedikit pun juga.
“Eh Raden, kemana si Someh Ya...? Koq, kita masih belum bisa menemukan jejaknya sama sekali, benarkah dia pergi ke Sumedang, jangan-jangan dia masih di gunung Tampomas, bersembunyi karena tak mampu menjalankan perintah Raden Surya Atmaja...? Dasar pengecut...”. Kata Sandekala kepada Jaya Permana.
“Iya aneh juga ya Kala...Kemana si Someh, Koq kita masih belum bisa menemukan bajingan itu...apakah dia punya ilmu meringankan tubuh sampai-sampai kita tak mampu mengejarnya...tapi itu rasanya tidak mungkin...Si Someh  kan bukan pendekar jadi tidak mungkin dia punya ilmu meringankan tubuh....” Kata Jaya Permana. Sandekala dan temannya juga merasa aneh, karena belum mampu menemukan Jaka Someh.
Sampai Hari menjelang pagi, mereka masih belum mampu menemukan Jaka Someh. Mereka pun memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di suatu tanah Lapang yang hijau dipenuhi oleh rerumputan.
Karena Capek sudah berjalan semalaman, mereka pun tertidur dengan pulas.
Hari sudah menjelang siang, matahari sudah terasa panas. Jaya Permana terbangun karena mendengar suara keributan.
“Aakh...Aduh...bangsat...Siapa kalian....?” Sandekala berteriak dengan keras. Ternyata ada seorang lelaki menginjak dadanya
“Heh...Bangun...Bangun...” Lelaki itu berkata keras kepada Sandekala
Lelaki itu ternyata tidak datang sendiri. Dia datang bersama teman-temannya  dengan menunggang kuda. Jumlah mereka ada enam orang. Salah satunya masih duduk di atas kuda. Sedangkan lima lainnya sekarang sudah berdiri di hadapan Sandekala, Jaya Permana dan Sangaji.
“Bangsat, berani sekali kalian mengganggu Jaya Permana, mau  mati rupanya, Hah...?” Jaya Permana  marah, sambil menunjuk-nunjukan jarinya dengan berkata kasar kepada mereka. Matanya juga tampak melotot kemerahan.
Mendengar ancaman Jaya Permana, mereka justru tertawa
“Ha..ha...Bocah...kamu yang akan kami buat mati...kaliam memang tak tahu adat...tak tahu kah kalian dengan siapa sekarang  sedang berhadapan...?”
“ Tak perlu tahu...yang penting sekarang juga kalian harus mati...” Jaya Permana menyeringai. Matanya merah karena marah telah diremehkan oleh musuhnya.
Jaya Permana dan Sangaji kemudian berdiri. Bersiap untuk menyerang kelima orang itu.
Jaya Permana kemudian mencabut pedangnya dan segera membabatkan ke arah para pengganggunya. Namun mereka mampu menghindar dari serangan Jaya Permana. Kelima lelaki itu kemudian membalas serangan Jaya Permana dan teman-temannya. Mereka pun bertarung cukup sengit.  
Jaya Permana yang dibantu oleh Sangaji dan Sandekala bertarung mati-matian melawan kelima lelaki itu. Pertarungannya cukup seimbang.
Setelah bertarung cukup lama, salah satu lelaki itu berhasil melukai kaki Jaya Permana dengan sebilah goloknya. Jaya Permana kaget, karena tak menyangka terkena serangan dari lawannya. Konsentrasinya mulai berkurang. Tiba-tiba saja ada sebuah tendangan mengenai punggungnya. Dia pun tersungkur ke tanah.
“Ha...ha...bangsat....rupanya kamu cuma ngomong besar saja...tapi kemampuan cetek....” Mereka mentertawakan Jaya Permana yang meringis menahan rasa sakit.
“ Ki Tapa...Bagaimana...apakah kita bunuh saja bocah sombong ini...Aki...?” Tanya salah satu anak buah Ki Tapa
“”Hmmm...Terserah kalian....” Kata Ki Tapa mempersilahkan
“Tunggu... Kalau melihat dari gerakan kalian, Bocah...kamu pastinya murid dari Ki Sepuh Anom...?” Tiba-tiba Ki Tapa berkata kepada Jaya Permana.
Jaya Permana terkejut mendengar pertanyaan Ki Tapa yang mampu menebak identitasnya hanya dengan melihat gerakan jurusnya.
“ Kamu siapa, Pak Tua...?” Tanya Jaya Permana tiba-tiba menjadi penasaran.
Ki Tapa hanya diam, tak menjawab pertanyaan Jaya Permana. Matanya menatap tajam ke arah Jaya Permana sambil menyeringai. Salah satu anak buah Ki Tapa pun menjelaskan perihal Ki Tapa kepada Jaya Permana.
“Ha...ha...bocah sombong...apakah kamu tidak tahu bahwa kami adalah gerombolan Ki Jabrik yang sudah terkenal, dan beliau adalah Ki Tapa, salah satu ketua kami...” Kata salah satu dari anak buah Ki Tapa berkata dengan rasa bangga.
Jaya Permana terdiam, mukanya tiba-tiba menjadi pucat. Dalam hati dia bergumam
“Wah gawat... celaka ini mah...saya pernah mendengar  dari guru tentang kehebatan orang yang bernama Ki tapa ini. Kalau tidak salah orang inilah yang telah memporak-porandakan perguruan Pusaka Karuhun, rasanya tidak mungkin aku bisa mengalahkan mereka, bagaimana ini....apa yang harus aku lakukan...?”
Melihat wajah Jaya Permana yang berubah pucat, mereka pun tertawa dengan keras
“Ha...ha....Bagaimana apakah kamu mau menyerah bocah sombong...?” Kata salah satu anak buah Ki Tapa.
“Ha....Tak Sudi Kami menyerah pada kalian....memang kalian ini siapa...Rasakan ini jurus Maut...” Jaya Permana langsung menyerang mereka dengan nekat secara membabi buta.
Belum sempat serangan Jaya Permana mengenai musuhnya, tiba-tiba Ki Tapa melompat dengan cepat, menyerang Jaya Permana dan kedua temannya secara kilat.
Jaya Permana merasa kaget, mendapat serangan kilat di bagian dadanya. Dia terjungkal ke belakang, demikian juga dengan Sandekala dan Sangaji. Sambil memegang dadanya yang terkena pukulan, Jaya Pertama meringis. Tiba-tiba keluar darah segar dari mulutnya.
Jaya Permana menjadi semakin pucat, tak menyangka kalau dia akan dijatuhkan oleh musuhnya hanya dengan sekali pukulan.
“Celaka....ternyata memang benar...ilmu orang ini sangat tinggi, rasanya tidak mungkin Saya mampu melawannya, sama saja saya bunuh diri...lebih baik Saya kabur saja dari sini...” Jaya Permana bergumam. Di lihatnya Sangaji berusaha berdiri di sampingnya, sambil meringis kesakitan
Jaya Permana tiba-tiba mendorong Sangaji dengan keras ke arah Ki Tapa. Tubuh Sangaji langsung mengenai Ki Tapa, yang langsung dipukul oleh Ki Tapa. Prak, pukulan Ki Tapa langsung membuat Sangaji terhenyak. Dengan mata melotot Sangaji tewas secara mengenaskan di tangan Ki Tapa.
Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Jaya Permana, dia langsung lari dan melompat ke arah salah satu kuda milik lawannya. Jaya Permana kabur dengan menunggangi kuda musuhnya meninggalkan kedua temannya.
Ki Tapa dan anak buahnya merasa kaget, tak menyangka akan di tipu oleh Jaya Permana. Mereka pun segera mengejar Jaya Permana dengan menunggangi kudanya masing-masing. Hanya tinggal Sandekala dan satu anak buah Ki Tapa yang melongo melihat kejadian tersebut.
Jaya Permana terus memacu kudanya menuju arah gunung Tampomas.
Sementara itu, Arya Raja dan Dewi Sekar sedang panik setelah mendapat kabar dari salah satu murid Ki Buyut Putih tentang Jaya Permana dan dua temannya yang sedang pergi keluar padepokan semenjak sore kemaren.
“Wah gawat teteh, kita kecolongan, padahal  dari semenjak sore saya terus mengawasi kamar kang Jaya Permana, tidak menyangka kalau ternyata mereka perginya diam-diam, bagaimana kalau mereka berhasil menganiaya Kang Someh...?” Kata Arya Raja kepada kakaknya.
Dewi Sekar menghela nafas, wajahnya dipenuhi rasa kawatir yang mendalam
“Iya, Teteh juga takut, makanya...ayo adik, secepatnya kita susul mereka....mudah-mudahan belum terlambat...” Dewi Sekar bergegas mengajak adiknya, segera  menyusul Jaya Permana.
“Iya teteh, ayo sekarang juga kita berangkat....mudah-mudahan Kang Someh dalam keadaan baik, tidak terjadi apa-apa...” Arya Raja mengiyakan permintaan kakaknya.
Mereka pun segera berangkat. Sesampainya di gerbang padepokan mereka bertemu Sarmadi yang kebetulan sedang berjaga.
“Nyai, Raden. Kalian seperti orang yang sedang panik...ada apa...? kalian mau pergi kemana...?” Tanya sarmadi
“Kang Sarmadi, kami mau pergi ke Sumedang dahulu, menyusul Kang Someh...Mohon Akang rahasiakan kepergian kami ya Kang...jangan bilang ke Rama kami, saya tidak mau kalau nanti beliau merasa kawatir....” Kata Dewi Sekar memohon Sarmadi untuk merahasiakan kepergian mereka.
“Eh...Nyai...kenapa main rahasia-rahasian segala...atuh, sebaiknya Nyai dan Raden minta izin dahulu sebelum pergi keluar...Kasihan Juragan Surya nanti mencari kalian...” Kata Sarmadi
“Iya, Kang...Maaf...Tapi sekarang kami sedang terburu-buru...Insya Allah nanti kalau sudah kembali, kami akan memberitahu Rama...sekarang kami pergi dahulu...ya kang...” Arya Raja membalas perkataan Sarmadi, sambil menarik tangan kakaknya untuk segera pergi dari tempat itu.
Tanpa menghiraukan Sarmadi yang masih dalam keadaan bingung, mereka berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu
Dewi Sekar dan Arya Rajah terus berjalan menuruni Gunung Tampomas. Ketika tiba di suatu tanah lapang yang tidak begitu luas yang diapit oleh dua lembah jurang, tiba-tiba mereka melihat Jaya Permana sedang bergerak ke arah mereka dengan menunggangi kuda. Nafasnya ngos-ngosan, karena panik menghadapi bahaya.
“Raden Jaya Permana, berhenti....!” Dewi Sekar berteriak ke arah Jaya Permana.
Jaya Permana kaget bertemu Dewi Sekar di tempat itu. Dia pun berhenti sesaat, sambil memandangi Dewi Sekar dia berkata.
“Ada apa nyai...kenapa kamu ada di sini...? Gawat...gawat...ayo....kita pergi dari sini...”
“Ada musuh sedang mengejar...ke sini...mereka sangat kuat...Akang tidak sanggup untuk melawan mereka...”.
Dengan nada panik Jaya Permana mencoba memberi peringatan kepada Dewi Sekar.
Baru ssesaat Jaya Permana memperingatkan Dewi Sekar, tiba-tiba Ki Tapa dan anak buahnya sudah berhasil sampai di tempat itu
“ Ha...ha...Aki...Ternyata Kita Beruntung menemukan bidadari yang sangat cantik jelita di sini...tak sia-sia kita mengejar bocah itu...” Kata anak buah Ki Tapa.
Ki Tapa hanya menyeringai mendengar ucapan anak buahnya.
Dewi Sekar sebenarnya ingin menanyakan keadaan Jaka Someh kepada Jaya Permana, namun karena  situasinya terlihat genting, dia pun mengurungkan keinginannya tersebut. Dia memandang ke arah Ki Tapa dan anak buahnya yang  sudah ada di hadapannya.
Jaya Permana bertambah panik. Hatinya menjadi bimbang apakah meninggalkan tempat itu atau nekat melawan mereka bersama Dewi Sekar dan Arya Rajah. Dia sadar bahwa dirinya bukan tandingan Ki Tapa. Setelah berpikir sejenak dia pun berbisik kepada Dewi Sekar.
“Nyai...Awas...Hati-hati. Orang itu adalah Ki Tapa...Salah satu pemimpin gerombolan Ki Jabrik...Ilmunya sangat tinggi...”
Dewi Sekar memandang ke arah lelaki yang di tunjuk oleh Jaya Permana.
“Nyai...tunggu sebentar...Akang akan pergi mencari bantuan... dahulu...”.
Jaya Permana kemudian pergi meninggalkan tempat itu, memacu kudanya ke arah gunung tampomas
Melihat Jaya Permana pergi meninggalkan tempat itu, anak buah Ki Tapa tertawa
“Ha...Ha...Dasar laki-laki pengecut....Bisanya Cuma Kabur....”
“Aduh geulis....kamu sangat cantik sekali...kebetulan sekali...akang sedang membutuhkan seorang kekasih...”
Dewi Sekar merasa marah karena di lecehkan oleh anak buah Ki Tapa.
“Dasar Tua Bangkot... Tak sudi saya di sentuh oleh kalian...lebih baik kita bertarung...” Dewi Sekar tak sadar dengan siapa sekarang sedang berhadapan. Dia tidak tahu bahwa Ki Tapa adalah salah satu pendekar yang berilmu tinggi, bahkan jauh di ats kemampuan gurunya, Nini Gunting Pamungkas.
Berbeda dengan Arya Rajah, yang sudah pernah bertemu dengan Ki Tapa. Dia pernah menyaksikan kehebatan Ki Tapa yang dulu telah memporak porandakan perguruan Pusaka Karuhun. Hampir saja dia dan ayahnya meninggal di tangan Ki Tapa. Hatinya pun menjadi sangat cemas. Dia berkata kepada kakaknya
“Teteh...lebih baik kita pergi saja, tidak perlu menghadapi mereka...” Arya Rajah berbisik kepada Dewi Sekar.
Dewi Sekar terkejut mendengar ucapan adiknya yang di anggap perngecut.
“ Adik kenapa kamu jadi pengecut seperti ini...?”
“Bukan...bukan pengecut tapi kita harus realistis, Kita bukan tandingan mereka...” Kata Arya Rajah mencoba menjelaskan.
Dewi Sekar memang memiliki sifat yang keras dan pemberani. Dia memang belum pernah melihat kehebatan Ki Tapa, makanya belum sadar akan bahaya yang sedang mengancam.
“ Ayo teteh...kita lari saja...” Arya Raja menarik tangan kakaknya, agar segera pergi meninggalkan tempat itu. Namun Dewi Sekar menolaknya
“Tidak...adik...kita jangan jadi orang pengecut...seperti Kang Jaya Permana yang bisanya cuma kabur...” Kata Dewi Sekar dengan tegas.
“ Ha...ha...bagus...bagus...saya suka dengan gadis pemberani....” Tiba-tiba Ki tapa tertawa, karena senang melihat keberanian Dewi Sekar.
“ Hey...ayo anak-anak...tangkap gadis itu...tapi usahakan jangan sampai dia terluka...” Ki Tapa memberi perintah kepada anak buahnya.
“He..he...baik Aki...dengan senang hati...kami akan melumpuhkan gadis itu...”
Anak-buah Ki tapa pun segera mengepung Dewi Sekar dan Arya rajah.
Dengan gagah berani, Dewi Sekar menyiapkan diri menghadapi anak buah Ki tapa. Sedangkan Arya rajah melangkah mundur. Hatinya merasa kawatir dengan keselamatan diri dan kakaknya.
Dewi Sekar tiba-tiba melompat ke arah salah satu anak buah Ki Tapa yang sedang terlihat lengah, sambil membabatkan pedangnya. Lelaki itu pun terkejut.
Namun terlambat. Pedang sudah merobek dagingnya. Bret, darah segera mengucur dari bagian lehernya. Matanya melotot sambil menunjuk ke arah Dewi Sekar
“Ka...ka...mu...Aah...si..a..lan...”
Orang itu pun ambruk ke tanah. Sekarat beberapa saat, kemudian akhirnya mati secara mengenaskan.
Teman-temanya kaget melihat keganasan Dewi Sekar yang mampu membunuh salah satu temannya.
Mereka pun tidak lagi berani meremehkan Dewi Sekar.
Ke tiga anak buah Ki Tapa segera melancarkan serangan ke arah Dewi Sekar. Namun Dewi Sekar mampu mengimbangi mereka. Pertarungan pun segera berlangsung.
Tiga lelaki melawan seorang gadis.
Ki Tapa merasa senang melihat keberanian dan ketangkasan Dewi Sekar yang mampu mengimbagi ketiga anak buahnya.
Tanpa terasa Dewi Sekar sudah bertarung selama kurang lebih 3 jam menghadapi tiga anak buah Ki Tapa. Beberapa luka ringan akibat terkena sabetan golok di tangan dan kakinya tidak terlalu dia pedulikan. Namun nafasnya sudah mulai terdengar berat. Tenaganya juga sudah mulai terkuras. Konsentrasinya pun sudah mulai kendor.
Ke tiga anak buah Ki Tapa juga terlihat sudah mulai kelelahan. Beberapa luka akibat sabetan pedang milik Dewi Sekar, terlihat jelas mengeluarkan darah. Mereka mengakui kehebatan lawannya yang tangguh.
“Ha...ha...hebat...hebat...geulis...kamu memang seorang pendekar sejati...”Tiba-tiba Ki Tapa sudah berada di hadapan Dewi Sekar sambil tertawa memuji kehebatan Dewi Sekar
Sesaat Dewi Sekar hanya mampu memandangi Ki Tapa. Dia heran dengan gerakan Ki Tapa yang secepat kilat.
Ki Tapa tertarik untuk melakukan pertarungan dengan Dewi Sekar. Dia pun segera melancarkan sebuah serangan untuk menguji seberapa jauh kemampuan Dewi Sekar. Sebenarnya Tak ada niatan dalam hatinya untuk melukai atau pun membunuh Dewi Sekar.
Meskipun tenaganya sudah terkuras banyak, namun Dewi Sekar tetap berusaha menahan serangan Ki Tapa dengan sekuat tenaganya. Tubuhnya terlihat sudah sempoyongan menghadapi Ki Tapa.
Melihat kakaknya kewalahan, Arya rajah menekatkan diri untuk membantu kakaknya menghadapi Ki tapa. Dia pun melompat untuk menyerang Ki Tapa dari arah belakang. Namun Ki tapa dengan sangat mudah menghindari serangan Arya Rajah. Bahkan kaki kanannya berhasil menyapu kuda-kuda Arya Rajah yang masih belum kokoh berdiri. Arya Rajah pun terjugkal ke tanah.
Melihat adiknya terjatuh ke tanah, Dewi Sekar segera melompat ke arah Ki Tapa yang sedang membelakanginya sambil menghunuskan pedangnya. Gerakannya begitu cepat dan sangar. Salah satu anak buah Ki Tapa yang sadar dengan kehebatan jurus Dewi Sekar, segera melompat  untuk menghalau serangan tersebut.
Ki Tapa yang sadar akan serangan pedang Dewi Sekar, segera membalikan badannya. Tanpa kesulitan sedikitpun juga dia berhasil menghindari hunusan pedang Dewi Sekar. Bahkan dia berhasil menjagal kaki lawannya, sambil sedikit mendorongnya ke depan.
Meskipun dorongannya pelan, namun Dewi Sekar tetap terpelanting ke belakang.
Tiba-tiba saja badannya di tarik kencang oleh salah satu anak buah Ki Tapa yang tadi melompat untuk menghalau serangan Dewi Sekar.
Kecelakaan yang tak direncanakan oleh Ki Tapa maupun anak buahnya, Dewi Sekar terdorong keras ke arah belakang yang ternyata pinggiran jurang.
Arya Rajah, Ki Tapa, dan ketiga anak buah Ki Tapa kaget melihat Dewi Sekar terperosok dan terjatuh ke arah jurang.
Arya Rajah dan Ki Tapa segera melompat untuk menyelamatkan Dewi Sekar. Namun terlambat. Dewi Sekar terjatuh masuk ke dalam jurang.
Mereka terdiam, melongo. Tak menyangka dengan kejadian tersebut.
“Teteh...Teteh...hhhh...hhhh...” Arya Rajah berteriak keras memanggil kakaknya.
Namun tak ada jawaban dari Dewi Sekar.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...