Minggu, 11 Februari 2018

Cerita novel Silat "Sang Pendekar" bab 1. Jaka Someh_Pemuda Yang Mandiri

Ksatria Ilalang 


Baca Sinopsis Cerita Ksatria Ilalang:Silahkan  KLIK DISINI

Lihat Daftar Isi Cerita Ksatria Ilalang, KLIK DISINI

1. Jaka Someh: Pemuda Yang Mandiri

Di Kampung Cikaret, di bawah kaki gunung Halimun. Saat itu hari menjelang subuh.  Hawa dingin begitu menusuk sampai ke dalam tulang sumsum. Langit masih terlihat gelap, namun Jaka Someh sudah sibuk dengan aktivitasnya memotong kayu bakar. Usianya masih sangat remaja  berkisar antara 13 atau 14 tahunan, namun badannya sudah terlihat kekar dan berotot.

Saat usia 10 tahun, Jaka Someh sudah menjadi seorang  yatim piatu.  Ibunya meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya. Sedangkan Ayahnya  meninggal saat Jaka Someh berusia Tujuh tahun. Beliau meninggal secara mengenaskan setelah dikeroyok oleh anak buah Juragan Permana.

Juragan Permana adalah seorang renternir dari kampung Rawa Balong, kampung yang berada di bawah kaki Gunung halimun.

Ayah Jaka someh  adalah seorang ustadz yang cukup di segani oleh masyarakat. Seorang ustadz yang tegas, berwibawa, dan memiliki hati yang dermawan. Sering berceramah dari satu desa ke desa lainnya.

Hari itu, saat beliau pulang berceramah dari kampung Rawa balong, beliau di hadang oleh beberapa centeng Juragan Permana yang merasa tidak senang dengan isi ceramahnya. Beliau di keroyok dan dibunuh tak jauh dari gubuknya. Bahkan Jaka someh yang kala itu masih berusia 7 tahun ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Dia tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya menangisi jenazah ayahnya yang telah mati sahid. Hatinya sangat sedih dan marah.

Ibu Jaka Someh merasa syok melihat suaminya meninggal. Setelah itu dia sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Trauma kematian ayahnya cukup membekas di hati Jaka someh.

 Apalagi setelah kejadian tersebut, ibunya sering menasehati Jaka Someh agar selalu berhati-hati dalam berucap, supaya tidak menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain. Ibu Jaka Someh selalu berpesan agar Jaka Someh selalu menjaga tata krama, bersikap sopan, sabar, harus banyak mengalah, dan selalu rendah hati. Nasehat ibunya tersebut cukup membekas di dalam hati bahkan telah membentuk karakter pada dirinya.

Sekarang, Jaka Someh berusia  13 tahun. Tinggal di gubuk peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Gubuk yang sangat sederhana, terbuat dari bilik bambu yang telah usang. Di dalamnya hanya ada bale-bale bambu dan perapian yang terbuat dari tanah liat yang telah dikeringkan.

Bermandikan cahaya obor, Jaka someh begitu asyik menikmati pekerjaannya, membelah potongan kayu kering dengan sebilah goloknya. Memotong beberapa batang kayu utuh menjadi potongan-potongan kecil agar bisa digunakan sebagai kayu bakar. Keringatnya terlihat bercucuran membasahi tubuh. 

Jaka someh memang seorang pekerja keras yang penuh keuletan. Malas adalah  musuhnya. Dia benci kalau harus menganggurkan waktu dalam hidupnya. Prinsipnya tak boleh ada yang sia-sia. Selama longgar dan sehat, dia akan mengerjakan apapun yang sekiranya bermanfaat untuk dirinya ataupun orang lain.

Jaka Someh adalah seorang yang ringan tangan.

Tak merasa sungkan untuk menolong orang lain. Tidak peduli meskipun orang tersebut tidak menghargainya. Hatinya sudah cukup puas ketika melihat orang lain telah terbebas dari kesusahan yang sedang dialami.

Jaka someh tiba-tiba teringat dengan salah satu pesan almarhum ayahnya.

Waktu itu Pak Sabarudin pernah berkata kepadanya

Jaka Someh, anakku yang paling ganteng sedunia…kamu jangan takut capek, kamu jangan pernah merasa rugi ketika kamu berbuat kebaikan, selama itu baik dan bermanfaat. Kerjakan saja secara sungguh-sungguh. Kerjakan dengan hati yang ikhlas dengan rasa senang. jangan pernah mengharapkan pujian dari orang lain. Yang penting Tuhan Meridhoi kamu…” 

Waktu itu Jaka Someh mungkin masih berusia sekitar 6 tahunan, namun ayahnya sudah sering sekali memberi pituah-pituah. Pernah suatu ketika dia bertanya kepada ayahnya

“Bapak…bagaimana kalau kita sudah bekerja dengan keras namun ternyata maksud dan cita-cita kita tidak tercapai…apakah pekerjaan tersebut menjadi sia-sia …?”

Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan Jaka Someh, lalu memeluknya sambil berkata

“Jaka Someh…anakku yang pinter…kamu harus inget pesan bapak ini…tidak ada yang sia-sia didalam amal kebaikan…sekecil apapun pekerjaan yang kamu lakukan, Insya Allah ada dampaknya…ada manfaatnya…Kerjakan saja sampe tuntas…kalau belum mampu diselesaikan saat itu…ya dilanjutkan lagi di waktu yang lain…Lama-lama, Insya Allah akan sampai pada tujuan yang kamu inginkan…yang penting kamu sabar, terus berihtiar dan berdoa, jangan pernah berputus asa…jangan takut Capek……Capek sebenarnya adalah suatu nikmat…coba kamu pikir...kalau kita Capek…Insya Allah tidur kita juga menjadi nyenyak …. makanan yang kita makan akan terasa lebih nikmat… walaupun hidangannya cuma ala kadarnya….duh seandainya saja kamu tahu wahai anakku...bisa tidur nyenyak dan makan enak itu adalah suatu karunia, suatu kenikmatan...…setelah istirahat yang cukup…tubuh kita juga akan kembali menjadi segar… itulah barokah hidup …satu kebaikan akan menghasilkan kebaikan yang lain...hidup akan penuh dengan kebahagiaan…yang penting kita harus selalu bisa bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan oleh Yang Kuasa…”.

Jaka Someh mengangguk-anggukan kepalanya. Entah mengerti atau tidak dengan pituah ayahnya tersebut.

Ibunya waktu itu sedang menyetrika dengan menggunakan setrika arang, yaitu setrika yang dipanaskan oleh Bara api dari arang. Ibunya berkata kepada Jaka someh

“Iya, betul kata bapak kamu…coba kamu lihat…ibu sedang apa sekarang…?”

Walau heran ibunya bertanya seperti itu, Jaka Someh tetap berusaha menjawab

“Sekarang ibu sedang menyetrika baju…memang kenapa  ibu…?”

Ibunya tersenyum mendengar jawaban anaknya, dia kembali bertanya kepada anak semata wayangnya itu

“Coba…lihat…baju dan celana yang akan ibu setrika, apakah banyak atau tidak…?”

 

“Banyak sekali ibu…sampai menumpuk seperti gunung…”.

Ibunya tersenyum  mendengar jawaban anaknya

“Betul anakku…Jaka Someh…coba kamu perhatikan…ibu menyetrika pakaian-pakaian ini satu persatu…kalau ibu setrika satu baju…apakah menurut kamu tumpukan bajunya akan terlihat berkurang…?”

Jaka Someh agak sedikit ragu untuk menjawabnya, khawatir jawabannya akan keliru

“Bagaimana ya ibu, menurut saya…hmm...kalau ibu cuma menyetrika satu baju saja...tumpukannya masih belum kelihatan berkurang, apalagi tumpukan setrikaan ibu...menggunung seperti itu…”

Ibunya tertawa senang mendengar jawaban anaknya

“Betul anakku…kalau cuma satu baju yang ibu setrika…tumpukannya terlihat seperti tidak berkurang…seakan-akan tidak berubah…padahal sebenarnya tidak begitu...dengan menyetrika satu baju saja, ibu sudah mengurangi tumpukan bajunya, meskipun cuma sedikit…kalau ibu terus melanjutkan,  menyetrika satu baju lagi dan terus menyetrika lagi…satu persatu…pasti... lama-kelaman tumpukan bajunya akan hilang…karena habis disetrika semuanya oleh ibumu ini…yang penting  sabar... kalau kamu bekerja, jangan setengah-setengah…kerjakan terus dengan penuh kesabaran sampai terwujud maksud dan tujuan yang diinginkan…bagaimana apakah kamu mengerti…?”.

Jaka Someh mengangguk-anggukan kepalanya, seolah mengerti dengan maksud dari perkataan ibunya waktu itu.

Mega merah kini telah nampak dilangit timur, pertanda fajar sudah akan terbit. Suara kokok ayam mulai terdengar saling bersahutan, membuyarkan lamunan Jaka someh saat mengenang bersama kedua orang tuanya. Jaka Someh pun mengangkut kayu bakar yang baru di potongnya tersebut, dimasukan ke dalam gubuk. Dia bersiap membuat api untuk memasak air.

Sambil memasak, dia menyempatkan diri pergi ke sungai Cikaniki yang tak jauh dari gubuknya. Suara airnya begitu bergemiricik. Jaka Someh mandi dan berwudhu dengan air itu. Air yang masih terlihat begitu jernih dan Segar tanpa terkena polusi sedikitpun juga. Bahkan saking jernihnya, terlihat beberapa ikan sedang bermain saling bekejaran dengan temannya. Jaka someh tersenyum melihat ikan-ikan itu. Itu adalah salah satu hiburan gratis yang bisa membantunya menenangkan jiwa.

Jaka someh merasa bergantung dengan keberadaan sungai Cikaniki. Kegiatan mandi, minum, mencuci pakaian dan segala perabotan biasa di lakukan di sungai tersebut. Sedangkan untuk urusan BAB Jaka Someh lebih memilih area khusus di dalam hutan yang agak jauh dari gubuknya. Dia merasa sayang kalau sungainya akan tercemar oleh limbah organiknya. Mungkin karena saat itu belum ada toilet, sehingga dia harus buang air besar di sekitar pepohonan yang ada di dalam hutan.

Setelah mengenakan baju pangsinya yang sudah tidak jelas lagi warnanya, Jaka Someh sholat di dalam gubuknya. Jarak mesjid yang cukup jauh menjadikannya senantiasa sholat sendiri di dalam gubuk usangnya tersebut. Dari semenjak kecil Jaka Someh memang sudah mendapatkan pendidikan agama dengan baik dari almarhum ayahnya.

Selesai sholat, Jaka Someh segera kembali ke dapurnya untuk mengangkat wadah air yang nampak sudah mendidih. Diletakannya wadah tersebut ke atas bangku kayu yang berada di samping perapian. Dia menciduk air tersebut dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa yang sudah mengering. Membuat minuman kopi pahit kesukaannya. Setelah itu, dia membakar beberapa umbi-umbian untuk menu sarapannya. Tak lama kemudian tercium bau harum khas dari umbi yang sudah matang terbakar. Membangkitkan selera makannya yang sudah semenjak tadi bergejolak. Jaka Someh bergumam sambil tangan kirinya menggaruk garuk pantatnya

“Wah...baunya sungguh menggoda...membuat saya bertambah lapar saja...lebih enak kalau umbi ini dimakan sambil minum kopi pahit...”

Setelah makanannya telah siap, Jaka Someh segera melahapnya, sambil sesekali menyeruput kopi pahit, minuman pavoritnya. Wajahnya menjadi semringah menikmati hidangan yang terasa nikmat. Setelah kenyang dengan sarapan, Jaka someh mengucapkan syukur.

“Alhamdulillah Gusti... saya merasa kenyang...enak sekali...syukur saya bisa makan enak seperti ini...”

Setelah selesai sarapan, Jaka someh mulai bersiap-siap untuk pergi ke ladang yang berada di balik gunung Halimun.  Setelah menyorengkan sebilah golok di pinggangnya, dia menenteng wadah minum yang terbuat dari bambu. Tidak ketinggalan juga dengan seruling bambu kesayangannya.  Setelah semuanya siap, Jaka Someh keluar dari gubuknya, sambil bibirnya berkomat kamit, berdoa mohon kebaikan kepada yang Maha Kuasa

“Bismillahi Tawakaltu Alallahu La haula wala quwata illa Billahi... Wahai Tuhanku Semoga Engkau memberikan keselamatan dan keberkahan untukku ...” 

Setelah itu dia berjalan santai dengan wajah berseri-seri, meninggalkan gubuk kesayangannya yang telah butut karena dimakan usia.

Bertani adalah aktivitas rutin yang biasa Jaka someh lakukan dalam kesehariannya. Semenjak kecil dia memang sudah terbiasa dengan dunia pertanian. Ayahnya yang telah mengajarinya ilmu bertani. Sekarang Jaka Someh telah tumbuh menjadi seorang petani yang handal dan terampil. Rasa cintanya terhadap dunia pertanian seakan-akan sudah merasuk ke dalam sanubarinya. Meskipun sebagian besar masyarakat menganggap profesi petani itu sebagai low class, namun Jaka Someh justru merasa bangga dengan profesinya tersebut. Dia membayangkan apa jadinya kalau di dunia tidak ada petani, wah pastinya akan repot karena masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan bahan sandang pangan. Kalau menjadi petani minimal dia telah mampu menjalani hidupnya secara mandiri, tanpa banyak menggantungkan hidup kepada orang lain. Dia ingat dengan nasehat ayahnya, ketika pertama kali mendapatkan pelajaran ilmu pertanian

“Jaka Someh, anakku yang baik...Allah itu Maha Barokah...menciptakan segala sesuatu itu tanpa sia-sia...segala apapun yang Allah ciptakan...semuanya pasti mempunyai fungsi dan manfaatnya sendiri-sendiri...hanya saja sering kali kita tidak banyak mengetahuinya...Kita bertani ini adalah untuk mencari karunia Allah...berharap dengan usaha yang kita lakukan ini, Allah akan Ridho dan memberikan rejeki kepada kita berupa bahan pangan yang bermanfaat sebagai penyambung hidup... kita ini adalah salah satu makhluk Tuhan, sekuat  atau sehebat apapun, masih saja memerlukan sesuatu untuk menyambung hidup...kita masih membutuhkan makanan, minuman, udara yang bersih, tanah tempat tinggal dan lain-lain untuk kehidupan kita. Berbeda dengan Allah yang Maha sempurna tidak memiliki kelemahan sedikitpun juga, Allah tidak memerlukan sesuatu apapun untuk hidup, karena Dialah Dzat Yang Maha Hidup...Dia lah sumber dari segala sesuatu, semuanya menjadi ada karena KehendakNya. Bahkan Allah lah yang memberi segala sesuatu yang diperlukan oleh makhluknya, Allah yang telah menciptakan langit, bumi, tanah, udara, cahaya matahari dan lain-lainnya, semua itu adalah salah satu wujud dari kasih sayang Tuhan semesta alam kepada kita semuanya, kita tinggal mengelolanya saja untuk memperoleh sesuatu yang kita butuh atau inginkan, Allahu shomad... itulah mengapa di sebut Tuhan, karena segala sesuatu bergantung kepadaNya, termasuk kita, menggantungkan diri kepada kebaikan  Tuhan Seluruh Alam.....bertani ini adalah salah satu jalan kita untuk mencari ridho dan karuniaNya... ” .

Jaka Someh mengangguk-anggukan kepala, saat mendengar ceramah ayahnya waktu itu.

Tanpa terasa sekarang dia sudah menjadi seorang petani yang handal dan terampil. Bahkan karena hasilnya selalu berlebih, Jaka Someh sering mensedekahkan sebagian hasil pertaniannya kepada warga kampung  yang membutuhkan. 

{Cerita Kkn Di Desa Penari|Cerita Inspiratif|Cerita Rakyat|Cerpen|Ceriabet|Cerita Fabel|Ceramah Singkat Ramadhan|Cerita Kkn Desa Penari|Cerita|Cerita Fiksi|Novel|Novel Adalah|Novel Kkn Desa Penari|Noveltoon|Novel Romantis|Novel Laskar Pelangi|Novel Ringan|Novel Tere Liye|Novel Terbaru|Kisah Kkn Di Desa Penari|Kisah Nyata Kkn Desa Penari|Buku Fiksi|Buku Non Fiksi|Cerita Kkn Di Desa Penari|Cerita Inspiratif|Cerita Rakyat|Cerpen|Ceriabet|Cerita Fabel|Ceramah Singkat Ramadhan|Cerita Kkn Desa Penari|Cerita|Cerita Fiksi|Film Kkn|Filmapik|Film|Film Horor Indonesia|Film Bioskop Terbaru 2022|Film Terbaru 2022|Film Terbaru 2021|Film Indonesia|Film Doctor Strange|Film Bioskop Terbaru 2021}

Bersambung ke BAB 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...