Selasa, 29 April 2025

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri di bawah pohon beringin tua. Mereka bukan pelancong. Sorot mata mereka tajam, tubuh tegap, dan tangan yang tampak terbiasa menggenggam kekerasan.

Mereka adalah anak buah Arvino—datang atas perintah untuk memastikan satu hal: Luisa sudah mati. Dan jika belum... harus diselesaikan.

Dipimpin oleh pria bernama Toni, mereka tak datang sendiri. Arvino sudah mengatur pertemuan dengan seorang preman lokal, Darman, yang punya pengaruh di daerah itu. Darman mempertemukan mereka dengan beberapa informan, dan bahkan menyarankan sesuatu yang tak terduga: meminta bantuan seorang dukun sakti, Ki Jagat.

Ki Jagat dikenal sebagai pewaris ilmu dari Mak Samida, dukun tua yang dulu mengguna-guna Maya, istri Dinta, dengan ilmu pelet. Berbeda dengan Samida yang memilih menyepi di hutan, Ki Jagat mendirikan sebuah padepokan ilmu kebatinan di pinggir Kampung Sukajati.

“Kalau memang perempuan itu belum mati, dan kalian yakin dia bersembunyi, cuma orang kayak Ki Jagat yang bisa buka tabirnya,” ujar Darman sambil mengunyah sirih.

Dengan enggan, Toni dan timnya datang ke gubuk Ki Jagat. Lelaki tua berjubah hitam itu duduk dikelilingi asap kemenyan dan botol-botol berisi cairan berwarna aneh.

“Perempuan ini... jiwanya belum lepas dari dunia,” gumam Ki Jagat setelah melihat foto Luisa. “Dia masih hidup. Tapi bukan sebagai dirinya yang dulu.”

Toni mengernyit. “Maksud Aki, dia sudah jadi arwah?”

Ki Jagat tertawa pelan, namun dalam. “Bukan arwah biasa. Dia gentayangan, menyurup ke tubuh perempuan lain. Dia akan menuntut balas pada orang yang telah membunuhnya.”

Dingin merayap ke tengkuk Toni. Tapi ia tetap berusaha tegar. “Lalu bagaimana cara menghadapinya?”

“Tenang. Itu urusanku,” kata Ki Jagat. “Kalian siapkan diri. Siapapun tubuh yang dia singgahi, harus disingkirkan sebelum semuanya terlambat.”

Meski Toni menanggapinya dengan wajah datar, hatinya bergolak. Kata-kata itu seperti menusuk lubuk terdalam yang telah lama disegel oleh kebohongan.

Hari-hari berikutnya, mereka menyusuri desa, menyogok beberapa warga, dan akhirnya mendapatkan informasi mengejutkan dari salah satu anak buah Darman, Encep.

“Saya pernah lihat perempuan ini,” ujar Encep pelan, “Tiga hari lalu. Saya sedang nganter barang ke warung di pinggir desa, dan lihat perempuan muda yang wajahnya mirip banget sama foto ini.” Ia menunjuk gambar Luisa yang mulai pudar.

“Dia berpakaian kampungan, bawa keranjang belanja. Tapi... itu wajah perempuan yang ada di foto ini. Saya yakin.”

“Di mana dia tinggal?” tanya Toni cepat.

“Rumah Bu Rahmah. Ibunya si Dinta. Mereka tinggal di ujung Kampung Sukamukti. Katanya dia tinggal bareng perempuan itu. Orang-orang manggil dia... Neng Euis.”

Toni langsung mengirim laporan ke Arvino:

“Target kemungkinan besar masih hidup. Menggunakan nama samaran. Tinggal bersama wanita tua di Desa Sukamukti. Perlu instruksi lanjutan.”

Balasan Arvino singkat dan tajam:

“Pantau. Jangan gegabah. Pastikan benar itu dia. Tunggu sinyal saya.”

Namun, jauh dari pantauan mereka, kenyataan berbicara lain.

Yang tak disadari Toni, dan bahkan tak terjangkau oleh ritual-ritual Ki Jagat sekalipun, adalah bahwa Luisa masih hidup—utuh dengan tubuh dan jiwanya. Tidak ada penjelmaan, tidak ada arwah, tidak ada kemistisan seperti yang mereka kira. Ia hanya seorang perempuan yang mencoba menyembuhkan luka, kembali belajar berjalan dengan tenang di bawah atap rumah Bu Rahmah.

Namun bisikan perdukunan telah meracuni pikiran mereka. Ketakutan dan rasa bersalah yang bercampur menjadi api yang membakar akal sehat. Mereka menciptakan hantu mereka sendiri, membayangkan bayang-bayang yang tidak ada.

Memang benar, bahwa dunia gaib itu ada. Tapi ia tak punya kuasa untuk memberi manfaat atau mendatangkan mudarat, kecuali atas izin Allah, Sang Penguasa seluruh alam semesta. Dan sering kali, yang paling menyesatkan bukanlah makhluk halus atau jin... tetapi keyakinan buta manusia pada kekuatan selain Tuhan.

Kini, bayang gelap itu perlahan menjalar ke hati para pemburu, membuat mereka dikejar rasa takut dari sesuatu yang seharusnya tidak mereka ganggu.

 

Bersambung ke Bab 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...