Gelap.
Tak ada cahaya, tak ada suara—hanya kekosongan. Tapi perlahan, dari balik kegelapan itu, ada sesuatu yang merayap masuk. Suara… samar. Aroma tanah basah, bau asap kayu… dan rasa nyeri yang menusuk dari ujung tubuh. Luisa menggeliat pelan. Kelopak matanya bergerak, berat, seolah ada beban besar menggantung di atas wajahnya.
Matanya terbuka sedikit. Cahaya temaram dari celah dinding bambu menyambutnya. Pandangannya buram, tapi cukup untuk tahu bahwa tempat ini asing. Ia ingin bicara, tapi hanya suara lirih yang keluar dari bibirnya:
“Tolong…”
Tak sampai satu menit, suara langkah kaki terdengar tergesa mendekat. Seorang pemuda muncul, wajahnya teduh meski tampak cemas. Di belakangnya, menyusul seorang wanita paruh baya berjilbab cokelat lusuh, wajahnya hangat seperti pagi hari di desa.
“Alhamdulillah... Neng sadar,” ucap pemuda itu lega. “Saya Dinta, ini Ibu saya, Bu Rahmah. Neng sudah dua hari nggak sadarkan diri.”
Luisa hanya memandang mereka dengan bingung. Matanya basah. Ia mencoba menggerakkan tubuh, tapi nyeri hebat menyerang sekujur punggung dan kakinya. Ia meringis.
Bu Rahmah menghampiri, duduk di pinggir dipan dan meraba kening Luisa dengan hati-hati. Sentuhannya lembut, seperti pelukan seorang ibu yang lama hilang.
“Nggak usah banyak gerak dulu, Neng. Badan masih lemah,” ucap Bu Rahmah pelan, seraya membenarkan selimut. “InsyaAllah, di sini Neng aman.”
Dinta mendekat sambil membawa secangkir air hangat.
“Kami temukan Neng di pinggir hutan, dekat jurang. Maaf kalau kami lancang… tapi waktu itu Neng nggak sadar sama sekali. Saya buka dompet kecil Neng, cuma buat cari tahu siapa Neng. Dari situlah saya tahu nama Neng… Luisa.”
Ia menunduk sedikit, merasa tak enak.
“Dompetnya aman, semua isinya utuh. Saya simpan baik-baik.”
Luisa menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Hanya tangis yang jatuh perlahan, membasahi pipi pucatnya. Mungkin karena takut, mungkin karena bingung, atau mungkin karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia benar-benar merasa sendirian.
Tapi ada sesuatu yang menghangat di antara kesedihannya. Suara lembut Bu Rahmah, senyum tulus Dinta, aroma kayu bakar dan kain bersih. Bukan kemewahan, tapi kejujuran yang bersih—yang sudah lama tidak ia kenal.
Dinta meletakkan air hangat di samping dipan.
“Istirahat saja dulu, Neng. Nggak usah mikir yang berat-berat. Nanti kalau udah kuat, kita bisa cerita-cerita…”
Luisa tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh satu per satu.
Dan di antara isak kecil itu, sebuah perasaan baru mulai tumbuh pelan—bukan rasa aman, bukan juga damai… tapi mungkin harapan. Yang sangat tipis, tapi nyata.
Hari-hari pertama setelah kesadarannya kembali, Luisa seperti hidup dalam ruang kosong. Cahaya yang masuk dari celah-celah dinding bambu tak memberinya kehangatan. Suara ayam berkokok, angin yang menyentuh dedaunan, aroma kayu bakar yang perlahan meresap ke udara pagi—semuanya terasa hampa. Ia hanya terbaring, diam. Menatap atap, lalu menutup mata lagi. Kadang menangis tanpa suara, hanya air mata yang mengalir begitu saja.
Luisa seperti kehilangan separuh jiwanya. Atau mungkin seluruhnya.
"Kenapa aku masih hidup?"
Itu pertanyaan yang paling sering berputar di dalam kepalanya. Ia tak ingat semua kejadian yang membawanya ke tempat ini, tapi rasa sakitnya… masih sangat nyata. Seolah tubuhnya membawa jejak luka yang belum sempat diberi nama.
Ada malam-malam ketika ia berharap tak perlu bangun lagi esok hari. Ingin menghilang, lebur bersama sepi. Tapi setiap kali itu muncul, sosok ayahnya hadir dalam ingatan. Ayah yang selalu tersenyum di balik kelelahan, yang tak pernah melepas genggaman tangannya saat ia kecil, yang memeluknya setiap kali ia merasa takut.
Dan ibunya… meski samar, Luisa masih ingat bagaimana harum tubuh ibunya saat memeluknya untuk terakhir kalinya sebelum berpulang. Ia masih bisa merasakan kelembutan tangan itu membelai rambutnya—hanya kenangan, tapi begitu hidup.
"Mom... Dad... Danilla..."
Nama-nama itu memanggil dari sudut jiwanya yang paling dalam. Danilla, sahabat yang selalu hadir di saat terburuk, yang kini entah di mana.
Luisa tak mampu berbuat apa-apa. Tangannya lemah, suaranya tenggelam, tubuhnya tak bisa diandalkan. Tapi kesadarannya tetap utuh. Ia tahu, ia bisa melihat dan mendengar.
Setiap hari, ia mendengar suara lantunan ayat Al-Qur'an dari ruang depan. Lembut dan teratur. Ia tahu itu suara Dinta. Lalu terdengar suara seorang ibu, mungkin ibunya Dinta, sedang mengaji sambil menumbuk bumbu atau menanak nasi. Setiap subuh, mereka bangun. Setiap siang, mereka saling membantu di ladang. Setiap sore, suara tertawa kecil atau dialog sederhana terdengar dari dapur yang terbuka.
Mereka bukan keluarga kaya. Rumah mereka dari kayu, perabot sederhana, lantai tanah. Tapi ada sesuatu yang sangat asing bagi Luisa—kebahagiaan.
Ya, mereka nampak bahagia dalam kesederhanaan.
Dan itu yang perlahan mengetuk hatinya. Bukan kata-kata manis, bukan nasihat, tapi cara mereka hidup. Tertib dalam ibadah, penuh kesederhanaan, saling peduli tanpa diminta. Luisa bisa merasakannya, meski hanya dari tempat tidur.
Pada suatu sore, ketika cahaya jingga mulai menari di sela tirai, Luisa menangis. Tapi tangis itu berbeda. Bukan karena putus asa—melainkan karena untuk pertama kalinya, ia merasa hatinya mulai tersentuh. Ada sesuatu yang menggugah dari keluarga itu. Seperti mata air kecil yang muncul di tengah tanah tandus jiwanya.
Air matanya mengalir, hangat, seperti membersihkan luka yang terlalu lama ia pendam.
“Ya Tuhan… kalau Engkau masih ingin aku hidup… tolong beri aku kekuatan…”
Itulah awal dari pergeseran kecil di dalam dirinya. Sebuah doa lirih, tanpa suara, tapi penuh harap.
Dan dari sanalah cerita ini pelan-pelan berubah.
Seperti hari biasanya,, mentari pagi menembus celah-celah anyaman bambu, membias lembut ke dalam ruangan kecil itu. Aroma kayu bakar dan rebusan jahe dari dapur perlahan menguar, menemani suara ayam dan desir angin yang membelai daun pisang di luar.
Angin pagi membawa udara segar yang menembus jendela kayu. Cahaya matahari yang hangat menyelinap pelan ke dalam kamar sederhana itu. Di atas dipan kayu, Luisa duduk bersandar pada bantal. Wajahnya masih pucat, namun matanya mulai hidup—meskipun masih menyimpan kebingungan yang pekat. Ia tidak banyak bicara, lebih sering memandangi keluar jendela, atau menunduk menatap jemarinya yang kurus.
Dinta datang membawa semangkuk bubur hangat. Ia duduk di bangku kecil di samping ranjang, menatap Luisa dengan senyum lembut.
“Neng Luisa, coba makan sedikit dulu ya. Buburnya nggak pedes, cuma pake kaldu kampung.”
Suaranya tenang, pelan, seperti air sungai yang mengalir tanpa suara.
Luisa hanya menatap mangkuk itu sejenak. Jemarinya bergerak ragu. Dinta akhirnya menyendok bubur dan menyuapkannya dengan sabar.
“Hidup ini kadang kayak benang kusut,” ucap Dinta tiba-tiba, pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kalau ditarik paksa, malah makin ruwet. Tapi kalau disabari, diurai pelan-pelan... lama-lama bisa lurus juga.”
Luisa menatapnya. Untuk pertama kalinya, ada seberkas cahaya di mata itu—bukan air mata, tapi sesuatu yang lain. Seolah kata-kata itu menyentuh titik rapuh di dalam dirinya yang selama ini tak terjamah.
“Benang kusut…,” gumam Luisa. “Aku juga merasa seperti itu. Nggak tahu di mana awalnya… atau ujungnya.”
Dinta mengangguk pelan. Ia tidak bertanya lebih lanjut, tidak menekan. Ia hanya duduk di sana, menjadi pelabuhan yang sunyi bagi badai yang belum usai.
“Yang penting, Neng Luisa nggak sendiri sekarang. Kalau Neng masih diberi hidup… itu artinya Allah belum selesai dengan kisah Neng. Masih ada yang harus ditulis. Allah berfirman di surat Az-Zumar ayat 53: ‘Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.’”
Luisa tertegun. Hening sesaat.
“Aku nggak pernah dengar tentang itu,” bisiknya.
“Dulu, waktu di Pesantren, Kyai Muhyidin guru saya pernah bilang… kalau hidup terasa gelap dan penuh luka, itu artinya Allah sedang menyiapkan cahaya yang lebih besar. Kadang luka itu cara-Nya menyiapkan hati kita untuk hal yang lebih baik.”
Luisa menunduk. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Entah itu harapan… atau sekadar rasa aman yang perlahan tumbuh kembali.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Luisa memakan buburnya hingga habis.
Beberapa hari berlalu. Luisa mulai bisa berjalan perlahan di halaman belakang rumah kayu itu. Kakinya masih gemetar, dan sesekali ia terduduk karena pusing, tapi tubuhnya mulai pulih sedikit demi sedikit. Warna wajahnya yang semula pucat kini tampak lebih hidup, meskipun suaranya masih jarang terdengar.
Ia lebih banyak diam. Pandangannya masih sering kosong, seolah pikirannya mengembara jauh ke tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun. Tapi satu hal yang tidak berubah: Dinta selalu ada di dekatnya. Diam-diam, setia menemani, menjaga dari kejauhan, dan merawatnya tanpa banyak tanya.
Malam itu, Bu Rahmah sedang menumbuk rempah di dapur belakang. Dinta, yang baru saja selesai memotong daun sambiloto, duduk bersandar di ruang tengah. Ia membuka buku bersampul kusam berjudul “Patofisiologi Sistem Pencernaan”.
Luisa melangkah pelan ke ruang itu. Udara sejuk menyusup lewat jendela. Pandangannya tertumbuk pada buku di tangan Dinta. Ia mengernyit, heran.
“Kang Dinta… suka baca buku medis?” tanyanya pelan.
Dinta tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kikuk langsung terbit di wajahnya. Ia menutup buku itu dengan perlahan, lalu tertawa lirih.
“Iya, Neng. Suka banget malah. Dulu saya pernah punya cita-cita jadi seorang dokter.”
Luisa mengernyit.
“Tapi Kang Dinta tinggal di desa seperti ini…”
Dinta mengangguk. Wajahnya tampak lembut, seperti menyimpan kenangan jauh di balik matanya.
“Nah, itu dia ceritanya,” katanya pelan. “Waktu saya kecil, ada mahasiswa kedokteran yang KKN di desa ini. Namanya Kak Raka. Dia pingsan waktu bantu warga panen singkong. Saya yang nemuin dia pertama kali. Nggak bisa nolong banyak sih, cuma bawain air, jagain sampai dia sadar. Tapi habis itu… kita ngobrol banyak.”
Luisa duduk perlahan di tikar. Tatapannya tidak lepas dari Dinta.
“Kak Raka itu orangnya ramah. Saya banyak nanya soal tubuh manusia—kenapa bisa pingsan, gimana cara kerja jantung, sampai kenapa orang bisa demam. Mungkin dia heran, anak kampung nanya-nanya beginian. Tapi dia malah semangat banget ngajarin saya. Dia bawain buku, ngajarin cara cari jurnal medis di internet, bahkan ngajarin saya buka Google di warnet.”
Luisa tersenyum tipis. Ada semburat heran yang lembut di wajahnya.
“Dan Kang Dinta… bisa paham semuanya?”
Dinta tertawa pelan.
“Hehe… nggak semua. Tapi saya suka belajar. Setelah lulus SMA, karena nggak bisa kuliah, saya mondok di pesantren. Di sana saya belajar pengobatan herbal, ruqyah, juga ilmu-ilmu thibbun nabawi.”
Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara lebih pelan,
“Saya percaya itu, Neng. Semua ilmu yang baik—baik yang modern maupun tradisional—pasti berasal dari Allah. Kalau bisa digunakan untuk menolong orang, kenapa tidak? Itu sebabnya, sampai sekarang, kalau saya menemukan buku tentang pengobatan tradisional atau kedokteran, meskipun bekas asalkan murah, InsyaAllah saya beli.”
Luisa menatapnya lama. Wajahnya yang semula kaku perlahan melunak.
Luisa menunduk. Ia mengingat kembali malam-malam panjang ketika ia merasa ingin mengakhiri segalanya. Tapi kini… ia duduk di sini, disuapi bubur hangat, diajak bicara lembut, dan melihat orang yang hidup dalam keterbatasan namun tetap punya semangat belajar, bahkan untuk menolong orang lain.
“Kang Dinta hebat…” bisiknya lirih.
Dinta tersenyum, lalu menggeleng pelan.
“Bukan hebat, Neng… Saya cuma meyakini sabda Nabi: ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain'. Mungkin saya belum jadi dokter sungguhan… tapi kalau bisa bantu orang dengan ilmu yang saya tahu, itu sudah cukup.”
Kata-kata itu menancap lembut di hati Luisa. Ada kehangatan yang berbeda. Bukan sekadar pengobatan fisik… tapi seperti sedang disembuhkan juga jiwanya.
Suasana hening sejenak. Hanya suara angin yang lewat di sela dinding bambu.
Dari luar, terdengar suara Bu Rahmah sedang mengaji di dapur. Lantunannya lembut, menenangkan. Dan Luisa… untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, merasa dadanya tidak sepenuhnya kosong.
Malam itu, ia berdiri perlahan di depan jendela. Memandang langit yang dihiasi bintang-bintang. Dan di bawah langit itu, ia tahu—sebuah babak baru sedang dimulai. Perlahan, tapi pasti.
Ia memandangi hamparan bintang-bintang, mencoba membaca isyarat semesta. Mungkin, ini bukan sekadar tempat persinggahan. Mungkin, Tuhan memang ingin ia bertemu seseorang seperti Kang Dinta… agar bisa menemukan kembali dirinya yang hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar