Lampu kristal bergantung megah di langit-langit aula rumah megabesar itu. Marmer putih mengilap sejauh mata memandang, lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding, dan aroma bunga segar berganti setiap harinya, tergantung musim dan selera.
Tapi di tengah semua itu, seorang wanita duduk sendiri di meja makan panjang berlapis linen putih. Sendiri, di meja yang cukup untuk dua puluh orang.
Namanya Luisa Andriani. Usianya tiga puluh lima tahun. Wajahnya cantik, elegan tanpa cela. Make-up sempurna, rambut disanggul anggun, dan pakaiannya selalu berkelas, seperti keluar dari halaman majalah mode ternama. Ia adalah satu-satunya pewaris keluarga Andriani, pemilik jaringan bisnis besar: tambang, hotel, mall, hingga pabrik makanan. Di mata publik, ia adalah lambang wanita sukses.
Tapi siapa pun yang benar-benar memandang matanya… akan tahu satu hal: ia kesepian.
Luisa menikah di usia tiga puluh dua tahun, bukan karena cinta. Tapi karena kehendak ayahnya—seorang taipan tua yang lebih percaya pada kekuatan aliansi bisnis ketimbang perasaan. Lelaki yang dinikahinya berasal dari keluarga terpandang, tampan, berpendidikan, dan di atas kertas… sempurna.
Namun, rumah tangga mereka hanyalah panggung sandiwara.
Meja makan panjang berlapis marmer Italia itu tampak megah, dihiasi bunga anggrek putih dan peralatan makan dari perak. Tapi di ujungnya hanya duduk satu orang: Luisa.
Beberapa pelayan berdiri berjajar rapi di sisi ruangan. Mereka mengenakan seragam hitam-putih yang diseterika rapi. Salah satu dari mereka, Rosa, membungkuk sopan sembari menyajikan semangkuk sup krim asparagus hangat.
“Terima kasih, Rosa,” ucap Luisa dengan suara pelan, nyaris tanpa semangat.
“Sama-sama, Nyonya,” jawab Rosa cepat, kemudian mundur dua langkah.
Luisa menyendok sup perlahan. Matanya menerawang ke dinding tempat lukisan keluarganya tergantung. Ia mencoba menelan rasa kesepian yang lebih pekat dari rasa makanannya.
“Apakah Tuan Arvino sudah menelepon hari ini?” tanyanya tiba-tiba.
Semua pelayan saling berpandangan. Tidak ada yang menjawab. Hingga akhirnya seorang pelayan pria memberanikan diri menjawab dengan hati-hati.
“Sepertinya belum, Nyonya. Mungkin Tuan sedang sibuk di luar kota.”
Luisa tersenyum kecil. Palsu.
“Ah, tentu saja. Dia memang sangat... sibuk.”
Tangannya kembali memegang sendok, tapi tak lagi menyendok. Sejenak, hanya bunyi denting jam antik yang terdengar.
“Kalian boleh kembali ke dapur,” katanya lembut.
“Baik, Nyonya.”
Para pelayan undur diri. Di ruang makan yang luas dan penuh gema itu, Luisa duduk seorang diri, dikelilingi keheningan yang mewah.
Suaminya—Arvino, yang sejak awal pernikahannya memang selalu dingin—menyimpan wajah gelap yang membuat iblis merasa senang saat melihatnya. Arvino sering bepergian, pulang larut malam, dan menyimpan rahasia yang tak lagi bisa disembunyikan: perempuan-perempuan simpanan.
Luisa tahu.
Ia pernah memergoki pesan-pesan di ponsel. Bukti transfer. Bahkan parfum asing di dasi suaminya. Tapi ia diam. Menjaga nama baik. Menjaga hati ayahnya yang mulai renta dan sakit-sakitan.
"Ayah hanya ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang stabil, Luisa…"
"Iya, Yah… Luisa bahagia kok."
Kebohongan yang ia kunyah setiap hari, seperti pil pahit tak berdosis.
Satu-satunya tempat Luisa bisa menjadi dirinya adalah bersama Daniela—sahabat karib sekaligus asisten pribadinya sejak SMA. Daniela tahu semua luka di balik senyum Luisa. Ia tahu bagaimana malam-malam dihabiskan Luisa dalam diam, menangis sambil duduk di jendela kamarnya yang besar.
“Semua orang ingin mendekat karena kamu punya nama dan harta, Lu. Tapi aku cuma ingin kamu bisa tertawa tanpa pura-pura.” begitu kata Daniela suatu malam.
Daniela adalah cahaya kecil dalam dunia yang penuh kilauan palsu.
Luisa tak pernah memercayai siapa pun selain dia.
Rumah megahnya sering mengadakan pesta, gala dinner, charity event, launching produk. Tapi Luisa tidak suka keramaian. Karena di sana, senyum yang menyapanya hanya berisi kepentingan. Jilat manis tanpa tulus. Dan di balik semua itu, suaminya bersikap dingin kepadanya, seperti ia tak pernah ada.
Pernah satu malam, Luisa duduk sendirian di balkon, angin malam meniup rambutnya yang panjang. Kota yang bersinar di bawah sana terlihat indah… tapi hatinya terasa lebih gelap dari langit yang tak berbintang.
“Tuhan, jika semua ini adalah berkah… mengapa rasanya begitu hampa?”
Sinar matahari pagi memantul di bodi sedan hitam mewah yang terparkir di halaman mansion Luisa. Mobil itu meluncur pelan melewati gerbang besar berlogo keluarga Adriani. Di dalamnya, Luisa duduk tenang di kursi belakang, mengenakan setelan kerja berwarna krem elegan, rambutnya disanggul rapi.
Pak Rinto, sopir pribadinya, menoleh lewat kaca spion.
“Kita langsung ke kantor pusat, Nyonya?” tanyanya dengan suara sopan.
“Ya, Pak Rinto. Tolong jalur biasa saja, saya ingin melihat jalanan,” jawab Luisa, menatap keluar jendela ke arah keramaian kota yang mulai sibuk.
Pak Rinto mengangguk. Dia tahu, kadang Luisa ingin merasakan bahwa dunia masih bergerak di luar gelembung kemewahannya.
Di lampu merah, anak-anak sekolah melintas sambil tertawa. Sejenak, tatapan Luisa melembut. Ia teringat masa mudanya, ketika segalanya belum serumit sekarang.
Gedung kaca menjulang itu adalah pusat kerajaan bisnis keluarganya: Adriani Group. Begitu mobil berhenti di lobi utama, satpam dan petugas keamanan langsung membuka pintu dan menunduk hormat.
“Selamat pagi, Ibu Luisa.”
“Selamat pagi,” jawabnya singkat, tetap ramah.
Begitu Luisa melangkah masuk, suasana kantor berubah seketika. Pegawai berdiri dan menyapa dengan serempak.
“Selamat pagi, Bu Luisa.”
“Pagi,” ucapnya sambil mengangguk ringan.
Beberapa pegawai berbisik lirih di belakangnya.
“Dia tuh nggak pernah kelihatan tua, ya. Gila, aura bos banget,” kata seorang staf perempuan.
“Iya, tapi katanya tuh hidupnya kayak... sepi gitu. Kaya raya tapi nggak bahagia,” sahut yang lain.
Luisa tahu mereka membicarakannya, tapi ia sudah terlalu lama terbiasa dengan bisik-bisik. Yang ia lihat hanya tatapan kosong dan senyum plastik yang ia terima setiap hari.
Sesampainya di lantai 25, Daniela sudah menunggu di depan pintu ruangannya sambil membawa map dan kopi favoritnya.
“Pagi, Lu. Kamu tidur?” tanya Daniela, separuh bercanda.
Luisa tertawa kecil.
“Tidur sih, tapi kayak nggak istirahat. Dunia terlalu berisik, Dan.”
Daniela menyeringai.
“Makanya, kamu ikut saranku untuk liburan ke Bali. Tinggal seminggu aja di vila tepi pantai. Nggak ada laptop, nggak ada lelaki, nggak ada rapat.”
Luisa menghela napas.
“Andai aku bisa semudah itu.”
Daniela terkekeh kecil, lalu menyodorkan kopinya.
“Coba deh kamu jadi tanaman. Nggak ada yang nyuruh meeting, nggak ada yang ngerecokin rekening.”
Luisa tertawa ringan, mengambil kopi itu sambil menggeleng.
“Hahaha… jadi tanaman? Paling juga dipotong tukang kebun karena dianggap hama.”
“Atau malah dijual mahal kalau kamu jadi anggrek. Kan tetap elegan,” sahut Daniela sambil mengedipkan mata nakal.
Luisa terbahak pelan, suara tawanya lepas, sesuatu yang langka di kantor.
“Aduh Dan… kamu tuh ya, selalu bisa bikin hari aku terasa lebih ringan.”
“Lha iya, siapa lagi yang bisa jadi komedian pribadi kamu kalau bukan aku?” jawab Daniela, menirukan gaya penyiar radio, yang membuat mereka tertawa lagi.
Untuk sesaat, ruangan itu tak terasa seperti pusat kekuasaan bisnis. Lebih seperti ruang persahabatan dua perempuan yang sudah saling mengenal jauh sebelum dunia memberi mereka gelar dan tanggung jawab berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar