Pagi itu, langit Jakarta tampak cerah, namun hati Luisa masih penuh kabut. Ia berdiri di teras rumahnya, mengenakan sweter hangat dan kacamata hitam. Di depannya, sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan gerbang. Bukan mobil pribadi mereka yang biasa, dan bukan pula Pak Bima atau Pak Rianto yang duduk di balik kemudi.
“Kita ganti suasana, sayang,” kata Arvino sambil tersenyum. “Supir ini yang direkomendasikan temanku, katanya lebih tahu jalur ke villa yang aku pilih.”
Luisa mengangguk pelan. Ada keganjilan yang terasa, tapi ia mencoba menyingkirkan prasangka itu. Lagi pula, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan, bukan?
Supir itu mengenalkan diri dengan nama Toni. Pria berperawakan tinggi besar, berwajah dingin, nyaris tanpa senyum. Ia hanya mengangguk sekilas ketika Luisa menyapa. Dari balik kaca spion, mata Toni dan Arvino sempat bertemu. Mereka saling memberi anggukan kecil yang nyaris tak terlihat.
Perjalanan dimulai. Jakarta ditinggalkan di belakang, dan jalanan mulai dipenuhi pemandangan hijau menuju arah Puncak dan kemudian terus melaju ke wilayah Cianjur. Sesekali Arvino melemparkan candaan.
“Tempat yang bakal kita kunjungi ini sangat tenang. Nggak ada gangguan, hanya ada kita berdua.”
“Benarkah?” tanya Luisa, tersenyum ragu. “Kamu terdengar seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aapakah ini sebuah kejutan untuk ku?”
“Hahaha… kalau aku sembunyikan, itu hanya kejutan indah buatmu.”
Namun semakin jauh mereka melaju, Luisa mulai merasa aneh. Jalan yang dilalui tampak sepi dan asing. Pepohonan semakin rapat, suasana makin sunyi, dan tak terlihat satu pun vila atau bangunan peristirahatan di sekitar.
“Vin, kita mau ke mana sebenarnya? Tadi kamu bilang kita akan ke vila, tapi… tempat ini tidak tampak seperti daerah wisata.”
Arvino mengusap bahu Luisa lembut.
“Tenang, Sayang. Tempatnya memang agak tersembunyi, biar nggak banyak orang tahu. Justru itu asyiknya, kan?”
Luisa mencoba mempercayainya. Tapi suara hatinya berdegup semakin keras.
Tak lama kemudian, mobil berbelok ke jalanan kecil yang menurun tajam, menuju arah hutan lebat. Tiba-tiba mobil berhenti. Toni mematikan mesin.
“Kita sudah sampai?” tanya Luisa, penuh tanya.
“Belum, sayang…” sahut Arvino.
Tiba-tiba semuanya terasa berubah cepat. Arvino menarik tangan Luisa dengan kasar dan membekap mulutnya. Luisa meronta panik, matanya membelalak, namun tenaganya tak sebanding. Toni, yang sejak tadi diam, turun dari mobil dan membuka pintu belakang, ikut membantu menahan tubuh Luisa yang berjuang sekuat tenaga.
“Arvino! Apa yang kamu lakukan?! HENTIKAN! Kamu gila!”
“Diam, LUISA! Aku sudah cukup bersabar denganmu!”
Satu tamparan keras mendarat di wajah Luisa. Bibirnya berdarah, pipinya membengkak. Ia terhuyung, lemas di kursi belakang. Tapi matanya masih menatap Arvino dengan kebingungan yang dalam.
“Kenapa… kamu tega…?”
Arvino tertawa terbahak. “Karena kamu bodoh! Kamu pikir aku mencintaimu? Aku hanya mencintai uangmu, perusahaanmu, semua milikmu! Dan sekarang… semuanya akan jadi MILIKKU!”
Dengan wajah bengkak dan tubuh lemah, Luisa hanya bisa menatap kosong saat ia didorong keluar dari mobil. Hujan rintik mulai turun, langit di atas hutan gelap dan sunyi. Toni dan Arvino menyeret tubuh Luisa yang setengah sadar ke tepi jurang kecil di pinggir hutan.
Luisa tergeletak di tanah basah, tubuhnya lemah dengan luka di wajah dan lengan. Darah menetes dari sudut bibirnya, dan bajunya sudah kusut bercampur lumpur. Namun di balik tubuhnya yang penuh luka, matanya masih menyala oleh api kemarahan dan kesedihan yang mendalam.
“Kau binatang, Arvino! Laki-laki tak tahu diri! Aku rela miskin daripada jadi istrimu!” teriak Luisa dengan suara parau, air mata bercampur darah di pipinya.
“Kau itu pecundang! Kau bukan pria… kau hanya parasit yang hidup dari tubuh orang lain! HINA!”
Arvino hanya berdiri di tepi jurang sambil tertawa keras, terbahak-bahak seperti orang kehilangan akal.
“Teruskan makianmu, Luisa. Itu akan jadi kata-kata terakhirmu di dunia ini!”
Luisa mencoba bangkit walau kakinya gemetar. Namun kekuatannya sudah terkuras. Ia hanya mampu bersandar pada pohon kecil yang ada di belakangnya. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya menggigil karena dingin dan rasa takut yang membuncah. Tapi yang lebih menyakitkan bukan luka di tubuhnya, melainkan luka di hati.
“Aku bodoh… seharusnya aku dengar peringatan Daniela… dia sudah memperingatkanku…” batinnya berkata dalam hati, penuh sesal.
“Kenapa aku harus membela Arvino? Kenapa aku menutup mata hanya karena dia suamiku?”
Lalu bayangan wajah ayahnya terlintas. Wajah tua yang semakin hari semakin pucat di ranjang rumah sakit. Air mata Luisa tak terbendung.
“Ayah… maafkan aku… aku bahkan belum sempat pamit padamu…”
Luisa memejamkan mata sejenak. Ketika ia membuka kembali, ia menatap ke arah Arvino dan Toni, lalu menatap ke langit.
“Kau bisa ambil semua hartaku, Arvino… tapi kau tak akan pernah bisa membeli kehidupan. Kau tak akan pernah merasakan damai, bahkan ketika uang mengelilingimu. Aku mungkin mati di sini… tapi ingatlah, Tuhan tidak tidur.”
Arvino tertawa makin keras.
“Omong kosong! Harta dan kekuasaan adalah segalanya! Dan setelah kau lenyap, semua milikmu jadi milikku. Perusahaanmu, rumahmu, rekeningmu… semua!”
Langit tiba-tiba gelap, awan menggulung dan hujan deras turun menghantam bumi. Angin menderu seperti jeritan alam yang menyaksikan kejahatan yang akan terjadi. Petir sesekali menyambar, menerangi wajah pucat Luisa yang basah kuyup, tubuhnya gemetar menahan dingin dan luka.
“Arvino… kau keparat!” Luisa berteriak di antara suara hujan. “Kau iblis berjubah manusia! Apa kau pikir hartaku bisa menebus jiwamu yang kotor?”
Arvino hanya tertawa terbahak, air hujan membasahi wajahnya yang dingin dan kejam.
“Kau pikir aku akan hidup susah sementara kau berenang dalam kekayaan? Tidak, Sayang. Dunia ini milik mereka yang berani mengambilnya… dan aku tidak akan kalah.”
Toni, sang sopir palsu, berdiri di dekat mobil, memastikan tak ada yang melihat dari kejauhan.
Luisa, meski tubuhnya lemah dan bibirnya bengkak penuh darah, berusaha berdiri dan menatap tajam ke mata suaminya.
“Aku menyesal... menyesal tidak mendengarkan Daniela… menyesal telah memercayaimu… menyesal telah menikahimu... Ayahku… bagaimana kabarnya sekarang... Tuhan…”
Air matanya bercampur dengan hujan. Ia sadar, ini mungkin akhir hidupnya. Ia sudah tidak bisa melawan. Arvino menarik tangannya dan mendorongnya ke tepi jurang yang licin dan penuh lumpur.
“Selamat tinggal, Luisa…”
Dengan satu dorongan kuat, Luisa terhempas ke jurang. Tubuhnya menghilang di antara rimbun pepohonan.
Arvino lalu mendorong mobil mewah itu hingga jatuh menyusul ke dasar jurang, menciptakan dentuman keras yang tertelan oleh gemuruh hujan.
Beberapa waktu kemudian, suara kendaraan terdengar mendekat. Sebuah truk pengangkut sayur berhenti melihat dua pria basah kuyup di pinggir jalan. Sopirnya segera turun dan terkejut melihat keadaan mereka.
“Pak! Kecelakaan? Apakah Bapak mengalami kecelakaan? Ayo cepat naik, biar saya antar ke puskesmas terdekat!”
Toni segera naik, berpura-pura kesakitan. Tapi Arvino menolak.
“Saya… saya tidak bisa meninggalkan istri saya… dia masih di bawah… saya harus tunggu di sini… siapa tahu dia masih bisa diselamatkan…”
Sopir truk sempat ragu.
“Tapi hujan deras, Pak… ini bahaya…”
“Tolong… setidaknya tolong laporkan ke polisi dan ambulance…”
Sopir itu akhirnya mengangguk, menyalakan mesin truknya lagi dan melaju ke arah kantor polisi.
Sekitar 30 menit kemudian, ambulans dan satu unit patroli polisi datang. Petugas turun membawa peralatan penyelamatan.
Salah satu petugas polisi, Pak Wahyu, menghampiri Arvino yang masih duduk bersandar di batang pohon besar, tubuhnya menggigil kehujanan.
"Pak, saya mengerti Bapak pasti sangat terpukul. Tapi mohon tenang dulu ya," ujarnya dengan nada pelan dan penuh empati. "Kami sudah menandai titik lokasi mobil jatuh, tapi karena hujan sangat deras dan sekarang sudah malam, jarak pandang terbatas sekali. Jurang di sini dalam dan terjal."
Arvino mengangguk pelan, menundukkan kepala.
"Jadi… maksudnya apakah kalian belum bisa turun malam ini?" tanyanya dengan nada seolah khawatir.
"Kami khawatir pencarian malam ini justru akan membahayakan tim. Besok pagi Tim SAR akan turun dengan perlengkapan lengkap. Kami pastikan, pencarian akan dimulai sejak matahari terbit."
Sambil mencatat laporan awal, Pak Wahyu menambahkan,
"Tolong tetap bersama kami dulu malam ini, ya, Pak. Kami akan bantu sepenuhnya."
Arvino menghela napas panjang, pura-pura pasrah.
"Baik, Pak… saya hanya berharap… semoga istri saya ditemukan dalam keadaan selamat…"
Mobil melaju perlahan meninggalkan lokasi kejadian.
Di balik wajah lelah yang penuh kepura-puraan, Arvino menyimpan senyum tipis. Namun dia tak tahu, bahwa Allah itu tidak tidur dan tak akan membiarkan kejahatan terhapus tanpa jejaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar