Subuh turun dengan sunyi. Hujan telah berhenti sejak tengah malam, meninggalkan embun yang berat dan aroma tanah basah menyelimuti udara pegunungan. Di bawah jurang yang terjal, jauh dari jalanan aspal dan kehidupan kota, sepasang suami istri tua menyusuri tepian hutan dengan hati-hati. Mereka membawa senter kecil dan keranjang anyaman.
Namanya Abah Rohim dan istrinya, Emak Sarmi. Setiap pagi, mereka terbiasa menapaki bukit dan hutan kecil demi mencari tanaman herbal yang akan dijual di pasar desa. Tubuh mereka memang renta, tapi semangat dan naluri mereka tetap tajam.
Pagi itu, langkah mereka terhenti. Di antara semak liar dan akar-akar pohon besar, sesuatu tampak asing — gelap dan tak bergerak.
“Abah… itu apa?” bisik Emak Sarmi, menyentuh lengan suaminya.
Abah Rohim menyorotkan senter ke arah benda asing itu. Matanya membelalak. Bayangan itu perlahan terbentuk — seonggok tubuh manusia, tergeletak lemas.
“Astaghfirullah… itu orang, Mak… itu perempuan!”
Mereka segera bergegas mendekat. Tubuh itu terbaring tak bergerak, penuh luka, bajunya kotor dan robek, wajahnya lebam dan bibirnya pecah berdarah. Tapi… masih ada napas tipis dari hidungnya. Perempuan itu… masih hidup.
“Mak, cepet… bantu angkat… ini masih hidup, kita bawa ke rumah Jang Dinta!” seru Abah Rohim, panik.
“Iya, iya Bah… ayo cepet!”
Dengan tangan gemetar, mereka membuat tandu sederhana dari ranting dan kain bekas yang selalu dibawa untuk berjualan. Meski usia mereka tak muda lagi, cinta mereka pada sesama masih mengalahkan rasa lelah.
Di sepanjang jalur setapak yang becek dan licin, bunyi daun basah bergesek dan embusan angin pegunungan menemani langkah mereka. Nafas mereka sesak, tapi semangat untuk menyelamatkan nyawa seseorang mendorong tubuh renta itu terus melangkah
Setengah jam berjalan menembus hutan, mereka tiba di rumah sederhana di pinggir ladang. Di sana, cahaya lampu minyak masih menyala. Seorang lelaki bertubuh tegap baru saja keluar dari dapur, mengenakan sarung dan kaos usang.
Dinta.
Matanya membelalak melihat tamu tak biasa pagi itu.
“Abah? Emak? Astaghfirullah… itu siapa?”
“Tolong, Jang… kami menemukan ini di hutan, mungkin dia jatuh dari jurang… masih hidup… cepat bantu sembuhkan wanita ini,” ujar Abah Rohim tergesa.
Tanpa bertanya banyak, Dinta langsung membuka pintu, membentangkan tikar, dan menyiapkan air hangat, lampu digeser mendekat, dan ia mulai memeriksa luka-luka perempuan itu dengan sigap. Ia memeriksa denyut nadi, luka-luka di kepala dan tubuh, serta pernapasan perempuan itu. Tangannya sigap, seperti biasa ketika merawat warga yang sakit atau kecelakaan.
“Dia butuh perawatan. Tapi yang lebih penting, dia butuh istirahat… dan waktu.”
Dinta menatap wajah perempuan itu dengan iba. Meski wajahnya penuh luka, ia bisa merasakan bahwa wanita ini bukanlah perempuan biasa. Pakaian, perhiasan kecil yang masih tersisa, dan aroma parfum mahal yang samar menempel di kulitnya… semua menunjukkan: wanita ini berasal dari tempat yang sangat berbeda.
“Dia bukan orang sini,” gumam Dinta.
“Pasti bukan,” sahut Abah pelan. “Kelihatan dari bajunya… dan wajahnya…”
Namun raut wajah Dinta perlahan berubah. Matanya menajam, sorotnya serius.
“Luka di bagian kepala ini… memar di pergelangan tangan, lebam di pipi dan bibir… Ini bukan sekadar kecelakaan biasa,” gumam Dinta lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Abah Rohim yang duduk di dekatnya mengernyit.
“Maksudmu, Jang?”
Dinta menatap Abah dan Emak Sarmi dengan serius.
“Saya nggak yakin ini kecelakaan. Luka-lukanya… seperti bekas penganiayaan. Coba lihat ini—tamparan keras, mungkin bahkan lebih dari satu. Pergelangan tangan seperti sempat dipegang atau diikat. Dan tubuhnya ditemukan di dasar jurang…”
Ia menarik napas, menahan amarah yang tiba-tiba menyelinap dalam dada.
“Saya yakin… dia bukan jatuh sendiri. Ini bukan orang yang tergelincir. Dia dibuang, Bah. Seseorang sengaja ingin dia mati.”
Keheningan menggelayut di antara mereka bertiga. Emak Sarmi menutup mulutnya dengan tangan, nyaris menangis.
“Ya Allah… kok tega bener manusia zaman sekarang…”
Dinta menunduk, menatap wajah perempuan yang masih pingsan itu dengan rasa iba mendalam.
“Siapa pun yang melakukan ini, pasti orang yang sangat kejam. Tapi Allah masih beri dia kesempatan kedua. Dan selagi dia di sini… kita akan berusaha untuk merawatnya. Semoga saja Allah memberi kesembuhan kepadanya”
Emak Sarmi memegangi tangan perempuan itu yang dingin.
“Kasian… kamu cantik, tapi bisa babak belur begini… siapa yang tega melakukan ini ke kamu, Nyai?”
Dinta menatap langit yang mulai memerah oleh fajar, kemudian kembali menoleh pada Luisa. Dalam diam, Dinta bergumam dalam hati. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Neng…? Dunia seperti apa yang telah membuangmu sejauh ini…?"
Tak lama kemudian, terdengar langkah tergesa dari dalam rumah. Seorang perempuan tua keluar dari bilik belakang sambil mengenakan selendang.
“Dinta… ada apa, Nak? Subuh-subuh ramai sekali…”
“Ibu, tolong ambilkan selimut. Ada orang yang mengalami kecelakaan… Saya tidak tahu apakah dia korban penganiayaan yang kemudian dijatuhkan ke jurang atau memang murni kecelakaan. Abah dan Emak Sarmi yang menemukan si Eneng ini di dasar jurang”
Ibunya, Bu Amah, menatap tubuh perempuan itu dengan rasa prihatin. Ia bergegas mengambil selimut, lalu menatap Dinta setelah membungkus tubuh perempuan itu dengan lembut.
“Ya Allah… astaghfirullah, Kasihan sekali. Lihat ini... luka di wajahnya... pergelangan tangannya… Dinta, Firasat Ibu mengatakan kalau si Eneng ini korban penganiayaan.”
“Saya juga menyangka begitu, Bu. Ini sepertinya memang korban penganiayaan yang kemudian dibuang ke jurang.”
Bu Amah mengelus kepala Luisa pelan, air matanya menitik.
“Cantik… masih muda… perempuan mana pun pasti tak pantas diperlakukan begini. Ibu nggak tahu siapa dia, tapi Ibu rasa… kita harus merawatnya.”
Dinta mengangguk pelan.
“InsyaaAllah, Bu… Kita akan berusaha merawatnya sampai sembuh.”
Bu Amah menatap putranya dengan mata lembut namun penuh kekhawatiran.
“Tapi..Kamu harus hati-hati, Dinta… Ibu khawatir si Eneng ini memang sengaja mau di bunuh orang, kalau orangnya tahu dia masih hidup, tentu akan membahayakan Kamu dan si Eneng ini...,bisa jadi mereka akan datang mencari…”
Dinta menghela napas, menatap perempuan itu sekali lagi sebelum menutup pintu rapat-rapat.
“Iya, Bu. Mungkin untuk sementara waktu kita akan merahasiakan dahulu keberadaan si Eneng ini, Kita tunggu sampai dia sembuh...baru kita urus hal lainnya..”
Bu Amah mengangguk kepala, tanda setuju dengan perkataan Dinta, demikian juga dengan Abah Rohim dan Mak Sarmi.
"Iya Dinta, Ibu setuju kita rahasiakan dahulu keberadaan si Eneng ini.."
Di tempat yang sederhana… di rumah kecil di tengah alam… di tangan orang-orang sederhana… hidup Luisa akan dimulai kembali.
Fajar mulai menyibak langit gelap. Di saat banyak orang baru memulai hari, seorang perempuan asing justru memulai hidup yang kedua—tak sadar bahwa dia sedang berada di tempat yang akan mengubah seluruh nasibnya.
Abah Rohim dan Mak Sarmi kemudian berpamitan kepada Dinta dan ibunya. Mereka sudah merasa lega telah mengantarkan Luisa ke tempat Dinta, untuk diobati sampai sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar