Sabtu, 12 April 2025

Bab 10 - Kehangatan yang Tak Pernah Kukenal

Beberapa hari setelah tubuhnya mulai kuat duduk dan berjalan sebentar di halaman, Luisa mulai ikut duduk-duduk di ruang tengah. Awalnya, ia hanya diam memperhatikan. Semua terasa asing. Rumah kayu sederhana itu begitu jauh dari rumah besar dan berlantai marmer tempat ia tumbuh selama ini.

Dulu, segala sesuatu ada yang mengurus—makanan datang hangat, baju bersih tergantung di lemari, bahkan pintu kamar dibukakan oleh pembantu. Tapi di sini... semua dilakukan sendiri. 

Rumah itu tampak sederhana dari luar—dinding kayu dan anyaman bambu yang telah menguning dimakan waktu, beratapkan seng dan ijuk yang gelap dan kokoh. Namun di balik kesederhanaannya, rumah itu menyimpan keteduhan yang tidak ditemukan Luisa bahkan di bangunan mewah sekalipun. Ada sesuatu yang hangat, sejuk, dan hidup. Seolah rumah itu bukan sekadar bangunan, melainkan ruang jiwa—tempat jiwa-jiwa yang tenang bernaung dalam kesyukuran.

Halaman belakang rumah menjadi ruang paling unik bagi Luisa. Di sanalah kamar mandi berdiri, bukan seperti kamar mandi modern yang tertutup dan steril, tapi terbuka terhadap alam. Dindingnya dari kayu dan bambu, lantainya disusun dari batu kali yang pipih dan licin, terasa sejuk saat disentuh telapak kaki. Bak mandinya terbuat dari batu kali yang ditata seperti cekungan kecil. Airnya jernih, terus mengalir tanpa henti dari pipa bambu yang tersambung langsung ke mata air pegunungan. Tumpahan air yang berlebih mengalir tenang ke saluran menuju sungai—seperti kehidupan, yang mengalir lembut, menerima, dan memberi, tanpa pernah kering.

Toilet terpisah, sederhana, hanya toilet jongkok biasa, tapi bersih, terawat, dan airnya pun sama: bersih dan mengalir, seperti nilai-nilai dalam rumah itu—mengalirkan kebaikan tanpa pamrih, apa adanya namun penuh makna.

Awalnya Luisa merasa canggung. Semuanya begitu asing baginya—hidup tanpa air hangat, tanpa cermin besar, tanpa sabun mahal. Tapi seiring waktu, justru di kesederhanaan itu ia menemukan keheningan yang lama hilang dari hidupnya. Keindahan yang tak dibuat-buat.

Ia mulai sadar—rumah ini bukan hanya tempat berteduh. Rumah ini seperti cermin, memperlihatkan sisi terdalam dari dirinya yang selama ini ia tutupi dengan kemewahan. Di sinilah, di rumah yang tak megah tapi sarat makna, Luisa mulai belajar kembali apa arti hidup yang sesungguhnya.

Hari-hari berlalu, dan Luisa perlahan mulai pulih. Wajahnya yang semula pucat kini mulai tampak semburat warna, dan tubuhnya yang lemah kini sudah bisa berjalan ke luar rumah walau hanya beberapa langkah. Udara pegunungan yang bersih, makanan hangat, serta ketenangan suasana rumah Dinta telah menjadi obat yang tak tergantikan. Dalam diam, jiwanya juga mulai berbenah, meski luka di dalamnya belum sepenuhnya sembuh.

Suatu sore yang teduh, di beranda rumah yang menghadap ke kebun kecil, Dinta duduk berhadapan dengan Luisa. Suara jangkrik mulai terdengar pelan, dan langit senja mewarnai langit dengan semburat jingga yang lembut. Dinta menatap Luisa, kali ini dengan ragu, namun ia tahu waktunya sudah tepat.

Dengan hati-hati, ia membuka suara.

"Neng Luisa… maaf kalau pertanyaan ini mengganggu. Tapi… saya masih kepikiran. Waktu itu, Neng ditemukan tergeletak di pinggir hutan, tubuh Neng luka parah. Boleh saya tahu… apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang… mencelakai Neng?"

Luisa terdiam. Jemarinya menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Wajahnya menegang, pandangannya menatap ke kejauhan, ke arah gunung yang samar-samar terlihat dari balik pepohonan.

“Saya… belum bisa cerita sekarang, Kang Dinta,” katanya lirih. “Saya masih bingung, masih takut. Tapi… terima kasih sudah menyelamatkan saya. Saya malah bersyukur… bisa ada di sini.”

Dinta mengangguk perlahan. Tak ada nada kecewa dalam raut wajahnya. Justru sebaliknya, ia tampak lega mendengar Luisa mulai bicara tentang perasaannya, meskipun belum mengungkap semuanya.

“Nggak apa-apa, Neng. Saya paham. Kadang luka hati itu lebih lama sembuhnya dari luka di tubuh. Saya cuma ingin Neng tahu, kalau Neng aman di sini. Saya dan Ibu nggak akan maksa apa-apa.”

Mereka terdiam beberapa saat, ditemani desir angin dan aroma tanah yang lembap usai disiram gerimis sore.

“Kalau boleh saya tanya,” lanjut Dinta dengan hati-hati, “keluarga Neng… mungkin sedang khawatir. Apa saya perlu mengabari mereka? Biar mereka tahu Neng baik-baik saja?”

Wajah Luisa seketika berubah. Ia menunduk dalam-dalam, cangkir di tangannya sedikit gemetar.

“Belum, Kang… tolong jangan dulu. Saya belum siap. Saya tahu mereka mungkin mencariku, tapi… tolong, jangan dulu…”

Nada suaranya nyaris seperti bisikan.

Dinta memandangi wajah itu. Ada kesedihan yang dalam, yang belum sempat diberi nama. Ia ingin bertanya lebih jauh, namun memilih diam. Rasa penasaran berkecamuk di dalam hati—siapa sebenarnya Luisa? Dari mana ia berasal? Apa yang membuatnya harus disembunyikan bahkan dari keluarganya sendiri?

Namun sekali lagi, Dinta menahan semua itu.

“Baik, Neng. Saya nggak akan bilang ke siapa-siapa. Tapi kalau nanti Neng berubah pikiran… saya selalu siap bantu.”

Luisa hanya mengangguk pelan. Di sudut matanya, air bening mulai menggenang.

Dan di sore itu, meskipun banyak pertanyaan belum terjawab, ada sebuah pengakuan sunyi yang mengalir—pengakuan bahwa untuk pertama kalinya, Luisa merasa… diterima. Bukan karena siapa dia, bukan karena apa yang ia miliki, tapi karena ia adalah manusia yang terluka, dan diterima apa adanya.

Malam mulai merayap, lampu minyak dinyalakan, menyebarkan cahaya kekuningan yang temaram di dalam rumah. Suara jangkrik dan gesekan dedaunan menjadi musik malam yang tenang.

Bu Rahmah membawa semangkuk wedang jahe hangat dan beberapa potong pisang goreng ke beranda. Ia tersenyum lembut saat melihat Luisa masih duduk di sana, ditemani Dinta yang kini tengah membenahi anyaman bambu yang lepas di sudut dinding.

“Neng Luisa… minum dulu wedangnya, biar hangat perutnya,” ucap Bu Rahmah sembari menyodorkan mangkuk kecil itu.

Luisa menerima dengan kedua tangan. Harum jahe yang menyengat namun menenangkan itu langsung menyentuh hidungnya. Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum lemah.

“Terima kasih, Bu…”

Bu Rahmah duduk di sampingnya. Perempuan paruh baya itu mengenakan kain batik yang dililit rapi dan selendang tipis di pundak. Raut wajahnya penuh kelembutan, seperti embun yang jatuh perlahan di pagi hari.

“Ibu nggak tahu apa yang Neng alami. Tapi Ibu tahu… setiap orang punya luka dan rahasia. Yang penting, di sini Neng aman. Nggak usah takut atau malu.”

Luisa menatap wajah itu. Tak ada penghakiman, tak ada rasa ingin tahu yang memaksa. Hanya ketulusan, yang terasa hangat… dan asing baginya. Di dunia yang selama ini dia kenal, semua orang selalu ingin tahu untuk keuntungan mereka sendiri. Tapi di sini… tidak. Di sini, ia seperti anak yang dipeluk tanpa perlu banyak bicara.

Air matanya kembali menetes. Ia cepat-cepat menyeka, tapi Bu Rahmah tak berpura-pura tak melihatnya. Ia justru menepuk perlahan punggung Luisa.

“Menangis itu bukan tanda lemah, Neng. Itu tanda hati masih hidup.”

Luisa menggigit bibirnya. Wedang jahe itu terasa seperti menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Sebuah kehangatan yang selama ini padam.

Dinta yang sedari tadi diam, melirik ke arah mereka berdua. Ada rasa syukur di matanya. Perlahan-lahan, tanpa banyak kata, kehadiran Luisa mulai menyatu dalam kehidupan mereka. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak sadar, Luisa tidur dengan dada sedikit lebih lega.

Pagi menyapa dengan aroma embun dan suara ayam jantan yang bersahutan dari kejauhan. Sinar matahari menembus celah dinding bambu, menciptakan garis-garis cahaya yang menari di lantai rumah. Luisa membuka mata perlahan, tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari hari-hari sebelumnya.

Ia menoleh ke samping, mendapati ruang itu kosong. Tak terlihat sosok Dinta.

Pagi menyapa dengan aroma embun dan suara ayam jantan yang bersahutan dari kejauhan. Sinar matahari menembus celah dinding bambu, menciptakan garis-garis cahaya yang menari di lantai rumah. Luisa membuka mata perlahan, tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari hari-hari sebelumnya.

Ia menoleh ke samping, mendapati ruang itu kosong. Tak terlihat sosok Dinta. Hanya suara dari arah dapur yang menunjukkan bahwa masih ada kehidupan pagi ini. Tak lama, Bu Rahmah muncul membawa nampan berisi sepiring nasi hangat, tumis genjer, dan telur dadar sederhana.

“Neng Luisa… ini sarapan dulu ya. Dinta udah dari tadi pagi berangkat ke ladang milik Pak Haji Syuaib, dia di minta bantu bantu garap lahan di sana, pulangnya mungkin nanti sebelum Asar,” ujar Bu Rahmah sambil meletakkan makanan di atas meja kecil.

Luisa menatap Bu Rahmah, sedikit bingung.

“Oh… begitu, Bu. Saya kira Kang Dinta sedang pergi kemana…”

“Hehe… iya, Neng. Dia pamit pelan-pelan biar nggak ganggu tidur Neng. Kalau Ibu juga sebentar lagi mau ke sawah, pulangnya juga sebelum Asar. Tapi Ibu udah siapin lauk buat makan siang. Neng makan aja kalau lapar ya.”

Sebelum pergi, Bu Rahmah duduk sebentar di tikar depan kamar, menatap Luisa penuh kelembutan.

“Rumah ini sederhana, tapi InsyaAllah hatinya lapang. Neng istirahat aja yang tenang, anggap aja rumah sendiri.”

Kalimat itu terasa hangat di hati Luisa. Ia hanya bisa membalas dengan anggukan kecil dan senyum yang samar, tapi tulus. Setelah Bu Rahmah beranjak dan pintu tertutup, sunyi mulai menyelimuti rumah bambu itu.

Setelah Bu Rahmah pergi, keheningan kembali menyelimuti rumah bambu itu. Hanya suara angin yang menelusup lewat sela dinding dan gelegak air dari pipa bambu yang mengalir ke kamar mandi di belakang rumah.

Luisa duduk sendirian. Awalnya ia hanya menatap sekeliling dengan kosong. Tapi lama-kelamaan, kebosanan itu justru membuka ruang refleksi dalam dirinya.

Ia memejamkan mata. Yang muncul pertama kali adalah bayangan rumah besar yang dulu ia tinggali—lampu kristal bergantungan di langit-langit, sofa empuk berbahan kulit, lukisan mahal, bahkan aroma parfum ruangan yang mahal dan dingin. Hidupnya dulu serba mewah, serba tersedia, tapi entah sejak kapan, kebahagiaan menguap begitu saja.

Ia ingat ayahnya.

“Daddy…” bisiknya lirih.

Sosok yang paling ia sayangi, yang selalu memeluknya ketika hatinya gundah, yang tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat Luisa lulus kuliah, yang tak pernah lelah menemaninya di balik layar kesuksesan.

Lalu bayangan Danilla muncul—sahabatnya yang hangat dan selalu ada di saat dunia seakan runtuh.

Namun saat pikirannya mulai menyentuh sosok Arvino, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia ingat tatapan suaminya itu—dingin, penuh perhitungan. Laki-laki yang dulu ia percaya sepenuh hati, ternyata menyimpan niat membinasakan dirinya sendiri.

“Kau tega, Vino…” ucap Luisa dalam hati, suaranya hampir tercekat.

Tangannya mengepal. Nafasnya memburu. Amarah itu menggelegak, seperti gunung yang hendak meletus. Ia ingin berteriak, ingin menangis sekencang-kencangnya. Tapi ia hanya bisa duduk diam, menahan semuanya di dada.

Dengan sekuat tenaga, Luisa menghela napas panjang. Ia membuka mata dan menatap langit-langit bambu di atasnya.

“Sudah cukup... aku tak mau pikirkan dia lagi.”

Ia berusaha memalingkan ingatannya dari Arvino, dari luka yang masih basah itu. Perlahan, ia kembali menatap kendi berisi air di sudut ruangan. Matanya menangkap seberkas cahaya matahari yang jatuh di lantai batu—hangat, sederhana, tapi nyata.

Dan entah kenapa, justru di tengah keheningan dan kesederhanaan inilah, Luisa merasa sedikit… damai.

Luisa duduk perlahan di dipan dekat jendela. Ia melihat ke sekeliling: rak kayu kecil dengan buku-buku usang, lukisan lafaz Allah di dinding, kendi tanah liat berisi air, kain-kain batik yang dilipat rapi. Rumah ini memang sederhana, tapi bersih dan rapi. 

Ia berpikir tentang kehidupannya dulu—rumah megah, mobil mewah, gaun-gaun mahal, pesta, teman-teman yang selalu tertawa tapi kadang palsu, dan suami… ya, suami yang wajahnya saja enggan ia ingat kini.

Tapi di sini… tidak ada itu semua. Hanya ruang sempit dari bambu dan kayu tua. Tapi ada ketulusan yang begitu terasa.

Sore itu, mentari mulai condong ke barat saat suara langkah kaki terdengar di halaman. Luisa menoleh dari jendela. Dinta muncul dengan senyum lelah, namun matanya tetap hangat seperti biasa. Di tangannya tergenggam dua butir kelapa muda dan seikat buah kampung—jambu air, pisang, dan beberapa buah ceremai.

“Ada oleh-oleh dari ladang, Neng,” ucap Dinta sambil meletakkan semuanya di atas meja kayu dekat jendela.

Luisa memandang buah-buahan itu dengan rasa ingin tahu. Dinta mengambil pisau, membelah kelapa muda dengan sigap, lalu menyodorkan satu tempurung yang penuh air bening.

“Ini namanya degan, air kelapa muda. Segar, alami… insyaAllah bikin badan adem.”

Luisa ragu sejenak, tapi kemudian menerima dengan dua tangan. Ia menyesap perlahan. Matanya membulat kecil. Air kelapa itu terasa manis dan dingin, seolah menyejukkan dari dalam. Belum pernah sebelumnya ia menikmati kesegaran yang begitu sederhana namun menenangkan.

“Enak… banget,” gumamnya.

Dinta tersenyum senang. “Alhamdulillah kalau suka. Itu dari pohon belakang ladang Haji Syuaib. Kalau lagi panas-panasnya kerja, minum ini tuh kayak nemu oase.”

Luisa tertawa pelan—tawa kecil pertamanya sejak hari itu. Lalu ia menatap kelapa di tangannya, seolah baru menyadari bahwa kebahagiaan ternyata bisa hadir dalam bentuk yang sangat sederhana.

Beberapa menit berlalu dengan percakapan ringan. Setelahnya, Dinta pamit.

“Saya ke langgar dulu ya, Neng. Sholat Ashar terus ngajarin ngaji anak-anak. Kalau Neng butuh apa-apa, panggil aja Ibu.”

Luisa mengangguk pelan. “Hati-hati, Kang.”

Dinta tersenyum dan pergi meninggalkan halaman. Sementara Luisa menatap ke luar, kelapa muda masih di genggamannya. Senja mulai turun perlahan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa damai di tempat yang asing ini.

Luisa menarik napas panjang.

“Kenapa ya… aku merasa nyaman di sini?” gumamnya lirih.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia melihat kebahagiaan tidak terletak pada benda, tapi pada hati. Dan ia mulai mengagumi keluarga Dinta. Keluarga yang hidup dari ladang dan sawah, tapi tak pernah tampak kekurangan kasih sayang dan keikhlasan.

 

Bersambung ke Bab 11 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...