Rabu, 09 April 2025

Bab 4 – Retakan di Balik Kemewahan

Hotel Amara malam itu tampak mewah seperti biasa—langit-langit tinggi berhiaskan lampu kristal, aroma mawar lembut dari lobi, dan para tamu yang hilir-mudik dalam balutan busana elegan.

Luisa hadir sebagai pembicara tamu dalam acara gala dinner salah satu asosiasi pengusaha muda. Ia tampil anggun dengan gaun berwarna emerald, rambut disanggul rapi, dan riasan tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya. Senyum dan sambutan hangat menyertai setiap langkahnya. Tapi di balik penampilan sempurna itu, hatinya tetap sunyi. Seperti panggung kosong setelah konser usai.

Setelah sesi pembukaan, Luisa pamit sejenak dari meja utama untuk menelepon Daniela. Ia melangkah keluar dari ballroom menuju area lounge hotel yang lebih tenang. Tapi ketika hendak kembali, matanya tak sengaja menatap ke arah bar hotel yang semi-terbuka di sisi kanan lobi.

Ia terdiam.

Seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata, Luisa melangkah mendekat.

Dan di sanalah ia melihatnya. Arvino.

Duduk santai di sofa kulit dengan seorang perempuan muda berpakaian minim, tertawa—terlalu akrab. Tangan perempuan itu menyentuh pipi Arvino, sementara Arvino tak menunjukkan penolakan. Bahkan ia balas menyentuh bahu si perempuan sambil berbisik ke telinganya.

Waktu seolah membeku. Jantung Luisa berdegup keras, matanya panas.

“Vin…?”

Arvino menoleh kaget. Perempuan itu buru-buru menjauh.

“Luisa?! Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Harusnya aku yang tanya. Apa kamu benar-benar separah ini, Vin?”

“Luisa, ini—ini bukan seperti yang kamu lihat. Ini... klien!” katanya gugup.

Luisa tertawa pahit. “Klien? Di bar? Dengan tanganmu yang menempel di pipinya?”

Mereka sempat bertukar kata-kata tajam di sudut lobi, cukup pelan agar tidak jadi tontonan, tapi cukup pedih untuk membuat dada Luisa sesak. Ia tak berteriak. Ia tak menangis. Tapi ekspresi matanya sudah cukup membuat Arvino tahu: Luisa tahu segalanya.

Malam itu, Luisa pulang lebih awal. Wajahnya tetap tenang, tapi hatinya meledak-ledak. Di dalam mobil, Daniela mencoba menghiburnya.

“Lu… kamu mau aku yang habisin tuh cowok? Aku bisa nyiram dia pakai semur daging yang tadi ludes di meja sebelah!”
“Hahaha... kamu nggak berubah ya, Nel,” jawab Luisa, akhirnya tertawa kecil. Tawa pahit tapi penuh kelegaan, karena hanya bersama Daniela-lah dia bisa jujur.

“Dia bukan manusia. Tapi... aku tetap nggak tega kasih tahu Papa. Beliau masih sakit.”
“Lu, kamu tuh udah cukup kuat buat ninggalin orang kayak gitu. Tapi kamu juga terlalu baik…”

Luisa hanya memandang ke luar jendela. Lampu kota berlarian di kaca mobil, seperti serpih-serpih ingatan yang ingin ia lupakan.

Beberapa hari setelah pertengkaran di hotel, Arvino berubah sikap. Ia mendadak jadi lebih lembut. Setiap pagi mengirimkan pesan penuh penyesalan, mengajak Luisa makan malam, bahkan membawakan bunga.

Malam itu hujan turun ringan di luar jendela kaca kamar Luisa. Lampu gantung berdesain Eropa menyinari ruang makan keluarga yang luas, dengan lantai marmer mengilap dan meja panjang dari kayu jati tua. Arvino duduk di seberang Luisa, menyantap steak dengan wajah tenang, seperti tak pernah terjadi pertengkaran sebelumnya.

Setelah beberapa suapan, Arvino meletakkan garpunya, lalu menatap Luisa.

"Sayang... Aku sudah terlalu lama menyakitimu. Aku sadar aku salah," ucap Arvino dengan suara lirih namun dibuat-buat lembut. "Aku ingin memperbaiki semuanya, Luisa."

Luisa mengangkat wajah, menatap suaminya dengan mata yang belum sepenuhnya percaya.

"Apa maksudmu memperbaiki?"
"Aku ingin kita liburan. Cuma kita berdua. Jauh dari kantor, dari tekanan... Aku pikir kita bisa mulai lagi, menyembuhkan luka," katanya, menggenggam tangan Luisa di atas meja.

Luisa terdiam. Hatinya bergejolak. Di satu sisi, rayuan itu terdengar tulus. Di sisi lain, pengalaman beberapa bulan terakhir membuatnya tak mudah percaya.

"Kemana?" tanyanya datar.
"Tempat yang tenang, di pegunungan. Mungkin Cianjur atau sekitarnya. Udara bersih, tidak banyak orang. Kita bisa bicara dari hati ke hati. Apa kamu bersedia?"

Luisa memandangi jemari Arvino yang menggenggam tangannya. Ia menarik napas panjang, mencoba mendengarkan suara hatinya sendiri.

"Aku... aku akan pikirkan."

---

Keesokan harinya, di kantor pusat Adriani Group, Daniela memasuki ruangan CEO dengan segelas kopi dan laptop di tangan.

"Lu, jadwal kamu hari ini padat banget. Tapi sebelum mulai, kenapa ekspresi kamu aneh? Kamu mimpi buruk?"
Luisa tertawa kecil. "Bukan... Arvino ngajak liburan."
"What?" Mata Daniela membesar. "Setelah semua kelakuannya? Terus kamu bilang apa?"

Luisa berdiri dan berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan kota Jakarta dari lantai 25.

"Aku bingung, Dan. Aku tahu kamu pasti bakal skeptis. Tapi tadi malam dia kelihatan... berbeda."
Daniela mengernyit. "Berbeda bisa jadi karena dia menyusun strategi baru. Lu, please... aku sahabat kamu, aku cuma nggak mau kamu disakiti lagi."
"Aku tahu. Tapi aku nggak boleh terus berburuk sangka, kan? Dia masih suamiku. Apa salahnya kalau aku beri dia satu kesempatan?"
Daniela mendesah. "Baiklah... tapi tolong, janji sama aku satu hal."

Luisa menoleh.

"Apa itu?"
"Kalau ada yang aneh, sekecil apa pun, kamu harus cepat-cepat kabari aku. Jangan abaikan instingmu, Lu."
Luisa mengangguk. "Iya, aku janji."

Mereka berpelukan, dan tertawa kecil untuk melepaskan ketegangan, walau di balik tawa itu, hati Daniela tak pernah benar-benar tenang.


----

Dua hari setelah Arvino makan malam bersama Luisa, di sebuah ruangan bawah tanah di ruko kosong daerah pinggiran kota, Arvino bertemu dengan seorang pria berbadan tambun, bertato samar di leher, dan rokok menyala di tangan.

“Lu ngasih gue tekanan gede, Vin,” kata si pria. “Utang judi lu belum beres, barang gue yang lu titipin ke klub malam juga udah disita polisi. Polisi, Vin! Gimana gue gak panas?”

“Tenang, Gil. Gue punya cara cepat ngelunasin semuanya. Istri gue... adalah wanita yang sangat kaya...punya perusahaan besar. Harta warisan dari keluarga. Kalo dia... hilang... gue dapet semua asetnya.”

“Lu serius?”

“Gue udah atur skenario. Gue bakal ajak dia liburan ke Cianjur, daerah pegunungan, jalanan sempit dan berliku. Gue sewa sopir bayaran. Mobil bisa dimodif, rem blong. Tinggal bikin laporan kecelakaan.”

Gil tertawa pendek. “Sadis juga lu. Tapi gue suka.”

“Setelah dia mati, gue bakal kuasai semua. Gak ada yang curiga. Semua bakal kelihatan alami.”

Gil menepuk bahu Arvino. “Berarti kita deal. Tapi ingat, kalau lu gagal... bukan cuma bisnis lu yang ancur, Vin. Hidup lu juga.”

Arvino mengangguk. Senyumnya licik, matanya kosong. Ia sudah terlalu dalam di dunia gelap narkoba dan judi. Dan sekarang, ia bersiap mengorbankan satu-satunya orang yang masih mempercayainya.

 

Bersambung ke Bab 5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...