Sudah sepekan berlalu sejak kabar kecelakaan tragis itu tersebar. Tim SAR yang dikerahkan ke wilayah perbukitan hanya menemukan puing-puing kendaraan mewah yang hancur di dasar jurang. Tidak ada tubuh. Tidak ada jejak kehidupan.
Selama berhari-hari, regu penyelamat menyisir kawasan jurang dan hutan sekitarnya. Mereka menuruni tebing terjal, menembus semak lebat, menyelam di sungai kecil yang mengalir tak jauh dari lokasi kecelakaan. Helikopter dikerahkan dari udara, sementara anjing pelacak menelusuri setiap aroma yang tertinggal.
Namun tetap saja, hasilnya nihil.
Luisa Adriani… lenyap tanpa bekas.
Tim SAR akhirnya kembali ke posko dengan wajah lelah dan kecewa. Salah satu petugas utama, Komandan Syahroni, langsung melaporkan kepada pihak keluarga.
“Kami sudah berusaha maksimal, Pak Arviano. Tapi tak ada tanda-tanda jasad atau jejak hidup Ibu Luisa. Kemungkinan besar, tubuh beliau terbawa arus atau tertimbun longsoran batu…”
Di depan kamera dan para wartawan, Arviano menunduk dalam-dalam. Matanya tampak sembab, suaranya bergetar seolah tertahan duka.
“Saya… sangat terpukul. Tapi saya percaya, jika takdir sudah berkata lain, kita harus ikhlas…”
Lalu ia mengangkat wajahnya, dan berkata dengan nada tegas namun dibuat seolah pasrah.
“Meski jasadnya tidak ditemukan… saya memutuskan untuk menganggap Luisa telah tiada. Saya tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Saya ingin melanjutkan hidup seperti yang mungkin ia inginkan.”
Wartawan menunduk penuh iba. Beberapa meneteskan air mata. Banyak yang memuji ketegaran Arviano.
Padahal di balik duka yang dipertontonkan… senyuman kecil bersembunyi di balik hatinya yang licik.
Media dengan cepat menyerap pernyataan resmi dari pihak keluarga: Luisa Adriani CEO dari Adriani Group dinyatakan meninggal dalam kecelakaan tragis.
Pernyataan itu datang langsung dari suaminya, Arviano Rachman, dalam konferensi pers yang mewah namun diselimuti aura duka. Ia tampil dengan wajah muram, mengenakan jas hitam dan pita duka di lengan kirinya.
“Istri saya, Luisa… telah pergi. Ini adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi saya, tapi bagi seluruh keluarga dan perusahaan.”
Kilatan kamera membanjiri ruangan. Tapi dari ratusan mata yang hadir hari itu, hanya satu pasang yang menatap dengan kebencian terpendam: Daniela Savira.
Sahabat, sekaligus tangan kanan Luisa di perusahaan.
Hanya satu orang yang tidak pernah benar-benar percaya pada kabar kematian Luisa: Daniela.
Sejak awal, ada terlalu banyak kejanggalan. Mobil Luisa memang ditemukan hancur di dasar jurang, tapi tidak ada tubuh. Tidak ada dompet. Tidak ada perhiasan. Bahkan clutch kesayangan Luisa pun lenyap tanpa jejak. Semua terlalu bersih… terlalu rapi untuk disebut kecelakaan biasa.
Daniela tidak bisa melupakan percakapan terakhir mereka—beberapa hari sebelum Luisa ‘menghilang’.
“Arviano ngajakin aku liburan ke pegunungan, katanya mau memperbaiki semuanya,” ujar Luisa waktu itu, dengan senyum yang lebih banyak getir daripada harapan.
Daniela langsung merasa curiga.
“Luisa, kamu harus hati-hati. Aku tahu kamu pengen semuanya membaik… tapi aku juga tahu siapa Arviano. Jangan percaya sepenuhnya padanya, ya. Simpan lokasi, kirim kabar ke aku tiap hari.”
Kata-kata itu masih bergema di telinga Daniela, seakan menjadi firasat yang nyata. Dan kini, semua yang ditakutkannya menjadi kenyataan.
Luisa menghilang, dan satu-satunya saksi perjalanannya adalah Arviano sendiri.
Namun yang paling membuat darah Daniela mendidih adalah seberapa cepat Arviano mengumumkan kematian Luisa, bahkan ketika jenazah belum ditemukan. Ia menggelar konferensi pers, menunjukkan kesedihan palsu di depan media, lalu… mengambil alih seluruh kendali perusahaan Luisa.
Saham-saham dipindahkan. Manajemen dirombak. Proyek-proyek ditandatangani dengan terburu-buru. Semua bergerak terlalu cepat.
Daniela tahu: jika ia bergerak gegabah, Arviano akan menyingkirkannya. Maka, ia menyusun strategi.
Ia berpura-pura setuju saat Arviano menawarkan posisi penting dalam perusahaan milik Luisa—dengan alasan bahwa hanya dialah yang paling memahami sistem dan struktur yang dibangun Luisa sejak awal. Tapi di balik senyum manis dan kepatuhannya… Daniela menyimpan bara.
Maka, dengan kepala tertunduk dan suara berat, ia mendekati Arviano di kantor pusat perusahaan.
“Pak Arviano… saya tahu ini masa sulit. Tapi perusahaan harus tetap jalan. Tidak ada orang yang lebih memahami sistem internal Adriani Group selain saya. Jika Bapak berkenan… izinkan saya membantu, menjadi tangan kanan Bapak sementara.”
Arviano memandang Daniela penuh pertimbangan. Kemudian ia tersenyum tipis—senyum palsu yang selalu membuat perut Daniela terasa mual.
“Saya menghargai kesetiaanmu. Tentu saja. Kita harus melanjutkan perjuangan istri saya, Luisa dalam membangun Adriani Group.”
Tapi di balik senyum manis dan sikapnya yang tampak loyal sebagai “asisten”, Daniela tengah menyusun misi rahasia yang berani—dan berbahaya.
Setelah hari-harinya dipenuhi dengan pura-pura sibuk mengurus transisi perusahaan, ia memilih waktu yang paling aman: pukul dua dini hari, dari kamar hotel pribadi yang tak tercatat dalam jadwal kerjanya, Daniela menghubungi seseorang dari masa lalunya—Leonard, seorang detektif swasta yang dulu pernah membantu kliennya dalam kasus keluarga yang rumit.
Suara di ujung telepon terdengar berat, mengantuk.
“Daniela… sudah lama. Apa kabar?”
“Aku butuh bantuanmu, Leon. Ini bukan untuk klien. Ini pribadi. Dan… sangat sensitif.”
Mereka bertemu diam-diam dua hari kemudian, di sebuah kafe tua di kawasan yang jauh dari pusat bisnis. Langit mendung, dan Daniela datang sendiri—berpakaian simpel, nyaris tidak dikenali.
Ia mengeluarkan sebuah amplop. Di dalamnya: foto studio keluarga Luisa yang ia simpan diam-diam, dan salinan laporan kepolisian yang menyatakan Luisa ‘hilang dalam kecelakaan’.
“Namanya Luisa Adriani. Dinyatakan meninggal karena kecelakaan mobil. Tapi tak ada jasad. Tidak ada barang pribadi. Aku… sahabatnya. Dan aku tahu sesuatu tidak beres.”
Ia menatap Leonard lekat-lekat.
“Saya ingin kamu menyelidiki semua yang terjadi seminggu sebelum kecelakaan. Aktivitasnya, siapa saja yang dia temui, kemana saja dia pergi, dan apa pun yang bisa kamu gali dari rekam medis, CCTV, atau saksi. Jangan beri tahu siapa pun. Termasuk ayahnya.”
Leonard membuka amplop perlahan. Menatap foto Luisa lama.
Wajah cantik dan berkelas, mengenakan gaun putih elegan. Tapi matanya… seperti menyimpan rahasia, juga luka yang tak bisa dijelaskan.
“Dia terlihat kuat,” gumam Leonard, “Tapi juga seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu dalam.”
“Dia kuat. Tapi dia hidup dengan seseorang yang kejam.”
Leonard mengangkat kepalanya, menatap Daniela penuh keseriusan.
“Kalau dia masih hidup… kita akan menemukannya. Dan kalau ada yang berusaha menyakitinya—aku akan tahu.”
Daniela mengangguk pelan, suaranya tercekat.
“Aku hanya ingin sahabatku kembali. Dan kalau tidak bisa… aku ingin kebenaran.”
Sementara itu, di balik dinding kaca kantor pusat perusahaan Luisa, Daniela menyaksikan sendiri bagaimana Arviano mulai mempreteli aset kekayaan sahabatnya.
Satu per satu program sosial yang dulu digagas Luisa untuk membantu perempuan muda dan UMKM kecil, dipangkas. Para komisaris minoritas dibungkam dengan saham atau ancaman pelan. Proyek berkelanjutan yang menjadi visi Luisa berubah menjadi kontrak dengan perusahaan besar yang tak peduli lingkungan.
Daniela tahu, ini bukan lagi tentang kehilangan. Ini tentang perampokan. Dan ia tidak akan tinggal diam.
“Sabar, Luisa… aku akan ungkap semuanya. Dan jika kamu masih hidup… aku akan menemui kamu.”
Daniela harus bergerak cepat.
Dan di sudut hatinya, harapan itu masih hidup: Luisa belum mati. Dia pasti masih ada di luar sana. Dan aku akan menemukannya, apapun yang terjadi.
Selain Daniella, berita kematian Luisa juga telah membuat pukulan besar terhadap Tuan Harun Adriani, ayah dari Luisa.
Tuan Harun Adriani adalah nama yang sejak lama menjadi simbol kekuasaan dan kejayaan di dunia bisnis Indonesia. Ia adalah pendiri sekaligus pemegang kendali Grup Adriani, konglomerasi yang bergerak dari properti, perbankan, hingga industri kreatif. Sosoknya dikenal luas: tegas, berwibawa, sedikit angkuh, dan sangat memegang prinsip tentang kelas sosial serta status keluarga.
Lahir dari keluarga ningrat modern dan dididik di Inggris, Tuan Harun tumbuh dengan pandangan hidup yang kaku namun elegan—kesuksesan adalah harga diri, dan darah biru tak boleh bercampur dengan lumpur jalanan. Maka ketika putri tunggalnya, Luisa Adriani, tumbuh menjadi wanita cerdas, cantik, dan menjadi kebanggaannya, Tuan Harun menaruh seluruh harapan pada gadis itu.
Luisa adalah segalanya baginya. Permata, pewaris, dan sekaligus pelembut hatinya yang keras.
Namun, dalam usianya yang kini melewati kepala enam, penyakit jantung koroner mulai menggerogoti tubuhnya. Ia masih menolak untuk menyerah, masih menghadiri rapat penting, masih menyempatkan diri untuk menghadiri acara amal atas nama keluarga. Tapi di balik jas mahal dan senyum datar itu, detak jantungnya tak lagi stabil, dan kesendiriannya makin terasa dalam.
Saat kabar "kecelakaan" Luisa sampai di telinganya, dunia Tuan Harun runtuh.
Meski tidak ada jasad. Meski semuanya belum pasti. Namun berita itu menancap seperti paku di dadanya. Ia tak menangis di depan publik. Tidak memohon, tidak meraung. Tapi tubuhnya yang dulu kokoh mulai sering terkulai di kursi kayu warisan keluarganya. Nafasnya makin pendek, dan dokter pribadinya harus datang setiap dua hari sekali.
Di ruang tamu rumah besarnya yang dingin dan sepi, ia hanya memandangi foto-foto Luisa dari kecil—saat putrinya masih mengenakan seragam sekolah internasional, hingga potret saat Luisa menerima penghargaan bisnis di Eropa.
“Aku memberimu segalanya, Nak… tapi aku gagal melindungimu.”
Hanya kalimat itu yang terdengar lirih, nyaris tak terdengar, saat ia berbicara pada bayangan dalam bingkai emas.
Tuan Harun Adriani tidak mempercayai siapa pun.
Arviano dianggapnya pria yang “cukup pantas” secara status, tapi terlalu halus cara bicaranya, terlalu cepat ingin menguasai, terlalu banyak ‘senyum palsu’. Dalam hati kecilnya, ia merasa—pernikahan Luisa bukan sepenuhnya keputusan anaknya, tapi karena tekanan keluarga.
Namun kini semuanya terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar