Kamis, 10 April 2025

Bab 3 - Topeng Seorang Pewaris

Dari luar, nama Arvino Satriadharma terdengar seperti lambang kesuksesan: lulusan luar negeri, pewaris keluarga terpandang, menantu dari pengusaha besar yang memimpin konglomerasi multi-sektor.

Namun di balik jas mahal dan senyum menawan itu, tersembunyi luka dan kebusukan yang berlapis.

Arvino adalah anak kelima dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga konglomerat yang telah lama menjadi mitra bisnis keluarga Luisa. Sejak kecil, Arvino hidup dalam limpahan kemewahan. Ia tak pernah tahu rasanya ditolak, gagal, atau lapar karena tak punya uang. Segalanya tersedia di atas nampan emas: mobil mewah, uang saku tak terbatas, liburan ke Eropa, dan sekolah eksklusif.

Tapi semua itu justru menjadikannya manja, angkuh, dan keras kepala. Ia tumbuh sebagai anak yang merasa dunia wajib tunduk kepadanya. Ia suka memerintah, membentak pembantu, bahkan sering menjahili adik atau sepupu yang lebih lemah. Tidak ada yang berani melawannya—terlalu takut pada pengaruh keluarga Satriadharma.

Saat remaja, Arvino dikirim ke luar negeri untuk menempuh pendidikan bisnis. Di sana, ia lebih banyak menghabiskan waktu di bar dan kasino ketimbang di ruang kuliah. Nilainya cukup—cukup untuk membuat ayahnya bangga. Tapi ilmunya dangkal, sekadar formalitas untuk mengejar gengsi.

Saat ia pulang ke Indonesia, ayah Luisa—yang kala itu sedang merancang perluasan bisnis ke sektor pertambangan—terkesan dengan latar belakang akademis dan keturunan Arvino. Arvino tampak “ideal”: muda, cerdas, berwibawa.

"Ini anak cocok untuk Luisa," kata ayah Luisa saat makan malam bersama ayah Arvino. "Sudah saatnya dia punya pendamping yang selevel."

Lamaran pun segera dirancang. Tanpa sempat mengenal lebih dalam, Luisa dijodohkan dengan Arvino. Demi menghormati ayahnya, Luisa menerima.

Tapi sejak awal pernikahan, Luisa tahu ada yang salah.

Arvino sering pulang larut malam, bau alkohol dan parfum perempuan lain melekat di bajunya. Ia kerap menghabiskan waktu di meja judi dan klub malam. Ia tidak bekerja, tidak membantu mengurus perusahaan, bahkan tidak tertarik dengan urusan rumah tangga.

“Luisa, kau urus saja bisnismu,” katanya suatu malam. “Aku bukan tipe suami yang dikekang.”

Setiap kali Luisa mencoba bicara, ia dibungkam dengan kemarahan atau sikap dingin.

“Aku ini lulusan luar negeri, Luisa. Aku tahu cara kerja bisnis lebih baik daripada kamu. Jangan ajari aku hidup.”

Setahun setelah menikah, ayah Arvino meninggal. Kekayaan keluarga yang sangat besar itu diwariskan kepada keenam anaknya. Tapi seperti nasib kerajaan yang dibagi-bagi, semuanya perlahan runtuh. Satu per satu bisnis milik anak-anak Satriadharma bangkrut, termasuk milik Arvino.

Ia terlalu boros, terlalu percaya diri, dan tidak disiplin. Hanya dua kakaknya yang berhasil mempertahankan usaha mereka: si sulung yang sejak awal bersikap hati-hati, dan si ketiga yang lebih memilih jalan wirausaha mandiri sejak muda.

Kini Arvino nyaris tidak punya apa-apa.

Rumahnya besar, tapi penuh utang. Mobil mewahnya disewa ulang. Sisa kekayaannya hanya berasal dari perhiasan pemberian mendiang ayahnya, dan... akses ke aset Luisa.

Ia tahu Luisa kaya, dan ia tahu Luisa lelah dengan kehidupan rumah tangganya. Tapi Arvino bukan lelaki yang akan minta maaf atau memperbaiki diri. Ia justru menyusun rencana licik—karena baginya, hidup hanyalah permainan. Dan seperti di meja judi, yang penting bukan kejujuran, tapi siapa yang paling lihai menipu.

Bersambung ke  Bab 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...