Rabu, 09 April 2025

Bab 1 – Lelaki Yang Ditinggalkan Istrinya


 Embun masih menggantung di ujung-ujung daun kopi ketika lelaki itu berjalan melintasi pematang sawah. Bajunya sederhana, lengan panjang yang digulung hingga siku, dan caping bambu tua melindungi wajahnya dari cahaya pagi. Di pinggangnya, tergantung sebilah
golok kecil dan tas berisi daun-daunan yang baru saja ia petik dari hutan kecil di kaki bukit.

Namanya Dinta.

Usianya tiga puluh satu tahun, tubuhnya tegap dan lentur seperti pohon jati muda. Wajahnya tenang, teduh, dan bersih dari jejak kesombongan. Sepasang matanya memancarkan kejernihan batin, seperti danau yang tak terusik angin. Senyumnya ringan, namun dalam. Ia tak banyak bicara, tapi setiap ucapannya seperti punya makna yang mengendap.

Lelaki itu bukan orang kota. Ia lahir dan besar di desa kecil yang seolah telah dilupakan oleh peta, desa Sukamukti.  Desa Sukamukti terletak di kaki Gunung Karang yang berada di Kecamatan Campaka Cianjur, dikelilingi hutan bambu, sawah terasering, dan aliran sungai kecil yang jernih. Udara di sini masih murni, embun turun setiap pagi, dan suara burung selalu menjadi alarm alami. Penduduknya hidup dari bercocok tanam, beternak, atau bekerja di kebun teh milik koperasi desa. Di tengah desa berdiri Langgar Al-Huda, mushola kecil yang juga menjadi tempat mengaji anak-anak.

Dinta bukan sarjana, hanya tamatan SMA dan pesantren. Tapi akalnya tajam, logikanya kuat, dan hatinya lebih tenang daripada banyak orang yang hidup di balik dinding beton dan teknologi. 

Pesantren tempat Dinta pernah belajar bernama Pondok Pesantren Nurul Bayan, dipimpin oleh seorang kiai sepuh yang sangat dihormati, bernama Kiai Muhyidin. Sekalipun tak terlalu besar, pesantren ini melahirkan banyak santri yang kemudian menjadi guru ngaji, petani bijak, dan tokoh masyarakat di daerah sekitar.

Dinta tinggal bersama istrinya, Maya, dan ibunya yang sudah renta. Maya adalah perempuan dari kampung sebelah, usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Dinta. Cantik, anggun, dan cerdas. Rumah mereka berdinding papan, beratapkan seng, dan berdiri di tepi ladang singkong yang mereka rawat sendiri. Tak ada kulkas, tak ada televisi layar datar, apalagi kendaraan pribadi. Tapi rumah itu penuh kehangatan. Penuh doa dan syukur terhadap semua nikmat yang telah Allah berikan.

Namun ketenangan yang ia jaga tidak selalu sejalan dengan realita. Seiring waktu, Maya mulai merasa lelah dengan kehidupan sederhana yang mereka jalani. Maya mencintai Dinta, tapi tekanan hidup dan impian akan kehidupan yang lebih layak perlahan-lahan mengikis harapannya.

***

Pagi itu, mentari baru saja menyelinap di balik pucuk-pucuk pohon kelapa ketika Dinta keluar dari rumah seorang warga, diikuti oleh Maya, istrinya. Di tangan Dinta ada sehelai daun sirih dan sekantung kecil beras yang kemudian diberikan langsung ke tangan kurus seorang wanita tua.

"Maaf, Jang Dinta… Ibu benar-benar nggak punya uang," suara wanita itu lirih, hampir tak terdengar.

Namun Dinta hanya tersenyum lebar. "Nggak apa-apa, Bu. Yang penting ibu sehat lagi. Saya malah senang bisa bantu. Gunakanlah beras ini untuk bekal makan Ibu dan keluarga. Saya ikhlas."

Perempuan tua itu terisak haru, mencium tangan Dinta berkali-kali. “Semoga Allah balas kebaikanmu, Jang Dinta… semoga hidupmu selalu berkah…”

Tapi di sisi lain, ada yang tidak ikut tersenyum. Maya, istri Dinta yang berparas cantik berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tegang, matanya menusuk tajam ke arah Dinta.

Begitu mereka berjalan pulang, Maya tak bisa lagi menahan emosinya.

"Ikhlas? Kamu malah ngasih beras ke orang lain, Kang Dinta?Padahal kita sendiri hidup kekurangan" Nada suaranya penuh nada tajam. “Kamu pikir hidup kita ini bisa jalan hanya dengan senyum dan doa saja?”

Dinta terdiam, menunduk sebentar, mencoba tenang.

“Akang cuma mau bantu orang yang benar-benar butuh. Lagian, Allah yang menjamin rezeki kita, Nyai, meskipun kita hidup dalam kemiskinan tapi Alhamdulillah kita belum pernah sampai gak bisa makan…”

Maya menggeleng dengan mata berkaca-kaca, tapi bukan karena haru. “Aku capek hidup begini, Akang… Hidup miskin. Gak punya apa-apa. Suami yang cuma bisa ngobatin orang tapi gak pernah bawa uang ke rumah.”

Dinta menghela napas panjang. Hatinya perih, tapi ia tahu, Maya tak sepenuhnya salah. Dunia mereka berbeda—dan perlahan ia menyadari… cinta yang dulu hangat, kini mulai dingin oleh rasa kecewa dan ketidakpuasan.

***

Hari itu, langit sudah gelap saat Dinta baru pulang. Tubuhnya lelah, pakaian sedikit kotor terkena tanah dan debu jalan setapak. Ia baru saja pulang dari kampung sebelah, tempat seorang kakek tua mendadak jatuh sakit parah.

Begitu membuka pintu rumah, suara tajam langsung menyambutnya.

"Nyai..." ucap Dinta dengan suara lirih. Ia letakkan tas kain berisi ramuan dan peralatan sederhana di pojok ruangan. “Akang minta maaf karena pulang terlambat… barusan bantu mengobati Mang Sarta di kampung Cijati. Beliau mendadak sesak napas, kasihan…”

Di dapur, Maya sedang memasak. Tangannya mengaduk sayur dengan gerakan kasar. Wajahnya terlihat tidak senang.

"Ngurusin orang lain terus, Akang lupa sama rumah sendiri."

Dinta mencoba mendekat. “Kan Akang cuma menolong orang yang kesusahan, Nyai. Mang Sarta itu udah tua, tinggal sendiri. Akang gak tega liat dia sakit sendirian...”

Maya menaruh sendok sayur dengan suara keras. Lalu menatap suaminya dengan mata yang penuh kejengkelan.

"Terus, hari ini Akang bawa apa? Ada duit? Ada beras? Atau cuma cerita kasihan kayak biasanya?!"

Dinta menunduk. Ia tidak bisa menjawab. Memang hari itu ia tidak membawa apa-apa—hanya keikhlasan dan rasa lelah.

Maya terus bicara. Suaranya meninggi, tapi nada sedihnya terasa.

"Saya tuh malu, Kang. Malu sama tetangga. Mereka lihat suaminya bawa hasil, kita? Gini-gini aja. Saya gak kuat kalau terus hidup begini. Akang pikir hidup cuma cukup dengan niat baik?"

Dinta mencoba menenangkan, tapi Maya sudah terlanjur kecewa. Ia menghela napas panjang, menahan air mata.

"Saya tuh dulu pikir bisa kuat. Bisa hidup sederhana asal bareng Akang. Tapi ternyata… Saya salah. Saya capek, Kang."

Tanpa menunggu jawaban, Maya masuk ke kamar dan menutup pintu. Dinta berdiri mematung. Rumah yang dulu hangat kini sunyi, hanya suara angin malam yang menyusup dari celah dinding kayu.

Beberapa minggu setelah pertengkaran malam itu, suasana rumah Dinta dan Maya semakin dingin. Maya lebih banyak diam. Kalau pun bicara, seringkali hanya seperlunya. Dinta masih berusaha lembut, tetap dengan sabar merawat cintanya yang mulai retak, tapi Maya seperti tak lagi punya hati untuk semua itu.

***

Di tengah keramaian pasar sore itu, di antara suara pedagang yang riuh menawarkan dagangan dan anak-anak berlari mengejar layangan, langkah Maya terhenti.

Seseorang memanggilnya.

“Neng Maya...? Ya ampun ini beneran kamu?”

Maya menoleh cepat. Sejenak matanya membulat, seolah melihat hantu masa lalu.

Di hadapannya berdiri seorang lelaki tinggi, berpakaian rapi, bersepatu mengilap. Wajahnya bersih, rambutnya tersisir rapi, dan senyumnya... percaya diri—nyaris berlebihan.

Munajat.

Seorang nama yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan impian dan bisikan masa depan. Dulu, mereka pernah berjanji setia. Tapi restu tak pernah berpihak. Ibunya Maya menolak hubungan itu mentah-mentah. Munajat dianggap tak cukup mapan, tak cukup baik untuk anak perempuan satu-satunya. Lalu, Munajat pergi. Membawa patah hati dan ambisi yang membara.

Bertahun-tahun berlalu. Di kota, Munajat membangun usahanya dari nol. Sebuah warung makan kecil yang kini sudah menjelma menjadi rumah makan terkenal, bahkan kabarnya sudah punya cabang.

Maya menarik napas panjang, mencoba meredam gelombang kenangan yang tiba-tiba menyerbu. Ada getaran samar di dadanya—bukan rindu, lebih seperti kerisauan. Namun wajahnya tetap datar, dingin seperti permukaan danau di pagi buta.

"Kang Munajat," ucapnya akhirnya, singkat, sopan, tanpa ekspresi berlebihan.

Munajat tertawa kecil. Tawa yang terdengar santai, seolah jarak bertahun-tahun itu hanya ilusi belaka.

"Ya ampun, Neng Maya makin cantik aja sekarang," katanya, dengan nada menggoda, yang dulu pernah membuat Maya tersipu—saat ketika dunia masih terasa lebih sederhana.

Maya hanya tersenyum tipis. Bukan senyum yang menyambut, melainkan senyum yang menggantung di batas kehati-hatian.

Di dalam hatinya, Maya sadar: dunia mereka sudah berubah. Ia bukan lagi gadis kampung polos yang menanti janji di bawah bulan. Ia kini adalah perempuan yang hatinya remuk perlahan, oleh kenyataan hidup bersama Dinta—yang meski penuh cinta, tak mampu membebaskannya dari cengkeraman kemiskinan.

Dan di hadapannya kini, berdiri bayangan masa lalu yang tampak lebih berkilau dari apa pun yang pernah ia miliki.

Maya mengangkat alis, tersenyum tipis. Senyum yang lebih dekat pada sinis daripada ramah.

“Terima kasih,” jawabnya datar. “Kang Munajat juga kelihatan... lumayan terawat,” tambahnya dengan nada setengah mengejek, seolah menilai seperti menilai barang dagangan yang tak terlalu istimewa.

Munajat terkesiap kecil, lalu tertawa seolah tak merasa tersinggung. Justru matanya berbinar, merasa semakin tertantang.

“Aduh, tetap galak kayak dulu ya Neng. Dulu juga Akang suka... tapi baru sekarang Akang sadar, ternyata tambah galaknya, malah tambah semakin manis,” ujarnya menggoda lagi.

Maya mengalihkan pandangan, pura-pura memeriksa harga cabe di lapak sebelah.

“Saya pikir, Kang Munajat udah sibuk di kota, lupa sama orang kampung kayak saya," balasnya setengah mencibir. "Ternyata masih sempat main ke pasar begini.”

Munajat tidak mundur. Ia justru semakin mendekat, jarak di antara mereka mengecil.

“Orang-orang berharga itu, Neng, bakal susah untuk dilupakan. Mau sejauh apa juga, tetap saja ada di hati, seperti Kamu yang selalu ada di hati Akang”

Maya tersenyum miring. Dalam hatinya, ada riak kecil—riak yang ia tekan dalam-dalam. Ia sadar, hatinya rapuh setelah konflik panjang dengan Dinta. Tapi akal sehatnya masih kuat.

"Kalau cuma buat nostalgia, sepertinya pasar bukan tempat yang cocok, Kang. Lebih baik cari cabe rawit sekilo, lebih jelas hasilnya,” katanya dingin.

Munajat terdiam sejenak, lalu tertawa keras.

Pandangan matanya semakin berbinar penuh rasa ingin menaklukkan. Maya berbeda dari perempuan kota yang sering ia temui; Maya keras, sulit dijangkau, dan itu justru membakar hasratnya untuk mendekat.

“Neng... Akang nggak main-main,” bisik Munajat pelan, setengah serius.
  "Tunggu saja. Akang tidak akan menyerah untuk merebut kembali cinta Akang."

Maya menghela napas pelan, lalu berbalik, meninggalkan Munajat dengan langkah ringan namun penuh harga diri.

Dari kejauhan, Munajat menatap punggung Maya yang menjauh—semakin membuat hatinya berdegup penuh ambisi.

Rayuan yang Mengusik.

Sejak pertemuan itu, Munajat seolah menjelma bayang-bayang yang terus mengikuti Maya.
 Kadang-kadang, saat Maya ke pasar, tiba-tiba saja Munajat sudah ada di sana, menawarkan bantuan membawakan barang. Di jalan setapak, saat Maya berjalan pulang, Munajat k
adang muncul membawa sekantung buah atau oleh-oleh dari kota.

Awalnya Maya menolak dengan dingin.

“Nggak usah repot-repot, Kang. Saya bisa sendiri,” katanya ketus.

Tapi Munajat tidak gentar. Setiap penolakan Maya justru dianggapnya tantangan baru. Ia tahu, di balik tatapan dingin itu, ada hati yang retak. Ia sabar, mengendap seperti air hujan yang menggerus batu sedikit demi sedikit.

Suatu sore, saat Maya duduk di beranda rumah sambil mengupas bawang, Munajat kembali muncul, secara sembunyi-sembunyi. Kali ini dengan seplastik kue basah dan sebungkus gula pasir yang ia letakkan begitu saja di atas pagar. Waktu itu Dinta sedang keluar rumah, hanya ada Maya dan Bu Rahmah yang juga sedang sibuk di belakang rumah.

“Neng... ini buat Neng dan keluarga. Bukan apa-apa, cuma... oleh-oleh dari kota.”

Maya menatapnya tajam.

“Maaf kang, Saya nggak butuh kue dan gula dari Akang.”

Tapi matanya sempat melirik gula itu—Bu Rahmah, mertuanya, sudah lama mengeluh kehabisan persediaan gula.

Munajat tersenyum. Ia menangkap keraguan kecil itu.

“Neng Maya gak usah berfikir macam-macam. Anggap aja ini sedekah. Lagian... Akang cuma pengen lihat Kamu tersenyum bahagia. Seperti dulu, waktu kita masih hidup sama-sama.”

Kalimat itu menusuk sesuatu dalam hati Maya. Kenangan masa muda, saat hidup belum serumit sekarang, saat hati masih penuh harapan.

Maya membuang muka, pura-pura sibuk dengan kupasannya. Tapi hatinya bergemuruh. Ia marah pada dirinya sendiri—kenapa sedikit saja hatinya tergerak? Kenapa seolah ada bagian dalam dirinya yang ingin sekali berlari dari rumah kayu kecil yang kini terasa makin pengap?

Malam itu, di atas tikar lusuh di rumahnya, Maya berbaring memunggungi Dinta.
 Suaminya sudah tertidur, kelelahan setelah seharian bekerja di ladang. Nafas Dinta tenang, polos seperti anak kecil. Maya menatap punggung itu lama sekali, air matanya menetes t
anpa suara.

Dalam hatinya, perang sedang berkecamuk.

Di satu sisi, ada ikatan suci yang dulu ia janjikan di hadapan Tuhan.

Di sisi lain, ada ego, ada kecewa, ada rindu pada hidup yang lebih layak.

Dan di luar sana, ada Munajat, dengan segala godaan duniawi yang kini mulai mengetuk-ngetuk pintu hatinya.

Maya memejamkan mata kuat-kuat. Ia berbisik dalam doa, mencoba menggenggam sisa-sisa kesetiaan yang masih tersisa di dalam dirinya.

Tapi bisikan dosa itu, seperti angin malam, yang terus merayap masuk tanpa izin.

 

Godaan yang Hampir Menghancurkan

Hari-hari berikutnya, Maya mulai sedikit melunak. Ia tak lagi langsung menghardik Munajat setiap kali pria itu datang.

Kadang, ia pura-pura tidak melihat. Kadang, ia sekadar tersenyum tipis tanpa kata.
 Bagi Munajat, itu sudah lebih dari cukup—sebuah cela
h kecil yang kini siap ia rengkuh dengan penuh semangat.

Sore itu, Munajat berhasil membujuk Maya untuk bertemu di bawah pohon beringin tua, di pinggir sungai kecil tak jauh dari desa.

Hanya sekedar alasan, katanya, untuk berbagi cerita lama, mengenang masa-masa indah remaja.

Awalnya Maya menolak, tapi entah karena hatinya yang rapuh, atau rasa marahnya pada Dinta yang belum sepenuhnya padam, langkah kakinya mengarah juga ke tempat itu.

Di bawah bayang-bayang pohon tua itu, Munajat berdiri menunggu.

Wajahnya berbinar saat melihat Maya datang.

“Neng...” Munajat berbisik penuh kerinduan.

“Kamu nggak tahu, betapa Akang nyesel dulu melepaskan kamu…”

Maya menunduk. Hatinya berdebar aneh. Ia tahu ini salah. Tapi bagian dirinya yang lelah dan haus perhatian, merindukan kata-kata seperti itu.

Munajat mendekat perlahan, menawarkan dunia yang pernah mereka impikan dulu—kemewahan, kenyamanan, kehidupan tanpa harus memikirkan besok makan apa.
 Tangannya terulur, berusaha menggenggam tangan Maya.

Sesaat... Maya membiarkan.

Ada getaran aneh yang membuatnya hampir kehilangan akal.

Tapi nasib berkata lain.

Dari kejauhan, terdengar suara seseorang memanggil.

"Heh! Maya! Munajat! Ngapain kalian di situ?!"

Maya tersentak kaget. Ia menoleh—ternyata Mak Uroh, tetangga cerewet itu, melihat semuanya dari jalan setapak!

Wajah Maya langsung memerah karena malu dan panik. Matanya berkedip cepat, mencari cara menyelamatkan diri.

Tanpa pikir panjang, ia menarik tangannya dari genggaman Munajat, lalu membentak dengan suara lantang:

"Apa-apaan ini, Kang Munajat?! Jangan sentuh saya seenaknya! Saya bukan perempuan murahan yang bisa kamu rayu dengan tampang sok kaya begitu! Jangan pernah ganggu saya lagi!"

Maya belum puas, suaranya meninggi, nadanya menusuk, penuh tuduhan:

"Kalau orang-orang tahu, saya bisa hancur hanya karena ulahmu! Dasar lelaki tak tahu diri, datang-datang malah bawa masalah!"

Munajat terdiam, terperangah.

Baru saja ia merasakan kemenangan kecil, kini semuanya runtuh di hadapannya. Kata-kata Maya seperti cambuk yang melukai harga dirinya.

Maya menatapnya sejenak dengan penuh penghinaan, lalu membalikkan badan dan berlari pulang, meninggalkan Munajat berdiri sendiri di bawah pohon tua itu.

Hatinya terbakar. Bukan hanya karena sakit hati, tapi juga karena harga dirinya diinjak-injak tanpa belas kasihan.

Sejak saat itu, tekad Munajat berubah.

Kalau dengan rayuan tak bisa menaklukkan Maya, maka ia akan memakai cara lain. Cara yang lebih kelam.

Malam itu, dengan dendam membara di dada, Munajat berjalan ke arah perbatasan hutan, mencari seseorang—seorang dukun tua yang terkenal sakti di kampung sebelah.

Ia bersumpah, apapun caranya, Maya harus menjadi miliknya. Walau harus menggunakan ilmu hitam sekalipun.

Jejak Gelap di Malam Kelam

Malam itu, kabut tipis turun lebih cepat dari biasanya, menyelimuti desa-desa kecil di kaki Gunung Karang.
 Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah basah dan bisikan-bisikan halus yang terdengar bagai gumaman arwah.

Munajat berjalan cepat menembus jalan setapak yang remang, meninggalkan jejak kaki basah di tanah berlumpur.

Wajahnya keras, matanya penuh amarah yang ditahan.

Ia tahu, di balik hutan bambu itu, di sebuah gubuk tua yang hampir tak terlihat, tinggal seorang dukun sakti bernama Mak Samida.

Orang-orang kampung menyebutnya dengan berbagai julukan: "Si Penjaga Hutan," "Tukang Tenung," bahkan ada yang bilang ia bukan lagi manusia seutuhnya.
 Tapi Munajat tak peduli. Malam ini, ia hanya punya satu tujuan: membuat Maya jatuh ke pelukannya. Dengan
cara apapun.

Sesampainya di depan gubuk reyot itu, Munajat menghela napas. Ia mengetuk tiga kali seperti yang diajarkan orang-orang.

Tak lama, pintu reyot itu berderit terbuka.

Muncul sosok perempuan tua, punggungnya bungkuk, kulitnya keriput seperti akar kering, namun mata kecilnya memancarkan sorot tajam, seolah bisa menembus isi hati.

“Siapa yang datang malam-malam?” suara Mak Samida serak, seperti daun kering digesek angin.

“Saya… Munajat. Mau minta bantuan, Mak,” jawab Munajat, menunduk sopan tapi tegang.

Mak Samida menyeringai. Ia berjalan pincang ke dalam gubuk, lalu mempersilakan Munajat masuk.

Di dalam, aroma kemenyan dan dupa begitu kuat, bercampur bau anyir entah dari mana asalnya.
 Di sudut ruangan, tergantung jimat-jimat, tengkorak hewan kecil, dan botol-botol berisi cairan keruh.
 Di tengah ruangan, sebuah tungku kecil membara dengan api bi
ru.

Mak Samida duduk bersila di depan tungku, menatap Munajat dengan tatapan menusuk.

“Mau apa kau, Nak?”

Munajat menggenggam erat lututnya, lalu berbisik,

“Saya ingin seorang perempuan jatuh cinta sama saya, Mak. Saya mau dia tidak bisa jauh dari saya. Saya mau dia benci pada suaminya, meninggalkannya… terus datang ke saya.”

Mak Samida mengangguk pelan. Seolah permintaan seperti itu sudah jadi makanan sehari-hari.

"Namanya?" tanyanya.

“Maya… Neng Maya. Dia istri orang…” suara Munajat sedikit bergetar, antara malu dan takut.

Mak Samida hanya terkekeh kecil.

Dengan tangan keriputnya, ia mengambil sebuah boneka kecil dari anyaman kain hitam, lalu sebuah jarum panjang dari bungkusan kulit ular.

"Kalau kau yakin..." katanya lirih, "Kau harus ikuti semua perintahku. Tak boleh ragu. Tak boleh menyesal."

Munajat mengangguk cepat. Matanya membara, hatinya bulat.

Malam itu, ritual dimulai.

Mak Samida membaca mantera dalam bahasa Sunda Kuno yang sudah hampir punah, sambil menusukkan jarum ke boneka. Tiap kali jarum menembus, Munajat harus menyebutkan nama Maya, membayangkan wajahnya, membayangkan dia menyerah di pelukannya.

Asap dupa makin tebal, membuat Munajat pusing, seolah dunia bergeser perlahan ke alam lain.

Ketika ritual selesai, Mak Samida menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan hitam pekat.

“Taburkan ini di depan pintu rumahnya. Tiga malam berturut-turut. Kalau berhasil, dia akan datang padamu. Tapi ingat…”

Mak Samida menatap tajam,
  "Semua ada harganya. Cinta yang dipaksa tak pernah gratis. Suatu saat, kau akan membayar lebih dari sekadar n
yawa."

Munajat menggenggam botol itu dengan tangan gemetar.
  Dalam hatinya, ia berbisik:

"Apapun... asal Maya jadi milik Saya."

Ia tak sadar, jalan yang baru saja ia pilih adalah jalan menuju kegelapan yang tak mudah untuk kembali.

 

Benih Gelap yang Mulai Tumbuh

Tiga malam berturut-turut, tanpa ada yang tahu, Munajat datang menyelinap ke depan rumah Dinta.
 Di tengah pekat malam, ia menaburkan cairan hitam pemberian Mak Samida tepat di depan ambang pintu kayu itu.
 Bau anyir dan amis samar-samar memenuhi udara, la
lu menghilang ditelan angin dingin.

Di dalam rumah, Maya terbangun dengan gelisah.

Ia bermimpi aneh — melihat dirinya berjalan di sebuah hutan penuh kabut, mencari seseorang yang memanggil-manggil namanya dari kejauhan.
 Suaranya lembut, menggoda, namun menyeramkan dalam waktu bersamaan.

Saat Maya membuka matanya, tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya.
 Peluh dingin membasahi pelipisnya.
 Ia mencoba melawan rasa aneh itu, tapi di sudut hatinya, suara-suara aneh mulai berbisik.

"Kenapa kamu masih bertahan di sini? Ada yang lebih menjanjikan di luar sana..."

Maya menggeleng, berusaha mengusir pikiran itu.
 

***

Hari-hari berikutnya, perubahan mulai terlihat.

Maya, yang biasanya pendiam di rumah, kini sering melamun. Matanya kosong.
 Kadang ia termenung di depan pintu, menatap jalanan sepi seperti menunggu seseorang.

Dinta mulai menyadarinya.
 Malam-malam ia bangun, mendapati Maya duduk sendirian di dapur, memeluk lututnya, matanya sayu tanpa arah.

Suatu sore, Dinta mencoba berbicara.

“Nyai… Kamu kenapa? Akang lihat kamu belakangan ini agak lain. Kalau ada masalah, ceritakanlah ke Akang... Akang siap dengar.”

Maya tersentak, seolah baru sadar. Ia tersenyum kecil, tapi tawar.

“Gak apa-apa, Kang. Saya cuma capek saja…”

Tapi Dinta tahu itu bukan jawaban jujur.

Ada malam-malam di mana Maya memanggil nama "Munajat" dalam tidurnya, lirih seperti bisikan.
  Dinta hanya bisa terdiam dalam gelap, hatinya diremas pilu.

"Munajat? Siapa Munajat?" pikir Dinta.

Ia tahu, sesuatu yang buruk sedang mengintai rumah kecil mereka.

***

Di sisi lain, Munajat mulai percaya guna-guna itu berhasil.

Ia sering berdiri jauh dari rumah Dinta, mengamati dalam diam.
 Ia melihat Maya yang kini tampak sering keluar rumah, melamun di jalan, seolah mencari sesuatu.
 Wajah Munajat menyeringai puas.

Namun, apa yang Munajat tidak tahu, perlahan-lahan, Maya mulai berperang dengan dirinya sendiri.

Ada bagian dalam dirinya yang merasa jijik, marah, dan takut pada perasaannya yang berubah.
 
"Apa yang terjadi padaku? Kenapa hati ini seperti dirantai?"

Namun, kekuatan yang membelenggunya tidak akan melepaskan begitu saja.

Bayangan Munajat kian hari kian menguasai mimpinya, menggerogoti akal sehatnya secara perlahan-lahan.

 

Permintaan Cerai yang Membelah Hati

Hari itu, langit muram, seperti tahu akan ada badai yang lebih dahsyat dari sekadar hujan.
  Di dalam rumah kayu sederhana itu, suara Maya membentak, menusuk udara dingin pagi.
 "Saya capek, Kang! Saya gak mau hidup kayak gini terus! Gak ada perubahan, gak a
da masa depan!"

Dinta hanya berdiri membisu di depan pintu, pakaiannya masih berdebu dari ladang. Matanya yang jernih itu kini berkabut, menahan luka. Perlahan, ia melangkah mendekat, berusaha menenangkan.

"Nyai, sabar... Ini semua ujian. Hidup memang gak selalu mudah. Tapi kita punya satu sama lain, kan? Allah selalu punya jalan keluar untuk setiap masalah. Coba istighfar, Nyai. Allah dekat, dan Dia Maha Pengasih."

Maya mendengus dengan kasar. "Istighfar?!" Ia tertawa sinis, suaranya meluap. "Apakah istighfar bisa mengubah hidup kita, Kang? Saya sudah cukup sabar! Sudah cukup menahan semua ini! Coba Akang lihat! Akang cuma pasrah, cuma bertahan dengan keadaan, tanpa berbuat apa-apa!"

Dinta menahan nafas, berusaha menenangkan hatinya. "Nyai, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kita semua punya kekurangan, kita semua berjuang. Tapi cerai bukan solusi. Masih banyak jalan untuk memperbaiki."

Namun, Maya justru semakin kalap. "Akang pikir saya bodoh?! Akang pikir saya gak tahu? Semua usaha ini sia-sia! Saya cuma terjebak di sini, terjebak dalam hidup miskin yang gak ada akhirnya!" Maya mendekat, menatap Dinta dengan tatapan penuh kebencian. "Kalau Akang masih mau hidup miskin, hidup pasrah, silakan! Tapi saya mau hidup lebih baik! Saya mau bahagia! Saya mau cerai!TITIK."

Teriakannya semakin keras, matanya memerah menahan amarah bercampur air mata. Dinta menunduk dalam, dadanya terasa sesak. Napasnya berat.

"Baiklah Nyai, kalau itu yang membuatmu lebih bahagia... Akang ikhlas," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, namun tak mampu menyembunyikan kedukaan yang mendalam.

Tanpa menunggu jawaban lebih panjang, Maya berlari ke kamarnya.
Ia hanya membawa satu tas kecil berisi baju.
Sore itu juga, tanpa menoleh sedikit pun, Maya meninggalkan rumah kecil yang dulu mereka bangun bersama doa dan harapan.

Dinta berdiri lama di beranda.
Menatap bayangan punggung perempuan yang pernah ia cintai sepenuh jiwa, kini menghilang di tikungan jalan berdebu. Kedua matanya meneteskan air mata yang pilu.

**

Epilog:

Beberapa hari kemudian, kabar menyebar di kampung kecil itu.
Maya terlihat di kota, tinggal bersama Munajat—pria masa lalunya.

Desas-desus beredar: mereka hidup seadanya di sebuah kos kecil.
Munajat yang tadinya tampak menjanjikan, perlahan menunjukkan wajah aslinya: suka main perempuan, suka berjudi, ringan tangan, dan bergaul dengan orang-orang tak jelas.

Maya yang dulu mengejar "kebahagiaan kota", kini hanya bisa menatap jendela sempit, menyesali pilihannya.
Tapi semua sudah terlambat.

**

Sementara itu, Dinta memilih diam.
 Luka itu ia kubur dalam-dalam di hatinya.
 Ia tak membenci Maya, tak mengutuk nasib.
 Ia hanya berdoa... agar Maya suatu saat menemukan kedamaian yang ia cari.

Dan untuk dirinya sendiri, Dinta berikrar:
 "Aku akan tetap berdiri. Aku akan memperbaiki hidupku. Aku akan menemukan cinta yang lebih suci, cinta yang mampu saling menguatkan, bukan saling meninggalkan."

Dinta tak menyalahkan Maya. Ia mengerti, hidup miskin bukan hanya soal kekurangan materi, tapi juga soal kekuatan hati. Ketika akhirnya Maya memilih pergi ke kota untuk mencari kehidupan yang menurutnya lebih baik, Dinta tak menahan. Ia hanya berkata pelan:

“Kalau ini memang jalanmu, pergilah. Aku akan tetap mendoakanmu.”

***

Sejak saat itu, rumah kecil Dinta terasa lebih sunyi. Hanya suara ibunya yang sesekali memanggil dari dapur, dan kicauan burung yang masih setia menyambut pagi.

Hari-harinya kini ia isi dengan bekerja sebagai penggarap ladang orang, mengajar ngaji anak-anak, dan sesekali membantu warga yang sakit dengan ramuan dari hutan. Ia tak mematok harga. Siapa yang mampu, memberi seikhlasnya. Yang tak mampu, cukup dengan senyum dan doa.

Masyarakat menghormatinya. Bukan karena jabatan atau gelar, tapi karena ketulusan yang langka.

Pagi itu, seperti biasa, Dinta pulang membawa beberapa daun dan akar untuk ramuan ibunya yang sedang batuk.

Dalam perjalanan melewati pematang, anak-anak desa yang sedang menggiring bebek menyapanya dengan riang.

“Kang Dinta! Kang Dinta, nanti sore ngaji lagi ya?”

Dinta melambai sambil tersenyum.

“Iya, nanti habis asar di langgar. Jangan bolos, ya.”

Salah satu anak, si Bima yang paling cerewet, mengangkat tangan penuh lumpur sambil berteriak,

“Aku udah hafal surat Al-Insyirah, Kang!”

Dinta mengacungkan jempol.

“Wah, hebat! Nanti aku bawakan kelapa muda dari kebun, ya.”

Di ujung jalan, Bu Sumarni, seorang janda tua yang rumahnya berdampingan dengan kandang kambing, keluar membawa ember. Melihat Dinta, ia tersenyum lega.

“Jang Dinta, nanti bisa tolong lihat kaki kambing saya? Kayaknya pincang.”

Dinta mengangguk ringan.

“Selesai antarkan obat Ibu Saya, Insyaa Allah nanti saya ke sana ya Bu.”

Warga desa menyayangi Dinta bukan hanya karena keahliannya, tapi karena hatinya yang selalu hadir—entah dalam bentuk bantuan, perhatian, atau sekadar mendengarkan.

Di depan rumah, sang ibu duduk di bale bambu sambil mengupas jagung. Wajahnya keriput, tapi masih bersinar. Senyumnya melebar saat melihat anak semata wayangnya kembali.

"Sudah pulang, Nak?"tanya Bu Rahmah dengan suara serak.
 Dinta tersenyum, meletakkan capingnya di tanah. 
 "Iya, Bu. Ini ada daun saga buat tenggorokan Ibu. Sekalian saya bawakan madu dari Pak Miran."

Dinta duduk di sebelah ibunya, lalu mulai menumbuk daun dengan batu kecil. Tidak ada suara selain denting lesung dan gemerisik daun jagung. Tapi dalam diam itu, ada kedamaian yang tak bisa dibeli.

Bersambung ke Bab 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...