Hari telah berganti. Kabut pagi bergulung pelan di sekitar rumah panggung kecil milik Dinta, menyelimuti ladang dan hutan dengan kelembutan yang menenangkan.
Di dalam bilik bambu yang sederhana, perempuan itu—yang kemudian Dinta tahu bernama Luisa Adriani dari secarik identitas yang terselip di balik pakaiannya—terbaring lemah. Luka di tubuhnya telah dibersihkan. Pelipisnya dibalut kain kasa, dan tubuhnya diselimuti dengan selimut tebal yang menghangatkan.
Dinta duduk di sampingnya, memeriksa suhu tubuh dan pernapasannya dengan telaten. Wajahnya menyiratkan kelelahan, tapi juga ketenangan.
“Alhamdulillah Kamu selamat,Neng, tapi ini belum selesai,” gumamnya lirih.
Ia menyeka keringat di dahi Luisa yang mulai demam ringan. Hatinya gelisah. Bukan hanya karena kondisi fisik perempuan itu, tapi karena instingnya berkata bahwa ini lebih besar dari sekadar kecelakaan atau nasib buruk.
Dinta menatap jendela kecil di sudut ruangan. Ia tahu, bila kabar tentang perempuan ini sampai ke telinga orang yang salah—maka nyawa Luisa bisa terancam kembali. Itu sebabnya ia memilih bungkam. Bahkan pada warga desa sekalipun.
Hanya Abah dan Emak Sarmi yang tahu. Mereka pun setuju untuk merahasiakan semuanya… untuk sementara.
Malam harinya, Dinta duduk di dapur yang remang, ditemani secangkir kopi yang mulai dingin, nyaris tak tersentuh. Di hadapannya, sebuah clutch kecil berwarna coklat keemasan dengan logo merek luar negeri yang tak ia kenali—barang mewah yang ditemukan tersembunyi di balik selimut lusuh yang membungkus tubuh perempuan itu.
Perlahan, Dinta membuka resletingnya.
Di dalamnya, tertata rapi: sebuah KTP dengan nama Luisa Adriani dan alamat di kawasan elit Jakarta, beberapa kartu kredit berlogo emas, beberapa kartu ATM eksklusif berwarna hitam dan beberapa lembar uang seratus ribuan yang masih terlipat rapi.
Ada juga sebuah foto studio berbingkai tipis dari mika bening: Luisa mengenakan gaun hitam elegan, berdiri di antara dua orang paruh baya—seorang pria berkumis tebal dan wanita berparas lembut, mungkin ayah dan ibunya. Ketiganya tampak rapi dan harmonis di depan latar berwarna netral, seperti potret keluarga kelas atas pada umumnya.
“Luisa Adriani… dari Jakarta…” gumam Dinta pelan, menatap wajah di dalam foto.
“Astaghfirullah… kamu siapa sebenarnya, Neng? Bukan orang biasa…”
Ia memandang lagi ke Luisa yang masih terbaring lemah. Perempuan itu bukan hanya korban dari sesuatu yang kejam, tapi juga berasal dari dunia yang sangat berbeda dari kehidupannya sendiri. Dunia yang mewah… dan penuh rahasia.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Neng Luisa… dan siapa yang ingin menghilangkanmu dari dunia ini?”
Dinta menyandarkan punggungnya ke dinding bambu, mata menatap kosong ke luar jendela. Malam makin larut, dan rasa penasaran tentang siapa Luisa dan apa yang sebenarnya terjadi padanya terus mengendap dalam pikirannya.
Subuh berikutnya, langit masih pucat. Kabut tipis menggantung di ladang, dan embun belum lelah menetes dari ujung dedaunan. Di dalam rumah sederhana itu, tubuh Luisa menggeliat pelan. Matanya berkedip lirih, mencoba menangkap cahaya remang dan suara sekitar.
Dinta yang tengah menyiapkan air hangat di sudut dapur segera menghampiri. Ia jongkok di samping tikar.
“Kamu sadar?” tanyanya pelan, suara lembut tapi penuh harap.
Luisa menoleh lambat. Matanya berkabut, seperti menembus ruang asing yang belum dikenalnya. Suara lirih keluar dari bibir pecahnya.
“Aku… di mana…?”
Dinta tersenyum tenang, meski jantungnya berdebar melihat perempuan itu akhirnya siuman.
“Neng berada di tempat yang aman. Namaku Dinta. Yang penting sekarang… Neng istirahat dulu. Nggak usah takut.”
Tapi tiba-tiba, tatapan Luisa membeku. Cahaya di matanya yang sempat muncul, meredup digantikan oleh ketakutan. Napasnya memburu. Ia memejamkan mata erat—dan dalam hitungan detik, pikirannya terhisap kembali ke malam mengerikan itu…
Kilasan memori datang menghantam: wajah Arvino yang marah, suara teriakannya yang membentak seperti cambuk, tangan kasarnya yang menampar, mencengkeram, menyeret tubuh Luisa keluar dari mobil. Ia ingat betapa keras tubuhnya dibanting ke tanah yang basah terkena hujan, bagaimana ia memohon, menangis, saat Arviano menyeeretnya. Tapi Arvino tak peduli. “Kamu harus hilang dari hidupku! Supaya Aku bisa menguasai semua hartamu!”
Tubuh Luisa mengejang pelan di atas tikar. Air mata mulai jatuh membasahi pipi. Bibirnya bergetar, menyebut satu nama.
“Arvino…”
Seketika itu juga, napasnya tersendat. Ia terisak lemah, lalu tubuhnya limbung kembali dalam pelukan pingsan.
Dinta buru-buru memegangi bahunya, menenangkan.
“Sabar Neng… kamu aman di sini. Udah nggak apa-apa…”
Tapi Luisa sudah kembali tenggelam dalam gelap. Hanya jejak air mata di wajahnya yang tersisa, sebagai bukti bahwa luka di dalam hatinya… belum sembuh.
Dinta menatap perempuan itu dalam diam. Ia menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Luisa yang dingin.
“Siapa pun kamu, Neng… kamu harus bersyukur karena telah melewati masa yang kritis. Di sini, InsyaaAllah nggak ada yang akan menyakitimu lagi.”
Di luar, fajar mulai merekah. Tapi di dalam rumah itu, gelap yang lain masih bersemayam—gelap yang berasal dari masa lalu yang belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar