Senin, 28 April 2025

Bab 11-- Langkah Kecil di Tanah Baru

Luisa duduk perlahan di dipan dekat jendela. Ia melihat ke sekeliling: rak kayu kecil dengan buku-buku usang, lukisan lafaz Allah di dinding, dan saputangan bordir yang tergantung manis.
 Semua begitu sederhana… tapi terasa jauh lebih hangat daripada semua
kemewahan yang pernah ia miliki.

Setelah beberapa saat menikmati sarapannya, Luisa memutuskan untuk keluar rumah, berjalan pelan-pelan menyusuri jalan setapak berbatu. Pakaiannya sangat sederhana. Angin pagi membelai rambutnya, aroma basah tanah, dedaunan, dan bunga liar menguar di udara.

Beberapa remaja wanita berlari-larian di ladang sambil tertawa riang, menyalami Luisa dengan canggung namun penuh rasa ingin tahu.

"Punten, Teteh siapa?"
  tanya seorang remaja perempuan polos, sambil tersipu.

Luisa tersenyum kecil, membalas sapaan itu dengan lembut.
 "Saya tamunya Bu Rahmah..."

Para gadis remaja itu pun langsung menyahut

“Oh tamunya Kang Dinta ya?”

Luisa hanya mengangguk pelan sambil tersenyum ramah.

Gumam kekaguman terdengar dari anak-anak itu sebelum mereka berlari lagi sambil berbisik-bisik girang.

Dari kejauhan, beberapa warga mulai memperhatikan.
  Bu Umi, yang sedang menjemur pakaian, berbisik kepada tetangganya, Pak Karna, sambil melirik Luisa.

"Itu siapa ya, Pak Karna? Cantik pisan... bajunya sederhana tapi kelihatan beda..."
  bisik Bu Umi.

"Kayaknya bukan urang kampung sini," sahut Pak Karna sambil mengangguk penasaran.

“ Iya kayaknya bukan orang sini..” timpal Bu Umi

Saat Luisa mulai berjalan mendekati mereka, dengan ramah Bu Umi bertanya kepada Luisa

“Eneng teh siapa? Dari mana, mau kemana?”

Luisa tersenyum, lalu menjawab “ Maaf Bu, saya tinggal di rumah Bu Rahmah, Saya mau pergi ke arah sana,  ingin menikmati pemandangan di sini, Oh iya, perkenalkan nama saya Luisa”

Bu Umi tersenyum “ Oh, namanya Neng Euis..”

Luisa mengangguk sambil tersenyum, tidak keberatan namanya di panggil Euis.

Setelah berbasa basi sebentar, Luisa pun pamit melanjutkan jalan paginya.

Siang harinya, saat Bu Rahmah mampir ke warung Mak Ijah, pertanyaan tentang Luisa mulai mengalir dari ibu ibu yang kebetulan sedang belanja di sana.

"Bu Rahmah, itu yang tadi jalan-jalan pagi siapa, Bu?" tanya Mak Ijah sambil menata dagangannya.

"Oh, itu Neng Luisa," jawab Bu Rahmah sambil tersenyum ramah.
 "Cantik pisan, apakah calon istrinya Jang Dinta kah?” Bu Umi ikut menimpali.

Bu Rahmah tertawa “Bukan Ibu-ibu,  aduh ceritanya teh, bikin kasihan..”

Mak Ijah dan Ibu Ibu lainnya merasa heran dengan ucapan Bu rahmah

“Kasihan kenapa Bu Rahmah?”

Bu rahmah pun mulai bercerita tentang Luisa, yang dulu ditemukan di dasar Jurang di hutan oleh Abah Rohim dan Mak Sarmi, kemudian di bawa kerumahnya untuk di rawat oleh Dinta.

 

"Ya Allah, Alhamdulillah sekarang sudah sembuh ya. Kasihan. Orang baik mah pasti ketemu sama orang baik juga," timpal Mak Ijah sambil tersenyum lebar.

Cerita tentang Luisa menyebar cepat, tapi bukan dalam nada negatif.
  Warga kampung justru merasa bangga dan ramah, menyambut Luisa seperti keluarga sendiri.

Hari demi hari, keramahan itu semakin terasa.
  Kadang Mak Sarmi mengirimi Luisa pisang goreng hangat. Kadang Pak Karna mengajak Luisa memetik jambu di kebunnya. Kadang anak-anak kecil mengetuk pintu, hanya untuk mengajak Luisa bermain layangan di lapangan.

Dan Luisa...
  sedikit demi sedikit, mulai tersenyum lebih tulus.
  Di sudut kecil dunia yang sederhana ini, ia mulai belajar merasakan arti keluarga... tanpa syarat.

Di hatinya, perlahan, tumbuh rasa baru:
  seperti benih kecil yang diam-diam tumbuh dalam tanah subur—rasa damai, rasa diterima, rasa bahwa mungkin... hidup masih menyimpan harapan.

**

Malam itu, saat bulan menggantung penuh di langit, Luisa duduk di beranda rumah Bu Rahmah.
  Dinta pulang membawa cangkul di bahunya, pakaian lusuhnya terkena lumpur dan peluh.
  Mereka beradu pandang sebentar.
  Tak banyak kata, hanya senyuman kecil.

Tapi dalam hati Luisa, ada desir lembut.
  Seperti angin yang perlahan membuka pintu hatinya yang lama terkunci.

***

Hari-hari di kampung terus berlalu, membawa perubahan kecil namun bermakna dalam hidup Luisa.
  Kini, setiap sore, Luisa mulai tertarik mengikuti Dinta ke langgar kecil di ujung desa—sebuah bangunan sederhana berdinding papan, beratapkan seng yang mulai kus
am.

Di sana, ia melihat Dinta mengajar anak-anak mengaji.
  Anak-anak itu duduk bersila di atas tikar anyaman, memegang iqra atau Al-Qur'an lusuh dengan tangan-tangan kecil mereka.
  Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga sederhana, bahkan beberapa men
genakan pakaian yang sudah tampak tambal sulam. Tapi semangat mereka... memancar terang, mengalahkan segala kekurangan duniawi.

Luisa duduk diam di pojok langgar, menyaksikan semua dengan mata yang perlahan berkaca-kaca.
  Namun pandangannya terus tertarik pada satu anak—seorang bocah laki-laki berusia sekitar sembilan tahun, bertubuh kecil dengan mata berbinar.
  Namanya Udin.

Yang membuat Luisa terkesiap...
  Udin tidak memiliki kedua tangan.
  Dari bahu ke bawah, lengannya terhenti, kosong. Namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa minder atau sedih.
  Dengan cekatan, ia membolak-balik lembaran kitab menggunakan kakinya,
membaca huruf demi huruf dengan suara lantang dan penuh semangat.

Ketika teman-temannya sesekali kesulitan, Udin tak segan membantu—bukan dengan tangan, melainkan dengan semangat dan tawa yang tulus.
  Seolah-olah, keterbatasan fisiknya sama sekali tak pernah menjadi beban dalam hatinya.

Luisa menatap Udin lama sekali.
  Ada sesuatu yang menggumpal di dadanya—rasa haru, rasa kagum, rasa ingin melindungi.
  Ia bahkan harus menunduk, berpura-pura mengikat tali sandalnya, sekadar untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba menggenang.

***

Malam harinya, di rumah Bu Rahmah, saat suasana tenang dan hanya suara jangkrik yang menemani, Luisa akhirnya bertanya kepada Dinta.

"Kang Dinta..."
  suara Luisa pelan, hampir berbisik, seolah takut mengusik keheningan.

"Ya, Neng?" Dinta menjawab sambil memperbaiki senter tua yang sudah sering dipakai untuk ronda.

"Tadi di langgar... ada anak kecil yang... yang tidak punya tangan..." suara Luisa bergetar sedikit. "Namanya Udin, ya? Siapa dia? Bagaimana bisa dia... begitu ceria?"

Dinta tersenyum kecil, menaruh senter di pangkuannya.
  Ada sinar lembut di matanya saat menyebut nama Udin.

Dinta menatapnya, lalu mengangguk pelan.
  “Memang... Udin sering membuat orang terdiam.”

"Aku belum pernah bertemu anak seperti dia. Tidak punya tangan… tapi begitu ceria. Seolah hidupnya tak pernah kekurangan apa-apa…"
  Suara Luisa bergetar. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya.

Dinta mengangguk pelan, lalu mulai bercerita, dengan suara tenang namun menghujam:

"Udin ditinggal ayahnya sejak usia tiga tahun. Ayahnya meninggal karena kecelakaan waktu bekerja bangunan di kota. Ibunya... tak lama kemudian menikah lagi, lalu pergi. Udin dititipkan ke neneknya, Mak Teti. Sejak saat itu, dia nggak pernah ketemu lagi sama ibunya. Mak Teti, nenek yang membesarkannya, selalu bilang ke Udin: 'Tong sedih, tong kesel. Allah nu Maha Sempurna, moal salah nyiptakeun urang.’ maksudnya Neng, Jangan sedih, jangan capek, Allah itu Maha Sempurna, tidak mungkin salah saat menciptakan makhlukNya"

Luisa terdiam.
 Tangannya gemetar memegang cangkir teh. Ada rasa sesak yang sulit dijelaskan.

Dalam diam, hatinya belajar satu lagi pelajaran berharga di kampung ini:
 Bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari tubuh yang sempurna...
  tapi dari hati yang penuh syukur dan keberanian untuk terus melangkah, meski dengan segala keterbatasan.

"Dan yang paling menyakitkan," lanjut Dinta, suaranya makin lirih, "Ibunya tidak pernah kirim kabar, apalagi menengok. Tapi Udin… tak pernah mengeluh. Dia tetap sekolah. Tetap mengaji. Tetap tertawa."

"Makanya, Udin tumbuh jadi anak yang kuat, Neng," lanjut Dinta, suaranya rendah namun penuh rasa bangga. "Dia tahu tubuhnya beda, tapi hatinya... lebih kuat dari banyak orang dewasa yang pernah saya temui. Dia selalu berusaha. Belajar mengaji pakai kaki, makan pakai kaki, bahkan main bola sama teman-temannya, Neng... Hebat, ya?"

Luisa menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan haru.

 

Luisa tak sanggup berkata-kata. Air matanya perlahan menetes, menembus sunyi malam yang damai.

“Mak Tati, neneknya Udin, sering bilang ke saya,” Dinta menatap langit, “’Orang lain bisa saja punya segalanya, tapi belum tentu bahagia. Tapi Udin? Dia cuma punya satu hal: hati yang selalu bersyukur.’”

Luisa menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak, matanya basah.
  "Kenapa… kenapa aku selama ini justru sering merasa kurang… padahal aku punya banyak sekali?"

Dinta menoleh padanya, matanya lembut namun tajam.

"Neng, kadang kita terlalu sibuk menghitung kekurangan sampai lupa menghitung nikmat yang tak terhingga. Kita sibuk mencari di luar… padahal kebahagiaan itu tempatnya di sini,"
  Dinta menyentuh dadanya sendiri.

“Bahagia itu bukan soal punya apa, tapi soal mampu bersyukur atas apa pun yang Allah beri. Meski sedikit. Meski tak sempurna.”

Luisa menunduk. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.

“Dulu aku kira bahagia itu ada di rumah besar, mobil mewah, baju mahal… Tapi sore tadi, melihat Udin tertawa sambil mengaji dengan kakinya, aku sadar… betapa aku salah.”

Dinta tersenyum hangat.
  “Hidup itu anugerah, Neng. Setiap napas, setiap detik… bukan hak, tapi pemberian. Kalau kita mau jujur, sesungguhnya tak ada satu pun milik kita. Semua titipan.”

Luisa menatap Dinta, matanya basah namun bening.

“Jadi… mungkin aku harus mulai belajar… untuk mencintai hidup ini, bukan karena sempurna, tapi karena Tuhan telah memberiku kesempatan untuk menjalaninya.”

Dinta mengangguk, matanya bersinar.

“Itulah hakikat hidup, Neng. Bukan seberapa banyak yang kita punya… tapi seberapa dalam kita bisa bersyukur dan bersabar. Di situlah letak kemuliaan manusia.”

Malam itu, langit tetap sama. Bulan tetap bundar, bintang tetap bertabur.
  Tapi bagi Luisa, malam itu terasa berbeda.
  Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya.
  Seolah jiwanya… menemukan arah pulang.

 

Bersambung ke Bab 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 13 — Di Balik Bayang Gelap

Angin pegunungan meniup dedaunan kering di sudut-sudut jalan berbatu Desa Sukamukti. Jauh dari hiruk pikuk kota, beberapa pria asing berdiri...