Jaka Someh kini telah resmi menjadi
menantu dari pak Rohadi. Mau tidak mau sekarang Jaka Someh tinggal di rumahnya
pak Rohadi. Meskipun sesekali dia masih menyempatkan diri mengunjungi gubuk dan
ladangnya yang berada di lereng gunung halimun. Dia berusaha untuk tetap
memelihara harta peninggalan orang tuanya tersebut. Semakin hari, Pak Rohadi
merasa bertambah sayang terhadap Jaka Someh. Selain karena Jaka Someh memang
memiliki budi pekerti yang baik, dia juga seorang pemuda yang rajin dan
mandiri. Pak Rohadi pun banyak mempercayakan pengurusan kebunnya kepada Jaka
Someh. Jaka Someh di percaya untuk mengurusi kebun cengkeh dan kopi milik pak
Rohadi.
Jaka Someh merasa sayang terhadap Asih,
meskipun sikap Asih kepadanya masih selalu dingin. Apapun yang diinginkan oleh
Asih, Jaka Someh akan selalu berusaha menurutinya. Seakan-akan dia tidak rela
kalau Asih mengalami kesusahan. Awalnya Jaka someh memang menikahi Asih karena untuk
menghormati pak Rohadi. Namun seiring dengan waktu, perasaan sayangnya pun
mulai tumbuh. Sebagai seorang wanita, Asih tergolong wanita yang memiliki
penampilan yang menarik. Dia termasuk tipikal wanita yang suka bersolek dan
merasa senang apabila bisa di sanjung dan di layani oleh lelaki, sehingga
meskipun sudah menikah dengan Jaka someh, tetap saja dia masih suka apabila ada
lelaki yang mendekatinya.
Asih masih saja meremehkan Jaka Someh.
Dia menganggap Jaka someh adalah seorang yang udik, tidak keren, terlalu polos
dan tidak bisa menggombal, padahal Asih senang sekali apabila ada lelaki yang
menggombalinya, meskipun tahu bahwa itu adalah suatu kebohongan. Jaka Someh
sadar bahwa Asih sampai saat ini masih belum bisa menerima keberadaannya, namun
dia berusaha untuk bersabar. Cintanya sangat tulus terhadap Asih, yang sudah
menjadi istrinya.
Tanpa terasa sudah lima bulan Jaka Someh menjalani
pernikahan. Usia kandungan Asih sudah
menginjak usia 9 bulan lebih beberapa hari. Sebentar lagi dia akan melahirkan
bayinya. Hanya menunggu hitungan hari saja.
Ketika saat lahiran tiba, Asih merasakan
mulas yang sangat di perutnya. Bercak darah juga sudah keluar dari bagian
kewanitaannya. Rupanya dia sudah mengalami pembukaan 3.
Jaka Someh segera meminta bantuan mak
Inah, seorang dukun bayi yang tinggal di kampung Cikaret. Mak Inah pun segera
menangani prosses kelahiran bayi Asih. Jaka Someh juga ikut mendampingi Asih saat
proses lahiran itu berlangsung. Sedangkan pak Rohadi hanya menunggu di
luar kamar. Hatinya merasa was-was.
Mak Inah mulai menangani proses lahiran
bayi asih, sambil berkata
“ayo nyai...keluarkan nafasnya
pelan-pelan...sambil berusaha mendorong keluar si jabang bayi...”
Asih merasakan mulas yang luar biasa
sakitnya. Sedikit demi sedikit bayinya pun sudah mulai keluar.
“ayo nyai... kepala si jabang bayi sudah
mulai terlihat... sebentar lagi...ayo dorong yang kuat...tarik napas
pelan-pelan terus keluarkan dengan keras...ayo...tinggal sedikit lagi...” kata
mak Inah menyemangati.
“Buka pahanya lebih lebar lagi...nyai...terus
dorong...sekeras-kerasnya...ayo...ayo... si jabang bayi sudah keluar nyai...”
Dengan rasa sakit yang luar biasa,
akhirnya Asih melahirkan bayinya. Belum pernah dia merasalan rasa sakit yang
luar biasa seperti itu. Suara isak tangis bayi Asih langsung menggema di ruangan itu.
“Alhamdulillah bayinya
laki-laki...” kata
mak Inah.
Bayi Asih ternyata berkelamin laki laki,
wajahnya juga tampan seperti panji.
“bayinya laki-laki... Nyai...” kata Jaka Someh kepada Asih.
Asih hanya mampu melirik lemah kepada
bayinya. Ada perasaan lega dalam hatinya.
Pak Rohadi yang berada di luar kamar pun
merasa bahagia, karena masa kritisnya sudah lewat. Sekarang dia sudah menjadi seorang
kakek, karena baru saja memiliki cucu laki-laki yang tampan.
“Alhamdulillah…” kata pak Rohadi bahagia.
Bayi Asih di beri nama Jalu oleh pak
Rohadi, yang berarti laki-laki jantan.
Meskipun Jalu bukan anak kandung Jaka
Someh namun Jaka Someh tetap memberikan kasih sayang yang tulus kepada bayi
tersebut. Jaka Someh-lah yang memandikan dan menggendong Jalu. Bahkan dia juga
yang membersihkan kotoran Jalu.
Asih merasa berterima kasih kepada Jaka
Someh yang telah tulus mau menerima dan merawat bayinya itu.
Tanpa terasa, pernikahan Jaka Someh sudah
berjalan dua tahun setengah lebih. Jalu juga sudah pandai mengucapkan beberapa
kata-kata seperti kata “pak”, “bu”, “mamam” dan kata-kata pendek lainnya.
Anak itu ternyata sangat aktip dan banyak
tingkahnya. Jaka Someh sangat menyayanginya, meskipun sadar kalau Jalu bukan anak
kandungnya. Tingkah laku Jalu yang menggemaskan membuat Jaka Someh merasa
terhibur.
Pernah suatu ketika, Jaka Someh membuat
minuman bandrek dengan air panas. Bandrek tersebut memiliki jahe yang super
sehingga rasanya pun terasa pedas. Karena masih panas, Jaka Someh mengangin-anginkannya
di atas meja ruang tengah. Ketika panasnya sudah mulai berkurang, tiba-tiba Jalu
mendekat ke meja itu. Dia segera memegang gelas bandrek itu dan langsung
meminumnya. Jaka Someh berkata
“Jalu...jangan...taruh lagi minumannya
nak...”
Tanpa menghiraukan peringatan Jaka Someh.
Jalu tetap meminumnya sampai setengah gelas, sisanya dia simpan kembali di atas
meja.
Jalu terdiam beberapa saat, seperti
sedang menikmati manisnya gula bandrek yang baru saja dia minum. Melongo
beberapa saat, namun akhirnya dia berteriak keras, menangis karena merasakan
pedasnya Jahe bandrek
“Huaaa.hua...pa...na...nanasss...”
Jaka Someh yang melihat Jalu menangis
kencang, menjadi panik. Wajah Jalu ternyata berubah menjadi merah. Tanpa
panjang lebar, Jaka Someh segera berlari
mencari segelas air putih di dapur. Kemudian memberikannya ke Jalu.
Jalu pun meminum air tersebut sampai
habis. Setelah itu tangisannya berangsur angsur mereda. Bahkan mukanya juga
sudah kembali normal. Beberapa saat kemudian, tangisannya sudah benar-benar
berhenti.
Setelah istirahat sejenak, Jalu kembali mendekati
meja itu lagi, kemudian mengambil gelas
bandrek, tapa fikir panjang, Jalu kembali meminum air bandrek lagi. “Huh...huh...pa...nanas...” Katanya
sambil mengibaskan tangannya di depan mulutnya.
Namun kali itu dia tidak menangis.
Melihat tingkah laku Jalu yang bandel dan
tidak pernah merasa kapok, Jaka Someh tertawa
“Wah jalu kamu mah benar-benar
bandel...tidak ada kapoknya...ha...ha...”.
Begitulah hari hari yang dilalui Jaka
Someh saat itu. Setiap hari dia sibuk
merawat Jalu. Mulai dari memandikan, menyuapi makan, menemani bermain,
mengajari berjalan, mengajari berbicara, mencebokinya, bahkan menemaninya
tidur.
Jaka Someh juga sering menggendong Jalu dan membawanya kemana dia
pergi. Jaka Someh benar-benar menyayangi Jalu sepenuh hati.
Selain mengurus Jalu, Jaka Someh
juga sibuk melayani Asih, serta merawat kebun kopi dan cengkeh milik
mertuanya. Semuanya itu, dia jalani dengan hati yang penuh keikhlasan.
Pagi itu di bulan Juli, Jaka Someh
bersama pak Rohadi dari semenjak pagi sudah berangkat ke kebun cengkehnya.
Sudah hampir 3 bulan ini Jaka Someh dan pak Rohadi memanen tanaman cengkeh
milik mereka.
Dengan menggunakan keranjang yang terbuat
dari anyaman bambu, mereka mulai memetiki bunga cengkeh dari pohon-pohonnya.
Pada panen ini, mereka memperoleh hasil yang lumayan banyak, kurang lebih
sekitar satu sampai satu setengah ton cengkeh. Setelah hasil panennya
terkumpul, Jaka Someh pun mulai sibuk dengan pasca panennya.
Mulai dari pengeraman di dalam
karung-karung selama 1 hari 1 malam, kemudian proses penjemuran yang dilakukan di
pekarangan rumah pak Rohadi selama hampir semingguan. Setelah selesai dengan
proses penjemuran, Jaka Someh segera menyimpan hasilnya di dalam karung-karung
yang telah di siapkan sebelumnya.
Rencananya dua hari kemudian dia akan
menjualnya ke kota, di daerah Pelabuhan Ratu di wilayah sukabumi. Katanya di
sana banyak tauke yang siap membelinya.
Pak Rohadi berkata kepada Jaka Someh
“Bagaimana jang, apakah besok pagi sudah
siap berangkat ke Pelabuhan Ratu? biasanya bapak menjual cengkehnya ke babah
Along, tapi terserah ujang barangkali mau menjual ke toko selain babah Along juga tidak apa-apa.”
Jaka Someh menjawab
“Iya pak Insya Allah siap, nanti setelah
sampai di kota, saya coba cari-cari informasi dahulu ya pak, barangkali ada
harga yang lebih baik di banding tokonya babah along...”
Pak Rohadi senang mendengar ucapan Jaka
Someh, sambil tersenyum, pak Rohadi berkata
“Ya sudah kalau begitu...bapak ikut saja
dengan apa kata kamu...”.
Keesokan paginya, Jaka Someh sudah
bersiap untuk berangkat ke Pelabuhan Ratu, sedangkan Asih masih berada di dalam
kamarnya. Meskipun Jaka Someh dan Asih sudah resmi menjadi suami istri dan
tidur dalam satu kamar namun mereka sebenarnya belum pernah melakukan hubungan
intim layaknya suami istri. Hal itu karena Jaka Someh tidak ingin memaksakan kehendaknya,
dia sadar dengan perasaan Asih yang masih belum bisa menerima
keberadaannya.
Perasaan Asih terhadap Jaka Someh masih
tetap dingin. Asih memang punya perasaan simpati kepada Jaka someh, itu pun
karena sikap Jaka Someh yang telah begitu baik kepada keluarganya. Namun
hatinya masih saja tetap mencintai Panji yang dahulu menjadi kekasihnya. Entah
kenapa, begitu susah bagi Asih melupakan kekasihnya itu, meskipun sudah
tersakiti oleh Panji.
Asih sendiri sebenarnya bukan tidak ada
nafsu kepada Jaka Someh, demikian juga sebaliknya. Pernah suatu malam Asih
sengaja menyibakan kainnya sehingga terlihat bagian betisnya yang putih, dia
juga sedikit membuka kancing atas bajunya sehingga buah dadanya menjadi
kelihatan, lalu Asih pun pura-pura tidur terlentang untuk memamerkan kemolekan
tubuhnya. Asih sengaja berbuat seperti itu memang untuk menggoda Jaka
Someh.
Ketika Jaka Someh masuk ke kamarnya, dia
langsung melihat pemandangan yang membangkitkan syahwatnya. Jaka Someh terdiam
sambil berdiri memandangi tubuh Asih. Pikirannya pun mulai dipenuhi dengan
gairah percintaan. Tanpa sadar Jaka Someh mendekati Asih. Ingin rasanya dia bermesraan
dengan istrinya tersebut. Ketika tangannya hendak memegang Asih, tiba-tiba dia
ingat dengan ucapannya Asih di waktu malam pertama pernikahannya, Asih pernah
berkata seperti ini
“ Kang Someh, saya berterima kasih kepada
akang yang telah bersedia menikahi saya, saya tahu akang menikahi saya karena
terpaksa, hanya untuk menghormati bapak..saya pun demikian..saya terpaksa
menikah dengan akang karena saat ini tidak ada pilihan lain..mohon akang jangan
punya pikiran macam-macam terhadap saya..karena sebenarnya cinta saya cuma buat
kang panji..”.
Waktu itu Jaka Someh juga sempat
menyakinkan Asih, bahwa dia tidak akan berbuat macam-macam dengan Asih
“Nyai tidak perlu khawatir...akang tidak
akan berbuat macam-macam terhadap Nyai…akang berjanjii...”.
Ingat dengan janjinya pada Asih waktu itu,
nafsu Jaka Someh pun mereda. Dia segera mengambil kain dan menyelimutkannya ke
tubuh Asih. Asih merasa kecewa dengan sikap Jaka Someh yang mengurungkan niat
untuk bermesraan dengannya waktu itu.
Beberapa hari yang lalu ketika Jaka Someh
dan pak Rohadi sedang di ladang untuk memanen cengkeh, Panji datang ke rumah
Asih. Selama ini Panji ternyata merantau ke daerah Sunda Kalapa untuk ikut
berdagang dengan pamannya. Setelah di usir oleh ayahnya waktu ketahuan mencuri
uang ayahnya.
Setelah hampir 2 tahun barulah dia berani
pulang ke kampung Cikaret. Dia tahu kalau Asih sekarang sudah menikah. Awalnya
dia marah kepada Asih yang dianggap telah menghianati cintanya. Namun setelah
dia mengetahui kondisi sebenarnya tentang Asih, yang waktu itu sedang hamil
karena perbuatannya, dia pun sedikit memaklumi dengan pernikahan Asih.
Panji kemudian bertekad untuk
mengembalikan Asih dalam pelukannya lagi. Dia tidak sudi kalau Asih dinikahi
oleh Jaka Someh.
Makanya sudah seminggu lebih dia
memata-matai rumah Asih. Begitu dia tahu Jaka Someh dan pak Rohadi sedang
pergi ke ladang, dia segera mendatangi rumah Asih. Awalnya Asih menolak
dan marah kepada Panji, namun karena bujuk rayu Panji yang lihay, akhirnya Asih
pun kembali luluh menerima Panji masuk ke dalam rumahnya.
“Duh...Nyai...akang teh benar-benar minta
maap...tidak ada maksud sengaja meninggalkan Nyai...akang tidak tahu kalau kamu
sedang mengandung anak akang, waktu itu...coba kalau saja akang tahu...”
Belum selesai Panji ngomong, Asih sudah
memotongnya
“sudahlah kang...gak usah di
ungkit-ungkit lagi peristiwa yang dulu mah...”.
Panji pun tidak jadi melanjutkan
ucapannya. Dia hanya menatap wajah Nyi Asih dengan penuh kerinduan. Ada rasa aneh
yang mulai menguasai hati Asih. Rasa yang penuh ketegangan namun begitu
menyenangkan karena mendapatkan tatapan dari mantan kekasihnya.
Hatinya menjadi luluh dalam nafsu setani
yang sekarang sudah mulai merasukinya. Setelah melepaskan rasa canggungnya
dengan obrolan basa basi, mereka pun akhirnya asyik bernostalgia di rumah Asih
sampai hari menjelang sore, sebelum Jaka Someh dan pak Rohadi kembali dari
ladangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar