Selasa, 20 Februari 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 11. Keluarga Kecil


Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang


Jaka Someh kini telah resmi menjadi menantu dari pak Rohadi. Mau tidak mau sekarang Jaka Someh tinggal di rumahnya pak Rohadi. Meskipun sesekali dia masih menyempatkan diri mengunjungi gubuk dan ladangnya yang berada di lereng gunung halimun. Dia berusaha untuk tetap memelihara harta peninggalan orang tuanya tersebut. Semakin hari, Pak Rohadi merasa bertambah sayang terhadap Jaka Someh. Selain karena Jaka Someh memang memiliki budi pekerti yang baik, dia juga seorang pemuda yang rajin dan mandiri. Pak Rohadi pun banyak mempercayakan pengurusan kebunnya kepada Jaka Someh. Jaka Someh di percaya untuk mengurusi kebun cengkeh dan kopi milik pak Rohadi.
Jaka Someh merasa sayang terhadap Asih, meskipun sikap Asih kepadanya masih selalu dingin. Apapun yang diinginkan oleh Asih, Jaka Someh akan selalu berusaha menurutinya. Seakan-akan dia tidak rela kalau Asih mengalami kesusahan. Awalnya Jaka someh memang menikahi Asih karena untuk menghormati pak Rohadi. Namun seiring dengan waktu, perasaan sayangnya pun mulai tumbuh. Sebagai seorang wanita, Asih tergolong wanita yang memiliki penampilan yang menarik. Dia termasuk tipikal wanita yang suka bersolek dan merasa senang apabila bisa di sanjung dan di layani oleh lelaki, sehingga meskipun sudah menikah dengan Jaka someh, tetap saja dia masih suka apabila ada lelaki yang mendekatinya.
Asih masih saja meremehkan Jaka Someh. Dia menganggap Jaka someh adalah seorang yang udik, tidak keren, terlalu polos dan tidak bisa menggombal, padahal Asih senang sekali apabila ada lelaki yang menggombalinya, meskipun tahu bahwa itu adalah suatu kebohongan. Jaka Someh sadar bahwa Asih sampai saat ini masih belum bisa menerima keberadaannya, namun dia berusaha untuk bersabar. Cintanya sangat tulus terhadap Asih, yang sudah menjadi istrinya.
Tanpa terasa sudah lima bulan Jaka Someh menjalani pernikahan. Usia kandungan Asih  sudah menginjak usia 9 bulan lebih beberapa hari. Sebentar lagi dia akan melahirkan bayinya. Hanya menunggu hitungan hari saja.
Ketika saat lahiran tiba, Asih merasakan mulas yang sangat di perutnya. Bercak darah juga sudah keluar dari bagian kewanitaannya. Rupanya dia sudah mengalami pembukaan 3.
Jaka Someh segera meminta bantuan mak Inah, seorang dukun bayi yang tinggal di kampung Cikaret. Mak Inah pun segera menangani prosses kelahiran bayi Asih. Jaka Someh juga ikut mendampingi Asih saat proses lahiran itu berlangsung.  Sedangkan pak Rohadi hanya menunggu di luar kamar. Hatinya merasa was-was.
Mak Inah mulai menangani proses lahiran bayi asih, sambil berkata
“ayo nyai...keluarkan nafasnya pelan-pelan...sambil berusaha mendorong keluar si jabang bayi...” 
Asih merasakan mulas yang luar biasa sakitnya. Sedikit demi sedikit bayinya pun sudah mulai keluar.
“ayo nyai... kepala si jabang bayi sudah mulai terlihat... sebentar lagi...ayo dorong yang kuat...tarik napas pelan-pelan terus keluarkan dengan keras...ayo...tinggal sedikit lagi...” kata mak Inah menyemangati. 
“Buka pahanya lebih lebar lagi...nyai...terus dorong...sekeras-kerasnya...ayo...ayo... si jabang bayi sudah keluar nyai...” 
Dengan rasa sakit yang luar biasa, akhirnya Asih melahirkan bayinya. Belum pernah dia merasalan rasa sakit yang luar biasa seperti itu. Suara isak tangis bayi Asih  langsung menggema di ruangan itu. 
“Alhamdulillah bayinya laki-laki...” kata mak Inah.
Bayi Asih ternyata berkelamin laki laki, wajahnya juga tampan seperti panji.    
“bayinya laki-laki... Nyai...” kata Jaka Someh kepada Asih.
Asih hanya mampu melirik lemah kepada bayinya. Ada perasaan lega dalam hatinya.
Pak Rohadi yang berada di luar kamar pun merasa bahagia, karena masa kritisnya sudah lewat. Sekarang dia sudah menjadi seorang kakek, karena baru saja memiliki cucu laki-laki yang tampan. 
“Alhamdulillah…” kata pak Rohadi bahagia.
Bayi Asih di beri nama Jalu oleh pak Rohadi, yang berarti laki-laki jantan.
Meskipun Jalu bukan anak kandung Jaka Someh namun Jaka Someh tetap memberikan kasih sayang yang tulus kepada bayi tersebut. Jaka Someh-lah yang memandikan dan menggendong Jalu. Bahkan dia juga yang membersihkan kotoran Jalu.
Asih merasa berterima kasih kepada Jaka Someh yang telah tulus mau menerima dan merawat bayinya itu. 
Tanpa terasa, pernikahan Jaka Someh sudah berjalan dua tahun setengah lebih. Jalu juga sudah pandai mengucapkan beberapa kata-kata seperti kata “pak”, “bu”, “mamam” dan kata-kata pendek lainnya.
Anak itu ternyata sangat aktip dan banyak tingkahnya. Jaka Someh sangat menyayanginya, meskipun sadar kalau Jalu bukan anak kandungnya. Tingkah laku Jalu yang menggemaskan membuat Jaka Someh merasa terhibur.
Pernah suatu ketika, Jaka Someh membuat minuman bandrek dengan air panas. Bandrek tersebut memiliki jahe yang super sehingga rasanya pun terasa pedas. Karena masih panas, Jaka Someh mengangin-anginkannya di atas meja ruang tengah. Ketika panasnya sudah mulai berkurang, tiba-tiba Jalu mendekat ke meja itu. Dia segera memegang gelas bandrek itu dan langsung meminumnya. Jaka Someh berkata
“Jalu...jangan...taruh lagi minumannya nak...” 
Tanpa menghiraukan peringatan Jaka Someh. Jalu tetap meminumnya sampai setengah gelas, sisanya dia simpan kembali di atas meja.
Jalu terdiam beberapa saat, seperti sedang menikmati manisnya gula bandrek yang baru saja dia minum. Melongo beberapa saat, namun akhirnya dia berteriak keras, menangis karena merasakan pedasnya Jahe bandrek 
“Huaaa.hua...pa...na...nanasss...” 
Jaka Someh yang melihat Jalu menangis kencang, menjadi panik. Wajah Jalu ternyata berubah menjadi merah. Tanpa panjang lebar, Jaka Someh segera berlari  mencari segelas air putih di dapur. Kemudian memberikannya ke Jalu.
Jalu pun meminum air tersebut sampai habis. Setelah itu tangisannya berangsur angsur mereda. Bahkan mukanya juga sudah kembali normal. Beberapa saat kemudian, tangisannya sudah benar-benar berhenti.
Setelah istirahat sejenak, Jalu kembali mendekati meja itu lagi, kemudian  mengambil gelas bandrek, tapa fikir panjang, Jalu kembali meminum air bandrek lagi. “Huh...huh...pa...nanas...” Katanya sambil mengibaskan tangannya di depan mulutnya.
Namun kali itu dia tidak menangis.
Melihat tingkah laku Jalu yang bandel dan tidak pernah merasa kapok, Jaka Someh tertawa
“Wah jalu kamu mah benar-benar bandel...tidak ada kapoknya...ha...ha...”. 
Begitulah hari hari yang dilalui Jaka Someh saat itu. Setiap hari dia  sibuk merawat Jalu. Mulai dari memandikan, menyuapi makan, menemani bermain, mengajari berjalan, mengajari berbicara, mencebokinya, bahkan menemaninya tidur.
Jaka Someh juga sering  menggendong Jalu dan membawanya kemana dia pergi. Jaka Someh benar-benar menyayangi Jalu sepenuh hati.
Selain mengurus Jalu,  Jaka Someh juga sibuk  melayani Asih, serta merawat kebun kopi dan cengkeh milik mertuanya. Semuanya itu, dia jalani dengan hati yang penuh keikhlasan.
Pagi itu di bulan Juli, Jaka Someh bersama pak Rohadi dari semenjak pagi sudah berangkat ke kebun cengkehnya. Sudah hampir 3 bulan ini Jaka Someh dan pak Rohadi memanen tanaman cengkeh milik mereka.
Dengan menggunakan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, mereka mulai memetiki bunga cengkeh dari pohon-pohonnya. Pada panen ini, mereka memperoleh hasil yang lumayan banyak, kurang lebih sekitar satu sampai satu setengah ton cengkeh.  Setelah hasil panennya terkumpul, Jaka Someh pun mulai sibuk dengan pasca panennya.
Mulai dari pengeraman di dalam karung-karung selama 1 hari 1 malam, kemudian proses penjemuran yang dilakukan di pekarangan rumah pak Rohadi selama hampir semingguan. Setelah selesai dengan proses penjemuran, Jaka Someh segera menyimpan hasilnya di dalam karung-karung yang telah di siapkan sebelumnya.
Rencananya dua hari kemudian dia akan menjualnya ke kota, di daerah Pelabuhan Ratu di wilayah sukabumi. Katanya di sana banyak tauke yang siap membelinya.
Pak Rohadi berkata kepada Jaka Someh
“Bagaimana jang, apakah besok pagi sudah siap berangkat ke Pelabuhan Ratu? biasanya bapak menjual cengkehnya ke babah Along, tapi terserah ujang barangkali mau menjual ke toko selain babah Along  juga tidak apa-apa.” 
Jaka Someh menjawab
“Iya pak Insya Allah siap, nanti setelah sampai di kota, saya coba cari-cari informasi dahulu ya pak, barangkali ada harga yang lebih baik di banding tokonya babah along...” 
Pak Rohadi senang mendengar ucapan Jaka Someh, sambil tersenyum, pak Rohadi berkata
“Ya sudah kalau begitu...bapak ikut saja dengan apa kata kamu...”.
Keesokan paginya, Jaka Someh sudah bersiap untuk berangkat ke Pelabuhan Ratu, sedangkan Asih masih berada di dalam kamarnya. Meskipun Jaka Someh dan Asih sudah resmi menjadi suami istri dan tidur dalam satu kamar namun mereka sebenarnya belum pernah melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Hal itu karena Jaka Someh tidak ingin memaksakan kehendaknya, dia sadar dengan perasaan Asih yang masih belum bisa menerima keberadaannya. 
Perasaan Asih terhadap Jaka Someh masih tetap dingin. Asih memang punya perasaan simpati kepada Jaka someh, itu pun karena sikap Jaka Someh yang telah begitu baik kepada keluarganya. Namun hatinya masih saja tetap mencintai Panji yang dahulu menjadi kekasihnya. Entah kenapa, begitu susah bagi Asih melupakan kekasihnya itu, meskipun sudah tersakiti oleh Panji.
Asih sendiri sebenarnya bukan tidak ada nafsu kepada Jaka Someh, demikian juga sebaliknya. Pernah suatu malam Asih sengaja menyibakan kainnya sehingga terlihat bagian betisnya yang putih, dia juga sedikit membuka kancing atas bajunya sehingga buah dadanya menjadi kelihatan, lalu Asih pun pura-pura tidur terlentang untuk memamerkan kemolekan tubuhnya. Asih sengaja berbuat seperti itu memang untuk menggoda Jaka Someh. 
Ketika Jaka Someh masuk ke kamarnya, dia langsung melihat pemandangan yang membangkitkan syahwatnya. Jaka Someh terdiam sambil berdiri memandangi tubuh Asih. Pikirannya pun mulai dipenuhi dengan gairah percintaan. Tanpa sadar Jaka Someh mendekati Asih. Ingin rasanya dia bermesraan dengan istrinya tersebut. Ketika tangannya hendak memegang Asih, tiba-tiba dia ingat dengan ucapannya Asih di waktu malam pertama pernikahannya, Asih pernah berkata seperti ini 
“ Kang Someh, saya berterima kasih kepada akang yang telah bersedia menikahi saya, saya tahu akang menikahi saya karena terpaksa, hanya untuk menghormati bapak..saya pun demikian..saya terpaksa menikah dengan akang karena saat ini tidak ada pilihan lain..mohon akang jangan punya pikiran macam-macam terhadap saya..karena sebenarnya cinta saya cuma buat kang panji..”
Waktu itu Jaka Someh juga sempat menyakinkan Asih, bahwa dia tidak akan berbuat macam-macam dengan Asih 
“Nyai tidak perlu khawatir...akang tidak akan berbuat macam-macam terhadap Nyai…akang berjanjii...”. 
Ingat dengan janjinya pada Asih waktu itu, nafsu Jaka Someh pun mereda. Dia segera mengambil kain dan menyelimutkannya ke tubuh Asih. Asih merasa kecewa dengan sikap Jaka Someh yang mengurungkan niat untuk bermesraan dengannya waktu itu.
Beberapa hari yang lalu ketika Jaka Someh dan pak Rohadi sedang di ladang untuk memanen cengkeh, Panji datang ke rumah Asih. Selama ini Panji ternyata merantau ke daerah Sunda Kalapa untuk ikut berdagang dengan pamannya. Setelah di usir oleh ayahnya waktu ketahuan mencuri uang ayahnya.
Setelah hampir 2 tahun barulah dia berani pulang ke kampung Cikaret. Dia tahu kalau Asih sekarang sudah menikah. Awalnya dia marah kepada Asih yang dianggap telah menghianati cintanya. Namun setelah dia mengetahui kondisi sebenarnya tentang Asih, yang waktu itu sedang hamil karena perbuatannya, dia pun sedikit memaklumi dengan pernikahan Asih.
Panji kemudian bertekad untuk mengembalikan Asih dalam pelukannya lagi. Dia tidak sudi kalau Asih dinikahi oleh Jaka Someh.
Makanya sudah seminggu lebih dia memata-matai rumah Asih. Begitu dia tahu  Jaka Someh dan pak Rohadi sedang pergi ke ladang, dia segera mendatangi rumah Asih.  Awalnya Asih menolak dan marah kepada Panji, namun karena bujuk rayu Panji yang lihay, akhirnya Asih pun kembali luluh menerima Panji masuk ke dalam rumahnya.
“Duh...Nyai...akang teh benar-benar minta maap...tidak ada maksud sengaja meninggalkan Nyai...akang tidak tahu kalau kamu sedang mengandung anak akang, waktu itu...coba kalau saja akang tahu...”
Belum selesai Panji ngomong, Asih sudah memotongnya
“sudahlah kang...gak usah di ungkit-ungkit lagi peristiwa yang dulu mah...”.
Panji pun tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia hanya menatap wajah Nyi Asih dengan penuh kerinduan. Ada rasa aneh yang mulai menguasai hati Asih. Rasa yang penuh ketegangan namun begitu menyenangkan karena mendapatkan tatapan dari mantan kekasihnya.
Hatinya menjadi luluh dalam nafsu setani yang sekarang sudah mulai merasukinya. Setelah melepaskan rasa canggungnya dengan obrolan basa basi, mereka pun akhirnya asyik bernostalgia di rumah Asih sampai hari menjelang sore, sebelum Jaka Someh dan pak Rohadi kembali dari ladangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...