Rabu, 14 Februari 2018

Cerita Novel "Sang Pendekar" Bab 7. Mencintai Alam


Novel Ksatria Ilalang


Hari itu, Jaka Someh sedang berada di tengah hutan untuk mencari kayu bakar, tiba-tiba terdengar suara keributan dari arah barat hutan. Dia heran dengan suara keributan tersebut. Jaka Someh pun mencoba mencari tahu tentang hal tersebut. Dia pun segera memanjat ke atas pohon untuk menyelidikinya. Dari atas pohon yang tinggi, jaka someh melihat banyak hewan-hewan yang  sedang panik berlarian. Dia melihat banyak burung berterbangan tak tentu arah, monyet-monyet juga berhamburan, berlompatan ke sana kemari. Mereka panik karena hutan tempat tinggal mereka sedang mengalami kebakaran hebat.

Jaka Someh merasa penasaran bagaimana hutan itu bisa terbakar. Dengan mengikuti instingnya dia pun  berlompatan dari satu dahan pohon ke pepohonan lainnya untuk  mencari asal api yang membakar hutan tersebut. Jaka Someh terkejut ketika melihat ada beberapa lelaki yang sedang membakar beberapa pohon. Rupanya mereka lah yng menyebabkan hutan mengalami kebakaran hebat.

Jaka Someh merasa heran oleh perbuatan mereka, yang tega membakar hutan secara membabi buta. Apakah mereka tidak berpikir bahwa tindakan mereka itu telah merusak kelestarian hutan dan segala isinya. Padahal banyak makhluk yang menggantungkan hidupnya pada kelestarian hutan, termasuk juga manusia. 

Jaka Someh mendekati mereka, kemudian melompat dari atas pohon mendarat mulus di tanah. Dia pun  berjalan mendekati mereka. Jaka Someh berkata kepada mereka,

“Permisi Akang, Mamang, apa yang kalian sedang lakukan? kenapa Kalian semua membakar hutan ini...?”.

Para warga yang baru menyadari kedatangan Jaka Someh yang tiba-tiba menjadi terperanjat. Mereka mengamati Jaka Someh dengan seksama dari mulai ujung kaki sampai ujung kepala. Dalam hati, mereka bertanya-tanya apakah Jaka Someh ini seorang manusia seperti mereka ataukah bangsa siluman yang menghuni hutan ini

“Kamu siapa...?”

Kata salah satu dari mereka dengan sedikit gugup.

Jaka Someh pun menjawab

“Punteun Kang, saya Jaka Someh, saya tinggal di lereng gunung halimun ini, Mohon maap kenapa akang sekalian membakar hutan ini? Memangnya hutan ini salah apa kepada akang semua?”.

Mendengar Jaka Someh berbicara dengan sopan, mereka pun mulai yakin kalau jaka Someh memang manusia biasa seperti mereka. Mereka menjawab pertanyaan Jaka someh

“kami mau membuka lahan untuk  perkebunan, jang…!!!”. 

Mendengar jawaban para warga itu, Jaka Someh merasa kesal dengan alasan mereka yang tega membakar hutan

“Maap  Kang, kalau mau membuka lahan kebun, kenapa harus dengan cara membakar hutan sagala ? Bukankah cukup dengan menebangi pohon-pohon seperlunya saja...kalau dengan cara akang seperti ini, bisa-bisa semua hutan kita jadi hilang semua  kang,  punten…kang, apakah akang sekalian tidak tahu bahwa perbuatan akang semua ini telah merusak kelestarian alam ..? “. 

Mendengar perkataan Jaka Someh yang dianggap menggurui, mereka jadi tersinggung. Salah satu dari mereka pun langsung mencemooh Jaka Someh.

”Aah kamu ini sok tahu...banyak bacot…baru bocah kemarin sore saja sudah belagu…sok keminter...dasar bocah ingusan, memangnya kamu tidak tahu...ini  cara yang paling cepat dan gampang...untuk membuka lahan perkebunan.. kalau hutannya habis karena terbakar...yaa bagus lah…memang itu tujuan kita... tak perlu repot-repot untuk mengeluarkan tenaga menebangi pohon, apalagi pohonnya besar-besar seperti itu...hah buang waktu dan tenaga saja...sudahlah kamu jangan ikut campur dengan urusan kami...sekarang kamu pergi saja sana...bikin emosi saja...”.

 Jaka Someh merasa mangkel mendengar perkataan kasar orang itu. Saat Jaka someh mau menimpali ucapan lelaki itu, tiba-tiba ada warga lainnya yang ikut mencemooh Jaka Someh

“Sudah...sudah kamu jangan ikut campur urusan kami...pergi sana...! Bocah ingusan saja sok tahu...ikut campur urusan orang tua saja...ayo pergi sana...!”

Mendengar hujatan dan cemoohan mereka, Jaka someh hanya mampu diam. Dia bingung apakah pergi meninggalkan tempat tersebut ataukah tetap bertahan. Jaka Someh sendiri sebenarnya tidak suka dengan keributan, namun dia tidak rela kalau hutan yang dia sayangi harus terbakar habis oleh perbuatan bodoh mereka.  Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia memutuskan untuk tetap tinggal di situ meski hatinya merasa mangkel. Melihat Jaka someh tidak mau pergi, salah satu dari mereka menjadi sangat emosi. Tanpa banyak bicara, dia langsung melayangkan tinjunya ke arah Jaka Someh. Prak…pukulan itu pun mengenai wajah Jaka Someh. Jaka Someh terkejut bukan kepalang karena tidak menduga bakal di pukul oleh lelaki itu. Dia melihat tajam ke arah lelaki yang memukulnya sambil berkata

“Akang…kenapa akang memukul saya…?”

Lelaki itu hanya diam sambil meringis memegangi tangannya.  Jaka someh merasa heran karena dia tidak merasakan sakit sedikitpun meski di pukul keras oleh lelaki itu. Justru lelaki itu terlihat meringis, sambil memegangi tangannya yang tadi digunakan untuk memukul. Tangannya terasa sakit luar biasa seperti habis memukul batu yang keras. Lelaki itu tak menyangka kalau tubuh Jaka Someh bisa keras bagaikan batu karang.

Jaka Someh berkata dalam hati,

Hey…saya koq tidak merasa sakit…apakah ini pengaruh dari latihan yang telah saya lakukan selama ini…badan saya jadi kuat begini...he...he...”

Melihat temannya kesakitan setelah memukul Jaka someh, warga lainnya menjadi terpancing emosinya.  Mereka langsung menyerang Jaka Someh secara bersama-sama. Salah satunya langsung mengayunkan golok ke arah Jaka someh. Namun karena sudah siap, Jaka Someh langsung menepis pergelangan tangan orang itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya langsung mendorong dada lelaki itu.

Meskipun terlihat pelan, namun orang itu langsung terpelanting keras ke arah belakang, brakkk…terkapar di tanah. Jaka someh semakin terkejut, ternyata dorongannya mampu merobohkan orang yang menyerangnya tadi. Padahal dalam hati tidak ada sedikitpun niat untuk merobohkan lawannya. Jaka Someh tidak menyangka kalau dirinya bisa sekuat itu. Warga lainnya yang melihat kemampuan Jaka someh seperti itu, langsung menjadi ciut nyalinya. Mereka tidak menyangka akan kehebatan Jaka someh. Tiba-tiba mereka langsung berlutut di tanah sambil mengiba meminta ampun kepada Jaka Someh

“Ampun…kang…ampun…kami minta maaf…jangan bunuh kami…iya kami akan menghentikan perbuatan kami…sekarang kami bersedia untuk pergi meninggalkan tempat ini…”

Mendengar ratapan mereka, Jaka someh justru merasa lucu. Dia tidak menyangka kalau para warga menjadi begitu takut kepadanya

“Oke…kang…baik…kali ini saya akan maafkan, sekarang semuanya harap tinggalkan tempat ini…jangan sekali-kali lagi berani membakar hutan ini lagi…”

Dengan sigap mereka pergi meninggalkan tempat itu karena takut kepada Jaka Someh. Jaka someh hanya memandangi kepergian mereka. Tiba-tiba dia tersadar, apinya sekarang menjadi semakin membesar. Dia panik melihat api yang terus membesar,  membakar  hutan dan segala isinya. Hawa panas terasa menyengat pada kulitnya. Dalam keadaan bingung, Jaka Someh bergumam sendirian

“Duh celaka, bagaimana cara saya menghentikan kebakaran ini…api nya sudah begitu besar…”

Jaka Someh terus berpikir bagaimana cara untuk menghentikan kebakaran itu agar tidak bertambah meluas ke seluruh hutan. Dia bergumam dalam hati

“Masa saya harus diam saja tanpa melakukan tindakan apa-apa...ayo berpikir  Someh...pikir...bagaimana cara menghentikan kebakaran ini...”

Tiba-tiba dia berteriak untuk menyemangati dirinya dengan berkata keras

“Man jada wa jadda...”

Barang siapa bersungguh-sungguh dengan usahanya maka Tuhan akan memberinya jalan keberhasilan.  Jaka Someh berlarian sambil mengamati keadaan disekitarnya. Dia bingung harus berbuat apa untuk menghentikan kebakaran tersebut. Namun dia bertekad kuat untuk menghentikan api yang sudah berkobar membakar hutan. Tiba-tiba dilihatnya seperti ada bekas parit yang sudah mengering. Karena sudah tidak ada airnya, bekas parit itu pun di tumbuhi banyak tanaman. Setelah di periksa, ternyata bekas parit itu memanjang dan memisahkan dua bagian hutan. Tanpa pikir panjang lagi, Jaka Someh langsung menebasi pohon-pohon yang ada di parit itu. Tujuannya adalah untuk mengosongkan parit itu dari tanaman. Sehingga parit itu bisa kembali menjadi saluran air yang akan di aliri air dari atas gunung. Dia berharap caranya tersebut bisa menyelamatkan sebagian besar hutan. Setelah berhasil menebasi pohon-pohon yang ada di saluran parit, Jaka Someh mulai menggali tanah untuk mulai menyambungkan mata air ke saluran parit yang sudah dia bersihkan tadi.

Mungkin karena terdesak oleh keadaan, gerakannya menjadi begitu cepat dan sigap. Beberapa saat kemudian saluran itu sudah tersambung dengan mata air. Air pun segera mengisi saluran-saluran yang baru saja dia buat. Tak lama kemudian kobaran api sudah mencapai area itu. Untunglah parit-parit itu sudah terisi air.

Jaka Someh bersyukur ternyata kobaran api berhenti sampai di batas parit itu saja. Apinya benar-benar sudah tak mampu menjamah hutan yang berada di seberang saluran. Lama-kelamaan kobaran api itu pun mengecil dan akhirnya padam dengan sendirinya. Hanya asap putih yang menggumpal memenuhi udara di sekitar tempat itu.

Melihat api nya sudah padam, Jaka Someh merasa sangat puas. Puas karena usahanya telah berhasil.  Dia terduduk, nafasnya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya. Jaka someh merasakan capek yang luar biasa karena tenaganya telah terkuras habis. Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing. Hampir saja dia pingsan karena terlalu capek menghentikan kebakaran itu. Jaka someh kemudian membaringkan tubuhnya di tanah untuk melepaskan lelah yang sudah mencapai batas kemampuannya.





Bersambung ke bagian 8  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...