Minggu, 11 Februari 2018

Cerita novel Silat "Sang Pendekar" Bab 2. Musibah awal dari sebuah Kisah


Novel Sang Pendekar

Jaka Someh berjalan menyusuri jalan setapak yang lebarnya hanya sekitar 2 meter. Jalan setapak tersebut seakan-akan membelah hutan halimun menjadi dua bagian.

Dengan semangat yang masih menyala, dia terus berjalan dengan gagahnya menuju arah sisi selatan gunung. Suara burung berkicau menjadi musik pelengkapnya di sepanjang perjalanan. 

Di tengah perjalanan, ketika melewati sebuah sungai kecil yang airnya nampak jernih, Jaka Someh menyempatkan untuk berhenti sejenak karena mau mengisi wadah minumnya. Jaka Someh meminum beberapa teguk, dan merasakan sensasi kesegaran yang masuk kedalam jiwa.

Setelah wadah bambunya terisi penuh dengan air, Jaka someh kembali melanjutkan perjalanannya. Belum ada seratus langkah dia berjalan dari tempat itu, tiba-tiba Jaka someh melihat ada segerombolan lelaki dewasa yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa dari arah puncak gunung. Tampang mereka nampak sangar dan galak. Mereka berjalan tergesa sambil menyeret seorang lelaki berumur yang wajahnya nampak babak belur seperti habis dipukuli.

Jaka Someh terpana ketika melihat salah seorang dari anggota gerombolan itu. Dia tidak mungkin lupa dengan wajah orang yang telah membunuh ayahnya, meskipun kejadiannya sudah lebih dari 5 tahun yang lalu.

Orang itu adalah ki Marta, salah satu centeng Juragan Permana, yang telah membunuh ayahnya.

Melihat Ki Marta, Jaka Someh hanya mampu terdiam, tidak tahu harus bagaimana. Di dalam dadanya berkecamuk berbagai perasaan, antara marah, benci dan bingung. Dia ingin sekali melabrak ki marta namun dia sadar bahwa hal tersebut adalah tindakan bunuh diri.

Jaka Someh tahu bahwa ki marta adalah seorang jawara kampung rawa balong yang di takuti banyak orang. Sedangkan Jaka Someh hanyalah seorang pemuda tanggung yang tidak memiliki kepandaian bela diri apapun. Bagaimana mungkin dia sanggup menghadapi ki marta dan kawan-kawannya. Namun karena perasaan marah dan bencinya lebih besar dibandingkan rasa takutnya. Jaka Someh pun menghentikan langkahnya dan berdiri ditengah jalan untuk mencegat Ki Marta dan kawan-kawannya.

Ketika rombongan ki marta sudah mendekati Jaka Someh, salah satu dari mereka yang memiliki tubuh paling kurus namun berwajar sangar, berteriak pada Jaka Someh

“Heh Bocah cunguk... kenapa menghalangi jalan kami...? apa wajahmu yang bloon itu mau saya buat babak belur seperti Ki Madun ini...?”

Jaka Someh di bentak seperti itu malah terdiam, melongo. Tanpa sadar, matanya melotot ke arah ki marta dengan sorot mata yang tajam. Melihat Jaka Someh memandangi dirinya dengan sorot mata seperti itu, ki Marta menjadi emosi

“Kurang ajar kamu...kenapa kamu melototi aku seperti itu hah...Aku hajar kamu ya...?” kata ki Marta mengancam.

Mendengar ancaman Ki Marta, Jaka Someh malah semakin melotot tajam. Dia terus memandangi wajah Ki Marta dengan sorot mata yang penuh kemarahan dan rasa benci. Ki Marta menjadi bertambah emosi melihat sikap Jaka Someh yang dianggap kurang ajar. Dengan spontan Ki Marta berlari ke arah Jaka Someh dan langsung menampar wajahnya. Tidak berhenti hanya dengan menampar, dia pun melanjutkan dengan menendang perut Jaka Someh. Jaka Someh tersungkur ke belakang dan serulingnya pun terlepas dari balik celananya. Belum sempat Jaka Someh berdiri, teman-teman Ki Marta juga ikut memukuli dan menendang.

Jaka Someh menjadi semakin terpuruk, dengan reflex dia meletakan kedua tangannya untuk melindungi wajah dan badannya. Perasaan sedih, marah dan susah bercampur aduk dalam jiwanya, melupakan sesaat rasa sakit akibat pukulan dan tendangan Ki Marta dan kawan-kawannya. Untunglah dia memiliki fisik yang kuat, sehingga dia masih mampu bertahan dari pukulan dan tendangan KiMarta dan kawan-kawannya. Namun karena serangan mereka yang terus bertubi-tubi, tak ayal lagi akhirnya Jaka Someh pun mulai merasakan payah dan kesakitan. Setelah sadar dengan rasa sakitnya yang sudah memuncak, Jaka Someh secara reflek berteriak. Dia menangis, karena sedih dan kecewa tak berdaya melawan Ki Marta dan kawan-kawanya

” Aduuh Gusti…aduuh…sakit...uuhh…ampuunn…mang”

Ki Marta dan kawan-kawannya tidak memperdulikan tangisan Jaka Someh, mereka terus memukuli Jaka Someh tanpa ada rasa belas kasihan sedikitpun. Akhirnya karena sudah tidak kuat lagi Jaka Someh pun pingsan tak sadarkan diri. Setelah mereka tahu bahwa Jaka Someh sudah tak berdaya, salah satu dari mereka berusaha menghentikan kawan-kawannya yang lain, dia berseru kepada teman-temannya

”Sudah-sudah...bocah ini sudah sekarat…percuma kita menghabisinya, membuang tenaga saja…gak ada untungnya buat kita... yang penting dia sudah merasakan pelajaran...biar kapok”

Ki Marta dan kawan-kawannya akhirnya berhenti memukuli Jaka Someh. Setelah puas melihat Jaka Someh tergolek di tanah, mereka pun pergi meninggalkan Jaka Someh yang sudah tak sadarkan diri, dan kembali menyeret lelaki yang tadi mereka bawa. 

Matahari sudah hampir berada di tengah langit. Panasnya sudah begitu terik. Hanya ada sedikit awan yang menutupi langit di wilayah kampung Cikaret. Angin gunung berhempus sepoi-sepoi. Jaka Someh sudah pingsan selama lebih dari 6 jam. Meskipun di sekitar tempat itu banyak pepohonan yang rimbun, namun Jaka Someh pingsan di tengah jalan setapak yang tidak ternaungi oleh pepohonan. Terik matahari pun mengenai kulitnya, yang segera menyadarkannya dari pingsan.

Jaka Someh mencoba untuk membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, bumi dan langit seakan-akan berputar. Dia pun kembali memejamkan mata. Setelah kesadarannya mulai stabil. Dia kembali membuka mata, dan mulai mengingat peristiwa yang baru dialaminya tadi. Peristiwa naas yang tak terduga sama sekali. Begitu cepat dan spontanitas.

Wajahnya terasa perih dan sakit akibat dipukul dan ditampar. Dadanya terasa sesak akibat ditendang Ki Marta dan kawan-kawannya. Segala persendiannya terasa ngilu. Dengan susah payah dia berusaha bangun dan duduk. Setelah berhasil duduk, Jaka Someh terdiam untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sedih, marah dan kecewa bercampur dalam jiwanya. Membangkitkan keinginan untuk membalas dendam.

Hatinya dipenuhi rasa luka, membuat dia lupa dengan rasa sakit yang ada di tubuhnya. Dalam hati muncul keinginan untuk membalas dendam kepada musuh yang telah menganiaya dirinya dan ayah tercinta. Jaka Someh kemudian berusaha untuk berdiri, meski awalnya sempoyongan, namun akhirnya dia berhasil dapat berdiri tegak. Setelah itu dia berjalan ke arah sebuah pohon yang nampak rimbun. Meskipun tertatih-tatih akhirnya dia berhasil berjalan beberapa langkah, menuju naungan kerimbunan pohon asam yang tidak jauh dari tempat itu. Di bawah pohon asam itu dia mengistirahatkan kembali jiwa dan raganya yang sedang terluka. Setelah beristirahat cukup lama, keadaannya pun sudah mulai stabil. Jaka Someh kemudian memutuskan untuk pulang ke gubuknya. Dengan tertatih-tatih, dia berjalan pulang ke gubuknya. Hari itu dia telah gagal untuk pergi ke ladangnya.

Sudah seminggu Jaka Someh tidak pergi ke ladang. Dia lebih banyak melamun di dalam gubuknya. Tubuhnya memang sudah mulai membaik, meskipun masih ada sedikit lembam di wajahnya. Walau masih remaja, Jaka Someh memiliki tubuh yang kuat. Berangsur angsur semua luka di tubuhnya akhirnya sembuh total.  Namun luka di hatinya masih belum sembuh.

Hari itu Jaka Someh hanya duduk melamun di serambi bale-bale, merenungi nasib yang tampak sial. Dia merasa Tuhan bertindak kejam terhadap kehidupannya. Sudah tidak punya ayah dan ibu, sekarang dia mengalami penganiayaan. Sebatang kara, tidak ada seorang pun yang bisa diajak untuk berbagi keluhan, apalagi yang mempedulikan dan menolongnya. Hidup sendiri dalam gubuknya yang jauh dari pemukiman warga lainnya. Jaka someh berharap ada orang yang menemani di saat susah seperti ini.

Terkadang memang ada beberapa warga kampung yang sedang mencari kayu bakar datang berkunjung ke gubuknya, meskipun hanya sekedar untuk ikut beristirahat di serambi gubuknya. Namun sudah lebih dari seminggu ini, tidak ada seorang tamu pun yang berkunjung ke gubuknya itu

Tiba-tiba dia merasa rindu yang sangat kepada kedua orang tuanya. Dia pun mengenang saat bersama kedua orang tuanya dulu. Jaka Someh merasa sedih teringat nasib ayahnya yang mati tragis di keroyok oleh Ki Marta dan kawan-kawannya. Dia pun nyaris bernasib sama dengan ayahnya. Jaka Someh tidak mau kejadian yang telah dialaminya beberapa waktu yang lalu akan terulang kembali dalam kehidupannya mendatang. Dia pun bertekad untuk membalas perbuatan Ki Marta dan kawan-kawannya yang telah menganiaya dirinya.

 “seandainya saja saya memiliki kemampuan bela diri, menjadi pendekar… pasti saya menghabisi mereka…eh…”

Jaka Someh bergumam sendirian sambil mengepalkan kedua tinjunya. Dalam hati, terbersit keinginan untuk menjadi pendekar yang gagah dan kuat, yang tidak mudah dikalahkan oleh musuh siapapun. Tapi bagaimana caranya dia bisa menjadi seorang pendekar? jangankan ilmu yang tinggi, dasar-dasar silatpun dia tidak tahu.

Jaka Someh kemudian bergumam

”Kalau begitu saya harus mencari seorang guru silat yang hebat, tapi kemana saya harus mencari seorang guru? Aahh...tak peduli dimanapun dia berada, pokoknya saya harus menemukan seorang guru yang hebat yang mau mengajari saya dengan ilmu silat...!”

Hari-hari berikutnya, pikiran Jaka Someh dipenuhi dengan hasrat untuk mencari seorang guru yang bisa mengajarinya silat.

Pagi itu Jaka Someh sedang duduk di sebuah batang pohon besar yang ada di halaman gubuknya. Pikirannya melayang memikirkan berbagai peristiwa yang telah lewat. Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang ke gubuknya. Dia adalah Mang Engkos, warga kampung Cikaret yang sedang mencari kayu bakar. Melihat Jaka Someh sedang duduk melamun, tiba-tiba muncul keisengan dalam benak mang Engkos untuk mengagetkan Jaka Someh. Dengan berjalan mengendap-endap dari arah belakang, Mang Engkos segera menepuk pundak Jaka Someh secara keras sambil berteriak

“Hey...Someh, kamu sedang memikirkan siapa...?”

Jaka Someh terperanjat dikejutkan oleh mang Engkos. Lamunannya pun langsung buyar. Jaka Someh berkata kepada mang Engkos

“Ah mang Engkos ini, bikin jantung saya mau copot saja...”

Mang Engkos tertawa terbahak-bahak melihat Jaka Someh terlihat kaget, lalu berkata kepada Jaka Someh

 “Lagian kamu sih.... pagi-pagi sudah melamun...ngelamunin apa sih Meh...?”

Jaka Someh merasa senang bisa bertemu dengan Mang Engkos di saat hatinya sedang mengalami kegundahan seperti itu, namun dia berpura-pura cemberut kepada Mang Engkos, sambil berkata

“Ah Mamang  ingin tahu urusan orang saja...dasar kepo...”.

Mang Engkos berlagak menunjukan wajah seriusnya, namun terlihat lucu di mata Jaka someh,

“Bukan begitu Meh, pamali kalau banyak melamun ...  saya punya cerita tentang orang yang meninggal mendadak gara-gara kebanyakan melamun...”

Entah kenapa Jaka Someh merasa penasaran dengan ucapan Mang Engkos

“Heh yang benar  Mang, masa iya gara-gara melamun saja orang bisa mendadak meninggal...”

Masih dengan muka serius Mang Engkos pun menjawab rasa penasaran Jaka someh

Wah...kamu tidak percaya dengan cerita saya ya? ...Ya bisa saja  Meh, begini ceritanya...dulu ada seorang lelaki bernama Kardun...dia  seorang penggembala kambing. Suatu hari Si Kardun minta kawin kepada emaknya...Emaknya bingung karena tidak ada seorang perempuan pun di desa itu yang mau nikah sama si kardun...bahkan nenek-nenek peot saja sampai bilang ogah pada si kardun, wajar juga sih sebenarnya, karena si Kardun  memang gak pernah mandi, gaulnya juga cuma sama kambing, makanya badannya  bau sekali... Sehingga tidak ada seorang wanita yang mau sama dia... Akhirnya Si Kardun menjadi sering melamun...setiap hari dia hanya melamun, memikirkan bagaimana cara agar dia bisa kawin...dia melamun setiap hari dan petang, kerjanya hanya melamun saja...para warga yang melihatnya pun akhirnya menjadi merasa kasihan. Namun bagaimana lagi , meskipun sudah di usahakan dicarikan jodoh oleh mereka, namun masih belum juga ada perempuan yang mau di kawinkan dengan si Kardun, akhirnya mereka pun pasrah. Hari-berganti hari, Entah karena bosan atau karena hal yang lain, akhirnya si Kardun pun sudah mulai nampak ceria kembali. Dia sudah tidak minta kawin lagi. Para warga juga ikut merasa senang. Namun kejadian itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah tiga bulan, Si Kardun kembali terlihat susah dan gelisah lagi. Dia sering melamun lagi, apalagi saat tahu kambingnya sedang bunting besar. Para warga heran dengan sikap si Kardun seperti itu, harusnya dia senang melihat kambingnya menjadi bunting, tapi ternyata dia sedih dan bingung.

Singkat cerita, pada saat kambingnya sudah akan melahirkan, si Kardun terlihat berada di sisi kambingnya. Dia menungguinya dengan perasaan penuh was-was.

Anak kambing yang pertama pun lahir, ternyata anak kambing tersebut persis seperti ibunya. Berupa kambing tulen 100%. Si Kardun merasa senang bukan kepalang. Namun rasa senangnya hanya berlangsung beberapa saat saja. Karena kambing betinanya tersebut sudah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan lagi. Si Kardun pun kembali menjadi was-was. Namun ketika anak kambing yang kedua sudah terlahir dan masih mirip dengan ibunya. Si Kardun kembali merasa senang bukan kepalang, sampai-sampai dia berjingkrak-jingkrak karena senangnya.

Begitu giliran anak kambing terakhir sudah mau keluar, Si Kardun kembali lagi memperlihatkan wajah yang susah, hatinya menjadi deg-degan. Dengan perlahan anak kambing itu pun keluar dari rahim ibunya. Pertama yang keluar adalah bagian kakinya dulu, Si Kardun merasa senang karena kakinya ternyata mirip dengan kaki kambing seperti umumnya. Tak lama kemudian bagian badannya juga keluar, ternyata badannya juga mirip kambing pada umumnya. Si Kardun semakin bertambah senang.

Pada saat bagian kepalanya sudah mau keluar, Si kardun merasa ketakutan yang luar biasa. Saking takutnya, dia sampai menutupi matanya dengan kedua tangan. Khawatir kepala anak kambing tersebut mirip dengan kepala manusia. Begitu kepalanya sudah keluar dengan sempurna ternyata kepalanya juga adalah kepala kambing. 100 persen kambing. Si Kardun langsung bersorak-sorak saking senangnya. Bahkan sampai melompat-lompat dan salto beberapa kali kerena bahagia.

Namun dia langsung terhenyak kaget, badannya menjadi dingin ketika ketiga anak kambing tersebut bersuara keras, memanggil dirinya.

“Bapak....bapak.... embeekk...embeek...bapak...bapak...”.

Anak kambing tersebut ternyata memanggil si kardun dengan sebutan ‘Bapak’.

Spontan saja si Kardun pingsan dan langsung meninggal saat itu juga...he...he...makanya kamu juga, Meh, jangan kebanyakan melamun...nanti kayak si Kardun lho...mati mendadak...”.

Jaka Someh tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Si Kardun dari mang Engkos. Dia merasa terhibur dan lupa bahwa saat itu dia sedang mengalami kesusahan.

Kemudian Jaka Someh berkata ke Mang engkos

“Ha...ha...Mang Engkos  bisa saja...ceritanya  terlalu dipaksakan...benar-benar tidak nyambung.... tapi saya koq jadi ngebayangin wajah si Kardun ya..! wajah yang lagi ketakutan sewaktu menunggu lahiran anak kambing...Wah pastinya dia kawatir sekali kalau anak kambingnya akan mirip dengan dirinya...Karena dia memang bapak dari ketiga anak kambing itu…he...he...”.

Mang Engkos tersenyum melihat Jaka someh bisa tertawa terpingkal-pingkal. 

Setelah suasananya kembali tenang, jaka someh pun bercerita ke Mang Engkos bahwa dia sedang mencari seorang guru silat. Mang Engkos berkata

“Oh, kenapa kamu tidak bercerita kepada Saya dari tadi , Someh...kalau masalah itu,  kamu tidak perlu Susah...Kamu bisa belajar silat di perguruan Maung karuhun. Itu perguruan silat yang sudah terkenal sampai ke berbagai pelosok wilayah Pajajaran bahkan Sukabumi…bukan hanya di kampung kita saja. Aduch…kamu koq  bisa sampai tidak tahu seperti ini…dasar memang kamu udik, makanya bergaul  Someh…jangan di hutan saja…masa…ada perguruan hebat di kampung sendiri saja tidak tahu…Banyak orang dari jauh yang sengaja datang ke Perguruan Maung karuhun, karena ingin berguru ke Ki Jaya Kusuma…dasarJaka Someh seorang yang udik…he…he…hanya tahu  nyangkul doang…. he…he…”. 

Jaka Someh hanya tersenyum saat mendengar ocehan mang Engkos yang terus menyerocos.

Mendengar penjelasan Mang Engkos, Jaka someh menjadi sumringah. Seakan-akan dia telah menemukan titik terang.  Dia merasa senang mendengar informasi dari Mang Engkos. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih kepada Mang Engkos

“Terima kasih banyak, mang. Insya Allah saya mau berguru ke Sana…tapi kira-kira, apakah Ki Jaya Kusuma, mau menerima saya atau tidak, ya. Untuk menjadi muridnya...?”

Mang Engkos tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh

 “Hey kamu  belum apa-apa sudah pesimis, Insya Alloh di terima  Meh…Kamu tidak perlu khawatir karena Ki Jaya Kusuma itu orangnya baik…tidak sombong…kamu tenang saja…. ayo semangat dong, semangat…jangan pesimis, he…he…”

Jaka someh tersenyum, hatinya gembira setelah berbincang-bincang dengan Mang Engkos.

{Cerita Kkn Di Desa Penari|Cerita Inspiratif|Cerita Rakyat|Cerpen|Ceriabet|Cerita Fabel|Ceramah Singkat Ramadhan|Cerita Kkn Desa Penari|Cerita|Cerita Fiksi|Novel|Novel Adalah|Novel Kkn Desa Penari|Noveltoon|Novel Romantis|Novel Laskar Pelangi|Novel Ringan|Novel Tere Liye|Novel Terbaru|Kisah Kkn Di Desa Penari|Kisah Nyata Kkn Desa Penari|Buku Fiksi|Buku Non Fiksi|Cerita Kkn Di Desa Penari|Cerita Inspiratif|Cerita Rakyat|Cerpen|Ceriabet|Cerita Fabel|Ceramah Singkat Ramadhan|Cerita Kkn Desa Penari|Cerita|Cerita Fiksi|Film Kkn|Filmapik|Film|Film Horor Indonesia|Film Bioskop Terbaru 2022|Film Terbaru 2022|Film Terbaru 2021|Film Indonesia|Film Doctor Strange|Film Bioskop Terbaru 2021}
Bersambung ke bagian 3 
Kembali Ke bagian 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...