Rabu, 21 Februari 2018

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 16. Hati Yang Bimbang


Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang


Pada Suatu hari Jaka someh pergi ke ladangnya bersama Pak Rohadi dan Si Jalu, sedangkan Asih menunggu di rumah. Beberapa saat setelah mereka berangkat, Panji datang ke rumah Nyi Asih sambil mengetuk pintu dia memanggil Asih.
“Asih…Siih…Asiih…”.
Asih yang tahu bahwa yang datang adalah Panji, tak langsung membukakan pintu. Dia hanya berkata di balik pintu
“kang Panji…ada apa  kang…?”. 
Panji berkata kepada Asih “ Asih…kamu koq tidak membukakan pintu buat akang…memangnya kamu tidak rindu dengan akang, sudah dua minggu kita tidak bertemu…”. 
Asih berkata tegas kepada Panji 
“Kang Panji…saya minta maaf…akang lebih baik pergi…jujur saya merasa berdosa kepada Kang someh yang telah baik kepada saya dan keluarga, mohon akang tidak lagi mengganggu rumah tangga saya dengan Kang Someh…saya sekarang sudah bertobat….”
Panji yang mendengar nyi Asih mengatakan sudah bertobat langsung tertawa 
“ha…ha…kamu bertobat, asih…?ah lucu kamu mah…memangnya sekarang kamu sudah jatuh cinta dengan si Someh yang udik itu…?”. Di tertawakan oleh Panji, Nyi Asih sedikit emosi. “Kang Panji, sudah…saya sudah tidak mau lagi bertemu dengan akang…pokoknya titik…akang silahkan pergi dari rumah saya “.
Panji merasa gondok di usir oleh nyi Asih
“beneran kamu mengusir saya, awas lo nanti kamu menyesal…memangnya kamu sudah tidak cinta lagi dengan saya…?”.
Nyi asih terdiam mendengar ancaman dari Panji. Hatinya mulai bimbang, karena walau bagaimanapun dia masih belum bisa melupakan Panji. Nyi Asih berkata kepada Panji
“Iya kang Panji, saya tidak menyesal, lebih baik akang sekarang pergi “
Panji berkata ketus “Oke kalau begitu, sekarang hubungan kita  putus…awas kamu jangan menyesal ya…”.
Nyi Asih terdiam, hatinya merasa bimbang. Bujuk rayu setan pun mulai mempengaruhinya. Dengan hati yang galau dia memandang kepergian Panji yang marah kepadanya.
Sudah dua minggu semenjak Panji datang ke rumah, Nyi Asih terlihat sedikit galau. Entah setan apa yang mempengaruhinya,  dia merasa rindu dengan sosok Panji, mantan kekasihnya. Ada keinginan untuk bertemu kembali dengan mantan kekasihnya itu, meskipun untuk yang terakhir kalinya. Hatinya mulai dipenuhi kebimbangan, antara setia kepada suaminya atau kah memenuhi syahwatnya untuk bertemu dengan sang mantan. Berkali-kali dia berusaha menasehati dirinya sendiri
“ Iihh…Asih…kamu teh kenapa sih…kenapa tidak bisa melupakan Kang Panji, kamu teh sekarang sudah menjadi istri Kang Someh….Kang Someh teh orang baik…kamu teh tidak boleh mengikuti hawa nafsu…astagfirulloh…kenapa saya ini…koq masih belum bisa melupakan Kang Panji…”. 
Asih menghela nafasnya,  kemudian sambil memejamkan mata dia berusaha menata kembali hatinya agar tidak lagi ingat kepada Panji. Setelah itu dia pun menyibukan dirinya dengan berbagai aktivitas mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan pergi menyusul Jaka Someh ke Ladang.
Satu bulan kemudian, Panji datang lagi ke rumah Nyi Asih. Dia datang di saat Jaka Someh dan Pak Rohadi sudah pergi ke ladangnya. Tahu di dalam rumah cuma ada Nyi Asih, Panji mengetuk pintu sambil memanggil Asih
“ Siih…Asihh…ini Kang Panji…tolong bukain pintunya….”
Asih yang waktu itu sedang berada di kamar, sedikit terkejut mendengar suara Panji memanggil namanya. Ada perasaan kawatir dan senang dalam hatinya. Kawatir kedatangan Panji dilihat orang lain, namun juga dia senang ternyata Panji masih berusaha mengejarnya. Asih sadar bahwa perasaannya begitu lemah, lemah karena dia masih menyimpan perasaan cinta kepada Panji. Dia juga sadar bahwa hal itu adalah  salah. Sekarang dia sudah bersuami, dan tidak mau lagi menghianati suaminya yang telah baik kepadanya. Hatinya pun mulai berperang, apakah dia menemui Panji ataukah mengusirnya. Asih terdiam cukup lama, bingung menentukan sikapnya. Karena masih belum ada jawaban dari Nyi Asih, Panji pun kembali menggedor pintu rumah Asih, sambil berkata dengan suara yang lebih keras
“Asiih…Akang tahu kamu ada di rumah… tolong buka pintunya…ada yang ingin akang sampaikan ke kamu…”.
Entah sadar atau tidak nyi asih berjalan ke arah pintu. Di balik pintu dia berkata pelan
“Ada apa lagi sih Kang Panji…Asih sekaarang lagi sibuk…mendingan akang pergi deh…takut ada orang yang melihat, nanti jadi fitnah…”.
 Panji pun berkata lembut
“Iya, makanya kamu bukain dulu atuh pintunya…ada yang ingin akang sampaikan kepada kamu…”.
Meskipun ragu, Nyi Asih pun membukakan pintunya. Panji pun langsung masuk ke dalam rumah. Asih terkejut melihat Panji yang langsung masuk ke dalam rumahnya.
“Kang Panji…keluar…jangan masuk…gak ada orang di sini…ayo keluar…kang…”.
Panji pun  memberi isyarat dengan jari telunjuknya, agar Asih diam tak bicara lagi “Ssst…Asih..diam dulu…akang cuma sebentar saja…”.
Asih pun terdiam sesaat, kemudian dia bertanya kepada Panji
“Ada apa sih Kang Panji, apa yang mau akang sampaikan…?”.
Panji memandangi wajah Nyi Asih, kemudian dengan cepat dia mencium wajah Asih yang memerah. Dia pun berkata
 “Akang cuma mau bilang, kalau akang masih cinta sama kamu…”.
Nyi Asih berusaha menolak ciuman Panji dengan tangannya. Namun tolakannya begitu lemah sehingga Panji pun langsung memegangi tangannya. Di ciumnya tangan Nyi Asih, sambil berkata “Aduuh akang rindu sekali…dengan kelembutan tangan kamu asihh…”.
Meskipun ada perasaan senang namun Nyi Asih masih tetap berusaha menolak Panji.
“Sudah kang ah…takut nanti di lihat orang…” .
Entah sadar atau tidak bibir Nyi Asih tersenyum melihat perlakuan Panji terhadapnya. Panji yang melihat rona wajah nyi Asih yang memerah berkata “ah…kamu mah pura-pura…padahal mah senang kan…?”.
Nyi Asih cemberut mendengar ucapan Panji
 “Kata siapa Asih senang…? “. 
Panji tertawa ringan sambil berkata
 “ ah…buktinya kamu tersenyum ketika akang cium…hayo…”.
Asih mencibirkan bibirnya “Enggak…kata siapa Asih tersenyum…”.
Panji menjawab ucapan Asih sambil berusaha memeluknya
“ Ya kata akang lah…”.
Dag dig dug, jantung Nyi Asih berdebar keras menadapat pelukan Panji. Sesaat dia terdiam, seakan-akan dia menikmati pelukan sang mantan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mendengar suara barang yang terjatuh dari arah dapur rumah. Mereka pun langsung panik dan langsung melepaskan tangannya, kawatir ada orang yang memergoki mereka. Namun ternyata kekacauan tersebut di sebabkan oleh seekor kucing yang mencoba mencuri ikan yang ada di dapur.  Nyi Asih berkata kepada Panji
 “ Sudah kang Panji…ayo keluar kawatir ada orang yang melihat kita berduaan seperti ini di dalam rumah…”.
Panji menghela nafasnya, dia pun berkata
“ Iya Asih…akang sekarang pergi…tapi kamu harus janji. Besok lusa, jam 3 sore kamu harus datang ke tempat biasa kita dulu bertemu. Awas lo kalau tidak datang…karena akang mau pergi dari  desa kita ini…akang mau cari uang dulu…pokoknya kamu harus datang…kalau tidak…akang tidak akan memaafkan kamu…mungkin ini adalah yang terakhir kali kita bertemu…setelah itu akang janji tidak akan mengganggu rumah tangga kamu lagi…”.
Nyi Asih terdiam mendengarkan perkataan Panji. Melihat Nyi Asih terdiam Panji kembali menegaskan ucapannya
 “ Kamu harus datang lho Sih…akang akan tungguin kamu … “.
Asih menghela nafas lagi
“Yaah bagaimana nanti ya kang…Asih tidak bisa janji…”.
Panji pun memberi isyarat dengan tangannya agar nyi Asih mau memenuhi keinginannya untuk bertemu di tempat yang biasa mereka bercengkrama berdua
“Akang tunggu..lho Nyai…pokoknya harus datang….”.
Panji pun segera pergi meninggalkan Asih yang masih berdiri diam. Hatinya  pun mulai goyah oleh tipu daya setan yang mulai mempengaruhinya.                                                                                                                                                           
Malam itu Asih terlambat lagi pulangnya. Pak Rohadi yang mengetahui putrinya masih  belum pulang padahal hari sudah larut malam langsung meminta Jaka Someh untuk segera mencarinya.
“ Si Nyai pergi kemana Jang...?”
Jaka Someh menjawab
“Saya tidak tahu pak..., tadi Asih tidak bilang apa-apa ke saya, mungkin lagi ada keperluan...”. Pak Rohadi nampak tidak senang mendengar jawaban dari jaka Someh
” kamu teh suaminya, bo ya...di tanya, kalau dia mau pergi-pergi keluar, jangan dibiarkan bertindak semaunya sendiri...”,
Jaka Someh hanya mengiyakan nasehatnya pak Rohadi
“ Baik, bapak. Nanti saya coba bicarakan hal tersebut dengan Asih...”.
Sampai jam 8 malam ternyata Asih masih belum juga pulang ke rumah, pak Rohadi nampak kawatir dengan Asih yang masih belum pulang, dia berkata pada Jaka Someh
 “ Aduuh,  si nyai teh kemana ya, Jang...? sampai sekarang masih belum juga pulang...”.
Jaka Someh, coba menenangkan pak Rohadi
“Biar saya cari saja, pak...nanti saya coba tanya ke teman-temannya Asih...”
Pak Rohadi mengiyakan “ iya atuh... kamu cari Asih ya, jang. Suruh cepat pulang... tidak baik, perempuan keluar rumah sendirian apalagi sampai malam begini...”.
Jaka Someh pun segera pergi keluar untuk mencari istrinya yang masih belum pulang meski hari sudah larut malam. 
Jaka Someh pun segera menyiapkan dirinya untuk pergi keluar untuk mencari Asih. Baru saja dia mau membuka pintu, tiba-tiba dari arah luar, Mang Udin berteriak-teriak memanggil Jaka Someh. Dia nampak panik sambil memanggil Jaka Someh
“ Meh...Someh...Someh...gawat...gawat euy...”
Jaka Someh bertanya ke Mang Udin
“ ada apa mang? Gawat kenapa...coba atuh tenang dulu...”
Mang Udin berkata dengan agak sedikit ragu kepada Jaka Someh “Anu..Meh...eeh...Anu...istrimu Asih...”
Mang Udin nampak enggan untuk meneruskan ucapannya, membuat Jaka Someh menjadi penasaran
“Ada apa dengan Asih, mang Udin...?emang kenapa Asih teh...? sok atuh ceritakan ke saya...”
Mang udin nampak semakin ragu, dia diam sejenak, nampak berpikir keras, sampai akhirnya dia pun melanjutkan perkataannya
“Anu...Someh...Asih digerebek warga...Anu... dia ditangkap warga karena kepergok sedang berbuat mesum dengan si Panji di pinggir sungai Cikaniki...”.
Jaka Someh langsung berubah wajahnya menjadi merah padam, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan antara cemburu, marah, malu dan rasa kecewa, dia hanya mampu berkata kepada mang Udin dengan ucapan yang masih mengandung keraguan
“Hah..bener itu teh mang?”.
Pak Rohadi yang mendengar ucapan mang Udin dari balik kamarnya pun nampak gusar dan susah, dia berkata kepada mang Udin
“ Yang bener atuh Udin...omongan kamu teh bener atau tidak? jangan becanda kamu teh, hah...?”.
Mang Udin pun mengiyakan pernyataan tersebut
“ Iya, kang. Betul...sekarang Nyi Asih dan si Panji sedang di bawa ke lapangan Kampung...Saya kesini untuk memberitahu si Someh dan akang, supaya menenangkan warga kampung yang marah terhadap mereka...”.
Jaka Someh berusaha untuk menenangkan dirinya dan pak Rohadi
 “ Sabar pak, sebaiknya kita berangkat sekarang, untuk memastikan kebenaran beritanya, ayo atuh pak, ikut Mang Udin ke Lapangan Kampung...”.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka pun berangkat menuju lapangan kampung untuk menemui Asih.
Sesampainya di Lapangan Kampung, Asih nampak tertunduk malu sambil menangis terisak-isak. Dia menyesali perbuatannya yang memalukan diri dan keluarganya. Di sampingnya, Panji tampak sedang menekukan wajahnya. Tidak tahu apa yang dirasakannya, apakah malu, marah atau benci karena perbuatannya yang dihakimi masa.
Ketika Jaka Someh dan Pak Rohadi datang ke hadapan Asih, tak kuasa Asih langsung menangis keras sambil  bersujud dan memegangi kaki Jaka Someh,
 “ Ampun...kang Someh...saya minta maaf...Silahkan akang hukum saya..., saya minta maaf...akang...”.
Panji yang melihat Jaka Someh sudah berdiri di hadapannya, tiba-tiba merasa gentar. Meskipun dia tidak tahu bahwa Jaka Someh adalah pendekar, namun hatinya ciut melihat muka Jaka Someh yang nampak memerah. Dia Khawatir dengan kemarahan Jaka Someh dan warga lainnya, Panji pun berkata dengan suara sedikit bergetar
“Someh...saya minta...maaf...tolong kamu maafkan Asih..., kalau kamu mau marah...silahkan kamu lampiaskan marahmu kepada saya saja...”.
Pak Rohadi tak kuasa menahan amarahnya melihat Panji yang sudah dua kali merusak kehormatan keluarganya, tanpa pikir panjang dia pun langsung menendang perut Panji sambil berteriak “bangsat...kamu Panji...dasar lelaki tidak bertanggung jawab...lebih baik saya bunuh kamu...”.
Panji pasrah meskipun dia merasakan sakit yang luar biasa akibat tendangan pak Rohadi. Melihat mertuanya yang nampak kalap, Jaka Someh merasa kawatir, dia pun menenangkan pak Rohadi
“ Sudah bapak...sabar...tidak ada manfaatnya lagi kita marah...semuanya sudah terjadi...lebih baik kita memaafkan mereka...”.
Melihat pak Rohadi yang kalap, Asih merasa takut yang luar biasa, namun dia terus menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba Jaka Someh berkata kepada panji
”Panji, apakah kamu benar-benar tulus menyayangi Asih?”
Panji tertegun mendengar pertanyaan dari Jaka Someh. Jaka Someh yang melihat Panji nampak ragu untuk menjawab karena takut pada kemarahannya, mengulangi lagi pertanyaannya
“Panji, apakah kamu benar-benar tulus menyayangi Asih dan mau bertanggung jawab...?” Meskipun dengan terbata-bata dan suara yang bergetar akhirnya Panji menjawab pertanyaan yang dilontarkan Jaka Someh
“iiiyyaa...Someh...sa...sa...ya...menya...ya...ngi....Asiih...,Sa...ya...mau...bertanggung...ja...wab...”.
Jaka someh pun kemudian berkata kepada Asih sambil melirik pada pak Rohadi
Nyai...sudah...tidak usah menangis lagi...akang sudah memaafkan...Nyai tidak usah menangis lagi...mungkin ini sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa...mungkin Nyai memang bukan jodoh akang...akang ridho Nyai menikah dengan kang Panji...saat ini juga akang akan menceraikan Nyai...agar Nyai dapat segera menikah dengan Kang Panji...”.
Mendengar kata-kata dari Jaka Someh, Asih bertambah keras menangisnya. Dia merasa menyesal, sekaligus malu terhadap Jaka Someh. Padahal Jaka Someh sudah begitu baik kepadanya, namun dia tega mengkhianati dan menyakiti hatinya. Pak Rohadi juga tak kuasa untuk meneteskan air matanya. Dia pasrah dan berusaha untuk menerima keputusan  Jaka Someh terhadap putrinya. Meskipun berat untuk melepaskan Jaka Someh sebagai menantunya, namun dia sadar betul bahwa sudah tidak mungkin lagi meneruskan pernikahan antara putrinya dengan Jaka Someh. Warga yang menyaksikan kejadian itu pun ikut terharu dan merasa iba terhadap Jaka Someh yang sudah diselingkuhi istrinya. Jaka Someh  berkata pada para warga 
“ Bapak-bapak, ibu-ibu, akang-akang, saya minta maaf atas kejadian ini...atas nama keluarga juga saya mohon untuk memaafkan kami..., saat ini juga saya menyampaikan bahwa saya dan Asih... sekarang... resmi telah bercerai...”.
Para warga yang bersimpati dengan Jaka Someh menyalami jaka Someh sebagai bentuk bela sungkawa mereka. Beberapa warga berusaha menghibur Jaka Someh
sabar...ya meh...”.
Sebagian besar warga pun akhirnya membubarkan diri, hanya tersisa beberapa warga saja, termasuk  Ustaz Fikri. Ustaz Fikri pun menasehati Jaka someh
 “Someh…sabar ya…mungkin ini adalah yang terbaik buat kamu…kamu tidak boleh berburuk sangka terhadap Allah, meskipun sakit tapi saya yakin, dengan musibah yang kamu alami ini semua ada hikmahnya...yang penting kamu sabar dan berbaik sangka kepada Allah...…kehilangan sesuatu bukan berarti pertanda keburukan mungkin saja ini cara Allah menghilangkan keburukan dari diri kamu…kamu itu orang baik…Insya Allah akan mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dan barokah…kalau tidak di dunia ini ya nanti di akherat berupa bidadari yang cantik...Aamiinn…Sabar ya meh…”.
Jaka Someh merasa terhibur dengan nasehat dari Ustaz Fikri
“Iya Pak Ustaz…doakan saja supaya Saya selalu ditetapkan dalam keimanan dan ketakwaan…Semoga Allah memberikan kesabaran dan keihlasan…agar Saya bisa ridho dengan semua kejadian ini….”.
Jaka someh berusaha tersenyum, meskipun hatinya menangis. Ustaz Fikri pun mengamini harapan Jaka someh sambil memegang pundaknya.
 “Aamiin…amin…Someh Insya Allah kamu akan dapat ganti yang lebih baik dan barokah…”

Pada malam itu juga, Asih akhirnya dinikahkan dengan Panji. Jaka Someh pun ikut menyaksikan pernikahan mereka.
Awalnya Ustadz Fikri menolak untuk menikahkan Asih dengan  Panji. Namun atas desakan Bapak kepala Kampung, para sesepuh, Pak Rohadi dan juga Jaka Someh, Ustadz Fikri terpaksa bersedia untuk menikahkan Asih dengan Panji.
“Baiklah saya bersedia menikahkan Nyi Asih dengan si Panji, tapi nanti nunggu sampai masa idahnya telah habis...” Kata Ustadz Fikri
Jaka Someh berbisik kepada Ustadz Fikri. Ustadz Fikri mesem mendapat bisikan dari Jaka Someh.
Bapak kepala Kampung dan beberapa sesepuh lainnya merasa penasaran dengan apa yang dibisikan Jaka Someh kepada ustadz Fikri.
Bapak kepala Kampung kemudian bertanya dengan suara pelan kepada Ustadz Fikri
“Ada apa Pak Ustadz...?”
Ustadz Fikri kemudian membisikan sesuatu ke telinga bapak kepala kampung
“Kata Jang someh, dia belum pernah menggauli istrinya selama pernikahan, jadi tidak ada iddah...”
Bapak kepala Kampung tersenyum, mesem dengan bisikan dari ustadz Fikri. Kemudian dia membisikan ucapan Ustadz Fikri kepada para sesepuh lainnya. Mereka pun mesem mendengar bisikan Bapak kepala Kampung.
Pak Rohadi tak kuasa melihat Jaka Someh, dia pun memeluk Jaka Someh sambil menguraikan air mata.
“Bapak minta maaf Jang Someh...”
Jaka Someh tersenyum kepada pak Rohadi
“Iya Bapak, tidak apa-apa…Bapak sabar…ya…yang penting sekarang mah Nyi Asih bahagia…saya juga minta maaf...”
Pak Rohadi kemudian bertanya kepada Jaka Someh
“Bapak minta maaf Jang Someh...”
Jaka Someh tersenyum kepada pak Rohadi
“Iya Bapak, tidak apa-apa…Bapak sabar…ya…yang penting sekarang mah Nyi Asih bahagia…saya juga minta maaf...”.
Pak Rohadi kemudian bertanya kepada Jaka Someh
“Setelah ini, Jang Someh mau tinggal dimana? apakah mau kembali ke lereng gunung Halimun?”
Jaka Someh menjawab pertanyaan Pak Rohadi  sambil tersenyum getir
“Sepertinya tidak...pak...Insya Allah saya ingin pergi berkelana, saya mau mencari pengalaman hidup...masih banyak yang ingin saya lihat dan saya pelajari pak...saya mohon doanya ya pak...agar saya bisa terus dalam perlindungan yang Maha Kuasa”.
Pak Rohadi meresetui niatan Jaka Someh yang ingin pergi berkelana
“ Iya, bapak  hanya bisa mendoakan supaya kamu bisa sukses dalam pengembaraannya...besok pagi saja berangkatnya...ya jang,...malam ini biar ujang bermalam dulu saja di sini...”
Jaka Someh mengamini dan mengiyakan permintaan dari pak Rohadi.
Keesokan paginya, Jaka Someh berpamitan dengan pak Rohadi dan warga kampung Cikaret lainnya. Pak Rohadi membekalinya dengan sekantung uang
“Jang, ini uang punya bapak...buat ujang...buat bekal di jalan...mohon di terima...”.
Jaka Someh tak kuasa untuk menolak pemberian uang dari Pak Rohadi 
“ Bapak. Terima kasih banyak...Saya minta naaf jadi merepotkan Bapak…” 
 kata Jaka Someh dengan mata yang berkaca-kaca menahan nangis. 

Mang Udin dan Bi Cicih juga ikut melepaskan kepergian Jaka Someh yang akan pergi meninggalkan kampung mereka untuk berkelana. Mereka merasa sedih berpisah dengan Jaka Someh yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.
Jaka Someh begitu berat berpisah dengan mereka, terutama dengan si Jalu. Dia begitu menyayangi si Jalu meskipun bukan anak kandungnya sendiri. Jaka Someh pun memeluk dan mencium kepala si Jalu. Si Jalu pun menangis, seakan-akan dia mengerti bahwa Jaka Someh akan pergi jauh meninggalkannya. 
Dengan berat hati Jaka Someh melepaskan pelukannya terhadap si Jalu. Setelah pamit, Jaka someh melambaikan tangannya kepada pak Rohadi dan warga kampung Cikaret. Dia  pergi meninggalkan kampung Cikaret menuju arah timur, untuk memulai pengembaraannya ke negeri entah berantah.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...