Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang |
Pada
Suatu hari Jaka someh pergi ke ladangnya bersama Pak Rohadi dan Si Jalu,
sedangkan Asih menunggu di rumah. Beberapa saat setelah mereka berangkat, Panji
datang ke rumah Nyi Asih sambil mengetuk pintu dia memanggil Asih.
“Asih…Siih…Asiih…”.
Asih
yang tahu bahwa yang datang adalah Panji, tak langsung membukakan pintu. Dia
hanya berkata di balik pintu
“kang
Panji…ada apa kang…?”.
Panji
berkata kepada Asih “ Asih…kamu koq tidak membukakan pintu buat akang…memangnya
kamu tidak rindu dengan akang, sudah dua minggu kita tidak bertemu…”.
Asih
berkata tegas kepada Panji
“Kang Panji…saya minta maaf…akang lebih baik
pergi…jujur saya merasa berdosa kepada Kang someh yang telah baik kepada saya
dan keluarga, mohon akang tidak lagi mengganggu rumah tangga saya dengan Kang
Someh…saya sekarang sudah bertobat….”.
Panji yang mendengar nyi Asih mengatakan
sudah bertobat langsung tertawa
“ha…ha…kamu bertobat, asih…?ah lucu kamu
mah…memangnya sekarang kamu sudah jatuh cinta dengan si Someh yang udik itu…?”.
Di tertawakan oleh Panji, Nyi Asih sedikit emosi. “Kang Panji, sudah…saya sudah
tidak mau lagi bertemu dengan akang…pokoknya titik…akang silahkan pergi dari
rumah saya “.
Panji
merasa gondok di usir oleh nyi Asih
“beneran
kamu mengusir saya, awas lo nanti kamu menyesal…memangnya kamu sudah tidak
cinta lagi dengan saya…?”.
Nyi
asih terdiam mendengar ancaman dari Panji. Hatinya mulai bimbang, karena walau
bagaimanapun dia masih belum bisa melupakan Panji. Nyi Asih berkata kepada
Panji
“Iya
kang Panji, saya tidak menyesal, lebih baik akang sekarang pergi “
Panji
berkata ketus “Oke kalau begitu, sekarang hubungan kita putus…awas kamu jangan menyesal ya…”.
Nyi
Asih terdiam, hatinya merasa bimbang. Bujuk rayu setan pun mulai
mempengaruhinya. Dengan hati yang galau dia memandang kepergian Panji yang
marah kepadanya.
Sudah
dua minggu semenjak Panji datang ke rumah, Nyi Asih terlihat sedikit galau.
Entah setan apa yang mempengaruhinya,
dia merasa rindu dengan sosok Panji, mantan kekasihnya. Ada keinginan
untuk bertemu kembali dengan mantan kekasihnya itu, meskipun untuk yang
terakhir kalinya. Hatinya mulai dipenuhi kebimbangan, antara setia kepada
suaminya atau kah memenuhi syahwatnya untuk bertemu dengan sang mantan.
Berkali-kali dia berusaha menasehati dirinya sendiri
“
Iihh…Asih…kamu teh kenapa sih…kenapa tidak bisa melupakan Kang Panji, kamu teh
sekarang sudah menjadi istri Kang Someh….Kang Someh teh orang baik…kamu teh
tidak boleh mengikuti hawa nafsu…astagfirulloh…kenapa saya ini…koq masih belum
bisa melupakan Kang Panji…”.
Asih
menghela nafasnya, kemudian sambil
memejamkan mata dia berusaha menata kembali hatinya agar tidak lagi ingat
kepada Panji. Setelah itu dia pun menyibukan dirinya dengan berbagai aktivitas
mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak dan pergi menyusul Jaka Someh
ke Ladang.
Satu
bulan kemudian, Panji datang lagi ke rumah Nyi Asih. Dia datang di saat Jaka
Someh dan Pak Rohadi sudah pergi ke ladangnya. Tahu di dalam rumah cuma ada Nyi
Asih, Panji mengetuk pintu sambil memanggil Asih
“
Siih…Asihh…ini Kang Panji…tolong bukain pintunya….”
Asih
yang waktu itu sedang berada di kamar, sedikit terkejut mendengar suara Panji
memanggil namanya. Ada perasaan kawatir dan senang dalam hatinya. Kawatir
kedatangan Panji dilihat orang lain, namun juga dia senang ternyata Panji masih
berusaha mengejarnya. Asih sadar bahwa perasaannya begitu lemah, lemah karena
dia masih menyimpan perasaan cinta kepada Panji. Dia juga sadar bahwa hal itu
adalah salah. Sekarang dia sudah
bersuami, dan tidak mau lagi menghianati suaminya yang telah baik kepadanya.
Hatinya pun mulai berperang, apakah dia menemui Panji ataukah mengusirnya. Asih
terdiam cukup lama, bingung menentukan sikapnya. Karena masih belum ada jawaban
dari Nyi Asih, Panji pun kembali menggedor pintu rumah Asih, sambil berkata
dengan suara yang lebih keras
“Asiih…Akang
tahu kamu ada di rumah… tolong buka pintunya…ada yang ingin akang sampaikan ke
kamu…”.
Entah
sadar atau tidak nyi asih berjalan ke arah pintu. Di balik pintu dia berkata
pelan
“Ada
apa lagi sih Kang Panji…Asih sekaarang lagi sibuk…mendingan akang pergi
deh…takut ada orang yang melihat, nanti jadi fitnah…”.
Panji pun berkata lembut
“Iya,
makanya kamu bukain dulu atuh pintunya…ada yang ingin akang sampaikan kepada
kamu…”.
Meskipun
ragu, Nyi Asih pun membukakan pintunya. Panji pun langsung masuk ke dalam
rumah. Asih terkejut melihat Panji yang langsung masuk ke dalam rumahnya.
“Kang
Panji…keluar…jangan masuk…gak ada orang di sini…ayo keluar…kang…”.
Panji
pun memberi isyarat dengan jari
telunjuknya, agar Asih diam tak bicara lagi “Ssst…Asih..diam dulu…akang cuma
sebentar saja…”.
Asih
pun terdiam sesaat, kemudian dia bertanya kepada Panji
“Ada
apa sih Kang Panji, apa yang mau akang sampaikan…?”.
Panji
memandangi wajah Nyi Asih, kemudian dengan cepat dia mencium wajah Asih yang
memerah. Dia pun berkata
“Akang cuma mau bilang, kalau akang masih
cinta sama kamu…”.
Nyi
Asih berusaha menolak ciuman Panji dengan tangannya. Namun tolakannya begitu
lemah sehingga Panji pun langsung memegangi tangannya. Di ciumnya tangan Nyi
Asih, sambil berkata “Aduuh akang rindu sekali…dengan kelembutan tangan kamu
asihh…”.
Meskipun
ada perasaan senang namun Nyi Asih masih tetap berusaha menolak Panji.
“Sudah
kang ah…takut nanti di lihat orang…” .
Entah
sadar atau tidak bibir Nyi Asih tersenyum melihat perlakuan Panji terhadapnya.
Panji yang melihat rona wajah nyi Asih yang memerah berkata “ah…kamu mah
pura-pura…padahal mah senang kan…?”.
Nyi
Asih cemberut mendengar ucapan Panji
“Kata siapa Asih senang…? “.
Panji tertawa
ringan sambil berkata
“ ah…buktinya kamu tersenyum ketika akang
cium…hayo…”.
Asih
mencibirkan bibirnya “Enggak…kata siapa Asih tersenyum…”.
Panji
menjawab ucapan Asih sambil berusaha memeluknya
“
Ya kata akang lah…”.
Dag
dig dug, jantung Nyi Asih berdebar keras menadapat pelukan Panji. Sesaat dia
terdiam, seakan-akan dia menikmati pelukan sang mantan. Namun tiba-tiba saja
mereka terkejut ketika mendengar suara barang yang terjatuh dari arah dapur
rumah. Mereka pun langsung panik dan langsung melepaskan tangannya, kawatir ada
orang yang memergoki mereka. Namun ternyata kekacauan tersebut di sebabkan oleh
seekor kucing yang mencoba mencuri ikan yang ada di dapur. Nyi Asih berkata kepada Panji
“ Sudah kang Panji…ayo keluar kawatir ada
orang yang melihat kita berduaan seperti ini di dalam rumah…”.
Panji
menghela nafasnya, dia pun berkata
“
Iya Asih…akang sekarang pergi…tapi kamu harus janji. Besok lusa, jam 3 sore
kamu harus datang ke tempat biasa kita dulu bertemu. Awas lo kalau tidak
datang…karena akang mau pergi dari desa
kita ini…akang mau cari uang dulu…pokoknya kamu harus datang…kalau tidak…akang
tidak akan memaafkan kamu…mungkin ini adalah yang terakhir kali kita
bertemu…setelah itu akang janji tidak akan mengganggu rumah tangga kamu lagi…”.
Nyi
Asih terdiam mendengarkan perkataan Panji. Melihat Nyi Asih terdiam Panji
kembali menegaskan ucapannya
“ Kamu harus datang lho Sih…akang akan
tungguin kamu … “.
Asih
menghela nafas lagi
“Yaah
bagaimana nanti ya kang…Asih tidak bisa janji…”.
Panji
pun memberi isyarat dengan tangannya agar nyi Asih mau memenuhi keinginannya
untuk bertemu di tempat yang biasa mereka bercengkrama berdua
“Akang
tunggu..lho Nyai…pokoknya
harus datang….”.
Panji
pun segera pergi meninggalkan Asih yang masih berdiri diam. Hatinya pun mulai goyah oleh tipu daya setan yang
mulai mempengaruhinya.
Malam
itu Asih terlambat lagi pulangnya. Pak Rohadi yang mengetahui putrinya
masih belum pulang padahal hari sudah
larut malam langsung meminta Jaka Someh untuk segera mencarinya.
“
Si Nyai
pergi kemana Jang...?”
Jaka
Someh menjawab
“Saya
tidak tahu pak..., tadi Asih tidak bilang apa-apa ke saya, mungkin lagi ada
keperluan...”. Pak Rohadi nampak tidak senang mendengar jawaban dari jaka Someh
”
kamu teh suaminya, bo ya...di tanya, kalau dia mau pergi-pergi keluar, jangan
dibiarkan bertindak semaunya sendiri...”,
Jaka
Someh hanya mengiyakan nasehatnya pak Rohadi
“
Baik, bapak. Nanti saya coba bicarakan hal tersebut dengan Asih...”.
Sampai
jam 8 malam ternyata Asih masih belum juga pulang ke rumah, pak Rohadi nampak
kawatir dengan Asih yang masih belum pulang, dia berkata pada Jaka Someh
“ Aduuh,
si nyai
teh kemana ya, Jang...? sampai sekarang masih belum juga pulang...”.
Jaka
Someh, coba menenangkan pak Rohadi
“Biar
saya cari saja, pak...nanti saya coba tanya ke teman-temannya Asih...”
Pak
Rohadi mengiyakan “ iya atuh... kamu cari Asih ya, jang. Suruh cepat pulang...
tidak baik, perempuan keluar rumah sendirian apalagi sampai malam begini...”.
Jaka
Someh pun segera pergi keluar untuk mencari istrinya yang masih belum pulang
meski hari sudah larut malam.
Jaka Someh pun segera menyiapkan
dirinya untuk pergi keluar untuk mencari Asih. Baru saja dia mau membuka pintu,
tiba-tiba dari arah luar, Mang Udin berteriak-teriak memanggil Jaka Someh. Dia
nampak panik sambil memanggil Jaka Someh
“
Meh...Someh...Someh...gawat...gawat euy...”
Jaka Someh bertanya ke Mang Udin
“ ada apa mang? Gawat kenapa...coba
atuh tenang dulu...”
Mang Udin berkata dengan agak
sedikit ragu kepada Jaka Someh “Anu..Meh...eeh...Anu...istrimu Asih...”
Mang Udin nampak enggan untuk
meneruskan ucapannya, membuat Jaka Someh menjadi penasaran
“Ada apa dengan Asih, mang
Udin...?emang kenapa Asih teh...? sok atuh ceritakan ke saya...”
Mang udin nampak semakin ragu, dia
diam sejenak, nampak berpikir keras, sampai akhirnya dia pun melanjutkan perkataannya
“Anu...Someh...Asih digerebek
warga...Anu... dia ditangkap warga karena kepergok sedang berbuat mesum dengan
si Panji di pinggir sungai Cikaniki...”.
Jaka Someh langsung berubah wajahnya
menjadi merah padam, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan antara cemburu,
marah, malu dan rasa kecewa, dia hanya mampu berkata kepada mang Udin dengan
ucapan yang masih mengandung keraguan
“Hah..bener itu teh mang?”.
Pak Rohadi yang mendengar ucapan
mang Udin dari balik kamarnya pun nampak gusar dan susah, dia berkata kepada
mang Udin
“ Yang bener atuh Udin...omongan
kamu teh bener atau tidak? jangan becanda kamu teh, hah...?”.
Mang Udin pun mengiyakan pernyataan
tersebut
“ Iya, kang. Betul...sekarang Nyi
Asih dan si Panji sedang di bawa ke lapangan Kampung...Saya kesini untuk
memberitahu si Someh dan akang, supaya menenangkan warga kampung yang marah
terhadap mereka...”.
Jaka Someh berusaha untuk
menenangkan dirinya dan pak Rohadi
“ Sabar pak, sebaiknya kita berangkat
sekarang, untuk memastikan kebenaran beritanya, ayo atuh pak, ikut Mang Udin ke
Lapangan Kampung...”.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka pun
berangkat menuju lapangan kampung untuk menemui Asih.
Sesampainya di Lapangan Kampung,
Asih nampak tertunduk malu sambil menangis terisak-isak. Dia menyesali
perbuatannya yang memalukan diri dan keluarganya. Di sampingnya, Panji tampak
sedang menekukan wajahnya. Tidak tahu apa yang dirasakannya, apakah malu, marah
atau benci karena perbuatannya yang dihakimi masa.
Ketika Jaka Someh dan Pak Rohadi
datang ke hadapan Asih, tak kuasa Asih langsung menangis keras sambil bersujud dan memegangi kaki Jaka Someh,
“ Ampun...kang Someh...saya minta
maaf...Silahkan akang hukum saya..., saya minta maaf...akang...”.
Panji yang melihat Jaka Someh sudah
berdiri di hadapannya, tiba-tiba merasa gentar. Meskipun dia tidak tahu bahwa
Jaka Someh adalah pendekar, namun hatinya ciut melihat muka Jaka Someh yang
nampak memerah. Dia Khawatir dengan kemarahan Jaka Someh dan warga lainnya,
Panji pun berkata dengan suara sedikit bergetar
“Someh...saya minta...maaf...tolong
kamu maafkan Asih..., kalau kamu mau marah...silahkan kamu lampiaskan marahmu
kepada saya saja...”.
Pak Rohadi tak kuasa menahan
amarahnya melihat Panji yang sudah dua kali merusak kehormatan keluarganya,
tanpa pikir panjang dia pun langsung menendang perut Panji sambil berteriak
“bangsat...kamu Panji...dasar lelaki tidak bertanggung jawab...lebih baik saya
bunuh kamu...”.
Panji pasrah meskipun dia merasakan
sakit yang luar biasa akibat tendangan pak Rohadi. Melihat mertuanya yang
nampak kalap, Jaka Someh merasa kawatir, dia pun menenangkan pak Rohadi
“ Sudah bapak...sabar...tidak ada
manfaatnya lagi kita marah...semuanya sudah terjadi...lebih baik kita memaafkan
mereka...”.
Melihat pak Rohadi yang kalap, Asih
merasa takut yang luar biasa, namun dia terus menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba
Jaka Someh berkata kepada panji
”Panji, apakah kamu benar-benar
tulus menyayangi Asih?”
Panji tertegun mendengar pertanyaan
dari Jaka Someh. Jaka Someh yang melihat Panji nampak ragu untuk menjawab
karena takut pada kemarahannya, mengulangi lagi pertanyaannya
“Panji, apakah kamu benar-benar
tulus menyayangi Asih dan mau bertanggung jawab...?” Meskipun dengan
terbata-bata dan suara yang bergetar akhirnya Panji menjawab pertanyaan yang
dilontarkan Jaka Someh
“iiiyyaa...Someh...sa...sa...ya...menya...ya...ngi....Asiih...,Sa...ya...mau...bertanggung...ja...wab...”.
Jaka someh pun kemudian berkata
kepada Asih sambil melirik pada pak Rohadi
“ Nyai...sudah...tidak usah menangis
lagi...akang sudah memaafkan...Nyai tidak usah menangis lagi...mungkin ini sudah menjadi
kehendak yang Maha Kuasa...mungkin Nyai memang bukan jodoh akang...akang
ridho Nyai menikah dengan kang Panji...saat
ini juga akang akan menceraikan Nyai...agar Nyai dapat segera menikah dengan Kang
Panji...”.
Mendengar kata-kata dari Jaka Someh,
Asih bertambah keras menangisnya. Dia merasa menyesal, sekaligus malu terhadap
Jaka Someh. Padahal Jaka Someh sudah begitu baik kepadanya, namun dia tega
mengkhianati dan menyakiti hatinya. Pak Rohadi juga tak kuasa untuk meneteskan
air matanya. Dia pasrah dan berusaha untuk menerima keputusan Jaka Someh terhadap putrinya. Meskipun berat
untuk melepaskan Jaka Someh sebagai menantunya, namun dia sadar betul bahwa
sudah tidak mungkin lagi meneruskan pernikahan antara putrinya dengan Jaka
Someh. Warga yang menyaksikan kejadian itu pun ikut terharu dan merasa iba
terhadap Jaka Someh yang sudah diselingkuhi istrinya. Jaka Someh berkata pada para warga
“ Bapak-bapak,
ibu-ibu, akang-akang, saya minta maaf atas kejadian ini...atas nama keluarga
juga saya mohon untuk memaafkan kami..., saat ini juga saya menyampaikan bahwa
saya dan Asih... sekarang... resmi telah bercerai...”.
Para warga yang bersimpati dengan
Jaka Someh menyalami jaka Someh sebagai bentuk bela sungkawa mereka. Beberapa
warga berusaha menghibur Jaka Someh
“ sabar...ya meh...”.
Sebagian besar warga pun akhirnya
membubarkan diri, hanya tersisa beberapa warga saja, termasuk Ustaz Fikri. Ustaz Fikri pun menasehati Jaka someh
“Someh…sabar ya…mungkin ini adalah yang
terbaik buat kamu…kamu tidak boleh berburuk sangka terhadap Allah, meskipun
sakit tapi saya yakin, dengan musibah yang kamu alami ini semua ada
hikmahnya...yang penting kamu sabar dan berbaik sangka kepada Allah...…kehilangan sesuatu bukan berarti
pertanda keburukan mungkin saja ini cara Allah menghilangkan keburukan dari
diri kamu…kamu itu orang baik…Insya Allah akan mendapatkan ganti yang jauh
lebih baik dan barokah…kalau tidak di dunia ini ya nanti di akherat berupa
bidadari yang cantik...Aamiinn…Sabar ya meh…”.
Jaka Someh merasa terhibur dengan
nasehat dari Ustaz Fikri
“Iya Pak Ustaz…doakan saja supaya
Saya selalu ditetapkan dalam keimanan dan ketakwaan…Semoga Allah memberikan
kesabaran dan keihlasan…agar Saya bisa ridho dengan semua kejadian ini….”.
Jaka someh berusaha tersenyum, meskipun
hatinya menangis.
Ustaz Fikri pun mengamini harapan Jaka someh
sambil memegang pundaknya.
“Aamiin…amin…Someh Insya Allah kamu akan dapat
ganti yang lebih baik dan barokah…”
Pada malam itu juga, Asih akhirnya
dinikahkan dengan Panji. Jaka Someh pun ikut menyaksikan pernikahan mereka.
Awalnya Ustadz Fikri menolak untuk
menikahkan Asih dengan Panji. Namun atas
desakan Bapak kepala Kampung, para sesepuh, Pak Rohadi dan juga Jaka Someh,
Ustadz Fikri terpaksa bersedia untuk menikahkan Asih dengan Panji.
“Baiklah saya bersedia menikahkan Nyi
Asih dengan si Panji, tapi nanti nunggu sampai masa idahnya telah habis...”
Kata Ustadz Fikri
Jaka Someh berbisik kepada Ustadz
Fikri. Ustadz Fikri mesem mendapat bisikan dari Jaka Someh.
Bapak kepala Kampung dan beberapa
sesepuh lainnya merasa penasaran dengan apa yang dibisikan Jaka Someh kepada
ustadz Fikri.
Bapak kepala Kampung kemudian bertanya
dengan suara pelan kepada Ustadz Fikri
“Ada apa Pak Ustadz...?”
Ustadz Fikri kemudian membisikan
sesuatu ke telinga bapak kepala kampung
“Kata Jang someh, dia belum pernah
menggauli istrinya selama pernikahan, jadi tidak ada iddah...”
Bapak kepala Kampung tersenyum, mesem
dengan bisikan dari ustadz Fikri. Kemudian dia membisikan ucapan Ustadz Fikri kepada
para sesepuh lainnya. Mereka pun mesem mendengar bisikan Bapak kepala Kampung.
Pak Rohadi tak kuasa melihat Jaka
Someh, dia pun memeluk Jaka Someh sambil menguraikan air mata.
“Bapak minta maaf Jang Someh...”
Jaka Someh tersenyum kepada pak
Rohadi
“Iya Bapak, tidak apa-apa…Bapak
sabar…ya…yang penting sekarang mah Nyi Asih bahagia…saya juga minta maaf...”
Pak Rohadi kemudian bertanya kepada
Jaka Someh
“Bapak minta maaf Jang Someh...”
Jaka Someh tersenyum kepada pak
Rohadi
“Iya Bapak, tidak apa-apa…Bapak
sabar…ya…yang penting sekarang mah Nyi Asih bahagia…saya juga minta maaf...”.
Pak Rohadi kemudian bertanya kepada
Jaka Someh
“Setelah ini, Jang Someh mau tinggal
dimana? apakah mau kembali ke lereng gunung Halimun?”
Jaka Someh menjawab pertanyaan Pak
Rohadi sambil tersenyum getir
“Sepertinya tidak...pak...Insya
Allah saya ingin pergi berkelana, saya mau mencari pengalaman hidup...masih
banyak yang ingin saya lihat dan saya pelajari pak...saya mohon doanya ya
pak...agar saya bisa terus dalam perlindungan yang Maha Kuasa”.
Pak Rohadi meresetui niatan Jaka
Someh yang ingin pergi berkelana
“ Iya, bapak hanya bisa mendoakan supaya kamu bisa sukses
dalam pengembaraannya...besok pagi saja berangkatnya...ya jang,...malam ini
biar ujang bermalam dulu saja di sini...”
Jaka Someh mengamini dan mengiyakan
permintaan dari pak Rohadi.
Keesokan paginya, Jaka Someh
berpamitan dengan pak Rohadi dan warga kampung Cikaret lainnya. Pak Rohadi
membekalinya dengan sekantung uang
“Jang, ini uang punya bapak...buat
ujang...buat bekal di jalan...mohon di terima...”.
Jaka Someh tak kuasa untuk menolak
pemberian uang dari Pak Rohadi
“ Bapak. Terima kasih banyak...Saya minta naaf
jadi merepotkan Bapak…” kata Jaka Someh dengan mata yang berkaca-kaca menahan nangis.
Mang Udin dan Bi Cicih juga ikut melepaskan kepergian Jaka Someh yang akan pergi meninggalkan kampung mereka untuk berkelana. Mereka merasa sedih berpisah dengan Jaka Someh yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.
Jaka Someh begitu berat berpisah dengan mereka, terutama dengan si Jalu. Dia begitu menyayangi si Jalu meskipun bukan anak kandungnya sendiri. Jaka Someh pun memeluk dan mencium kepala si Jalu. Si Jalu pun menangis, seakan-akan dia mengerti bahwa Jaka Someh akan pergi jauh meninggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar