Minggu, 18 Februari 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 10. Sebuah Pernikahan




Sementara Jaka Someh sedang giat berlatih di gunung halimun, Pak Rohadi sedang bingung menunggu anak perempuan satu-satunya yang belum pulang. Hari sudah begitu larut malam namun Asih masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Dengan gelisah dan penuh kekawatiran, pak Rohadi terus menungguinya pulang. Sudah beberapa hari ini, Asih memang sering pulang malam. Pak Rohadi sebenarnya sudah mengingatkannya untuk pulang sebelum magrib, namun ternyata nasehat nya tidak pernah di gubris oleh Asih. 
Jam sebelas malam Asih baru datang ke rumahnya di antar oleh empat orang kawannya, satu wanita dan tiga laki-laki. Ny iAsih berjalan dengan mengendap-endap, khawatir ayahnya tahu kalau dia pulang sampai larut malam. Dia tidak tahu bahwa ayahnya saat itu sedang menungguinya. Dengan pelan Asih membuka pintu rumah. Baru saja dia melangkahkan kakinya ke dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara ayahnya
“Dari mana Nyai...?”
kata pak Rohadi. Asih terkejut ayahnya masih belum tidur, dengan gagap dia menjawab “A...a..nu...Ba...pak...Aa...sih...ha...bis nonton wa...yang go...lek, Ba...pak belum tidur...?”
Pak Rohadi terlihat kesal melihat anaknya pulang sampai larut malam seperti itu. Ingin rasanya dia memarahi anaknya saat itu juga. Cuma dia sadar, saat itu tengah malam. Dia juga paham dengan tabiat anaknya yang gampang sekali menjadi mutung apabila dimarahi. Akhirnya meskipun kesal terhadap putrinya, Pak Rohadi tetap berusaha berkata lembut kepada putrinya itu
“ya sudahlah, tapi Nyai tidak boleh mengulangi lagi...sebenarnya Bapak teh kesal kalau kamu pulang sampai larut malam begini...bukan apa-apa ...karena Bapak kawatir, takut terjadi apa-apa ke kamu...Nyai...kamu kan perempuan...”
Asih yang sedang tidak mau mendebat bapaknya, berkata
“Baik bapak...Asih minta maap... Asih janji tidak akan mengulangi perbuatan asih lagi”
Asih langsung masuk ke dalam kamarnya.
Pagi harinya, pak Rohadi menyiapkan sarapan untuk putri kesayangannya. Setelah sarapannya sudah siap, pak Rohadi menuju kamarnya Asih, untuk membangunkan putri kesayangannya tersebut. Belum sampai pak Rohadi ke kamarnya Asih, tiba-tiba pintu kamar Asih terbuka. Dilihatnya Asih keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa sambil meletakan telapak tangan kirinya di mulut. Dia berjalan dengan tergesa menuju pekarangan rumah. Di pekarangan itu dia muntah. Pak Rohadi yang melihat anaknya muntah, hatinya menjadi kawatir, takut anaknya mengalami sakit keras.
“kenapa Nyai...apakah kamu sakit?”
kata pak Rohadi. Asih menjawab pertanyaan bapaknya
“tidak tahu pak, tiba-tiba Asih merasa mual ingin muntah...mungkin Asih masuk angin, pak...”
Pak Rohadi kemudian membopong putrinya, supaya kembali ke kamarnya untuk beristirahat disana.
Nyai...kamu istirahat saja dulu...sebentar bapak buatkan wedang jahe” kata pak Rohadi.
Pak Rohadi segera pergi kedapur untuk membuatkan wedang jahe untuk putri kesayangannya. Setelah siap, dia kembali ke kamar anaknya
 “Ini Nyai... kamu minum dulu wedang jahenya...” Asih mengiyakan bapaknya
” Baik bapak, Asih minum wedang jahenya dulu ya...”.
Tidak berapa lama setelah minum wedang jahe buatan bapaknya, tubuhnya sudah kelihatan bugar kembali.
Keesokan harinya, Asih mengalami muntah lagi. Melihat anaknya sering mengalami muntah di pagi hari, Pak Rohadi menjadi kawatir takut anaknya kenapa-kenapa. Dia pun kembali membuatkan wedang jahe untuk anaknya itu. Tubuh Asih pun kembali bugar setelah meminum wedang jahe buatan bapaknya tersebut. 
Hari-hari berikutnya ternyata Asih masih juga muntah-muntah, bahkan frekwensinya terus meningkat. Bukan hanya di pagi hari saja melainkan di waktu siang dan malam hari. Pak Rohadi jadi curiga ketika melihat kondisi putrinya seperti demikian itu. Apalagi ketika diamati, badan Asih seperti mengalami perubahan, yaitu perutnya membuncit. Pak Rohadi berkata dalam hatinya 
“jangan-jangan dia hamil, wah celaka kalau bener dia hamil di luar nikah “. 
Ingin rasanya Pak rohadi menanyakan langsung kecurigaannya kepada Asih, namun karena rasa sungkan dia pun menyabarkan diri untuk menunda rasa penasarannya. Setelah semingguan, Pak Rohadi mendapatkan waktu yang pas untuk berbincang-bincang dengan Asih.  Akhirnya dia menanyakan rasa curiganya kepada Asih. Dengan bahasa yang di atur sehalus mungkin supaya anaknya tidak tersinggung Pak Rohadi memulai perbincangannya
Nyai, maapkan bapak...mohon Nyai jujur ke bapak...eeh...eeh...apakah Nyai teh...eeh...eeh...” 
Pak Rohadi tidak jadi melanjutkan pertanyaannya. Asih tahu maksud pertanyaan bapaknya, dia pun menjawab dengan santai
 “Maksud bapak asih teh hamil begitu...?” 
Pak Rohadi jadi gugup
“oh...ah tidak Nyai...bapak minta maap kalau menyinggung Nyai...tidak ada maksud bapak menyinggung kamu...Bapak Cuma khawatir karena melihat kamu sering muntah...dan perut kamu seperti membuncit.... seperti orang yang sedang hamil...”.
Asih hanya mampu terdiam, dia merasa bingung harus berkata apa kepada bapaknya, dia merasa sepertinya dia memang benar-benar hamil oleh kekasihnya, panji. Namun saat itu rasanya dia berat kalau harus mengakui kehamilannya. Asih kemudian berkata kepada ayahnya 
“Kenapa Bapak the menuduh yang tidak-tidak kepada Asih, Asih tidak mungkin hamil atuh Bapak...Asih muntah-muntah karena masuk angin saja...”.
Pak Rohadi sedikit lega mendengar jawaban putrinya
“Ooh...begitu Nyai...Alhamdulillah kalau memang begitu...Bapak jadi lega...sekarang”. 
Untunglah bapaknya sudah tidak lagi menanyainya, jadi untuk sementara waktu dia bisa merasa tenang. Asih  pun  kemudian pura-pura tidur di dalam kamarnya.
Meskipun Asih berusaha keras untuk menyembunyikan kehamilannya, namun seiring dengan waktu, apalagi setelah usia kandungannya menginjak usia 3 bulan, dia pun sering mengalami mual dan muntah. Kehamilannya pun sudah tampak begitu jelas, sudah tidak mungkin lagi dia membantahnya. Perutnya kini membuncit. Asih jadi bingung tidak tahu harus bagaimana. Orang-orang pun sudah mulai memperguncingkan keadaan Asih tersebut. Pak Rohadi sekarang sudah bisa memastikan bahwa anaknya memang benar-benar hamil. Dengan memberanikan diri, akhirnya Pak Rohadi bertanya langsung kepada anaknya
“jujur sama bapak atuh Nyai...siapa yang menghamili kamu  teh...apakah si panji...?”.
Asih tidak kuasa menahan tangisnya, akhirnya dia pun mengakui bahwa dia memang dihamili oleh Panji.
“ya sudah Nyai...sekarang bapak akan meminta pertanggung-jawabannya, agar si panji mau menikahi kamu, Nyai...tunggu di sini, bapak mau ke rumah si panji...”
Pak Rohadi pun segera pergi ke rumah Panji. Disana dia hanya bertemu dengan kedua orang tuanya panji, Pak Sumanta dan Bu Yuyun. Pak Rohadi membuka obrolan 
“Permisi Pak Manta...maksud kedatangan saya kesini teh mau menemui anak bapak, nak Panji, saya mau minta pertanggung jawaban anak bapak...” 
Pak Manta sedikit terkejut
“Maksudnya Pak Rohadi pertanggung jawaban apa? memangnya apa yang sudah dilakukan si panji ...?”.
Pak Rohadi kemudian menceritakan perihal putrinya yang telah hamil oleh panji. Setelah mendengar cerita pak Rohadi, pak manta berkata
“Saya minta maap pak Rohadi, aduh bagaimana ini...saya jadi bingung...bukannya saya tidak mau anak saya bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi masalahnya si panji teh sudah seminggu ini kabur dari rumah, pak...entah kemana anak ini... waktu seminggu yang lalu, saya sempat emosi, saya terlalu keras memarahi anak saya si panji..saya marah setelah dia mencuri uang hasil jualan cengkeh saya..dan uangnya tersebut di pakai untuk berjudi..makanya saya kebablasan mengusirnya…saya minta maap pak...tidak tahu kalau ada kejadian ini...”
Pak Rohadi mendengar ucapan pak manta menjadi lemas dan bertambah susah. Tidak mungkin dia memaksa pak Manta lagi, untuk memintai pertanggung jawaban perbuatan anaknya itu. Pak Rohadi terus berpikir berharap menemukan solusi masalah kehamilan putrinya itu, namun dia masih juga belum mampu menemukannya.
Perut Asih semakin hari semakin bertambah buncit, padahal keberadaan Panji masih belum di ketahui. Pak Rohadi bergumam dalam hatinya
 “wah celaka kalau begini...saya tidak mungkin terus menerus menunggu si panji yang tidak jelas keberadaannya...saya harus mencarikan suami buat si Nyai... tapi siapa ya kira-kira laki-laki yang mau dinikahkan dengan anak saya...?”
Pak Rohadi terus berpikir untuk mencari lelaki yang sekiranya mau dinikahkan dengan putrinya tersebut. Tiba-tiba dia ingat dengan Jaka Someh
“Duh kenapa saya tidak minta tolong ke Jang Someh saja ya...mudah-mudahan saja dia mau menolong saya, mau menikah dengan Asih...”.
Keesokan harinya, setelah shalat subuh pak Rohadi berangkat ke rumah Jaka Someh di lereng Gunung halimun. Tepat sebelum Jaka Someh berangkat ke ladangnya, pak Rohadi bertemu dengan Jaka Someh. Jaka Someh merasa heran dengan kedatangan pak Rohadi ke gubuknya yang tiba-tiba, sambil tersenyum ramah dia menyapa pak Rohadi
“Bapak...? assalamualaikum...bagaimana kabar bapak...koq tumben, bapak mendatangi gubuk saya...ada apa ya pak...?”
Jaka Someh bertanya kepada pak Rohadi. Pak Rohadi tampak berat menjawab pertanyaan Jaka Someh. Dengan perlahan, dia pun menceritakan permasalahan yang sedang dialami keluarganya. Di ujung ceritanya dia berkata kepada Jaka Someh
“Maksud bapak ke sini teh mau minta pertolongan ujang...duh mudah-mudahan ujang mau menolong bapak dan Asih... tolong atuh jang...”
Jaka Someh sedikit terkejut mendengar kata ‘tolong’ dari Pak Rohadi, dia pun mencoba memperjelas rasa curiga yang ada dalam hatinya
“Maksud bapak saya harus menolong bagaimana atuh pak...?”
Pak Rohadi menjawab 
“Tolong Jang Someh untuk menikahi anak saya, Asih...”.
Deg, Jaka Someh merasa Jantungnya mau copot, meski dia sudah menyangka perihal tersebut, namun tetap saja dia merasa terkejut. Jaka Someh terdiam Seribu Bahasa karena bingung harus menjawab apa terhadap Pak Rohadi. Melihat sikap Jaka Someh seperti itu, Pak Rohadi merasa tidak enak, namun dia tetap memaksakan untuk bertanya langsung kepada Jaka someh
“Apakah Jang Someh keberatan? tidak bersedia menolong saya dan Asih? kalau memang keberatan...ya tidak apa-apa... bapak juga bisa memakluminya Jang...”
Jaka Someh terperanjat, dengan spontanitas dia menjawab
“Oh tidak begitu...bapak...iya...iya saya bersedia menikahi Nyi Asih pak...”.
Berat rasanya bagi Jaka Someh untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Dia bingung dan merasa syok telah mengucapkan kalimat tersebut. Namun jawaban Jaka Someh itu justru membuat lega dan bahagia pak Rohadi, seakan-akan telah terlepas dari beban berat yang menghimpitnya.

Jaka Someh tidak sadar telah membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Rasa sungkannya yang telalu besar telah mengalahkan rasio berfikirnya. Menghadapi sesuatu permasalahan yang besar seharusnya melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang. Bukan hanya sekedar hawa nafsu atau menuruti perasaan hati saja. Apalagi hanya berdasar pada perasaan sungkan saja kepada orang lain. 
Dia tidak sadar bahwa keputusan menikahi wanita seperti Asih, mungkin saja akan memiliki dampak negatif dalam kehidupannya.
Satu minggu kemudian upacara pernikahan antara Jaka Someh dan Asih pun di langsungkan. Jaka Someh sebenarnya masih merasa tak percaya dengan pernikahannya ini. Antara sadar dan tidak, Jaka Someh sekarang telah menjadi suami Asih. Sungguh pernikahan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Semuanya karena rasa sungkan dan hormat yang terlalu besar kepada pak Rohadi yang telah baik kepadanya.

Jaka Someh sebenarnya merasa aneh dengan pernikahannya tersebut. Ada perasaan mengganjal dalam hatinya. Tapi dia belum paham dimana letak kekurangannya. Penghulunya ada, wali nikahnya juga ada, saksi pernikahan dan mas kawin juga ada. Akadnya juga cukup baik dan lancar. Terus dimana letak kekurangannnya? Jaka Someh merasa bingung.

Letak kekurangannya sebenarnya adalah pada wanita yang dinikahi oleh Jaka Someh itu sendiri. Asih sedang dalam kondisi hamil, buah dari pergaulan bebas dengan kekasihnya. Kalau saja hamilnya karena korban dari pemerkosaan, mungkin itu bisa di tolerir tapi Asih hamil karena perbuatan dosanya dengan Panji. 
Seorang lelaki yang baik seharusnya memilih menikahi wanita yang baik juga.
Di dalam kamar, di saat malam pertama, Jaka someh merasa risih terhadap Asih. Jaka Someh hanya berdiri di pintu sedangkan Asih duduk di ranjangnya. Dia hanya tertunduk. Merasa bingung dan risih. Dengan langkah ragu, Jaka Someh mendekat pada Asih. Nyi Asih mendongakan wajahnya ke arah Jaka someh, terlihat ada sedikit takut kepada Jaka someh. Kemudian Asih berkata 
“ kang Someh, saya berterima kasih kepada akang yang telah bersedia menikahi saya, saya tahu akang menikahi saya karena terpaksa, hanya untuk menghormati bapak..saya pun demikian..saya terpaksa menikah dengan akang karena saat ini tidak ada pilihan lain..mohon akang jangan punya pikiran macam-macam terhadap saya..karena sebenarnya cinta saya cuma buat kang panji...”. 
Jaka Someh terkejut mendengar perkataan Asih, dengan sedih dia berusaha meyakinkan Asih, bahwa dia tidak akan melakukan sesuatu yang menyakiti Asih 
Nyai tidak perlu khawatir...akang tidak akan berbuat macam-macam terhadap Nyai…akang berjanji, nyi...”
Dengan senyum yang dipaksakan bercampur rasa malu, Jaka Someh mengambil  sebuah tikar dan menggelarnya di bawah ranjang Nyi Asih, kemudian dia berkata kepada Asih 
Nyai, akang tidur di sini, silahkan Nyai istirahat di situ…Nyai tidak usah takut terhadap akang, akang bukan orang jahat…”. 
Jaka Someh pun membaringkan dirinya di atas tikar, yang tidak lama kemudian tertidur nyenyak. Nyi Asih hanya memandanginya dari atas ranjang.

Bersambung Ke Bagian 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...