Matahari
sudah hampir berada di tengah langit. Panasnya sudah begitu terik. Hanya ada
sedikit awan yang menutupi langit di wilayah kampung Cikaret. Angin gunung
berhempus sepoi-sepoi. Jaka Someh sudah pingsan selama lebih dari 6 jam. Meskipun
di sekitar tempat itu banyak pepohonan yang rimbun, namun Jaka Someh pingsan di
tengah jalan setapak yang tidak ternaungi oleh pepohonan. Terik matahari pun
mengenai kulitnya, yang segera menyadarkannya dari pingsan.
Jaka
Someh mencoba untuk membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, bumi dan langit
seakan-akan berputar. Dia pun kembali memejamkan mata. Setelah kesadarannya
mulai stabil. Dia kembali membuka mata, dan mulai mengingat peristiwa yang baru
dialaminya tadi. Peristiwa naas yang tak terduga sama sekali. Begitu cepat dan
spontanitas.
Wajahnya
terasa perih dan sakit akibat dipukul
dan ditampar.
Dadanya terasa sesak akibat ditendang
Ki Marta dan kawan-kawannya. Segala persendiannya terasa ngilu. Dengan susah
payah dia berusaha bangun dan duduk. Setelah berhasil duduk, Jaka Someh terdiam
untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sedih, marah dan kecewa bercampur dalam
jiwanya. Membangkitkan keinginan
untuk membalas dendam.
Hatinya
dipenuhi rasa luka, membuat dia lupa dengan rasa sakit yang ada di tubuhnya.
Dalam hati muncul keinginan
untuk membalas dendam
kepada musuh yang telah menganiaya dirinya dan ayah tercinta. Jaka
Someh kemudian berusaha untuk berdiri, meski awalnya sempoyongan, namun
akhirnya dia berhasil dapat
berdiri
tegak. Setelah itu dia berjalan ke arah sebuah pohon yang nampak rimbun.
Meskipun tertatih-tatih akhirnya dia berhasil berjalan beberapa langkah, menuju
naungan kerimbunan pohon asam yang tidak jauh dari tempat itu. Di bawah pohon
asam itu dia mengistirahatkan kembali jiwa dan raganya yang sedang terluka.
Setelah beristirahat cukup lama, keadaannya pun sudah mulai stabil. Jaka Someh
kemudian memutuskan untuk pulang ke gubuknya. Dengan tertatih-tatih, dia
berjalan pulang ke gubuknya. Hari itu dia telah gagal untuk pergi ke ladangnya.
Sudah
seminggu Jaka Someh tidak pergi ke ladang. Dia lebih banyak melamun di dalam
gubuknya. Tubuhnya memang sudah mulai membaik, meskipun masih ada sedikit
lembam di wajahnya. Walau masih remaja, Jaka Someh memiliki tubuh yang kuat. Berangsur
angsur semua luka di tubuhnya akhirnya sembuh total. Namun luka di hatinya masih belum sembuh.
Hari
itu Jaka Someh hanya duduk melamun di serambi bale-bale, merenungi nasib yang
tampak sial. Dia merasa Tuhan bertindak kejam terhadap kehidupannya. Sudah
tidak punya ayah dan ibu, sekarang dia mengalami penganiayaan. Sebatang kara,
tidak ada seorang pun yang bisa diajak untuk berbagi keluhan, apalagi yang
mempedulikan dan menolongnya. Hidup sendiri dalam gubuknya yang jauh dari
pemukiman warga lainnya.
Jaka someh berharap ada orang yang menemani di saat susah seperti ini.
Terkadang
memang ada beberapa warga kampung yang sedang mencari kayu bakar datang berkunjung ke gubuknya, meskipun hanya sekedar
untuk ikut beristirahat di serambi gubuknya. Namun sudah lebih dari seminggu
ini, tidak ada seorang tamu pun yang berkunjung ke gubuknya itu
Tiba-tiba
dia merasa rindu yang sangat kepada kedua orang tuanya. Dia pun mengenang saat
bersama kedua orang tuanya dulu. Jaka Someh merasa sedih teringat nasib ayahnya
yang mati tragis di keroyok oleh Ki Marta dan kawan-kawannya. Dia pun nyaris
bernasib sama dengan ayahnya. Jaka Someh tidak mau kejadian yang telah
dialaminya beberapa waktu yang lalu akan terulang kembali dalam kehidupannya
mendatang. Dia pun bertekad untuk membalas perbuatan Ki Marta dan
kawan-kawannya yang telah menganiaya dirinya.
“seandainya saja saya memiliki
kemampuan
bela diri, menjadi
pendekar… pasti saya menghabisi
mereka…eh…”
Jaka
Someh bergumam sendirian sambil mengepalkan kedua tinjunya. Dalam hati,
terbersit keinginan untuk menjadi pendekar yang gagah dan kuat, yang tidak
mudah dikalahkan oleh musuh siapapun. Tapi bagaimana caranya
dia bisa menjadi
seorang pendekar? jangankan
ilmu yang tinggi, dasar-dasar silatpun dia tidak tahu.
Jaka
Someh kemudian bergumam
”Kalau begitu saya harus
mencari seorang guru silat yang hebat, tapi kemana saya harus mencari seorang
guru? Aahh...tak peduli dimanapun dia berada, pokoknya saya harus menemukan
seorang guru yang hebat yang mau mengajari saya dengan ilmu silat...!”
Hari-hari
berikutnya, pikiran Jaka Someh dipenuhi dengan hasrat untuk mencari seorang
guru yang bisa mengajarinya silat.
Pagi
itu Jaka Someh sedang duduk di sebuah batang pohon besar yang ada di halaman
gubuknya. Pikirannya melayang memikirkan berbagai peristiwa yang telah lewat.
Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang ke
gubuknya. Dia adalah Mang Engkos, warga kampung Cikaret yang sedang mencari
kayu bakar. Melihat Jaka Someh sedang duduk melamun, tiba-tiba muncul keisengan
dalam benak mang Engkos untuk mengagetkan Jaka Someh. Dengan berjalan
mengendap-endap dari arah belakang, Mang Engkos segera menepuk pundak Jaka Someh
secara
keras sambil berteriak
“Hey...Someh, kamu sedang
memikirkan siapa...?”
Jaka
Someh terperanjat dikejutkan oleh mang Engkos. Lamunannya pun langsung buyar.
Jaka Someh berkata kepada mang Engkos
“Ah mang Engkos ini, bikin
jantung saya mau copot saja...”
Mang
Engkos tertawa terbahak-bahak melihat Jaka Someh terlihat kaget, lalu berkata
kepada Jaka Someh
“Lagian kamu sih.... pagi-pagi sudah
melamun...ngelamunin apa sih Meh...?”
Jaka
Someh merasa senang bisa bertemu dengan Mang Engkos di saat hatinya sedang
mengalami kegundahan seperti itu, namun dia berpura-pura cemberut kepada Mang
Engkos, sambil berkata
“Ah Mamang ingin tahu urusan orang saja...dasar
kepo...”.
Mang
Engkos berlagak menunjukan wajah seriusnya, namun terlihat lucu di mata Jaka
someh,
“Bukan begitu Meh, pamali
kalau banyak melamun ... saya punya
cerita tentang orang yang meninggal mendadak gara-gara kebanyakan melamun...”
Entah
kenapa Jaka Someh merasa penasaran dengan ucapan Mang Engkos
“Heh yang benar Mang, masa iya gara-gara melamun saja orang
bisa mendadak meninggal...”
Masih
dengan muka serius Mang Engkos pun menjawab rasa penasaran Jaka someh
“Wah...kamu tidak percaya dengan cerita saya ya?
...Ya bisa saja Meh, begini
ceritanya...dulu ada seorang lelaki bernama Kardun...dia seorang penggembala kambing. Suatu hari Si
Kardun minta kawin kepada emaknya...Emaknya bingung karena tidak ada seorang
perempuan pun di desa itu yang mau nikah sama si kardun...bahkan nenek-nenek
peot saja sampai bilang ogah pada si kardun, wajar juga sih sebenarnya, karena
si Kardun memang gak pernah mandi,
gaulnya juga cuma sama kambing, makanya badannya bau sekali... Sehingga tidak ada seorang
wanita yang mau sama dia... Akhirnya Si Kardun menjadi sering melamun...setiap
hari dia hanya
melamun, memikirkan
bagaimana cara agar dia
bisa kawin...dia melamun setiap
hari dan
petang, kerjanya hanya melamun saja...para warga yang melihatnya pun akhirnya
menjadi merasa kasihan. Namun bagaimana lagi , meskipun sudah di usahakan
dicarikan jodoh oleh mereka,
namun masih belum juga ada perempuan yang mau di kawinkan dengan si Kardun,
akhirnya mereka pun pasrah. Hari-berganti hari, Entah karena bosan atau karena
hal yang lain, akhirnya si Kardun pun sudah mulai nampak ceria kembali. Dia
sudah tidak minta kawin lagi. Para warga juga ikut merasa senang. Namun
kejadian itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah tiga bulan, Si
Kardun kembali terlihat susah dan gelisah lagi. Dia sering melamun lagi,
apalagi saat tahu kambingnya sedang bunting besar. Para warga heran dengan
sikap si Kardun seperti itu, harusnya dia senang melihat kambingnya menjadi
bunting, tapi ternyata dia sedih dan bingung.
Singkat
cerita, pada saat kambingnya sudah akan melahirkan, si Kardun terlihat berada
di sisi kambingnya. Dia menungguinya dengan perasaan penuh was-was.
Anak
kambing yang pertama pun lahir, ternyata anak kambing tersebut persis seperti
ibunya. Berupa kambing tulen 100%. Si Kardun merasa senang bukan kepalang.
Namun rasa senangnya hanya berlangsung beberapa saat saja. Karena kambing
betinanya tersebut sudah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan lagi. Si
Kardun pun kembali menjadi was-was. Namun ketika anak kambing yang kedua sudah
terlahir dan masih mirip dengan ibunya. Si Kardun kembali merasa senang bukan
kepalang, sampai-sampai dia berjingkrak-jingkrak karena senangnya.
Begitu
giliran anak kambing terakhir sudah mau keluar, Si Kardun kembali lagi
memperlihatkan wajah yang susah, hatinya menjadi deg-degan. Dengan perlahan
anak kambing itu pun keluar dari rahim ibunya. Pertama yang keluar adalah
bagian kakinya dulu, Si Kardun merasa senang karena kakinya ternyata mirip
dengan kaki kambing seperti umumnya. Tak lama kemudian bagian badannya juga
keluar, ternyata badannya juga mirip kambing pada umumnya. Si Kardun semakin
bertambah senang.
Pada
saat bagian kepalanya sudah mau keluar, Si kardun merasa ketakutan yang luar
biasa. Saking takutnya, dia sampai menutupi matanya dengan kedua tangan.
Khawatir kepala anak kambing tersebut mirip dengan kepala manusia. Begitu
kepalanya sudah keluar dengan sempurna ternyata kepalanya juga adalah kepala
kambing. 100 persen kambing. Si Kardun langsung bersorak-sorak saking
senangnya. Bahkan sampai melompat-lompat dan salto beberapa kali kerena
bahagia.
Namun
dia langsung terhenyak kaget, badannya menjadi dingin ketika ketiga anak
kambing tersebut bersuara keras, memanggil dirinya.
“Bapak....bapak....
embeekk...embeek...bapak...bapak...”.
Anak
kambing tersebut ternyata memanggil si kardun dengan sebutan ‘Bapak’.
Spontan
saja si Kardun pingsan dan langsung meninggal saat itu juga...he...he...makanya
kamu juga, Meh, jangan
kebanyakan melamun...nanti kayak si Kardun lho...mati mendadak...”.
Jaka
Someh tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Si Kardun dari mang Engkos. Dia
merasa terhibur dan lupa bahwa saat itu dia sedang mengalami kesusahan.
Kemudian
Jaka Someh berkata ke Mang engkos
“Ha...ha...Mang Engkos bisa saja...ceritanya terlalu dipaksakan...benar-benar tidak nyambung.... tapi saya koq jadi
ngebayangin wajah si Kardun ya..! wajah yang lagi ketakutan sewaktu menunggu
lahiran anak kambing...Wah pastinya dia kawatir sekali kalau anak kambingnya
akan mirip
dengan dirinya...Karena dia memang bapak dari ketiga anak kambing itu…he...he...”.
Mang
Engkos tersenyum melihat Jaka someh bisa tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah
suasananya kembali tenang, jaka someh pun bercerita ke Mang Engkos bahwa dia
sedang mencari seorang guru silat. Mang Engkos berkata
“Oh, kenapa kamu tidak bercerita
kepada
Saya dari tadi , Someh...kalau masalah itu, kamu tidak perlu
Susah...Kamu bisa belajar silat di perguruan Maung karuhun. Itu perguruan silat
yang sudah
terkenal sampai ke berbagai pelosok wilayah Pajajaran bahkan Sukabumi…bukan hanya di
kampung kita saja. Aduch…kamu
koq bisa sampai tidak tahu seperti ini…dasar
memang kamu udik, makanya bergaul Someh…jangan di hutan saja…masa…ada
perguruan hebat di kampung sendiri saja tidak tahu…Banyak orang dari jauh yang
sengaja datang ke Perguruan Maung karuhun, karena ingin berguru ke Ki Jaya
Kusuma…dasarJaka
Someh seorang yang udik…he…he…hanya tahu nyangkul doang….
he…he…”.
Jaka
Someh hanya tersenyum saat mendengar ocehan mang Engkos yang terus menyerocos.
Mendengar
penjelasan Mang Engkos, Jaka someh menjadi sumringah. Seakan-akan dia telah
menemukan titik terang. Dia merasa
senang mendengar informasi dari Mang Engkos. Berkali-kali dia mengucapkan
terima kasih kepada Mang Engkos
“Terima kasih banyak, mang. Insya Allah saya mau
berguru ke Sana…tapi kira-kira, apakah Ki Jaya Kusuma, mau menerima saya atau
tidak,
ya.
Untuk menjadi
muridnya...?”
Mang
Engkos tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh
“Hey kamu
belum apa-apa sudah pesimis, Insya Alloh di terima Meh…Kamu tidak perlu khawatir karena Ki Jaya
Kusuma itu orangnya baik…tidak sombong…kamu tenang saja…. ayo semangat dong,
semangat…jangan pesimis, he…he…”
Jaka
someh tersenyum, hatinya gembira setelah berbincang-bincang dengan Mang Engkos.