Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 April 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 54. Pendekar Alam Gaib


Kabar tewasnya Ki Tapa akhirnya sampai juga di telinga Ki Jabrik. Beberapa anak buah ki tapa yang melarikan diri dari Jaka Someh, ternyata kembali ke padepokan Ki Jabrik yang berada di lereng gunung Padang. Salah satu orang itu bernama Jarpati.
Sesampainya di padepokan Jarpati langsung berlutut dihadapan Ki Jabrik yang sedang duduk di kursinya. Beberapa anak buahnya juga ikut kumpul bersamanya.
 “Ampun aki, saya Jarpati, mau melaporkan bahwa Ki Tapa sekarang sudah meninggal, dia dibunuh oleh seorang pendekar muda”. 
Ki Jabrik yang waktu itu sedang ditemani oleh Ki Anyar Malih dan Dewi Naga, terkejut mendengar laporan Jarpati
“Hah, siapa pendekar yang bisa mengalahkan Ki Tapa? Apakah salah seorang pendekar dari kawan-kawannya Ki Buyut Putih?”.
Jarpati menggelengkan kepalanya
“Saya tidak tahu aki, tapi sepertinya dia bukan dari perkumpulan padepokan Ki Buyut Putih, pendekar itu datang bersama dua anak yang masih remaja dengan mengendarai gerobak sapi...hmmm...tapi saya yakin bahwa dua anak kecil yang dia bawa itu adalah anak-anak dari Raden Purbasora yang di bunuh oleh Ki Tapa dan Dewi Naga”.
Jarpati kemudian melirik ke arah Ki Anyar Malih dan dewi Naga.  Ki Anyar Malih tertawa mendengar laporan jarpati
“Ha...ha...ternyata ada juga pendekar yang mampu membunuh ki Tapa selain saya dan ki Jabrik...Sungguh kurang ajar, berani sekali orang itu membunuh Ki Tapa, dia tidak tahu dengan siapa akan berhadapan?”.
Suara tawa Ki Anyar Malih yang sumbang entah mengapa bisa menciutkan hati Jarpati. Meskipun baru mendengarkan suaranya, namun auranya mampu membuat Jarpati menjadi menciut.
Ki Anyar Malih memang seorang pendekar yang tidak suka banyak berbicara, namun sekali dia berbicara, maka tidak ada orang yang akan berani untuk menyela apalagi membantahnya.
Ki Jabrik sendiri merasa enggan untuk berlama-lama bersama Ki Anyar Malih. Untunglah Ki Anyar hanya datang sewaktu-waktu saja untuk mengunjungi Ki Jabrik.
Berbeda dengan kebanyakan anak buahnya yang lain, bergabung dengannya karena berhasil ditaklukan, Ki Anyar justru mendatangi Ki Jabrik dan langsung menyatakan untuk bergabung dengannya. Dia mengatakan ingin membantu Ki Jabrik untuk menaklukan dunia persilatan di tatar pasundan.
Ki Jabrik dan Ki Anyar Malih pertama kali bertemu sekitar 3 atau 4 tahunan yang lalu. Waktu itu hari sudah malam. Malam yang sunyi tanpa bulan dan bintang. Terdengar suara auman srigala yang saling bersautan. Angin tiba-tiba berhembus kencang dan menerpa dedaunan. Hujan gerimis pun turun dengan rintik-rintik. Tiba-tiba ada asap turun dari langit dan menyelimuti padepokan KI Jabrik.
Setelah itu munculah seorang lelaki yang nampak masih muda dengan di dampingi seorang gadis yang cantik. Lelaki itu menggunakan pakaian pendekar yang serba putih. Wajah lelaki itu terlihat begitu tampan, kulitnya putih bersih dengan rambut panjang nan hitam. Matanya yang tajam dengan senyum sungging menambah aura ketampanannya.  Tubuhnya yang langsing membuat Ki Jabrik menyangka dia seorang perempuan. Kalau saja dia tidak memperkenalkan diri, Ki Jabrik pasti akan menyangka orang itu perempuan.
“Ha...ha...Kamu yang bernama Ki jabrik, Ya...?”
“Nyai Siapa....?” Kata Ki Jabrik
“Ha...ha...Saya bukan perempuan Ki Jabrik...Saya seorang seorang lelaki seperti kamu...nama saya Ki Anyar Malih...Saya datang ke sini untuk bergabung dengan kamu, Ki Jabrik...” Kata Ki Anyar Malih .
Ki Jabrik terhenyak
“Oh, Maaf aki...” Ki Jabrik meminta maaf.
Ki Anyar Malih tersenyum mendengar permintaan maaf Ki Jabrik.
“Tak di sangka, seorang Ki Jabrik yang terkenal karena kehebatan dan kekejamannya, justru adalah seorang yang punya etika kesopanan” Kata Ki Anyar Malih.
Salah satu anak buah Ki Jabrik yang bernama Umang merasa tidak senang dengan sikap Ki Anyar Malih yang terkesan meremehkan KI Jabrik
“Hey, kamu banci, jangan menganggap remeh ketua kami, kalau tidak....” Kata Umang mengancam
Ki Jabrik memberi isyarat kepada Umang agar tidak terpancing oleh sikap Ki Anyar Malih
“Sabar, Umang...jangan emosi, tak baik mengumbar amarah, seorang tamu harus kita hormati...”Kata Ki Jabrik
“Ha...ha...tak di sangka...sungguh tak di sangka, Ki Jabrik ternyata seorang yang lemah hatinya...” Kata Ki Anyar Malih
“Hey bangsat, kamu jangan sombong, berani kamu menghina ketua kami...hadapi dulu Umang....”
Umang bertambah emosi melihat pimpinannya di remehkan oleh Ki Anyar Malih. Dia pun langsung menyerang Ki Anyar Malih dengan menggunakan jurus tinjunya.
“Bangsat rasakan ini....” Kata Umang mengancam.
“ha...ha...”
Ki Anyar Malih membiarkan pukulan Umang mengenai dirinya.
‘Prak’ pukulan itu mengenai dada KI Anyar Malih. Namun Ki Anyar Malih tidak bergeser sedikitpun. Tidak nampak rasa sakit di wajahnya. Mukanya masih terlihat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
Semua orang terkejut ketika tiba-tiba Umang berteriak keras menahan rasa sakit, tangannya masih menempel di dada Ki Anyar Malih.
“Waw...aduh....sakit....tolong....tolong...tangan saya tidak bisa di cabut...sakit...sakit aduh panas...ampun...ampun Ki....” kata Umang berteriak dengan keras. Wajahnya berubah pucat karena menahan rasa sakit yang luar biasa. Tenaganya seperti tersedot oleh suatu kekuatan gaib milik Ki Anyar Malih.
Wajah Umang berubah menjadi merah seperti terbakar oleh panas api, kemudian memucat, dan mengering. Dari tubuhnya keluar asap yang panas. Teriakannya pun mulai melemah. Sesaat kemudian dia terdiam. Umang mati dengan tubuh gosong menghitam.
Melihat anak buahnya tewas secara mengenaskan, Ki Jabrik bersiap untuk membalas perlakuan Ki Anyar Malih.
“ha...ha...Ki Jabrik...tahan...tahan...saya datang ke sini bukan untuk bertarung dengan kamu...tapi saya ingin bergabung dengan kamu....saya hanya sedikit memberi pelajaran kepada anak buah kamu...” .
Ki Jabrik mendesahkan nafas
“Haaah....Ki Anyar Malih...tolong kamu tidak berbuat onar di sini...”
“Ha..ha...tidak...Ki jabrik...kamu tenang saja...saya tidak akan berbuat onar di sini...sudah saya katakan bahwa saya datang ke sini karena mau bergabung dengan kamu....” Kata Ki Anyar Malih.
“Baiklah Aki...kalau begitu...terima kasih kalau Aki mau bergabung dengan kami....” Kata Ki Jabrik.
Itulah awal pertama pertemuan Ki Jabrik dengan Ki Anyar Malih. Sampai sekarang dia masih menyimpan rasa penasaran kepada Ki Anyar Malih.
Ki jabrik yang mendengar tawa dan komentar dari Ki Anyar Malih hanya duduk terdiam, dia merasa enggan untuk menyela apalagi membantah ucapan Ki Anyar.
Ki jabrik kemudian berkata kepada Jarpati
“Ya sudah Jarpati, terima kasih atas laporannya, sekarang silahkan kamu istirahat dahulu...” Jarpati mengucapkan terima kasih dan kemudian pergi, setelah terlebih dahulu berlutut untuk menghormat kepada Ki Jabrik dan Ki Anyar Malih.
Meskipun Ki Jabrik terkenal sebagai pemimpin gerombolan penjahat yang kejam dan sadis, namun sebenarnya dia adalah seorang pendekar berjiwa ksatria.  Bahkan terhadap Jarpati yang hanya seorang anggota kelas bawah pun tetap menghormat dan menghargai pendapatnya. Berbeda dengan Ki Anyar Malih yang penampilannya nampak gagah, selain kulitnya kelihatan bersih dan putih, matanya juga tajam menusuk. Wajahnya seperti memancarkan suatu pesona ketampanan dan kemudaan. Meskipun wajah dan penampilannya tersebut nampak begitu mempesona, namun entah kenapa Ki jabrik merasa ada sedikit keganjilan dengan sosok Ki Anyar tersebut.
Di balik penampilannya yang gagah, sebenarnya tersembunyi aura gaib yang menakutkan. Ki Jabrik seringkali merasakan ada keangkeran dalam diri Ki Anyar, di tambah lagi sifatnya yang kejam dan bengis tak berperikemanusiaan.
Setelah empat tahun Ki Jabrik mengenal Ki Anyar dia merasa ada keanehan lain yang dia temukan pada Ki Anyar, yaitu pada setiap malam bulan purnama. Pada waktu itu, Ki Jabrik melihat wajah Ki Anyar nampak begitu pucat, berkeriput seperti menua.
Waktu itu Ki Jabrik sempat menanyakan keadaan Ki Anyar yang nampak tidak biasa, alih-alaih mendapat jawaban justru Ki Anyar pergi meningalkan Ki Jabrik dengan tergesa-gesa. Namun ketika bertemu keesokan harinya, Ki Anyar sudah kembali normal, bahkan terlihat lebih segar dari hari sebelumnya.
Yang membuat Ki Jabrik bertambah heran adalah pada malam  kejadian dia selalu mendapat laporan bahawa ada satu atau dua anak buahnya yang menghilang secara misterius. Awalnya Ki Jabrik tidak mencurigai hubungan antara misteri kehilangan anak buahnya dengan kondisi Ki Anyar Malih, namun karena kejadian tersebut selalu berulang di setiap bulan purnama, Ki Jabrik pun merasa curiga bahwa kehilangan anak buahnya tersebut berkaitan dengan Ki Anyar. Apalagi setelah di Amati, peristiwa hilangnya mereka selalu bertepatan dengan kondisi Ki Anyar yang sedang mengalami pucat dan berkeriput.
Malam ini adalah malam bulan purnama, Ki Jabrik mulai mengamati keadaan Ki Anyar secara diam-diam. Menurut pengamatannya, malam itu wajah Ki Anyar mulai nampak pucat, kulit wajahnya juga sudah terlihat ada kerutan.
Ki Jabrik yang sudah merasa curiga dengan Ki Anyar, segera bersembunyi dalam kegelapan pohon yang berada di depan kediaman ki anyar yang nampak remang-remang. Setelah beberapa saat menunggu di atas sebuah dahan pohon, terlihat Ki Anyar sedang terburu masuk ke dalam rumahnya.
Selang beberapa menit kemudian, nampak Jarpati sedang berjalan menuju kediaman ki anyar. Jarpati mengucapkan salam kepada ki anyar,
“Sampurasun aki, saya Jarpati datang menghadap untuk melaksanakan perintah aki...”.
Ki Anyar menjawab salam Jarpati dan mempersilahkannya untuk masuk
 “Ya Jarpati silahkan kamu masuk, pintunya tidak saya kunci...”.
Jarpati segera masuk ke dalam ruangan ki anyar. Ki Jabrik segera mendekati pintu rumah Ki Anyar. Keadaannya masih sunyi.
Tiba-tiba terdengar suara seperti jeritan, seperti orang yang sedang mengalami kesakitan, namun teriakan tersebut hanya beberapa saat saja, selanjutnya rumah itu kembali menjadi sunyi, tidak terdengar suara apapun di dalam ruangan Ki Anyar.
Ki Jabrik merasa heran, karena sudah hampir tiga jam Jarpati belum keluar dari ruangan Ki anyar. Karena rasa penasarannya yang sudah memuncak, Ki Jabrik segera masuk ke dalam rumah Ki Anyar. Pelan-pelan dia membuka pintu ruangan Ki Anyar yang tidak terkunci. Tercium aroma amis darah dan bangkai di dalam ruangan gelap milik Ki Anyar. Ki Jabrik melangkah pelan, masuk dengan hati-hati. Betapa terkejutnya ki jabrik ketika dia masuk ke dalam kamar ki anyar, ada banyak darah berserakan dimana-mana.
Namun yang paling membuat dia terkejut adalah ketika melihat Ki Anyar ternyata sedang memakan organ tubuh Jarpati yang nampak sudah tak bernyawa dengan kondisi telanjang bulat. Pakaiannya nampak berserakan di lantai dengan kondisi tersobek-sobek seperti habis di cabik oleh binatang buas. Ki Anyar merasa terganggu dengan kehadiran Ki Jabrik, langsung marah.
Sambil menyeringai, matanya melotot tajam ke arah ki Jabrik. Ki Jabrik merasa ngeri melihat kondisi tubuh Jarpati yang sudah terburai. Sesaat kemudian, dia merasa marah dan jijik dengan sosok ki Anyar yang dianggapnya tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dengan kondisi marah, Ki Jabrik langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membunuh Ki Anyar. Tiba-tiba Ki Anyar tertawa melihat Ki Jabrik yang nampak marah kepadanya “Ha...ha...Jabrik...Silahkan bunuh saya kalau kamu memang mampu...”.
Mendengar tantangan dari Ki Anyar, kemarahan ki Jabrik sudah tidak mampu lagi untuk di tahan, dia pun segera menghantamkan pukulan tenaga dalam ke arah Ki Anyar.
Buarrrr....seisi ruangan itu hancur berantakan, beberapa batang kayu dan perabotan nampak hangus terbakar terkena serangan Ki Jabrik. Namun sungguh mengherankan, Ki Anyar justru menghilang dari tempatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah belakang Ki Jabrik
Ha...ha...pukulanmu memang hebat jabrik, tapi percuma kalau yang kamu lawan adalah saya...ha...ha...”.
Ki Jabrik bertambah marah mendengar perkataan Ki Anyar yang meremehkan. Dia langsung berbalik dan melancarkan serangannya.
Meskipun serangannya terlihat dahsyat dan mengerikan namun Ki Anyar ternyata mampu menandinginya, bahkan terkesan sedang mempermainkan Ki Jabrik yang marah.
Setelah berkali-kali melakukan serangan, akhirnya serangan ki Jabrik ada yang berhasil mengenai tubuh Ki Anyar. Terkena serangan dahsyat ki Jabrik, tubuh ki Anyar langsung hangus terbakar api dan berubah menjadi abu yang berserakan.
Ki Jabrik yang melihat tubuh ki Anyar telah hangus dan berubah menjadi abu pun merasa lega. Nafasnya terengah-engah, dia merasakan payah karena bertarung dengan Ki Anyar Malih. Ki jabrik terduduk untuk melepaskan rasa lelahnya.
Baru saja dia terduduk di tanah tiba-tiba abu tubuh ki anyar yang tadi berserakan kembali menyatu dan berubah menjadi tubuh utuh ki anyar seperti sedia kala. Ki Anyar tertawa “Ha...ha...bagaimana jabrik, apakah kamu masih sanggup menghadapi saya?”.
Ki Jabrik benar-benar merasa kaget melihat tubuh ki anyar yang sudah kembali utuh seperti sedia kala. Dia bingung untuk mengalahkan Ki Anyar yang ternyata jauh lebih sakti dibandingkan dirinya. Belum pernah dia menemui lawan yang sangat kuat seperti Ki Anyar. Dalam keputus asaan Ki Jabrik kembali bangkit dari duduknya. Dia kembali memasang kuda-kudanya untuk mempersiapkan diri menyerang Ki Anyar. Ki Anyar kembali tertawa dengan suara yang nyaring
“ha...ha...ayo keluarkan semua ilmu kamu, jabrik...keluarkan semua ilmu yang telah diajarkan oleh kakang Jaya Perkasa kepada kamu...ayo lawan saya...”.
 Ki Jabrik merasa kaget karena Ki Anyar mengetahui perihal gurunya, Eyang Jaya Perkasa. Dalam hati dia berusaha menerka-nerka
“Siapakah sebenarnya sosok Ki Anyar ini, kenapa dia menyebut eyang guru dengan sebutan ‘kakang’, padahal secara kasat mata ki Anyar nampak masih begitu muda sedangkan Eyang Jaya Perkasa sudah sangat tua renta, ada hubungan apakah ki Anyar ini dengan eyang guru?”.
Dia terus berfikir, namun tidak mampu menebak siapa sebenarnya Ki Anyar ini.
Dengan perasaan geram, Ki Jabrik pun kembali melakukan serangan dahsyatnya ke arah Ki Anyar. Wuuiiit....prakk, serangan ki Jabrik ternyata mampu di hadang oleh Ki anyar. Ki Jabrik kaget ketika tangannya beradu dengan tangan Ki Anyar. Terasa ada hawa panas yang menyambar tubuhnya, dia pun langsung melompat kebelakang. Baru saja dia berdiri sambil mengencangkan kuda-kudanya, tiba-tiba datang lagi serangan dahsyat dari Ki Anyar.
Ki Jabrik berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menahan serangan tersebut. Duaarrr...tubuhnya pun terpelanting ke belakang, meskipun masih berdiri namun kepalanya terasa pusing, matanya pun berkunang-kunang, serasa ada hawa panas yang menyelubungi seluruh tubuhnya, hoeek...ki jabrik pun memuntahkan darah segar.
Rasa kaget bercampur was-was mengisi seluruh pikiran ki jabrik, tak percaya bahwa dirinya berhasil dikalahkan oleh Ki anyar dengan mudahnya. Ki Anyar kembali menertawakan Ki Jabrik yang sudah merasakan payah akibat pertarungan itu
“ha...ha...ayo jabrik, lawan saya....”. 
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ki Jabrik berusaha untuk bangkit kembali. Namun rasa payah sudah terlalu kronis, dia pun kembali roboh.
Rasa kaget, marah dan geram bercampur aduk dalam hatinya, namun kesemuanya itu tidak mampu memberikan tenaga baru kepadanya. Matanya hanya mampu memelototi Ki Anyar yang nampak sudah siap untuk kembali menyerang.
Ki Jabrik akhirnya pasrah dengan nasibnya, dia tidak menyangka kalau harus mati di tangan Ki Anyar yang secara notabene adalah masih bawahannya. Sesaat ketika Ki Anyar akan kembali menyerang Ki Jabrik, tiba-tiba datang Dewi Naga yang langsung berlutut dihadapan ki Anyar, dia berusaha menahan Ki Anyar agar mau menghentikan pertarungan tersebut “Ampun aki...tolong ampuni kang Jabrik...maafkan dia...Tolong jangan bunuh kang Jabrik, saya yakin suatu hari nanti, dia akan berguna untuk aki....maka itu saya mohon aki agar sudi mengampuni kang jabrik....”.
Ki Jabrik merasa kaget dengan apa yang dilakukan oleh Dewi Naga yang telah sudi membelanya, ada rasa haru dalam dirinya. Ki Anyar kembali tertawa
“ha...ha..., baiklah Jabrik, untuk saat ini kamu saya ampuni...tapi lain kali kalau kamu berbuat macam-macam dengan saya, saya akan membunuh kamu...”.
Dewi Naga langsung bersujud kepada Ki Anyar sambil mengucapkan terima kasih
“Terima kasih banyak aki...karena telah mengampuni Kang Jabrik...”.
Kemudian Dewi Naga segera membopong Ki Jabrik untuk menjauh dari tempat itu. 

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 53. Anak-Anak tanpa Orang Tua


Untuk sementara kita tinggalkan Dewi Sekar dahulu, sekarang kita kembali ke jaka Someh setelah di usir oleh Raden Surya Atmaja dari gunung Tampomas. Dengan perasaan hampa Jaka someh berjalan menuruni gunung tampomas, hatinya dipenuhi oleh rasa kesedihan yang sangat mendalam. Tak kuasa, Jaka Someh menangis menguraikan air mata kesedihan mengingat istrinya yang meninggal secara tragis. Jatuh ke dasar jurang, bahkan jenazahnya pun tidak diketahui rimbanya. Hatinya benar-benar telah di kuasai oleh perasaan tak menentu, hancur tidak karuan. Semangat hidupnya pun menjadi redup. Meskipun demikian dia berusaha untuk tetap tegar dalam kehampaan.
Hanya butuh setengah hari, dia sudah berada di kaki gunung tampomas. Dilihat sapinya sedang memakan rumput-rumputan. Setelah membiarkan sapinya beristirahat sekian waktu, Jaka Someh kembali menyiapkan gerobaknya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap, dia pun segera pergi meninggalkan gunung Tampomas dengan menggunakan gerobak sapinya.
Setelah beberapa hari dia mengendarai gerobak sapinya, waktu itu saat hari menjelang sore, dia sampai di suatu tempat yang nampak ramai oleh warga yang sedang berlalu lalang. Ternyata sekarang dia berada di pasar Kota Sumedang larang yang sangat ramai.
Jaka Someh sedang asyik mengamati keadaan sekitarnya, tiba-tiba terdengar keributan dari arah selatan pasar. Orang-orang berteriak keras terhadap seorang pencuri yang tertangkap oleh warga.
Jaka Someh merasa penasaran, dia pun turun dari gerobak sapinya dan berjalan ke arah keributan tersebut. Dia bertanya kepada salah satu warga yang sedang ada di sana
 “Ada apa ini kang, koq ramai sekali?”.
Lelaki itu menoleh kepada Jaka Someh dan berkata
“Anu kang, ada pencuri yang tertangkap...katanya sih mencuri makanan...pencurinya masih anak-anak..., saya heran....kecil-kecil koq sudah jadi berandalan...”
Jaka Someh hanya diam mendengar penjelasan lelaki itu. Ada perasaan menelisik dalam hatinya, dia pun mendekati asal keributan itu.
Dia menerobos diantara sela-sela kerumunan manusia. Setelah berada di barisan paling depan, Jaka Someh melihat seorang bocah sedang menangis karena ketakutan. Usianya mungkin sekitar 9 atau 10 tahunan. Tubuhnya begitu kurus seperti kekurangan gizi. Pakaian dan rambutnya tampak kumal tak terusrus. Tiba-tiba jaka Someh teringat dengan anaknya, si Jalu. Hatinya pun menjadi iba kepada bocah itu.
Wajah bocah itu nampak babak belur dipukuli para preman pasar. Sebenarnya banyak warga yang merasa iba dengan kondisi anak itu, namun apa daya mereka juga takut dengan para preman pasar.
Bocah itu berkali-kali meminta ampun kepada Sarmin, preman yang telah menangkapnya. Dia juga meminta maaf kepada Pak Juhadi pemilik warung makanan yang telah dia curi.
“Ampun...ampun...Pak...Maafkan Saya...Saya berjanji tidak akan mencuri lagi...saya mencuri juga karena terpaksa...Saya Mohon ampun...tolong Pak...Lepaskan saya...Kasihani Saya...
Salah satu anak buah Sarmin terlihat kesal mendengar rengekan si bocah, dia pun langsung menjorokan kepala si bocah. Bocah itu langsung tersungkur dan jatuh ke tanah, tangisannya bertambah keras. Namun dia segera bangun lagi dan berlutut di hadapan Sarmin
“Ampun pak...tolong ampuni saya...tolong jangan pukuli saya lagi...”.
Melihat kondisi bocah itu, Jaka Someh semakin merasa iba, dia pun berniat untuk menolong anak itu.
Ketika salah satu anak buah Sarmin akan kembali menghajar anak itu, Jaka Someh langsung berteriak kepadanya
“Tahan...tahan pak, jangan sakiti anak itu lagi...”
Abah sarmin dan anak buahnya langsung menoleh ke arah Jaka Someh, secara bersamaan mereka berkata
 “Kamu siapa? Mau jadi jagoan rupanya kamu? Berani-berani melarang kami menyiksa anak ini... jangan-jangan kamu komplotannya anak ini ya?”.
Jaka Someh yang mendengar bentakan kedua orang itu, berusaha untuk tetap tenang. Dia berusaha menenangkan Abah sarmin dan anak buahnya
“Tenang pak, saya minta maaf telah mencampuri urusan ini, saya bukan komplotan anak ini, bahkan saya tidak kenal dengan anak ini, Saya hanya tidak tega saja, kebetulan Saya juga punya anak”.
Abah Sarmin yang masih belum bisa menerima campur tangan jaka someh, berkata dengan kasar
“Kamu tahu tidak, anak itu sudah mencuri di warungnya pak Juhadi, saya tidak terima kalau ada orang yang berbuat onar di pasar ini, saya kepala keamanan di pasar ini...”
Abah Sarmin dengan bangga menyebutkan dirinya sebagai kepala keamanan pasar.
Jaka Someh yang tidak ingin terlibat keributan dengan Abah sarmin dan teman-temannya, berusaha mencari cara
“Tenang pak, sekali lagi saya minta maaf, tidak ada maksud saya untuk melawan bapak, apalagi berani berbuat masalah di pasar ini, namun biarlah saya mengganti kerugian yang diakibatkan oleh anak ini, kebetulan saya masih ada sedikit uang simpanan...”.
Abah sarmin yang melihat Jaka Someh berkata sopan dan hormat kepadanya, menjadi melunak “Ya sudah, kalau kamu mau mengganti kerugiannya, kamu silahkan bertanya sendiri kepada pak Johadi
Jaka Someh berkata kepada Pak Johadi
“Bapak, Mohon maafkan Anak ini, Biar semua kerugiannya Saya yang menanggung...”
Pak Johadi menganggukan kepalanya kepada Jaka Someh
 “Iya Kang, Terima kasih... harganya cuma 1 kepeng saja”.
Jaka Someh yang mendengar jawaban dari pak Johadi, langsung mengeluarkan uang simpanannya yang ada di kantung dalam bajunya. Diapun mengambil 2 kepeng, dan langsung diberikan ke abah sarmin dan Pak Johadi. Masing-masing 1 kepeng.
“Ini pak, mudah-mudahan ini cukup untuk mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh anak ini”.
Abah Sarmin merasa senang menerima uang dari jaka Someh dan langsung tersenyum. Dia berkata kepada Jaka Someh
“Nah...kalau begini kan enak...tidak perlu saya menghajar anak ingusan itu lagi...”
Abah Sarmin kemudian berkata kepada warga yang masih berkerumun di tempat itu 
“Hey...sudah...bubar....bubar...”
Para warga langsung membubarkan diri, mereka khawatir dimarahi oleh Abah Sarmin yang sangar.
Setelah warga bubar, Abah Sarmin berkata kepada Jaka Someh
 “Ya sudah, kang. Anak ini saya serahkan ke akang, terserah akang mau apakan...saya sudah tidak peduli...”.
Setelah itu, Abah Sarmin dan anak buahnya meninggalkan Jaka Someh dan anak itu.
Setelah semuanya pergi, Jaka Someh segera menolong bocah itu, dia membopongnya menuju gerobak sapi. Anak itu mengucapkan terima kasih kepada Jaka Someh
“Terima Kasih, paman...telah menolong saya”.
Jaka Someh terkejut mendengar anak itu meneyebutnya dengan kata paman bukan dengan kata Mamang atau Akang.
Dari bahasa yang digunakan anak itu, Jaka Someh menyangka bahwa anak memiliki pendidikan yang baik, karena menggunakan tata bahasa seperti layaknya para bangsawan.
Jaka Someh heran kenapa anak itu sampai berani mencuri makanan yang nilainya tidak seberapa, namun untuk sementara waktu dia simpan rasa penasarannya tersebut.
Jaka Someh tersenyum kepada anak itu dan menganggukan kepala
 “Iya, sama-sama, adik”.
Sebelum sampai digerobak, Jaka someh menoleh kepada anak itu, dan berkata
“Adik lapar ya? Tunggu sebentar, kita makan dahulu di sana ya?”
Jaka someh menunjuk ke salah satu kedai makanan yang nampak  sepi dari pengunjung. Anak itu menjawab Jaka Someh
“Tidak usah paman, sebenarnya saya mencuri makanan itu bukan untuk saya, tapi...”.
Anak itu agak sedikit ragu untuk meneruskan perkataannya, Jaka someh kemudian berusaha untuk menebaknya
“Apakah... buat orang tua kamu ya adik?”
Anak itu menggelengkan kepala, sambil berkata
“Bukan, paman, tapi....tapi buat adik saya yang sedang sakit...sudah beberapa hari kami tidak makan”.
Jaka Someh agak terkejut, dia heran dan sekaligus merasa kasihan dengan anak itu “Memangnya orang tua kamu dimana adik?”
Anak itu nampak sedih, setelah beberapa saat, baru dia menjawab pertanyaan Jaka Someh 
“Rama saya sudah meninggal, Paman. Kalau ibunda entah ada dimana? Kami terpisah ketika terjadi kerusuhan di rumah kami, Rama meninggal di bunuh oleh segerombolan penjahat, saya dan adik diculik oleh mereka. Sedangkan Bunda dan beberapa anggota keluarga lainnya, berhasil lari untuk menyelamatkan diri...”
Jaka Someh semakin bertambah rasa ibanya, dia sedih dengan nasib yang di alami anak itu, kemudian bertanya
“Lo...Terus adik koq bisa sampai ada di sini, apakah kamu berhasil kabur dari mereka?”
Anak itu sedikit menghela nafas
“Sebenarnya saya dan adik, dilepaskan oleh pemimpin gerombolan itu, ternyata dia tidak tahu kalau kami di culik oleh anak buahnya, kami di titipkan ke warga yang ditemui di jalan, pemimpin itu meminta warga itu mengantarkan kami kembali ke rumah, bahkan dia memberikan kami uang, untuk bekal perjalanan pulang, namun sayangnya warga itu ternyata tidak amanah, dia meninggalkan kami di sini, bahkan uang kami pun di ambilnya...”.
Jaka Someh menjadi terharu mendengar cerita anak itu,
“Ya sudah, nanti paman akan antarkan kamu dan adikmu kembali kerumah...sekarang kita temui adikmu dulu, katanya sedang sakit...”
Anak itu mengiyakan Jaka Someh
“Iya paman, mari...”
 Sebelum berangkat, jaka Someh menyempatkan membeli makanan untuk mereka bertiga. Setelah itu dia mempersilahkan anak itu naik ke atas gerobak sapi
“Ayo dik, naik...oh ya nama kamu siapa? He...he...dari tadi kita mengobrol tapi belum saling kenal...Nama paman adalah Jaka Someh...kamu boleh memanggil saya dengan Paman Jaka atau Paman Someh....terserah adik, mau memanggil apa...”
Anak itu balas memperkenalkan dirinya kepada jaka Someh
“Nama saya Purba Anom, paman, kalau adik saya bernama Dewi Intan...”.
Jaka Someh tersenyum kepada Purba Anom, kemudian mereka berangkat menuju tempat Dewi Intan.
Tak lama kemudian, mereka sampai di suatu tempat, berupa bangunan tua yang kosong. Purba Anom langsung masuk ke dalam bangunan itu dan diikuti oleh Jaka Someh. Di sana ada Dewi Intan sedang menggigil karena demam yang sedang di deritanya. Wajahnya pucat dan layu. Tubuh Dewi Intan juga terlihat kurus karena kurang asupan makanan. Jaka Someh, langsung memegang kening Dewi Intan untuk memeriksa kondisi, lalu dia berkata kepada Purba Anom
“Tubuhnya panas, adikmu sepertinya sedang mengalami demam, biar paman buatkan obat dahulu... kamu jaga adikmu dulu ya...”
Jaka Someh kemudian pergi ke gerobak sapinya untuk mengambil kotak obat. Dia mengambil beberapa lembar daun meniran dan daun dewa, kemudian dia meraciknya, dan meminumkannya ke Dewi Intan.
Dengan telaten, dia mengompres kening Dewi Intan, untuk menurunkan suhu tubuh yang sudah tinggi. Setelah kondisi Dewi Intan sudah mulai stabil, Jaka Someh menyuruh Purba Anom untuk makan
“Paman sampai lupa, kamu belum makan, sekarang kamu makan dulu ya...biar tidak sakit seperti adikmu...”
Purba Anom yang sudah lapar semenjak tadi pun langsung melahap makanannya. Jaka Someh hanya melihatnya, dalam hati dia bersyukur bisa menolong kedua kakak beradik itu.
Keesokan hari, tubuh dewi Intan sudah mulai stabil, panas tubuhnya sudah normal kembali. Dia melihat ke arah Jaka Someh, lalu bertanya
Paman, siapa?”.
Jaka Someh tersenyum melihat Dewi Intan sudah mulai sembuh, ada perasaan senang melihat usahanya berhasil,
Jaka Someh menjawab pertanyaan Dewi Intan
“Nama paman adalah Jaka Someh, adik cantik...”
Purba Anom yang sudah bangun pun ikut nimbrung, kemudian bercerita kepada adiknya, menceritakan pengalamannya bertemu dengan Jaka Someh. Dewi Intan tersenyum kepada Jaka Someh, lalu dia berkata
“Terima kasih paman, sudah menolong kami...”
Jaka Someh menganggukan kepalanya dan tersenyum
“Iya, cantik...sama-sama”.
Setelah itu Jaka Someh membuatkan bubur untuk Dewi Intan, dan meminta Purba Anom untuk menyuapi adiknya.
Setelah tiga hari, kesehatan Dewi Intan sudah benar-benar pulih, dia sudah bisa bercengkrama dengan kakaknya, Purba Anom.
Jaka Someh senang bisa melihat kedua kakak beradik itu sudah kembali bersukaria. Dia tersenyum. Hatinya sedikit terobati setelah melihat kedua bocah itu. Perasaan hampa karena kehilangan istri tercinta sedikit terhibur oleh keberadaan anak-anak itu.
Hari itu Jaka Someh mengajak Purba Anom untuk menangkap ikan di sungai yang letaknya tidak jauh dari bangunan tua. Purba Anom merasa gembira mendapat ajakan Jaka Someh. Setelah membuat tombak dari kayu, mereka segera berangkat ke arah sungai. Sedangkan dewi Intan menunggu di dalam bangunan tua.
Di Sungai, Jaka Someh mengajarkan Purba Anom beberapa teknik untuk menombak. Purba Anom senang mendapat pelajaran berburu dari jaka someh.
Jaka Someh dengan mahirnya menombak beberapa ikan yang berukuran besar. Setelah merasa cukup dengan hasil tangkapannya, mereka kembali pulang ke bangunan tua. Mereka membersihkan ikan-ikan dan memanggangnya dalam perapian.
Hari itu mereka berpesta makan ikan bakar.
Setelah satu minggu, Jaka Someh berniat untuk mengantarkan Purba anom dan adiknya kembali ke rumah mereka yang berada di wilayah Galuh, Jaka Someh berkata kepada Purba Anom dan Dewi Intan
“Besok pagi, paman akan antarkan kalian, untuk pulang ke rumah..., sekarang kalian istirahat yang banyak”.
Purba Anom dan Dewi Intan merasa senang mendengar perkataan Jaka Someh, mereka sudah rindu dengan kedua orang tua mereka, meskipun tahu bahwa ayahanda mereka sudah meninggal.
Teringat dengan ayahnya yang sudah meninggal, Purba Anom kembali menjadi sedih, Jaka Someh yang melihat perubahan di wajah Purba Anom bertanya
“Kenapa Purba, koq kelihatan sedih?”.
Purba Anom menjawab pertanyaan Jaka Someh
“Saya teringat dengan Rama saya, paman. Beliau tewas terbunuh oleh pendekar tua yang sangat sakti, bahkan beliau mati dihadapan saya”.
Jaka Someh berusaha menghibur Purba Anom dan Dewi Intan
“Sabar ya, paman tahu kalian tentunya merasa sedih dengan kematian ayah kalian...tapi kalian harus ikhlas...karena semuanya sudah menjadi ketentuan dari Yang Maha Kuasa...semuanya pasti ada hikmahnya...tapi kalian masih bisa bersyukur karena masih punya Bunda yang merawat kalian”.
Purba Anom tersenyum mendengar nasehat jaka Someh, meskipun hatinya masih sedih
“Iya, paman, saya sudah ikhlas koq...!”
Jaka Someh berangkat mengantar kedua bocah itu kembali ke rumahnya yang ada di wilayah bekas kerajaan Galuh.
Lima harian mereka berjalan dengan menggunakan gerobak sapi, akhirnya mereka sampai juga di perbatasan wilayah galuh.
Ada yang berbeda dengan keadaan Galuh pada waktu itu. Tempat itu sudah dikuasai oleh gerombolan Ki Jabrik.
Bahkan Ki Tapa, telah menjadikan tempat kediaman Purba anom sebagai markas mereka. Banyak Masyarakat yang menderita akibat perbuatan mereka. Sebagian ada yang di bunuh sedangkan yang masih hidup, hidup dalam ketakutan. Mereka harus memberikan upeti yang besar kepada Ki Tapa dan anak buahnya.
Ketika gerobak Jaka someh memasuki wilayah perbatasan galuh, mereka langsung di hadang oleh anak buah Ki Tapa.
Ada 20 orang bersenjatakan golok yang siap mengancam mereka. Jaka someh masih kelihatan tenang, sedangkan purba anom dan dewi intan merasa sangat ketakutan. Purba anom berkata kepada jaka someh dengan suara bergetar ketakutan,
“Paman, bagaimana ini...? Lebih baik kita menyerah saja, daripada di bunuh mereka...”
Jaka Someh menenangkan Purba Anom
“Tenang, purba. Biar paman atasi masalah ini...”
Jaka Someh turun dari gerobaknya, dan tersenyum ramah kepada mereka
Maaf akang-akang, ada apa ini...? Kami hanya mau numpang lewat...Semoga akang semua berkenan mengijinkan kami...”
Salah seorang yang paling sangar membentak kepada Jaka Someh
Hey Kamu....Kalau kamu mau lewat sini, kamu harus bayar upeti kepada kami”.
 Jaka Someh kemudian bertanya kepada orang itu
Maaf akang, saya tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu, berapa saya harus membayar kepada akang?”.
Lelaki itu pun menjawab pertanyaan Jaka Someh
“Kamu bayar dengan semua barang yang kamu miliki, termasuk sapi, dan semua harta benda yang ada di gerobak itu...”
Jaka Someh tertawa mendengar perkataan lelaki itu
“He...he...Akang ini bercanda...tidak bisa atuh akang, kalau saya serahkan gerobak ini, terus kami harus naik apa atuh, lagian ini kan jalan umum...tidak ada peraturannya kalau kami harus membayar...”.
Mendengar Jaka Someh tertawa dan menolak memberikan harta bendanya, mereka tertawa, kemudian membentak jaka Someh
“Ha...ha...dungu, apakah kamu mencari mati...! Apakah kamu tidak tahu siapa kami? Kami adalah anggota dari gerombolan Ki Jabrik yang kejam dan paling ditakuti di wilayah ini...” Purba Anom dan dewi Intan bertambah pucat wajahnya. Mereka takut mendengar ancaman anak buah Ki Tapa.
Jaka Someh yang mendengar ancaman mereka, bukannya takut, justru  tertawa dan meledek mereka
“He...he...akang ini bisa saja. Jangan cepat marah begitu atuh kang, nanti bisa cepat mati...kang...”
Lelaki itu menjadi emosi karena diremehkan oleh jaka someh. Dia berteriak keras dan bersiap membunuh Jaka Someh
“Kurang ajar, sudah bosan hidup rupanya kamu ini, baiklah.. saya kirim kamu ke neraka, rasakan nih...golok saya...”.
Tanpa banyak kata-kata mereka langsung menyerang Jaka Someh yang masih berdiri dengan tenang. Purba Anom tak tega kalau melihat Jaka Someh terbunuh, dia  langsung memejamkan matanya.
Di serang oleh anak buah Ki Tapa yang berjumlah 20 orang dengan bersenjata golok, Jaka Someh justru berjalan ke depan dengan santai. Ketika salah satu golok sudah hampir sampai ke lehernya, dia menyambutnya dengan tangkisan kilat ke arah pergelangan tangan lawannya. 
Prak...!!! Suara benturan keras antara pergelangan tangan Jaka Someh yang mengadu dengan pergelangan tangan anak buah Ki tapa terdengar begitu keras, yang di susul suara kesakitan dari anak buah Ki tapa yang tulang tangannya telah patah,
“Waaw, aduuh...”

Goloknya terjatuh, dan langsung di ambil oleh Jaka someh dengan cepatnya, kemudian golok itu langsung di babatkan ke beberapa anak buah ki Tapa yang lainnya, yang berada dekat dengan Jaka Someh. Breet...!!. Darah pun bercucuran dari paha dan tangan mereka. Ada 6 orang yang terkena sabetan golok Jaka Someh. Jaka Someh memang tidak berniat membunuh mereka, hanya melukai dan melumpuhkan lawannya saja.

Betapa kaget lelaki yang sangar tadi, yaitu lelaki yang pertama kali sesumbar mengancam Jaka Someh. Dia tidak menyangka kalau Jaka someh dapat mencelakai teman-temannya dengan sangat mudah dan cepat. Belum habis rasa kagetnya terhadap kemampuan silat jaka Someh yang lihay, diapun langsung berteriak dengan kerasnya, terkena pukulan Jaka Someh yang kilat. Kecepatan gerak Jaka Someh tak mampu dia ikuti.

Orang itu pun langsung terkapar, diikuti oleh 7 orang lainnya yang ikut ambruk terkena sabetan dan pukulan Jaka Someh. Mereka semuanya pingsan.

Tinggal sisa Lima orang dari anak buah Ki tapa yang masih sadar. Mereka tampak tertegun, hati mereka tiba-tiba menjadi ciut, keringat dingin nampak keluar dari kening dan leher mereka, kaki merekapun nampak gemetaran. Mereka merasa ketakutan yang luar biasa, setelah melihat kemampuan Jaka Someh yang hebat, baru pertama kali inilah mereka melihat orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam ilmu silat. 

Salah satu dari mereka berlutut di hadapan Jaka Someh meminta ampun

“Ampun...ampun...tuan pendekar...tolong ampuni saya”.

Jaka Someh yang melihat orang itu sudah meminta ampun, langsung memeganginya

“Sudah...sudah...kang, bangun. Saya sudah mengampuni akang, silahkan berdiri. Akang boleh pergi, sekarang “.

Lelaki itu pun langsung mengucapkan terima kasih kepada jaka Someh yang sudah melepaskannya

“Terima kasih tuan pendekar...saya mohon maaf telah mengganggu tuan...”

Lelaki itu langsung lari menjauh dari jaka Someh, diikuti oleh 4 orang temannya yang lain. Setelah mereka pergi, jaka Someh kembali ke gerobak sapinya.

Betapa terkejutnya Purba Anom dan Dewi Intan setelah mengetahui bahwa Jaka Someh adalah seorang pendekar hebat yang telah mengalahkan anak buah Ki Tapa dengan sangat mudahnya.

Dewi Intan yang pertama berbicara ke Jaka Someh

“Hebat....paman someh, paman benar-benar hebat...saya bangga punya paman seorang pendekar hebat...”

 Jaka Someh hanya tersenyum mendengar pujian Dewi Intan. Purba anom masih belum berkata apa-apa, dia benar-benar merasa shock melihat pertarungan Jaka Someh melawan anak buah Ki Tapa tadi. Setelah jiwanya sudah mulai stabil, dia berkata kepada Jaka Someh

Paman someh, kenapa tidak bilang kalau paman adalah seorang pendekar...saya benar-benar tidak menyangka kalau paman ternyata seorang pendekar, tolong ajari saya ilmu silat paman...”.

Jaka Someh tersenyum kepada Purba Anom

“Iya, Insya Allah nanti paman ajari kalian dengan ilmu silat yang pernah paman pelajari”.

Dewi Intan pun bersorak mendengar perkataan jaka Someh

“Hore..., terima kasih, paman someh...”.

 Jaka Someh hanya menganggukan kepala. Setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah peninggalan ayah Purba anom.

Ketika sampai di depan gerbang kediaman keluarga Purba Anom yang nampak megah, tiba-tiba ada suara orang berteriak begitu keras dari dalam pendapa rumah

“Aki...Ki Tapa...itu...itu dia...Orang yang telah mengalahkan Ki Darba dan yang lainnya...cepat Ki...”

Ternyata orang yang berteriak itu adalah salah satu anak buah Ki Tapa yang tadi ikut lari dari Jaka Someh. Tak lama kemudian, keluarlah seorang lelaki tua yang badannya begitu gempal dan kekar, berpakaian pangsi serba hitam. Lelaki itu meski sudah tua namun gerakannya masih terlihat gesit dan berbobot, dia lah Ki tapa salah satu pendekar aliran hitam yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Sang Jawara Pilih Tanding. Dia berjalan dengan gagahnya menyambut Jaka Someh

“Ha...ha...tidak perlu susah-susah mencari...kamu malah datang menuju kuburanmu sendiri”. Jaka Someh tertawa ringan sambil memandang Ki Tapa, kemudian mengejek Ki tapa untuk memainkan emosinya

“He...he...ini rupanya kakek tua yang bernama Ki Tapa, sudah peot dan ubanan tapi masih merasa sok jagoan...”.

Ki Tapa yang merasa di remehkan Jaka Someh langsung berubah mukanya menjadi merah padam karena sangat marah

Kurang ajar kamu bocah...sudah bosan hidup rupanya kamu ini...baru bisa beberapa jurus saja sudah belagu”.

Jaka someh mendengar ucapan Ki Tapa hanya membalasnya dengan tersenyum, dalam hati dia berkata

Ini rupanya salah satu jagoannya Ki jabrik yang telah meluluh lantakan perguruan Pusaka Karuhun, perguruan ayahnya Dewi Sekar...saya harus hati-hati menghadapinya”.

Ki Tapa yang melihat Jaka Someh telah berdiri dihadapannya dengan sikap yang tenang, berkata dalam hatinya

“Siapa orang ini...sikapnya nampak tenang...sepertinya dia bukan pendekar sembarangan...Saya menjadi penasaran...”

Beberapa anak buah Ki Tapa segera mengepung Jaka Someh. Setelah Ki Tapa memberi aba-aba mereka segera menyerang Jaka Someh dengan berbagai senjata yang ada ditangannya   masing-masing.

Mendapat serangan dari berbagai arah, Jaka Someh hanya egos dan menghindar secukupnya, kemudian dia membalas dengan pukulan ringan dan jurus kepretan. Meskipun pukulannya nampak pelan, namun tak ayal membuat beberapa anak buah Ki Tapa langsung berjatuhan. Ada yang memegang perut, kepala dan dada mereka.

Beberapa yang lain juga di robohkan Jaka Someh dengan menggunakan jurus tarikan dan dorongan.

Melihat anak buahnya dengan mudah dirobohkan oleh jaka someh, Ki Tapa langsung melompat dan menyerang lawannya dengan jurus pukulan, ke arah kepala Jaka Someh. Mendapat serangan cepat dari Ki Tapa, jaka Someh berusaha menghindar dengan cara merundukan kepalanya.

Setelah serangannya berhasil di hindari oleh jaka Someh, Ki Tapa langsung melanjutkan serangan mautnya dengan jurus-jurus andalannya. Serangannya begitu gencar dan dahsyat, sampai-sampai tembok batu yang ada di gapura halaman rumah juga ikut hancur terkena serangan Ki Tapa. Terdapat hawa panas dalam jurus-jurus yang dilancarkan Ki Tapa, menandakan jurusnya tersebut mengandung tenaga dalam yang tinggi. Melihat kekuatan Ki Tapa yang hebat jaka Someh langsung berlari ke arah lapangan luas yang ada di dekat rumah keluarga Purba Anom, untuk menghindari kerusakan bangunan yang lebih parah lagi.

Ki Tapa langsung mengikuti Jaka Someh ke tempat lapang tersebut. Mereka saling berhadapan di tanah lapang, dan segera melanjutkan pertarungan.

Ki Tapa menyerang Jaka Someh dengan jurus-jurusnya yang cepat dan kuat. Meskipun serangan Ki tapa begitu cepat dan kuat, namun Jaka Someh tidak merasa kewalahan sedikitpun juga menghadapi serangan-serangan tersebut, bahkan terkesan meledek dengan melakukan berbagai gerakan yang nampak ringan. Beberapa pohon yang berada di sekitar lapangan banyak yang roboh terkena serangan Ki Tapa. Suasananya tampak begitu kacau balau terkena serangan kuat dari Ki Tapa.

Setelah sekian lama Ki tapa melancarkan jurus-jurus mautnya, Jaka Someh masih tetap dapat berdiri dengan gagahnya. Tak sedikitpun rasa lelah nampak di wajahnya. Sedangkan Ki Tapa terlihat sudah merasa payah akibat tenaganya yang terkuras dalam pertarungan, nafasnya sudah terlihat ngos-ngosan.

Merasa putus asa karena belum mampu merobohkan Jaka Someh, Ki Tapa segera mengambil ancang-ancang untuk menggunakan jurus pamungkasnya, jurus naga geni. Dia langsung memejamkan mata sambil bibirnya berkomat kamit merapalkan mantra-mantra.

Jaka Someh yang melihat sikap Ki Tapa seperti itu, mulai mengatur pernafasannya, dia pun menggunakan jurus barunya, jurus ilalang melawan badai.  Jaka Someh memanjatkan doa kepada yang maha Kuasa untuk memohon perlindungan dari segala marabahaya

“Bismillahi tawakaltu alallahu, la haula wala quwwata illa billah...”.

Sesaat kemudian, Ki Tapa langsung menyerang dengan melompat ke arah jaka Someh menggunakan kedua telapak tangannya mengarah ke tubuh Jaka Someh, hawa panas langsung menerpa jaka Someh. Namun hawa panas itu mampu di serap oleh jaka Someh dan di salurkan ke dalam bumi. Tiba-tiba kedua tangan Ki Tapa di tangkap oleh jaka Someh dan langsung di banting dengan keras. Bantingannya begitu keras dan dahsyat, Ki Tapa langsung ambruk ke tanah dengan kerasnya, badannya terasa remuk. Dia merasakan payah yang amat sangat.

Meskipun sudah merasa payah, Ki tapa masih tetap berusaha untuk bangkit lagi. Namun upayanya gagal, dia kembali ambruk. Rupanya beberapa sarafnya telah mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga mengalami kelumpuhan. Hatinya mulai berputus asa. Tak menyangka dia dapat dikalahkan oleh Jaka Someh dengan mudahnya. Tubuhnya sekarang terasa remuk dan lemah. Hanya tangannya saja yang masih mampu dia gerakan.

“Kamu...”

Ki Tapa menunjuk ke arah Jaka Someh

“Sudah Ki Tapa, kita sudahi pertarungan ini, Bertaubatlah Ki Tapa, jangan berbuat kejahatan lagi...” Kata Jaka Someh

“Kamu...dasar bajingan, tak sudi saya takluk kepada bocah ingusan seperti kamu lebih baik saya mati dengan tangan saya sendiri....”

Sesaat setelah dia menolak ajakan ajakan Jaka Someh untuk bertaubat, Ki Tapa langsung memukul kepala nya dengan tangannya sendiri. Tangan yang sudah di isi oleh tenaga dalam yang hebat.

‘Prak’ dari kepalanya keluar darah segar. Ki Tapa sempat mengalami sekaratul maut sebelum akhirnya tewas di tangannya sendiri. Matanya masih melotot memandang ke arah Jaka Someh.

Jaka Someh hanya mampu menggelengkan kepalanya, menyesali kematian sia-sia Ki Tapa yang bunuh diri karena tak sudi dikalahkan olehnya. Sifat sombong dan kerasnya hati telah membutakannya dari mensyukuri nikmat kehidupan yang telah di anugrahkan oleh yang maha kuasa. Kebodohannya telah membuat jiwanya berputus asa. Putus asa dari Rahmat Tuhan Seluruh Alam. Dia tidak tahu, bahwa setelah mati bakal ada kehidupan yang lain. Kehidupan untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Melihat Ki Tapa sudah tewas, anak buahnya pun langsung berlarian kabur meninggalkan tempat itu, takut menjadi korban kemarahan jaka Someh. Jaka Someh membiarkan mereka untuk berlarian.

Purba Anom dan Dewi Intan merasa senang melihat Jaka Someh telah berhasil mengalahkan Ki Tapa, mereka langsung memeluk Jaka Someh.

Setelah keadaan sudah menjadi normal Jaka Someh bersama Purba Anom dan Dewi Intan masuk ke dalam rumah yang sudah di tinggalkan oleh anak buah Ki tapa.

Purba Anom merasa sedih melihat kondisi rumahnya yang sudah kosong tidak berpenghuni lagi. Ayahnya sudah meninggal, ibu dan anggota keluarganya yang lain entah ada di mana, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Air matanya pun mengalir membasahi pipi. Purba Anom kemudian berkata kepada Jaka someh

“Paman Someh, saya tidak kuasa untuk tinggal di rumah ini lagi, Banyak kenangan indah dan kenangan  pahit yang ada di rumah ini, mungkin lebih baik saya tidak tinggal lagi di rumah ini, saya ingin ikut, kemanapun paman pergi...”.

Jaka Someh ikut merasakan kesedihan Purba Anom dan Dewi Intan, dia langsung merangkul mereka berdua

“Sabar ya, Purba. Paman berharap kamu dapat segera melupakan kenangan pahit yang pernah kalian jumpai saat ayah kalian meninggal di sini, mengenai ibu kalian, paman berharap beliau masih dalam keadaan hidup, nanti coba paman tanyakan ke beberapa penduduk di sini, barangkali saja mereka ada yang tahu keberadaan ibu kalian...sekarang sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini...”.

Purba Anom dan dewi Intan pun mengiyakan Jaka Someh

“Iya, paman. Mari kita pergi dari sini...”

Mereka bertiga pun segera keluar dari rumah itu.

Di luar ternyata banyak sekali warga yang berdatangan ke rumah peninggalan alamarhum Raden Purba Sora. Para warga ternyata sudah tahu bahwa Ki tapa sudah tewas dikalahkan oleh Jaka someh.

Jaka Someh sendiri tidak menyadari ternyata banyak warga yang menyaksikan pertarungannya dengan Ki Tapa, meski menyaksikan dari jarak yang jauh.

Mereka merasa takjub melihat kehebatan dua pendekar pilih tanding yang sedang bertarung. Bagi mereka itu adalah momen yang langka, bisa melihat pertarungan dahsyat dari dua pendekar sakti.

Terlebih lagi setelah melihat jaka Someh dapat mengalahkan Ki tapa yang selama ini telah menghantui mereka. Untuk itulah mereka mendatangi rumah raden Purbasora, untuk menemui Jaka Someh yang telah membebaskan mereka dari Ki tapa dan anak buahnya.

Melihat jaka Someh keluar dari rumah, mereka langsung berebutan menyalami Jaka Someh. Salah satu dari mereka, mengucapkan terima kasih kepada Jaka someh,

“Tuan Pendekar, terima kasih banyak...tuan sudah membebaskan kami dari Ki Tapa dan anak buahnya...saya Jauhari, kepala kampung di sini, mewakili warga di sini, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tuan pendekar”.

Jaka someh merasa geli mendengar dirinya di sanjung dengan sebutan tuan pendekar oleh bapak kepala kampung, dia pun tertawa dan berkata kepada pak jauhari

“Aduh bapak, jangan panggil saya tuan pendekar segala atuh...he...he...nama saya teh Jaka Someh, bapak dan para warga semua dapat memanggil saya, Someh, Omeh atau akang saja, mangga silahkan...he...he...”.

Pak kepala kampung tersenyum ramah kepada jaka Someh

“Baik, euuh...Eehh...Kang, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih pada akang...”

Jaka someh merasa kikuk dengan sikap warga yang terlalu menghormatinya

“Iya bapak, sama-sama...”

Para warga juga menyalami raden Purba Anom dan Dewi Intan, mereka gembira setelah tahu bahwa Raden Purba Anom dan dewi Intan ternyata masih hidup dan telah kembali ke rumahnya. Malam itu terpaksa jaka Someh menunda keberangkatannya meninggalkan rumah Raden Purba Sora, karena para warga melakukan syukuran setelah terbebas dari cengkraman Ki Tapa. Mereka memasak berbagai makanan yang enak-enak untuk menghormat Jaka Someh dan Purba Anom.

Keesokan hari Jaka Someh berpamitan kepada kepala kampung dan para warga lainnya untuk melanjutkan perjalanan, Raden Purba Anom dan Dewi Intan juga ikut bersamanya.

Di tengah perjalanan, Dewi Intan bertanya kepada Jaka Someh

“Paman Someh, kita mau kemana?”

Jaka Someh terdiam mendengar pertanyaan dari Dewi Intan, dia sebenarnya juga bingung karena belum punya bayangan tempat yang akan dituju. Sebelum bertemu Purbasora dan dewi intan, jaka Someh tak begitu merisaukan perjalanannya, kemanapun dia melangkah, maka itulah tujuannnya. Tapi sekarang dia membawa Purba Anom dan dewi Intan yang kini menjadi tanggung jawabnya. Tidak mungkin rasanya dia menghabiskan hidup mereka dengan perjalanan yang tak memiliki arah tujuan. Jaka Someh ingin kedua anak itu memiliki masa depan yang baik, mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang jelas, hidup bahagia dan terhormat. Terlintas dalam benaknya untuk menitipkan kedua anak itu di perguruan Ki Buyut Putih, Namun segera dia urungkan karena teringat kepada almarhum istrinya, Dewi Sekar. Rindu pun menyesak dalam dadanya.

Jaka Someh juga teringat kepada mertua yang telah mengusirnya. Sedih rasanya kalau harus kembali ke sana. Namun masalahnya dia sekarang harus mengurusi Purba Anom dan Dewi Intan. Jaka Someh menjadi bingung untuk memtuskan. Kemudian bertanya kepada Dewi Intan dan Purba Anom

“Kalau kalian paman titipkan di perguruannya eyang Buyut Putih bagaimana? Kalian bisa belajar silat ke eyang Buyut Putih yang namanya sudah sangat terkenal, beliau adalah pendekar yang hebat dan baik hati...”

Purba Anom menjawab pertanyaan Jaka someh dengan pertanyaan juga

“Apakah paman juga akan tinggal di sana?”

Jaka Someh menggelengkan kepalanya

“Sepertinya paman tidak bisa tinggal di sana, Purba...”.

Mendengar jawaban jaka Someh yang tidak menggembirakan, Purba Anom berkata kepada Jaka Someh

“Kalau begitu kami tidak mau tinggal di sana, lebih baik kami tinggal bersama paman...kemana pun paman pergi”.

Jaka Someh bertambah bingung setelah mendengar jawaban Purba Anom yang tegas, kemudian Jaka Someh bertanya lagi kepada Purba Anom

“Kalau kalian paman ajak untuk bercocok tanam bagaimana?”.

Giliran Purba Anom yang bingung menjawab pertanyaan Jaka Someh, dalam benaknya dia ingin hidup bersama Jaka Someh, karena ingin mendapat pelajaran silat darinya, bukan untuk menjadi seorang petani. Dewi Intan yang kemudian menjawab pertanyaan jaka Someh

“Iya paman tdak apa-apa, tapi Paman tetap ajari kami dengan ilmu silat ya...!”.

Jaka Someh menganggukan kepalanya

“Iya, Dewi Intan, Insya Allah...”.

Mendengar Jaka Someh sudah berjanji untuk mengajari ilmu silat, Purba Anom pun berkata “Iya paman, tidak apa-apa, saya bersedia untuk menjadi petani...”.

 Setelah mendengar jawaban mereka, Jaka Someh merasa senang. Sudah tak ragu lagi dia akan mengajak Purba Anom dan Dewi Intan ke bukit Tandus yang dulu pernah di singgahi bersama Dewi Sekar.

Ada rasa penasaran yang cukup besar dalam dirinya untuk mengolah bukit tandus tersebut, agar kembali menjadi bukit yang hijau dan indah. Selain itu, Jaka Someh juga menganggap bahwa bukit tersebut sangat cocok untuk dijadikan tempat latihan Purba Anom dan Dewi Intan. 

Setelah menetapkan tempat tujuannya, Jaka Someh segera menjalankan gerobaknya ke arah bukit tandus yang pernah di datanginya bersama Dewi Sekar.

Setelah berjalan berhari-hari, akhirnya mereka sampai di bukit itu. Saat  itu hari sudah sore.

 Jaka Someh berkata kepada Purba Anom dan dewi Intan

“Nah, disinilah kita akan tinggal, dan berccok tanam, di tempat ini juga paman akan melatih kalian...”

Purba Anom dan Dewi Intan merasa heran dengan ucapan Jaka Someh, Purba Anom bertanya kepada Jaka Someh

“Hah...Paman, apakah kita akan tinggal di bukit tandus seperti ini? Apakah tidak salah? Bagaimana bisa kita bercocok tanam di tempat seperti ini? Kenapa kita tidak tinggal di perkampungan saja paman, lebih nyaman dan aman”.

Jaka someh tertawa mendengar keheranan Purba Anom

“he...he...Iya Anom, paman ingin mencoba mengubah bukit tandus ini agar bisa hijau dan indah kembali...hati paman merasa tertantang, memang ini bukan pekerjaan yang ringan...tentunya akan membutuhkan usaha yang besar, namun kalau kita berhasil dapat mengelola bukit ini, Insya Allah akan mendapat ganjaran yang setimpal juga, makanya paman memutuskan untuk tinggal di atas bukit ini daripada di perkampungan, supaya konsentrasi kita tidak terganggu dalam mengelola bukit ini”. 

Meskipun tidak yakin dengan ucapan Jaka Someh, Purba Anom tetap mengiyakan keinginan Jaka Someh

Ya sudahlah paman, terserah paman saja, kami akan ikut...”.

Jaka Someh tersenyum melihat Purba Anom dan Dewi Intan yang masih terheran-heran dengan niatnya, dia pun berkata kepada mereka

“Oke, untuk sementara waktu kita akan bermalam di sini, di atas gerobak sapi ini, besok kita akan membuat pondok bambu sederhana di atas bukit...sekarang kalian beristirahat dahulu...”.

Keesokan harinya, Jaka someh pergi bersama Purba Anom ke hutan bambu yang berada di seberang kampung. Jaka Someh menebang beberapa pohon bambu yang berukuran sedang sampai besar. Kemudian membawa bambu-bambu tersebut ke atas bukit.

Purba Anom ikut membantu mengangkat beberapa potong bambu. Setelah sampai di bukit, bambu-bambu itu di kumpulkan dalam satu tempat. Banyak sekali pohon bambu yang dikumpulkan oleh Jaka Someh, sehingga Purba Anom merasa heran

“Paman, kenapa bambunya banyak sekali? Memangnya paman akan membangun pondok sebesar apa?”

Jaka Someh tertawa mendengar pertanyaan dari Purba Anom

“He...he... pondoknya sih tidak besar, hanya saja Paman ingin membuat saluran air untuk mengairi lahan kita nanti, nah paman akan mencoba menyalurkan air dari atas bukit hijau sana ke bukit ini...

Jaka Someh menunjuk ke arah bukit yang masih nampak hijau yang berada sekitar 2 km-an dari bukit tandusnya.

“Ha...!!”

Purba anom bertambah heran dengan rencana Jaka Someh

“Paman akan mengalirkan air dari bukit hijau itu ke bukit ini dengan menggunakan pohon-pohon bamboo ini?”

Jaka Someh tersenyum

“Ya, Purba Anom...makanya paman akan membutuhkan banyak pohon bambu...kalau sekarang sih masih kurang rasanya...nanti...besok, setelah pondok kita selesai, kita akan mengmpulkan lagi pohon bambunya...” 

Setelah berkata begitu, Jaka Someh segera membuat sebuah pondok sederhana yang terbuat dari pohon bambu. Dengan cekatan dia memotong dan membelah bambu-bambu itu. Setelah selesai membuat kerangka pondok diapun segera membelah beberapa bambu yang lainnya, untuk dijadikan bahan untuk bale-bale dan dinding bilik. 

Purba Anom dan Dewi Intan merasa takjub melihat Jaka Someh yang begitu terampil dan cekatan membuat pondok bambu untuk tempat tinggal mereka. Hanya dalam satu hari, pondok mereka pun sudah jadi di atas bukit tandus.

Beberapa warga yang sedang berlalu lalang di sekitar bukit, merasa heran dengan yang dilakukan oleh Jaka Someh dan Purba Anom, mereka sempat bertanya kepada Jaka someh, pertanyaan mereka pun nyaris sama satu dengan yang lainnya

“Sedang melakukan apa kang?”

Jaka someh tidak bosan-bosan menjawab pertanyaan para warga yang merasa heran dengan apa yang dilakukannya

“Sedang membuat pondok rumah, mang”

Atau jawaban yang lain

“Sedang membuat pondok, pak”.

Kemudian para warga itu pun bertanya lagi

 “Kenapa membuat pondoknya di atas bukit ini atuh kang? ini bukit kan tandus”.

Jaka Someh pun menerangkan lagi bahwa dia berencana akan mengelola bukit tandus ini agar bisa dijadikan lahan untuk bercocok tanam, dia mengatakan kepada warga bahwa dia akan mencoba menghijaukan kembali bukit tandus tersebut.

Tentu saja sebagian besar warga tersebut mencemoohnya, mereka mengatakan bahwa pekerjaannnya itu akan sia-sia, lebih baik bercocok tanam di tempat lain saja.

Bahkan ada warga yang mengatakan bahwa Jaka Someh adalah seorang yang kurang waras. Meskipun banyak warga mencemoohnya, Jaka Someh tetap meneruskan niatnya untuk mengelola bukit tandus tersebut, tekadnya sudah bulat untuk menjadikan bukit itu kembali hijau. Selesai membangun pondok, keesokan harinya mereka mulai menebangi pohon-pohon bambu lagi. Banyak sekali bambu yang mereka kumpulkan.

Setelah terkumpul banyak, Jaka Someh mulai membuat kolam untuk menampung air.

Dia mencangkuli tanah-tanah yang ada di area perbukitan untuk membuat sengkedan dan kolam yang sangat besar di beberapa tempat di bukit tandus itu.

Selain untuk menampung air sumberan, kolam itu nantinya akan berguna untuk menampung air hujan. Kolam itu di beri dasar pecahan bebatuan dan pasir agar nanti airnya  tetap jernih.

Meskipun airnya belum ada, namun orang-orang sudah bisa menebak bahwa Jaka someh sedang membuat kolam yang besar di bukit itu.

Begitulah kegiatan Jaka Someh beberapa bulan terakhir. Begitu keras usaha yang dia lakukan untuk menghidupkan kembali sebuah bukit yang tandus. Tidak ada yang membantunya kecuali Purba anom dan Dewi Intan saja. Setelah tanah sengkedan, kolam serta saluran-saluran airnya jadi, mereka pun mulai menyusun bambu-bambu untuk menghubungkan sumber air dengan bukit tandusnya itu.

Akhirnya setelah beberapa kali mereka berusaha, berkat keuletan dan sifat pantang menyerah yang di miliki, air pun sudah bisa mengalir menuju bukit tandusnya. Air-air itu sudah mengisi kolam-kolam yang di buat oleh jaka Someh.

Air dalam kolam-kolam tersebut digunakan untuk menyirami bibit-bibit tanaman dan untuk keperluan budi daya perikanan.

Sedangkan untuk keperluan mandi dan keperluan sehari-hari lainnya, jaka Someh mempersiapkan tangki besar yang terbuat dari kayu berikut pancurannya. 

Setelah sumber air tersedia, Jaka Someh mulai menggarap bukit itu untuk bercocok tanam. Dia menanam banyak sekali pohon dari berbagai jenis, mulai dari pohon kayu-kayuan, pohon buah-buahan, tanaman bunga, tanaman palawija serta tanaman sayur dan juga tanaman obat. Selain tanaman-tanaman, jaka someh juga mengembangkan budidaya perikanan air tawar dan juga peternakan ayam dan kambing.

Di saat senggang, dia menyempatkan diri mengajarkan kepandaian silat kepada Purba Anom dan Dewi Intan yang sekarang menjadi asuhannya.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...