Tanpa
terasa sudah dua bulan berlalu semenjak acara pertemuan para pendekar
dilangsungkan di bawah kaki gunung Tampomas. Beberapa rombongan pendekar sudah
banyak yang pergi meninggalkan gunung Tampomas. Bergiliran mereka berangkat
menuju Gunung Kareumbi.
Esok
pagi adalah giliran Dewi Sekar dan keluarganya untuk pergi meninggalkan
padepokan Ki Buyut Putih. Mereka akan berangkat bersama rombongan para pendekar
lainnya.
Raden
Jaya Permana dan keluarganya ikut tergabung dalam rombongan Dewi Sekar. Jumlah
rombongan mereka berkisar 30 orang dan di pimpin langsung oleh Ki Sepuh Anom.
Nini Gunting Pamungkas juga ikut mendampingi Ki Sepuh Anom.
Dari
padepokan, mereka berjalan kaki menuruni lereng gunung tampomas menuju arah
kaki gunung. Hanya pakaian dan barang berharga saja yang mereka bawa, karena
perbekalan makanan ternyata sudah disiapkan oleh beberapa murid Ki Buyut Putih
di bawah Kaki Gunung Tampomas.
Gunung
Tampomas masih nampak di selimuti oleh kabut dan hawa dingin, ketika rombongan
mereka tampak berjalan dengan santai menuruni jalan setapak menuju kaki gunung,
sambil mengobrol asyik dengan teman atau keluarganya.
Tidak
lama, hanya memakan waktu sekitar 1 jam saja, mereka akhirnya sampai di bawah
kaki gunung Tampomas. Di sana mereka mendapati beberapa gerobak sapi yang sudah
disiapkan oleh beberapa murid Ki Buyut. Di dalam gerobak tersebut sudah ada
bahan makanan yang diperkirakan bisa cukup untuk bekal selama 1 atau 2
mingguan. Setelah beristirahat sejenak di rerumputan yang berada di bawah kaki
gunung, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju Gunung Kareumbi dengan
menaiki gerobak sapi. Ada sekitar 7 gerobak sapi, rata-rata di naiki oleh sekitar 4 orang.
Dewi
Sekar dan keluarganya menggunakan gerobak sapi yang sama. Hanya Raden Jaya Permana dan Kyai Sepuh saja
yang menunggang kuda. Perjalanan mereka untuk dapat sampai ke Gunung Kareumbi,
diperkirakan akan memakan waktu sekitar 2-3 mingguan dengan menggunakan gerobak
sapi. Tanpa terasa mereka sudah melewati beberapa desa, hutan dan lembah.
Hari
menjelang siang ketika mereka sampai di sebuah sungai yang airnya begitu
jernih. Melalui Jaya Permana, Kyai Sepuh Anom memerintahkan rombongan untuk
beristirahat sejenak di dekat sungai itu. Raden Jaya Permana dengan cekatan
menyampaikan pesan Kyai Anom kepada semua anggota rombongan. Ketika sampai di
gerobak sapi yang di naiki oleh Dewi Sekar, Raden Jaya Permana tersenyum manis
kepada Dewi Sekar yang waktu itu sedang duduk melamun sambil menikmati
pemandangan alam yang dilewatinya. Jaya Permana berkata lembut kepada Dewi
Sekar
“Nyai,
kita akan istirahat dulu di sini...”.
Dewi
Sekar menganggukan kepalanya
“Iya
Kang, terima kasih...”.
Jaya
Permana kemudian melanjutkan kembali tugasnya untuk menyampaikan pesan Kyai
Anom kepada anggota rombongan yang lainnya. Mereka beristirahat di tempat itu
sampai hari menjelang sore. Setelah matahari sudah tidak terik, mereka kembali
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan di jalan yang menembus hutan lebat.
Hari sudah gelap namun mereka masih tetap melanjutkan perjalanan. Barulah
ketika sampai di pinggir suatu desa, mereka memutuskan untuk istirahat dan
bermalam di tempat tersebut, karena malam memang sudah sedemikian larut.
Fajar
menyingsing di ufuk timur. Dewi Sekar baru saja selesai melaksanakan sembahyang
Shubuh.
Terlihat hanya baru beberapa orang saja yang sedang beraktifitas di
waktu itu. Bi Kesih bersama beberapa wanita yang ikut rombongan Dewi Sekar
mulai sibuk memasak sarapan untuk para pendekar. Dengan cekatan, dia memotong
kacang panjang dan terong-terongan. Pagi ini dia akan membuat sayur kacang
panjang yang di campur buah terong dan irisan cabe rawit. Ketika posisi
matahari sudah mulai setinggi tombak, masakan sudah siap untuk dihidangkan.
Sinar matahari mulai terik, para pendekar yang tertidur lelap pun sudah mulai
bangun. Setelah mandi di sungai mereka pun berkumpul karena mau menikmati
sarapan pagi secara bersama-sama. Hanya para sesepuh saja yang makan di tempat
khusus yang terpisah dari mereka. Raden Jaya Permana duduk mendekat ke Dewi
Sekar yang sedang duduk bersama Arya Rajah.
Ketika
mereka sedang asyik sarapan, tiba-tiba munculah beberapa penduduk desa dengan
pakaian yang lusuh mendekat. Wajah mereka nampak memelas karena kesusahan.
Salah satu dari mereka adalah seorang wanita yang datang dengan menggendong
anaknya yang masih kecil.
Setelah
mendekat, mereka mengemis kepada para pendekar yang waktu itu sedang makan
“Tuan...nyonya...mohon...kasihani
kami...kami belum makan dari kemarin...Mohon kasihani kami...beri kami sedikit
makanan...”.
Para
pendekar yang merasa terganggu oleh keberadaan mereka, dengan spontan langsung
menghardik mereka
“heh...apa-apaan
ini...mengganggu saja kalian ini...kami juga belum makan...ayo
pergi...pergi...jangan ganggu kami lagi”.
Raden
Jaya Permana yang kurang suka dengan kehadiran mereka langsung ikut mengusir
“heh...ayo pergi...pergi...jangan ganggu
kami...kami juga belum makan...”.
Meskipun
di usir, para penduduk tadi malah tambah mengiba, termasuk wanita yang sedang
menggendong anaknya tadi. Wanita itu memelas kepada raden Jaya Permana
“Kasihani
kami...tuan....mohon belas kasihan kami,,,beri kami sedikit
makanan...tuan...paling tidak untuk anak
saya”.
Melihat
para pengemis tersebut tidak mau pergi, Raden Jaya Permana menjadi emosi, dia
pun menghardik wanita yang menggendong anaknya tersebut dengan suara keras dan
kasar
“Hey
kamu ini...punya telinga atau tidak...Ayo pergi...pergi...jangan membuat
kesabaran saya hilang”
Dibentak
sedemikian rupa, para pengemis itu pun panik. Karena panik, anak yang digendong
oleh si wanita itu menangis keras karena takut dengan Jaya Permana. Raden jaya
Permana bertambah marah mendengar tangisan si anak. Dia langsung bangkit dari
duduknya untuk mengusir paksa mereka
“Hey...hey...malah
tambah berisik...sepertinya harus saya beri pelajaran...biar kapok...”.
Dewi
Sekar yang melihat Raden Jaya Permana menjadi semakin emosi langsung ikut
berdiri, dia berusaha untuk menenangkan Jaya Permana
“Sudah...sudah...Raden...jangan
marah lagi...mereka kesini hanya sekedar untuk minta makan...apa salahnya kalau
kita berbagi...”.
Raden
Jaya Permana yang mendengar perkataan Dewi Sekar seperti itu langsung
terhenyak. Kemudian dia mencoba memberi penjelasan kepada Dewi Sekar agar Dewi
Sekar tidak perlu mengasihani mereka dan menyalahkan sikapnya
“Akang
bukan marah...Nyai...bukan juga tidak mau berbagi...namun kedatangan mereka
sungguh tidak tepat waktu...lagi pula bagaimana kita bisa berbagi dengan
mereka...sedangkan bekal kita saja jumlahnya sangat terbatas...padahal kita
tidak tahu berapa lama perjalanan kita ini...”
Para
pendekar yang lain pun ikut mengiyakan pendapat dari Raden Jaya Permana. Dewi
Sekar kemudian berkata kepada mereka
“Punten
semuanya...saya minta maaf...kalau memang begitu biarlah jatah saya saja yang
diberikan kepada ibu ini...”
Dewi
Sekar berjalan menuju ke arah wanita yang menggendong anaknya tadi, kemudian
memberikan jatah makanannya. Dewi Sekar
mengelus kepala si anak untuk menenangkannya.
“Eeh...sudah
ya...adik kecil...jangan menangis lagi...”.
Si
Ibu itu langsung menunduk-nundukan badannya kepada Dewi Sekar sebagai ungkapan
rasa terima kasih. Dewi Sekar kemudian berkata kepada wanita itu,
“Sudah...sudah...bu...jangan seperti
itu...lebih baik ibu makan bersama anak ibu....”.
Melihat
sikap Dewi Sekar yang begitu lembut dan perhatian kepada para pengemis , Raden
Jaya Permana mendekati Dewi Sekar
“Ya
sudah Nyai, akang minta maaf...atas sikap kasar akang tadi...begini saja, kita
akan bagi sebagian jatah makan kita kepada mereka...Nyai Sekarang ikut makan
juga ya...”.
Dewi
Sekar mencoba tersenyum ke Jaya Permana.
“Sudah
kang, tidak apa-apa. Saya tadi sempat makan sedikit koq...sekarang sudah tidak
lapar lagi...Terima kasih akang mau berbagi dengan mereka...”.
Raden
Jaya Permana tersenyum sambil menganggukan kepalanya
“Iya
Nyai, sama-sama”.
Setelah
mengucapkan terima kasih, Dewi Sekar pergi menemui Bi Kesih yang sedang sibuk
membagikan makanan kepada para penduduk yang kelaparan, Dewi Sekar dengan
sigapnya membantu Bi Kesih, melayani mereka. Bi Kesih berkata kepada Dewi Sekar
“Nyai,
terima kasih, Nyai mau menolong mereka, bibi teh merasa kasian dengan
mereka...ingat waktu dulu, ketika bibi mendeita kelaparan juga...”.
Dewi
Sekar tersenyum ke Bi Kesih
“Iya
atuh Bi Kesih, sama-sama. Saya juga prihatin melihat banyak masyarakat kita
yang menderita kelaparan, coba bibi perhatikan ketika kita melewati beberapa
desa kemarin...kebanyakan penduduknya kelihatan lusuh dan menderita...saya
tidak tahu apakah ini akibat dari gerombolan ki jabrik ataukah karena faktor
yang lain...”.
Bi
Kesih mengiyakan pernyataan Dewi Sekar
“iya
Nyai, Bibi juga lihat...kasihan ya...”.
Ketika
mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba beberapa penduduk mendekati Dewi
Sekar. Mereka pun menyalami Dewi Sekar sambil mengucapkan terima kasih
“Terima
kasih, Nyai...atas pertolongan Nyai...”.
Dewi
Sekar merasa terharu melihat mereka yang nampak tulus mengucapkan terima kasih
kepadanya
“Iya
Ibu...Bapak, sama-sama...”.
Setelah
mengucapkan terimakasih, para penduduk kemudian berpamitan kepada Dewi Sekar
dan Bi Kesih untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Perbuatan
Dewi Sekar yang telah tulus menolong para penduduk yang menderita kelaparan
tadi rupanya menjadi buah bibir di antara anggota rombongan. Banyak yang memuji
sikap Dewi Sekar yang ternyata penuh kelembutan dan senang menolong pada
sesama.
Ketika
Raden Jaya Permana sedang melewati anggota rombongan paling depan, tanpa
sengaja dia mendengarkan obrolan dari para pendekar yang sedang membicarakan
Dewi Sekar. Salah satunya mengatakan
“Aih
itu Dewi Sekar, sudah cantik dan hebat teh ternyata hatinya penuh kelembutan,
eleh-eleh...beruntung sekali ya...laki-laki yang jadi suaminya...duh coba saja
saya ini ganteng, kaya dan memiliki kesaktian seperti Ki Buyut Putih, pasti
Dewi Sekar sudah saya lamar....he...he...”.
Yang
lainnya pun tidak mau kalah
“Hey,
hey kamu mah menghayal saja...yang jelas Dewi Sekar teh tidak akan memilih kamu
atuh...sudah jelek...kere lagi...ha...ha...”.
Raden
Jaya Permana yang mendengar obrolan mereka, tiba-tiba tersenyum sendiri, dia merasa
bahwa dialah lelaki yang beruntung itu, yang akan memiliki Dewi Sekar nantinya.
Setelah
matahari mulai terik, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Menembus lebatnya
hutan, kemudian menyusuri tanah yang dipenuhi tanaman perdu dan ilalang.
Beberapa kali mereka melewati desa yang nampak sudah kosong seperti di
tinggalkan oleh para warganya. Di sepanjang perjalanan, Dewi Sekar melihat
banyak areal pesawahan yang sudah tergantikan areal rerumputan dan ilalang yang
liar, menandakan bahwa daerah tersebut memang sudah tidak di garap lagi oleh
manusia.
Setelah
menempuh perjalanan selama seharian, mereka kembali melewati lebatnya hutan
perdu. Jalan yang mereka lewati sekarang berupa tanah yang lebarnya hanya
sekitar dua meter saja. Gerobak-gerobak sapi yang mereka tumpangi pun terpaksa
melambat ketika berada di jalan tanah yang ada lobangnya. Bahkan beberapa kali
mereka terpaksa berhenti karena harus membetulkan gerobak mereka yang masuk ke
dalam lobang tersebut. Meskipun perjalanannya melelahkan dan membosankan, namun
mereka tetap sabar menjalaninya.
Hari
menjelang malam ketika mereka berada di suatu tanah lapang di pinggiran hutan
Candra Kirana. Kyai Sepuh Anom pun memerintahkan rombongannya untuk
beristirahat di daerah tersebut. Beliau berkata
“Saudara-saudara
sekalian sebentar lagi kita akan memasuki hutan candra kirana, untuk itu lebih
baik kita bermalam dulu saja di sini, karena berjalan di hutan itu di waktu
malam rasanya terlalu beresiko... biar besok pagi saja kita melanjutkan lagi
perjalannnya...”.
Mereka
pun setuju dengan usul dari Kyai Sepuh Anom, untuk beristirahat di tempat
tersebut.
Bi
Kesih yang di bantu oleh Dewi Sekar dan para wanita lainnya kecuali Nini
Gunting Pamungkas, mulai sibuk memasak untuk makan malam. Setelah makan malam
selesai, mereka kembali beristirahat, tidur di gerobaknya masing-masing. Hanya
beberapa murid Ki Buyut Putih saja yang bergiliran untuk menjaga rombongan itu.
Malam
itu Dewi Sekar tertidur lelap bersama Dewi Tunjung Biru dan Nini Gunting
Pamumangkas. Namun menjelang sepertiga malam yang akhir dia terbangun karena
mendengar suara keributan. Dewi Sekar,
Nini Gunting Pamungkas dan Dewi Tunjung Biru segera pergi ke arah suara
keributan tersebut. Di sana sudah banyak orang. Beberapa murid ki buyut putih
dan beberapa pendekar sedang bersiap melawan beberapa lelaki yang berpakaian
serba hitam. Jumlah mereka ada sekitar 30 orang atau lebih. Salah satu murid ki
Buyut Putih kemudian berkata
“Hey
rampok...kamu mencari mati ya...kalau mau merampok ya pilih-pilih atuh...masa mau
merampok kami, ha...ha...”.
Salah
seorang perampok yang wajahnya terlihat sangar berkata
“Ha...ha....
kalian yang mencari mati...kalian tidak tahu...kami adalah Rampok Leuweung
Candra Kirana...kalau mau selamat ayo serahkan harta benda kalian...”.
Jaya
Permana yang nampak tidak sabaran untuk segera berkelahi dengan para perampok
itu langsung maju ke depan. Dia berkata kasar kepada perampok itu
“Dasar
bangsat, benar-benar mau mencari mati...kalian tidak tahu dengan siapa kalian
berhadapan ini...kami adalah kumpulan para pendekar...kalian pasti masih anak
buahnya geombolan ki Jabrik ya...? Siapa pemimpin kalian di sini hah...?”.
Kemudian
salah satu rampok yang nampak sudah berumur melangkah maju menghadap Raden Jaya
Permana
“Heh
bocah sombong...saya Soca Pendekar serigala sakti dari leuweung Candra Kirana,
pemimpin kelompok ini....kamu mau apa?”.
Raden
Jaya Permana tertawa kecil sambil berkacak pinggang. Sikapnya tersebut terkesan
meremehkan para rampok tersebut. Soca langsung naik pitam melihat sikap Jaya
Permana yang dianggapnya sombong, dia pun memerintahkan anak buahnya untuk
segera menghabisi Jaya Permana.
Tiga
anak buah Soca langsung maju menyerang Jaya Permana, sedangkan sisanya tetap
berdiri di belakang untuk melihat pertarungan tersebut.
Raden
Jaya Permana langsung tertawa
“Ha...ha...ayo
maju kalian semua...ayo kamu juga soca...maju...biar saya kirim ke neraka...”.
Tiga
anak buah Soca yang tadi maju segera menyerang Raden Jaya Permana.
Raden
Jaya Permana mencoba menangkis serangan mereka, sambil berusaha untuk
merobohkan mereka. Pertarungan sengit pun langsung terjadi. Raden Jaya Permana
merasa kaget ternyata ketiga anak buah si Soca memiliki kemampuan silat yang
tinggi. Meskipun agak sulit untuk merobohkan ketiga anak buah Soca, namun Jaya
Permana akhirnya mampu menghajar salah satu rampok tersebut.
Rampok
yang terkena pukulan Jaya Permana tadi langsung terjatuh. Dari mulutnya
terlihat ada darah segar. Kemudian dia kembali bangkit dan langsung memasang
kuda-kuda. Kali ini dia nampak berhati-hati untuk menghadapi Jaya Permana yang
ternyata memiliki ilmu silat yang lumayan. Melihat ada temannya yang terjatuh,
tiga rampok yang lainnya langsung maju ke depan untuk membantu ketiga temannya
yang sedang berduel melawan Jaya Permana.
Melihat
Raden Jaya Permana di keroyok oleh 6 rampok, beberapa murid Ki Buyut yang tadi
nonton, akhirnya maju ke depan untuk membantu Jaya Permana. Pertarungan kembali
menjadi seru.
Setelah
bertarung beberapa jurus, ternyata Raden jaya Permana yang di bantu oleh beberapa
murid Ki Buyut nampak kewalahan.
Melihat
Jaya Permana sudah terdesak, beberapa pendekar ikut melompat ke kancah
pertarungan untuk membantu Raden Jaya Permana. Para rampok yang tadi sudah
berhasil mendesak Jaya Permana pun sekarang menjadi kewalahan menghadapi
keroyokan dari para pendekar. Melihat anak buahnya nampak terdesak Soca segera
melompat ke tengah pertarungan.
Dengan
sigapnya dia menghajar beberapa murid Ki Buyut Putih dan beberapa pendekar
lainnya. Ilmu silatnya ternyata tidak cetek. Meskipun di keroyok oleh jaya
Permana dan para pendekar lainnya, ternyata masih mampu mangimbanginya, bahkan
setelah beberapa saat Soca berhasil memukul jaya Permana hingga tersungkur ke
belakang.
Setelah
itu Soca juga mampu merobohkan beberapa pendekar yang lain.
Melihat
Jaya Permana dan beberapa pendekar lainnya mulai berjatuhan, para pendekar
lainnya menjadi panik, smereka pun dengan mudahnya di robohkan oleh Soca.
Melihat lawan-lawannya sudah roboh, Soca tertawa
“Ha...ha...dasar
kampret...ternyata kemampuan kalian cuma segini saja...ngomongnya saja yang
selangit...puiihh...dasar orang-orang belagu...”.
Jaya
Permana terlihat nyengir mendengar cacian Soca, hatinya terasa panas, apalagi
dilihatnya Dewi Sekar sedang berdiri di kerumunan orang yang menonton.
Si
Soca yang merasa di atas angin kemudian menantang para pendekar lainnya
“Hey...ayo
maju lagi...mana jagoan kalian...”.
Melihat
kehebatan Soca yang bisa mengalahkan Jaya Permana dan beberapa pendekar lainnya
dengan mudah. Kebanyakan mereka enggan
untuk bertarung dengan Soca.
Tak
lama kemudian Ki Sepuh Anom maju, dan berkata kepada Soca
“Wah
hebat...hebat...memang benar kata orang...pendekar serigala sakti memang bukan nama kosong...Saya Sepuh Anom,
Ingin ikut menjajal Ki Soca, Mangga...silahkan...”.
Melihat
Ki Sepuh Anom hendak maju ke Medan laga, Dewi Sekar langsung mendahuluinya. Dia
berkata kepada Ki Sepuh Anom
“Punten
Kyai, biar saya saja yang menghadapi penjahat ini, kyai tidak perlu turun
tangan...kalau hanya menghadapi orang seperti dia”.
Ki
Sepuh Anom tersenyum kepada Dewi Sekar
“Eh...Nyai...tidak
apa-apa begitu? Nyai bersedia melawan ki Soca?”.
Dewi
Sekar tersenyum
“Insya
Allah Kyai, saya akan mencoba melawannya”.
Raden
Surya atmaja yang melihat putrinya hendak maju melawan Ki Soca, hatinya menjadi
was-was. Dia berusaha mencegah Dewi Sekar untuk maju melawan Soca
“Nyai,
apa-apaan kamu teh, sudah kamu nonton saja, biar Rama saja yang melawan
Penjahat ini...”.
Dewi
Sekar menggelengkan kepalanya sambil berkata
“Tidak
rama, Rama tidak perlu turun tangan kalau hanya menghadapi penjahat seperti ini
mah, biar saya saja yang menghadapinya….”.
Dewi
Tunjung Biru dan Nini Gunting Pamungkas merasa yakin dengan kemampuan Dewi
Sekar harum. Dewi Tanjung Biru kemudian berkata kepada Raden Surya Atmaja
“Sudah,
Kang. Biarkan Dewi Sekar yang menghadapi Ki Soca. Insya Allah dia mampu
mengalahkannya...Percaya kepada Saya...lebih baik akang nonton saja...”.
Mendengar
perkataan Dewi Tunjung Biru yang yakin dengan kemampuan anaknya, Raden Surya
Atmaja menjadi sedikit melunak. Meski masih setengah hati, Raden Surya Atmaja
pun terpaksa membiarkan anaknya maju menghadapi Ki Soca.
Dewi
Sekar harum berjalan santai ke arah Ki Soca.
Soca
yang melihat Dewi Sekar harum yang cantik, langsung tertawa
“Ha...ha...Nyai...akang
mah jadi tidak tega...kalau memukul kamu mah...mendingan kamu jadi istri akang
saja atuh. Sayang, kalau kulit Nyai jadi lecet...aduh mulusnya...”.
Dewi
Sekar berusaha tetap tenang meski hatinya sebenarnya sudah tidak sabar untuk
berkelahi dengan Ki Soca, dengan tegas dia berkata
“Sudah,
kamu jangan banyak bicara, ayo hadapi saya kalau kamu memang lelaki jagoan...”.
Ki
Soca tertawa mendengar perkataan Dewi Sekar. Tanpa banyak bicara lagi Dewi
Sekar langsung melompat menyerang ki Soca.
Soca
yang awalnya meremehkan Dewi Sekar merasa kaget dengan hawa serangan dari Dewi
Sekar yang mengandung maut. Dia berusaha menangkis serangan tersebut, namun
terkejut saat pergelangan tangannya beradu dengan pergelangan tangan Dewi
Sekar.
Ki
Soca langsung mundur beberapa langkah, dia merasakan tangannya kesemutan. Dia
sadar bahwa Dewi Sekar bukanlah pendekar sembarangan. Soca segera memasang
kuda-kudanya, bersiap untuk berduel dengan Dewi Sekar. Sekarang dia sudah tidak
lagi meremehkan Dewi Sekar.
Pertarungan
antara dua pendekar segera berlanjut, saling pukul saling tendang saling egos
dan saling serang. Kemampuan keduanya ternyata sebanding.
Para
hadirin terpesona melihat kelincahan dan kehebatan Dewi Sekar melawan Ki Soca.
Mereka tak menyangka, kalau wanita yang sangat cantik yang penuh kelembutan
tersebut ternyata bisa ganas ketika bertarung melawan Ki Soca.
Pertarungan
mereka begitu sengit, keduanya saling mengeluarkan jurus andalannya
masing-masing. Setelah sekian lama mereka bertarung, akhirnya Dewi Sekar pun
mampu mendesak Ki Soca. Ki Soca yang tidak menyangka kalau Dewi Sekar mampu
membuatnya kerepotan. Dia pun segera melompat ke belakang sambil memasang
kuda-kudanya. Tangan kanannya segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
Melihat Ki Soca mengeluarkan goloknya, Dewi Sekar pun mencabut pedangnya yang
dari tadi tersarung di pundaknya. Meeka pun kembali bertarung dengan sengitnya.
Namun kali ini Ki Soca sudah tak mampu lagi mengimbangi jurus-jurus pedang Dewi
Sekar. Dalam suatu kesempatan, tiba-tiba pedang Dewi Sekar telah merobek
perutnya. Ki Soca kaget bukan kepalang, dilihatnya darah bercucuran dari
perutnya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing dan gelap, dia pun jatuh terduduk
ke tanah. Ki Soca menjadi panik, melihat luka di perutnya, ketika dia hendak
berdiri kembali tiba-tiba pedang Dewi Sekar sudah sampai di kepalanya. Dia pun
ambruk bersimbahkan darah. Ki Soca tewas seketika itu juga.
Melihat
pemimpinnya telah tewas, para anggota perampok pun menjadi panik, mereka takut
menjadi sasaran kemarahan Dewi Sekar dan para pendekar lainnya.
Para
pendekar yang melihat anak buah Ki Soca ketakutan langsung mengepung mereka.
Anak buah Ki Soca pun langsung bersimpuh meminta pengampunan Dewi Sekar dan
para pendekar lainnya. Ketika para pendekar hendak menghabisi mereka, Dewi
Sekar langsung berteriak
“Tahan...tahan...”.
Para
pendekar yang tadi hendak membunuh anak buah Ki Soca terperanjat mendengar Dewi
Sekar berteriak
“Ada
apa Nyai...kenapa menahan kami untuk membunuh mereka?”
Dewi
Sekar berusaha untuk tersenyum
“Sudah
paman, kita tidak perlu membunuh mereka...Tidak ada manfaatnya buat
kita...semoga mereka tidak lagi mengulangi kejahatannya...lebih baik kita beri
mereka kesempatan untuk bertobat...”.
Para
pendekar menjadi tertegun mendengar perkataan Dewi Sekar. Sedangkan para
perampok anak buah Ki Soca langsung bersimpuh di hadapan Dewi Sekar,
berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih
“Terima
kasih Nyai...atas kebaikan Nyai memaafkan kami...kami berjanji tidak akan lagi
menjadi perampok...”.
Dewi
Sekar tersenyum kepada mereka
“Iya,
akang-akang semua...semoga kalian bisa menepati janji kalian...untuk
bertobat...”.
Mereka
berjanji kepada Dewi Sekar untuk tidak lagi menjadi penjahat. Setelah Dewi
Sekar mengijinkan mereka untuk pergi, mereka langsung berlari meninggalkan
tempat itu. Khawatir Dewi Sekar berubah pikiran.
Para
pendekar yang melihat kehebatan Dewi Sekar dan juga kebaikannya menjadi semakin
hormat kepada wanita cantik yang penuh wibawa itu. Bagi mereka sangat jarang
ada pendekar wanita seperti Dewi Sekar, yang sekarang telah menjadi panutan
mereka.
Tidak
terasa fajar sudah mulai menyingsing. Setelah suasana menjadi aman mereka
kembali ke tempatnya masing-masing. Kyai Sepuh Anom dan Raden surya atmaja
langsung mendekati Dewi Sekar. Mereka bangga melihat kehebatan dan kebaikan
Dewi Sekar.
Raden
Surya Atmaja memeluk putri kesayangannya tersebut. Tanpa terasa air matanya
menetes karena terharu dengan kehebatan putrinya. Sedangkan Kyai sepuh Anom
segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menguburkan jasad Ki Soca
dengan cara yang layak, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepadanya.
Raden
Jaya Permana dengan tertatih-tatih mendekati Dewi Sekar yang waktu itu sedang
bersama ayahnya, dia berkata
“Terima
kasih Nyai, sudah menolong akang...”.
Dewi
Sekar tersenyum ke Raden Jaya Permana, sambil membalas dengan ucapan singkat
“Sama-sama
kang Jaya Permana...Semoga akang juga cepat sembuh ya...”.
Raden
Surya Atmaja yang tahu bahwa Raden Jaya Permana menyukai putrinya, langsung
tanggap untuk memberi kesempatan kepada Jaya Permana. Raden Surya Atmaja
berkata kepada putrinya
“Eh
iya Nyai, Rama pergi dulu...masih ada urusan..”.
Dewi
Sekar merasa tidak nyaman di tinggal pergi ayahnya sehingga menjadi berduaan
dengan Raden Jaya Permana. Dewi Sekar pun segera pamit kepada Raden Jaya
Permana. Dia pamit untuk merawat beberapa anak buah Ki Buyut Putih yang tadi
terluka oleh Ki Soca.
Raden
Jaya Permana, meskipun kecewa dengan sikap Dewi Sekar yang ingin menjauhinya,
berusaha tetap tersenyum dan mempersilahkan Dewi Sekar untuk pergi dari
hadapannya. Hatinya merasa sedih, baru sekarang dia merasa di tolak dan di
remehkan oleh seorang wanita. Padahal biasanya dia adalah seorang playboy yang
suka mempermainkan wanita.
Rombongan
yang di pimpin oleh Kyai Sepuh Anom kembali melanjutkan istirahatnya yang
sempat terganggu. Baru keesokan harinya mereka kembali melanjutkan perjalanan