Senin, 01 Juni 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 56. Pendekar Wanita


Tanpa terasa sudah dua bulan berlalu semenjak acara pertemuan para pendekar dilangsungkan di bawah kaki gunung Tampomas. Beberapa rombongan pendekar sudah banyak yang pergi meninggalkan gunung Tampomas. Bergiliran mereka berangkat menuju Gunung Kareumbi. 

Esok pagi adalah giliran Dewi Sekar dan keluarganya untuk pergi meninggalkan padepokan Ki Buyut Putih. Mereka akan berangkat bersama rombongan para pendekar lainnya. 

Raden Jaya Permana dan keluarganya ikut tergabung dalam rombongan Dewi Sekar. Jumlah rombongan mereka berkisar 30 orang dan di pimpin langsung oleh Ki Sepuh Anom. Nini Gunting Pamungkas juga ikut mendampingi Ki Sepuh Anom. 

Dari padepokan, mereka berjalan kaki menuruni lereng gunung tampomas menuju arah kaki gunung. Hanya pakaian dan barang berharga saja yang mereka bawa, karena perbekalan makanan ternyata sudah disiapkan oleh beberapa murid Ki Buyut Putih di bawah Kaki Gunung Tampomas. 

Gunung Tampomas masih nampak di selimuti oleh kabut dan hawa dingin, ketika rombongan mereka tampak berjalan dengan santai menuruni jalan setapak menuju kaki gunung, sambil mengobrol asyik dengan teman atau keluarganya. 

Tidak lama, hanya memakan waktu sekitar 1 jam saja, mereka akhirnya sampai di bawah kaki gunung Tampomas. Di sana mereka mendapati beberapa gerobak sapi yang sudah disiapkan oleh beberapa murid Ki Buyut. Di dalam gerobak tersebut sudah ada bahan makanan yang diperkirakan bisa cukup untuk bekal selama 1 atau 2 mingguan. Setelah beristirahat sejenak di rerumputan yang berada di bawah kaki gunung, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju Gunung Kareumbi dengan menaiki gerobak sapi. Ada sekitar 7 gerobak sapi, rata-rata  di naiki oleh sekitar 4 orang. 

Dewi Sekar dan keluarganya menggunakan gerobak sapi yang sama.  Hanya Raden Jaya Permana dan Kyai Sepuh saja yang menunggang kuda. Perjalanan mereka untuk dapat sampai ke Gunung Kareumbi, diperkirakan akan memakan waktu sekitar 2-3 mingguan dengan menggunakan gerobak sapi. Tanpa terasa mereka sudah melewati beberapa desa, hutan dan lembah.
Hari menjelang siang ketika mereka sampai di sebuah sungai yang airnya begitu jernih. Melalui Jaya Permana, Kyai Sepuh Anom memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak di dekat sungai itu. Raden Jaya Permana dengan cekatan menyampaikan pesan Kyai Anom kepada semua anggota rombongan. Ketika sampai di gerobak sapi yang di naiki oleh Dewi Sekar, Raden Jaya Permana tersenyum manis kepada Dewi Sekar yang waktu itu sedang duduk melamun sambil menikmati pemandangan alam yang dilewatinya. Jaya Permana berkata lembut kepada Dewi Sekar 

“Nyai, kita akan istirahat dulu di sini...”. 

Dewi Sekar menganggukan kepalanya 

“Iya Kang, terima kasih...”. 

Jaya Permana kemudian melanjutkan kembali tugasnya untuk menyampaikan pesan Kyai Anom kepada anggota rombongan yang lainnya. Mereka beristirahat di tempat itu sampai hari menjelang sore. Setelah matahari sudah tidak terik, mereka kembali melanjutkan perjalanannya dengan berjalan di jalan yang menembus hutan lebat. Hari sudah gelap namun mereka masih tetap melanjutkan perjalanan. Barulah ketika sampai di pinggir suatu desa, mereka memutuskan untuk istirahat dan bermalam di tempat tersebut, karena malam memang sudah sedemikian larut.

Fajar menyingsing di ufuk timur. Dewi Sekar baru saja selesai melaksanakan sembahyang Shubuh. 

Terlihat hanya baru beberapa orang saja yang sedang beraktifitas di waktu itu. Bi Kesih bersama beberapa wanita yang ikut rombongan Dewi Sekar mulai sibuk memasak sarapan untuk para pendekar. Dengan cekatan, dia memotong kacang panjang dan terong-terongan. Pagi ini dia akan membuat sayur kacang panjang yang di campur buah terong dan irisan cabe rawit. Ketika posisi matahari sudah mulai setinggi tombak, masakan sudah siap untuk dihidangkan. Sinar matahari mulai terik, para pendekar yang tertidur lelap pun sudah mulai bangun. Setelah mandi di sungai mereka pun berkumpul karena mau menikmati sarapan pagi secara bersama-sama. Hanya para sesepuh saja yang makan di tempat khusus yang terpisah dari mereka. Raden Jaya Permana duduk mendekat ke Dewi Sekar yang sedang duduk bersama Arya Rajah. 

Ketika mereka sedang asyik sarapan, tiba-tiba munculah beberapa penduduk desa dengan pakaian yang lusuh mendekat. Wajah mereka nampak memelas karena kesusahan. Salah satu dari mereka adalah seorang wanita yang datang dengan menggendong anaknya yang masih kecil. 
Setelah mendekat, mereka mengemis kepada para pendekar yang waktu itu sedang makan 

“Tuan...nyonya...mohon...kasihani kami...kami belum makan dari kemarin...Mohon kasihani kami...beri kami sedikit makanan...”. 

Para pendekar yang merasa terganggu oleh keberadaan mereka, dengan spontan langsung menghardik mereka 

“heh...apa-apaan ini...mengganggu saja kalian ini...kami juga belum makan...ayo pergi...pergi...jangan ganggu kami lagi”. 

Raden Jaya Permana yang kurang suka dengan kehadiran mereka langsung ikut mengusir

“heh...ayo pergi...pergi...jangan ganggu kami...kami juga belum makan...”. 

Meskipun di usir, para penduduk tadi malah tambah mengiba, termasuk wanita yang sedang menggendong anaknya tadi. Wanita itu memelas kepada raden Jaya Permana 

“Kasihani kami...tuan....mohon belas kasihan kami,,,beri kami sedikit makanan...tuan...paling tidak  untuk anak saya”. 

Melihat para pengemis tersebut tidak mau pergi, Raden Jaya Permana menjadi emosi, dia pun menghardik wanita yang menggendong anaknya tersebut dengan suara keras dan kasar 

“Hey kamu ini...punya telinga atau tidak...Ayo pergi...pergi...jangan membuat kesabaran saya hilang” 

Dibentak sedemikian rupa, para pengemis itu pun panik. Karena panik, anak yang digendong oleh si wanita itu menangis keras karena takut dengan Jaya Permana. Raden jaya Permana bertambah marah mendengar tangisan si anak. Dia langsung bangkit dari duduknya untuk mengusir paksa mereka 

“Hey...hey...malah tambah berisik...sepertinya harus saya beri pelajaran...biar kapok...”. 

Dewi Sekar yang melihat Raden Jaya Permana menjadi semakin emosi langsung ikut berdiri, dia berusaha untuk menenangkan Jaya Permana 

“Sudah...sudah...Raden...jangan marah lagi...mereka kesini hanya sekedar untuk minta makan...apa salahnya kalau kita berbagi...”. 

Raden Jaya Permana yang mendengar perkataan Dewi Sekar seperti itu langsung terhenyak. Kemudian dia mencoba memberi penjelasan kepada Dewi Sekar agar Dewi Sekar tidak perlu mengasihani mereka dan menyalahkan sikapnya 

“Akang bukan marah...Nyai...bukan juga tidak mau berbagi...namun kedatangan mereka sungguh tidak tepat waktu...lagi pula bagaimana kita bisa berbagi dengan mereka...sedangkan bekal kita saja jumlahnya sangat terbatas...padahal kita tidak tahu berapa lama perjalanan kita ini...” 

Para pendekar yang lain pun ikut mengiyakan pendapat dari Raden Jaya Permana. Dewi Sekar kemudian berkata kepada mereka 

“Punten semuanya...saya minta maaf...kalau memang begitu biarlah jatah saya saja yang diberikan kepada ibu ini...” 

Dewi Sekar berjalan menuju ke arah wanita yang menggendong anaknya tadi, kemudian memberikan jatah makanannya. Dewi Sekar  mengelus kepala si anak untuk menenangkannya. 

“Eeh...sudah ya...adik kecil...jangan menangis lagi...”. 

Si Ibu itu langsung menunduk-nundukan badannya kepada Dewi Sekar sebagai ungkapan rasa terima kasih. Dewi Sekar kemudian berkata kepada wanita itu,

 “Sudah...sudah...bu...jangan seperti itu...lebih baik ibu makan bersama anak ibu....”. 

Melihat sikap Dewi Sekar yang begitu lembut dan perhatian kepada para pengemis , Raden Jaya Permana mendekati Dewi Sekar 

“Ya sudah Nyai, akang minta maaf...atas sikap kasar akang tadi...begini saja, kita akan bagi sebagian jatah makan kita kepada mereka...Nyai Sekarang ikut makan juga ya...”. 

Dewi Sekar mencoba tersenyum ke Jaya Permana. 

“Sudah kang, tidak apa-apa. Saya tadi sempat makan sedikit koq...sekarang sudah tidak lapar lagi...Terima kasih akang mau berbagi dengan mereka...”. 

Raden Jaya Permana tersenyum sambil menganggukan kepalanya
“Iya Nyai, sama-sama”. 

Setelah mengucapkan terima kasih, Dewi Sekar pergi menemui Bi Kesih yang sedang sibuk membagikan makanan kepada para penduduk yang kelaparan, Dewi Sekar dengan sigapnya membantu Bi Kesih, melayani mereka. Bi Kesih berkata kepada Dewi Sekar 

“Nyai, terima kasih, Nyai mau menolong mereka, bibi teh merasa kasian dengan mereka...ingat waktu dulu, ketika bibi mendeita kelaparan juga...”. 

Dewi Sekar tersenyum ke Bi Kesih 

“Iya atuh Bi Kesih, sama-sama. Saya juga prihatin melihat banyak masyarakat kita yang menderita kelaparan, coba bibi perhatikan ketika kita melewati beberapa desa kemarin...kebanyakan penduduknya kelihatan lusuh dan menderita...saya tidak tahu apakah ini akibat dari gerombolan ki jabrik ataukah karena faktor yang lain...”. 

Bi Kesih mengiyakan pernyataan Dewi Sekar 

“iya Nyai, Bibi juga lihat...kasihan ya...”.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba beberapa penduduk mendekati Dewi Sekar. Mereka pun menyalami Dewi Sekar sambil mengucapkan terima kasih 

“Terima kasih, Nyai...atas pertolongan Nyai...”. 

Dewi Sekar merasa terharu melihat mereka yang nampak tulus mengucapkan terima kasih kepadanya 

“Iya Ibu...Bapak, sama-sama...”. 

Setelah mengucapkan terimakasih, para penduduk kemudian berpamitan kepada Dewi Sekar dan Bi Kesih untuk pulang ke rumahnya masing-masing. 

Perbuatan Dewi Sekar yang telah tulus menolong para penduduk yang menderita kelaparan tadi rupanya menjadi buah bibir di antara anggota rombongan. Banyak yang memuji sikap Dewi Sekar yang ternyata penuh kelembutan dan senang menolong pada sesama. 

Ketika Raden Jaya Permana sedang melewati anggota rombongan paling depan, tanpa sengaja dia mendengarkan obrolan dari para pendekar yang sedang membicarakan Dewi Sekar. Salah satunya mengatakan 

“Aih itu Dewi Sekar, sudah cantik dan hebat teh ternyata hatinya penuh kelembutan, eleh-eleh...beruntung sekali ya...laki-laki yang jadi suaminya...duh coba saja saya ini ganteng, kaya dan memiliki kesaktian seperti Ki Buyut Putih, pasti Dewi Sekar sudah saya lamar....he...he...”. 

Yang lainnya pun tidak mau kalah 

“Hey, hey kamu mah menghayal saja...yang jelas Dewi Sekar teh tidak akan memilih kamu atuh...sudah jelek...kere lagi...ha...ha...”. 

Raden Jaya Permana yang mendengar obrolan mereka, tiba-tiba tersenyum sendiri, dia merasa bahwa dialah lelaki yang beruntung itu, yang akan memiliki Dewi Sekar nantinya. 

Setelah matahari mulai terik, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Menembus lebatnya hutan, kemudian menyusuri tanah yang dipenuhi tanaman perdu dan ilalang. Beberapa kali mereka melewati desa yang nampak sudah kosong seperti di tinggalkan oleh para warganya. Di sepanjang perjalanan, Dewi Sekar melihat banyak areal pesawahan yang sudah tergantikan areal rerumputan dan ilalang yang liar, menandakan bahwa daerah tersebut memang sudah tidak di garap lagi oleh manusia. 

Setelah menempuh perjalanan selama seharian, mereka kembali melewati lebatnya hutan perdu. Jalan yang mereka lewati sekarang berupa tanah yang lebarnya hanya sekitar dua meter saja. Gerobak-gerobak sapi yang mereka tumpangi pun terpaksa melambat ketika berada di jalan tanah yang ada lobangnya. Bahkan beberapa kali mereka terpaksa berhenti karena harus membetulkan gerobak mereka yang masuk ke dalam lobang tersebut. Meskipun perjalanannya melelahkan dan membosankan, namun mereka tetap sabar menjalaninya. 

Hari menjelang malam ketika mereka berada di suatu tanah lapang di pinggiran hutan Candra Kirana. Kyai Sepuh Anom pun memerintahkan rombongannya untuk beristirahat di daerah tersebut. Beliau berkata 

“Saudara-saudara sekalian sebentar lagi kita akan memasuki hutan candra kirana, untuk itu lebih baik kita bermalam dulu saja di sini, karena berjalan di hutan itu di waktu malam rasanya terlalu beresiko... biar besok pagi saja kita melanjutkan lagi perjalannnya...”. 

Mereka pun setuju dengan usul dari Kyai Sepuh Anom, untuk beristirahat di tempat tersebut.
Bi Kesih yang di bantu oleh Dewi Sekar dan para wanita lainnya kecuali Nini Gunting Pamungkas, mulai sibuk memasak untuk makan malam. Setelah makan malam selesai, mereka kembali beristirahat, tidur di gerobaknya masing-masing. Hanya beberapa murid Ki Buyut Putih saja yang bergiliran untuk menjaga rombongan itu.
Malam itu Dewi Sekar tertidur lelap bersama Dewi Tunjung Biru dan Nini Gunting Pamumangkas. Namun menjelang sepertiga malam yang akhir dia terbangun karena mendengar suara keributan.  Dewi Sekar, Nini Gunting Pamungkas dan Dewi Tunjung Biru segera pergi ke arah suara keributan tersebut. Di sana sudah banyak orang. Beberapa murid ki buyut putih dan beberapa pendekar sedang bersiap melawan beberapa lelaki yang berpakaian serba hitam. Jumlah mereka ada sekitar 30 orang atau lebih. Salah satu murid ki Buyut Putih kemudian berkata 

“Hey rampok...kamu mencari mati ya...kalau mau merampok ya pilih-pilih atuh...masa mau merampok kami, ha...ha...”. 

Salah seorang perampok yang wajahnya terlihat sangar berkata 

“Ha...ha.... kalian yang mencari mati...kalian tidak tahu...kami adalah Rampok Leuweung Candra Kirana...kalau mau selamat ayo serahkan harta benda kalian...”. 

Jaya Permana yang nampak tidak sabaran untuk segera berkelahi dengan para perampok itu langsung maju ke depan. Dia berkata kasar kepada perampok itu 

“Dasar bangsat, benar-benar mau mencari mati...kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan ini...kami adalah kumpulan para pendekar...kalian pasti masih anak buahnya geombolan ki Jabrik ya...? Siapa pemimpin kalian di sini hah...?”. 

Kemudian salah satu rampok yang nampak sudah berumur melangkah maju menghadap Raden Jaya Permana 

“Heh bocah sombong...saya Soca Pendekar serigala sakti dari leuweung Candra Kirana, pemimpin kelompok ini....kamu mau apa?”. 

Raden Jaya Permana tertawa kecil sambil berkacak pinggang. Sikapnya tersebut terkesan meremehkan para rampok tersebut. Soca langsung naik pitam melihat sikap Jaya Permana yang dianggapnya sombong, dia pun memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi Jaya Permana. 

Tiga anak buah Soca langsung maju menyerang Jaya Permana, sedangkan sisanya tetap berdiri di belakang untuk melihat pertarungan tersebut. 

Raden Jaya Permana langsung tertawa 

“Ha...ha...ayo maju kalian semua...ayo kamu juga soca...maju...biar saya kirim ke neraka...”. 

Tiga anak buah Soca yang tadi maju segera menyerang Raden Jaya Permana. 

Raden Jaya Permana mencoba menangkis serangan mereka, sambil berusaha untuk merobohkan mereka. Pertarungan sengit pun langsung terjadi. Raden Jaya Permana merasa kaget ternyata ketiga anak buah si Soca memiliki kemampuan silat yang tinggi. Meskipun agak sulit untuk merobohkan ketiga anak buah Soca, namun Jaya Permana akhirnya mampu menghajar salah satu rampok tersebut. 

Rampok yang terkena pukulan Jaya Permana tadi langsung terjatuh. Dari mulutnya terlihat ada darah segar. Kemudian dia kembali bangkit dan langsung memasang kuda-kuda. Kali ini dia nampak berhati-hati untuk menghadapi Jaya Permana yang ternyata memiliki ilmu silat yang lumayan. Melihat ada temannya yang terjatuh, tiga rampok yang lainnya langsung maju ke depan untuk membantu ketiga temannya yang sedang berduel melawan Jaya Permana. 

Melihat Raden Jaya Permana di keroyok oleh 6 rampok, beberapa murid Ki Buyut yang tadi nonton, akhirnya maju ke depan untuk membantu Jaya Permana. Pertarungan kembali menjadi seru.
Setelah bertarung beberapa jurus, ternyata Raden jaya Permana yang di bantu oleh beberapa murid Ki Buyut nampak kewalahan. 

Melihat Jaya Permana sudah terdesak, beberapa pendekar ikut melompat ke kancah pertarungan untuk membantu Raden Jaya Permana. Para rampok yang tadi sudah berhasil mendesak Jaya Permana pun sekarang menjadi kewalahan menghadapi keroyokan dari para pendekar. Melihat anak buahnya nampak terdesak Soca segera melompat ke tengah pertarungan. 

Dengan sigapnya dia menghajar beberapa murid Ki Buyut Putih dan beberapa pendekar lainnya. Ilmu silatnya ternyata tidak cetek. Meskipun di keroyok oleh jaya Permana dan para pendekar lainnya, ternyata masih mampu mangimbanginya, bahkan setelah beberapa saat Soca berhasil memukul jaya Permana hingga tersungkur ke belakang. 

Setelah itu Soca juga mampu merobohkan beberapa pendekar yang lain.
Melihat Jaya Permana dan beberapa pendekar lainnya mulai berjatuhan, para pendekar lainnya menjadi panik, smereka pun dengan mudahnya di robohkan oleh Soca. Melihat lawan-lawannya sudah roboh, Soca tertawa 

“Ha...ha...dasar kampret...ternyata kemampuan kalian cuma segini saja...ngomongnya saja yang selangit...puiihh...dasar orang-orang belagu...”. 

Jaya Permana terlihat nyengir mendengar cacian Soca, hatinya terasa panas, apalagi dilihatnya Dewi Sekar sedang berdiri di kerumunan orang yang menonton.

Si Soca yang merasa di atas angin kemudian menantang para pendekar lainnya

“Hey...ayo maju lagi...mana jagoan kalian...”. 

Melihat kehebatan Soca yang bisa mengalahkan Jaya Permana dan beberapa pendekar lainnya dengan mudah.  Kebanyakan mereka enggan untuk bertarung dengan Soca. 

Tak lama kemudian Ki Sepuh Anom maju, dan berkata kepada Soca 

“Wah hebat...hebat...memang benar kata orang...pendekar serigala sakti  memang bukan nama kosong...Saya Sepuh Anom, Ingin ikut menjajal Ki Soca, Mangga...silahkan...”. 

Melihat Ki Sepuh Anom hendak maju ke Medan laga, Dewi Sekar langsung mendahuluinya. Dia berkata kepada Ki Sepuh Anom 

“Punten Kyai, biar saya saja yang menghadapi penjahat ini, kyai tidak perlu turun tangan...kalau hanya menghadapi orang seperti dia”. 

Ki Sepuh Anom tersenyum kepada Dewi Sekar 

“Eh...Nyai...tidak apa-apa begitu? Nyai bersedia melawan ki Soca?”. 

Dewi Sekar tersenyum
“Insya Allah Kyai, saya akan mencoba melawannya”. 

Raden Surya atmaja yang melihat putrinya hendak maju melawan Ki Soca, hatinya menjadi was-was. Dia berusaha mencegah Dewi Sekar untuk maju melawan Soca 

“Nyai, apa-apaan kamu teh, sudah kamu nonton saja, biar Rama saja yang melawan Penjahat ini...”. 

Dewi Sekar menggelengkan kepalanya sambil berkata 

“Tidak rama, Rama tidak perlu turun tangan kalau hanya menghadapi penjahat seperti ini mah, biar saya saja yang menghadapinya….”. 

Dewi Tunjung Biru dan Nini Gunting Pamungkas merasa yakin dengan kemampuan Dewi Sekar harum. Dewi Tanjung Biru kemudian berkata kepada Raden Surya Atmaja 

“Sudah, Kang. Biarkan Dewi Sekar yang menghadapi Ki Soca. Insya Allah dia mampu mengalahkannya...Percaya kepada Saya...lebih baik akang nonton saja...”. 

Mendengar perkataan Dewi Tunjung Biru yang yakin dengan kemampuan anaknya, Raden Surya Atmaja menjadi sedikit melunak. Meski masih setengah hati, Raden Surya Atmaja pun terpaksa membiarkan anaknya maju menghadapi Ki Soca. 

Dewi Sekar harum berjalan santai ke arah Ki Soca. 

Soca yang melihat Dewi Sekar harum yang cantik, langsung tertawa
“Ha...ha...Nyai...akang mah jadi tidak tega...kalau memukul kamu mah...mendingan kamu jadi istri akang saja atuh. Sayang, kalau kulit Nyai jadi lecet...aduh mulusnya...”. 

Dewi Sekar berusaha tetap tenang meski hatinya sebenarnya sudah tidak sabar untuk berkelahi dengan Ki Soca, dengan tegas dia berkata

“Sudah, kamu jangan banyak bicara, ayo hadapi saya kalau kamu memang lelaki jagoan...”. 

Ki Soca tertawa mendengar perkataan Dewi Sekar. Tanpa banyak bicara lagi Dewi Sekar langsung melompat menyerang ki Soca. 

Soca yang awalnya meremehkan Dewi Sekar merasa kaget dengan hawa serangan dari Dewi Sekar yang mengandung maut. Dia berusaha menangkis serangan tersebut, namun terkejut saat pergelangan tangannya beradu dengan pergelangan tangan Dewi Sekar. 

Ki Soca langsung mundur beberapa langkah, dia merasakan tangannya kesemutan. Dia sadar bahwa Dewi Sekar bukanlah pendekar sembarangan. Soca segera memasang kuda-kudanya, bersiap untuk berduel dengan Dewi Sekar. Sekarang dia sudah tidak lagi meremehkan Dewi Sekar. 

Pertarungan antara dua pendekar segera berlanjut, saling pukul saling tendang saling egos dan saling serang. Kemampuan keduanya ternyata sebanding. 

Para hadirin terpesona melihat kelincahan dan kehebatan Dewi Sekar melawan Ki Soca. Mereka tak menyangka, kalau wanita yang sangat cantik yang penuh kelembutan tersebut ternyata bisa ganas ketika bertarung melawan Ki Soca. 
Pertarungan mereka begitu sengit, keduanya saling mengeluarkan jurus andalannya masing-masing. Setelah sekian lama mereka bertarung, akhirnya Dewi Sekar pun mampu mendesak Ki Soca. Ki Soca yang tidak menyangka kalau Dewi Sekar mampu membuatnya kerepotan. Dia pun segera melompat ke belakang sambil memasang kuda-kudanya. Tangan kanannya segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Melihat Ki Soca mengeluarkan goloknya, Dewi Sekar pun mencabut pedangnya yang dari tadi tersarung di pundaknya. Meeka pun kembali bertarung dengan sengitnya. Namun kali ini Ki Soca sudah tak mampu lagi mengimbangi jurus-jurus pedang Dewi Sekar. Dalam suatu kesempatan, tiba-tiba pedang Dewi Sekar telah merobek perutnya. Ki Soca kaget bukan kepalang, dilihatnya darah bercucuran dari perutnya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing dan gelap, dia pun jatuh terduduk ke tanah. Ki Soca menjadi panik, melihat luka di perutnya, ketika dia hendak berdiri kembali tiba-tiba pedang Dewi Sekar sudah sampai di kepalanya. Dia pun ambruk bersimbahkan darah. Ki Soca tewas seketika itu juga. 

Melihat pemimpinnya telah tewas, para anggota perampok pun menjadi panik, mereka takut menjadi sasaran kemarahan Dewi Sekar dan para pendekar lainnya.
Para pendekar yang melihat anak buah Ki Soca ketakutan langsung mengepung mereka. Anak buah Ki Soca pun langsung bersimpuh meminta pengampunan Dewi Sekar dan para pendekar lainnya. Ketika para pendekar hendak menghabisi mereka, Dewi Sekar langsung berteriak 

“Tahan...tahan...”. 

Para pendekar yang tadi hendak membunuh anak buah Ki Soca terperanjat mendengar Dewi Sekar berteriak 

“Ada apa Nyai...kenapa menahan kami untuk membunuh mereka?” 

Dewi Sekar berusaha untuk tersenyum
“Sudah paman, kita tidak perlu membunuh mereka...Tidak ada manfaatnya buat kita...semoga mereka tidak lagi mengulangi kejahatannya...lebih baik kita beri mereka kesempatan untuk bertobat...”. 

Para pendekar menjadi tertegun mendengar perkataan Dewi Sekar. Sedangkan para perampok anak buah Ki Soca langsung bersimpuh di hadapan Dewi Sekar, berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih 

“Terima kasih Nyai...atas kebaikan Nyai memaafkan kami...kami berjanji tidak akan lagi menjadi perampok...”. 

Dewi Sekar tersenyum kepada mereka 

“Iya, akang-akang semua...semoga kalian bisa menepati janji kalian...untuk bertobat...”. 

Mereka berjanji kepada Dewi Sekar untuk tidak lagi menjadi penjahat. Setelah Dewi Sekar mengijinkan mereka untuk pergi, mereka langsung berlari meninggalkan tempat itu. Khawatir Dewi Sekar berubah pikiran. 

Para pendekar yang melihat kehebatan Dewi Sekar dan juga kebaikannya menjadi semakin hormat kepada wanita cantik yang penuh wibawa itu. Bagi mereka sangat jarang ada pendekar wanita seperti Dewi Sekar, yang sekarang telah menjadi panutan mereka. 

Tidak terasa fajar sudah mulai menyingsing. Setelah suasana menjadi aman mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Kyai Sepuh Anom dan Raden surya atmaja langsung mendekati Dewi Sekar. Mereka bangga melihat kehebatan dan kebaikan Dewi Sekar.

Raden Surya Atmaja memeluk putri kesayangannya tersebut. Tanpa terasa air matanya menetes karena terharu dengan kehebatan putrinya. Sedangkan Kyai sepuh Anom segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menguburkan jasad Ki Soca dengan cara yang layak, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepadanya. 

Raden Jaya Permana dengan tertatih-tatih mendekati Dewi Sekar yang waktu itu sedang bersama ayahnya, dia berkata 

“Terima kasih Nyai, sudah menolong akang...”. 

Dewi Sekar tersenyum ke Raden Jaya Permana, sambil membalas dengan ucapan singkat
“Sama-sama kang Jaya Permana...Semoga akang juga cepat sembuh ya...”. 

Raden Surya Atmaja yang tahu bahwa Raden Jaya Permana menyukai putrinya, langsung tanggap untuk memberi kesempatan kepada Jaya Permana. Raden Surya Atmaja berkata kepada putrinya 

“Eh iya Nyai, Rama pergi dulu...masih ada urusan..”. 

Dewi Sekar merasa tidak nyaman di tinggal pergi ayahnya sehingga menjadi berduaan dengan Raden Jaya Permana. Dewi Sekar pun segera pamit kepada Raden Jaya Permana. Dia pamit untuk merawat beberapa anak buah Ki Buyut Putih yang tadi terluka oleh Ki Soca. 

Raden Jaya Permana, meskipun kecewa dengan sikap Dewi Sekar yang ingin menjauhinya, berusaha tetap tersenyum dan mempersilahkan Dewi Sekar untuk pergi dari hadapannya. Hatinya merasa sedih, baru sekarang dia merasa di tolak dan di remehkan oleh seorang wanita. Padahal biasanya dia adalah seorang playboy yang suka mempermainkan wanita.

Rombongan yang di pimpin oleh Kyai Sepuh Anom kembali melanjutkan istirahatnya yang sempat terganggu. Baru keesokan harinya mereka kembali melanjutkan perjalanan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...