Senin, 01 Juni 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 57. Jalu


Hari sudah sore, ketika sebuah rombongan yang nampak lusuh memasuki batas suatu perkampungan. Perkampungan tersebut terlihat ramai dan megah. Suasananya berbeda dengan umumnya perkampungan yang telah mereka lewati. Seperti tak ada tanda kalau kampung tersebut sedang mengalami masalah kemanan dan kemiskinan. Jumlah mereka ada sekitar 20 orang. 

Tiga orang dengan mengendarai kuda, sedangkan sisanya di angkut dalam gerobak-gerobak yang di tarik oleh beberapa kerbau dan sapi

Diantara rombongan tersebut ada seorang remaja yang masih belia, yang mengemudikan salah satu gerobak itu. Gerobaknya berada paling depan, di belakang para penunggang kuda. Di samping remaja tersebut, ada lelaki setengah baya yang mendampinginya. Badannya terlihat kuat dan berotot, wajahnya juga terlihat berwibawa. Remaja tersebut berkata kepada Lelaki itu.

“Guru, apakah sebaiknya kita beristirahat dulu di kampung ini...?” 

Lelaki yang di panggil guru tersenyum kepada muridnya,

“Hmm...Jalu, Apakah kamu sudah merasa capek...sehingga ingin beristirahat di sini...?”

“Ya tidak begitu, guru. Saya hanya merasa senang dengan suasana di perkampungan ini. Selama sebulan perjalanan kita, baru sekarang saya melihat ada perkampungan yang masih terlihat megah dan asri. Penduduknya terlihat makmur dan bahagia....” Kata Jalu kepada Gurunya.

“Iya, Jalu. Benar kata kamu, kampung ini memang berbeda dengan perkampungan yang pernah kita lewati...di sini damai dan tenang....penduduknya juga terlihat bahagia dan makmur...coba kamu perhatikan mereka, mereka sangat ramah kepada kita...Entah kenapa, guru juga merasa betah, Oke Jalu, baiklah kita beristirahat dulu saja di kampung ini...sekarang kamu sampaikan titah guru kepada kakak-kakak senior kamu....!”

Jalu segera menghentikan gerobaknya.  Kemudian turun dari gerobaknya dan berjalan ke arah para penunggang kuda yang juga ikut berhenti.  Tiga kakak seniornya yang menunggang kuda merasa heran dengan sikap jalu

“Jalu ada apa, kenapa berhenti...?” 

Kata Adang, salah satu dari kakak senior Jalu

“Maaf Kang Adang, guru ingin kita beristirahat di kampung ini....tolong Akang sampaikan titah guru kepada saudara kita yang lainnya” Kata Jalu. 

Meski Jalu adalah murid paling junior namun dia sangat di segani oleh kakak-kakaknya yang lain.

“Baik Jalu, Akang akan sampaikan perintah guru... “

Adang segera menjalankan kudanya menuju teman-temannya yang lain, untuk menyampaikan titah gurunya. Setelah selesai dengan tugasnya, Adang kemudian turun dari kudanya dan menemui salah seorang penduduk desa yang kebetulan berada di dekatnya.

“Punten Kang, ini teh kampung apa ya...?” Kata Adang
“Wah akang rupanya rombongan dari jauh ya...? Kampung ini bernama Kampung Kahuripan, Kang” Kata orang itu

“Apakah di sini ada penginapannya juga Kang...?” Kata Adang lagi.
Orang yang di ajak ngobrol Adang, dengan semangat menjawab pertanyaan Adang.

“Wah ada Kang...Ada, bahkan banyak dan bagus-bagus...Penginapannya ada di sebelah sana, di bawah bukit yang hijau itu, bahkan ada restorannya juga....Semua penginapan dan restoran tersebut milik Kang Juragan....orang yang paling kaya di kampung ini...” 

“Terima kasih banyak Kang atas informasinya... Mangga atuh, saya permisi dulu”
Kata Adang tersenyum ramah

“Iya Kang Sama-sama...”
Penduduk itu juga tersenyum ramah kepada Adang.
Adang kemudian menemui gurunya, setelah dekat dia berkata kepada gurunya 

“Punten Guru, Kampung ini bernama Kahuripan, di sini juga ada penginapan dan restoran, tempatnya ada di bawah bukit hijau itu....semua penginapan dan restoran tersebut milik seorang saudagar kaya di kampung ini...”

“Hmm...iya Adang, terima kasih informasinya, sekarang kita pergi ke penginapan itu...” Kata sang Guru.
Rombongan itu segera berangkat menuju arah yang telah di sebutkan oleh penduduk tadi.

Sesampainya di sana, mereka merasa takjub melihat keindahan restoran dan penginapannya. Tampak megah dan bersih. Berada di sebuah bukit yang indah dan asri.
Mereka memakirkan kendaraannya masing-masing di pelataran tanah lapang yang berada di halaman Restoran itu. Setelah itu mereka turun dari gerobaknya masing-masing bersiap menuju restoran yang ada di sana.

Tanpa sadar ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Orang itu nampak serius mengamati Jalu dan Sang Guru. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya melihat kedua orang itu. Setelah yakin dengan pandangannya, lelaki itu segera mendekat ke arah Sang Guru. Kemudian menyapa,

“ Aki, punten...apakah Aki adalah Ki Jaya Kusuma... dari kampung Cikaret...?”

Sang guru merasa terkejut kepada orang itu. Dia mengamatinya secara seksama. Ada perasaan samar mengingat wajah lelaki yang menyapanya.

“Iya betul, Jang. Saya Ki Jaya Kusuma dari Kampung Cikaret...Ujang ini siapa? Kenapa bisa mengenal saya...?” 

Ki Jaya Kusuma menjawab pertanyaan lelaki itu dan balik bertanya.

“Alhamdulillah Gusti, Ya Allah...Bagaimana Kabar Aki...?Aduh senangnya saya bisa bertemu Aki di sini, Saya jaka Someh...mungkin Aki lupa, dulu saya pernah datang ke perguruan Maung Karuhun, tapi waktu itu, Aki menolak Saya...he...he...” Kata Jaka Someh tersenyum.

“Masya Allah, iya...iya saya baru ingat, ujang yang dulu pernah datang ke perguruan saya...Subhanallah, Gusti  Allah ternyata mengabulkan doa saya, Saya berharap  bisa meminta maaf kepada ujang, karena dulu pernah menolak Ujang, padahal hati saya sebenarnya ingin menerima kamu. Waktu itu saya sedang bimbang, karena ada kabar bahwa perguruan Saya akan di serang oleh gerombolan penjahat yang sadis dan terkenal kuat, waktu itu saya tidak tega kalau ujang nantinya menjadi korban keganasan mereka, makanya saya mentegakan diri mencari alasan menolak Jang Someh untuk menjadi murid Saya...Masya Allah, saya meminta maaf kepada Jang Someh...”

Jaka Someh kembali mengenang kejadian tersebut. Dia tersenyum kepada Ki Jaya Kusuma,

“Tidak apa-apa, Aki. Saya yang justru meminta maaf...” kata Jaka Someh dengan ramah.

Mendengar nama Jaka Someh, Jalu menjadi terkejut. Kemudian bertanya kepada Jaka Someh.

“Punten, apakah Bapak adalah Jaka Someh dari kampung cikaret, yang dulu pernah menikah dengan ibu Asih? Menantu dari Abah Rohadi...?”

Jaka Someh melirik ke arah Jalu
“Iya, betul Saya Jaka Someh...kamu teh...” 

Jaka Someh tidak meneruskan kata-katanya. Ada perasaan aneh melihat anak itu.

“Saya Jalu Bapak, anak ibu Asih...emak sering bercerita tentang Bapak...Bapak yang dulu telah merawat saya...” Kata Jalu
“Masya Allah, kamu Jalu...?”
Jaka Someh langsung memeluk Jalu. Ada perasaan haru dan bahagia bisa bertemu kembali dengan Jalu.

Setelah melepaskan pelukannya, Jaka someh berkata kepada Jalu.
“Haduuh, kamu sudah besar begini, ganteng juga...pantesan Bapak merasa ada yang eneh ketika melihat kamu dari kejauhan, seperti teringat pada seseorang...Aduh...anak Bapak ternyata sudah besar dan ganteng...Bapak selalu merindukan kamu...Bagaimana Kabar emak dan Kakekmu...?”
Kata jaka someh.

“Abah Rohadi sudah lama meninggal, semenjak Bapak meninggalkan Kampung Cikaret beliau menjadi sakit-sakitan, di tambah lagi dengan sikap Bapak Panji yang selalu membuat masalah...dia masih suka berjudi, main perempuan, mabuk-mabukaan, bahkan mencuri, karena ulahnya beliau pernah di gebuki warga ketika ketahuan mencuri uang....”

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun...Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Kakek kamu Jalu, dan menempatnya di tempat yang baik...”
Jaka Someh beristirja ketika mendengar kabar Pak Rohadi sudah lama meninggal
“Aamiin...Pak. Kalau kabar emak saya....Hmm...sebenarnya saya agak sedih juga...kalau menceritakannya. Rumah tangga emak dan Bapak Panji berantakan, Emak sering mendapatkan kekerasan fisik dari bapak Panji. Bahkan Saya pun pernah menjadi korban keberingasannya, saya pernah di pukuli Bapak Panji, tapi untungnya saya di selamatkan oleh guru saya ini...Setelah itu Bapak Panji pergi meninggalkan Kampung Cikaret. Tidak ada kabar lagi tentangnya. Ada yang mengatakan, beliau tewas di bunuh oleh seorang preman yang marah karena istrinya telah di selingkuhi...tapi saya tidak tahu kebenaran dari kabar tersebut... Oh iya, Bapak Someh kemana saja...Emak saya merasa menyesal telah menyakiti Bapak, dia sering bercerita kepada Saya tentang kebaikan-kebaikan Bapak...” 

Jalu bercerita panjang kepada Jaka Someh.
“Ya Allah, Kamu sabar ya Jalu dengan Bapak kandung kamu itu,Tapi yang penting sekarang Bapak merasa bahagia bisa bertemu kamu kembali...oh iya, apakah Emak kamu sekarang apakah masih tinggal di kampung cikaret?” Kata Jaka Someh

“Emak sekarang sudah tidak lagi tinggal di kampung cikaret, beliau sekarang tinggal di Kampung Cinangka, Pak. Harta kami habis  untuk membayar hutang Bapak Panji, bahkan rumah pun di sita oleh rentenir yang meminjami Bapak hutang untuk berjudi. Kami sempat menumpang di rumah saudara.
Setelah depresi dengan pernikahannya yang berantakan, bahkan Emak sempat pernah mau bunuh diri karena tak kuat dengan berbagai cobaan hidup, Tapi untungnya berhasil di selamatkan oleh Ustadz fikri.
Setelah di nasehati panjang lebar, emak akhirnya sadar. Dia bertaubat dengan segala kesalahannya di masa lalu. Sekarang dia berada di pesantren wanita di Kampung Cinangka. Saya bersyukur, Pak. Emak saya sekarang sudah mendapatkan ketenangan, hari-harinya dia gunakan untuk beribadah kepada Gusti Allah... Insya Allah hidupnya sekarang telah bahagia...”

“Subhanallah jalu, Bapak merasa senang mendengar kabar ini dari kamu...Alhamdulillah Gusti...Semoga Engkau menetapkan kami dalam keimanan dan Ketakwaan sampai akhir hayat kami, Amiin...” Kata jaka Someh.

“Aamiin...”
Jalu dan Ki Jaya Kusuma mengamini doa Jaka Someh.
Jaka someh mengenang kembali masa-masa pernikahannya dengan Asih. Waktu itu dia masih begitu polosnya. Karena rasa sungkannya yang terlalu besar kepada Pak Rohadi, dia bersedia menikahi Asih yang waktu itu sedang hamil akibat pergaulan bebas dengan kekasihnya.

Jaka Someh sadar bahwa, keputusan yang dia ambil waktu itu adalah suatu kebodohan. Menikahi wanita yang tidak bisa menghargai kebaikannya. Bahkan tega mengkhianati suaminya sendiri,berselingkuh dengan laki-laki lain. Rumah tangga yang Jaka Someh jalani pun menjadi pahit. 

Meskipun sudah di khianati dan di sakiti, Jaka Someh masih tetap memaafkannya, bahkan dia mendoakan kebaikan untuk Asih agar bisa segera kembali bertaubat kepada Allah. 

Tapi untunglah Allah masih melindunginya. Pernikahannya yang pahit pun dapat dia lewati melalui kesabaran dan sikap tawakalnya. Sekarang rasa pahit tersebut telah menjadi sebuah khazanah pengalaman dalam hidupnya. Hidupnya menjadi semakin matang dan dewasa berkat berbagai cobaan dalam hidupnya.

Jaka Someh teringat hari-hari saat dia memanjatkan doa yang baik untuk Asih. Meskipun hatinya sedih, marah dan kecewa dengan perselingkuhan istrinya. Dia berusaha untuk tetap bersabar di dalam musibah tersebut. Dengan penuh keihklasan, dia terus memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta agar segera menyadarkan istrinya. Supaya Asih bisa berubah menjadi seorang wanita yang baik. Tuhan ternyata memiliki jalanNya sendiri. Meskipun rumah tangganya tetap kandas, namun sekarang dia tahu kalau doanya ternyata tidak sia-sia. Asih sekarang telah menjadi wanita yang baik setelah bertaubat. Meskipun melalui proses panjang dan berliku, namun pada akhirnya Asih dapat berubah menjadi wanita yang baik. 

Jaka Someh juga sekarang telah menemukan kebahagiaan hidupnya sendiri. Bisa menikah dengan Dewi Sekar, bisa membantu orang-orang, bisa banyak belajar ilmu pengetahuan yang baru, dan berbagai kenikmatan hidup lainnya. Jaka Someh merasa telah banyak mendapatkan hikmah dan pelajaran dari berbagai peristiwa tersebut. 

Jaka Someh sekarang baru mengerti bahwa ‘Tak ada yang sia-sia di dalam berdoa kepada Tuhan Pencipta dan Pemilik seluruh alam ini’. Selama tidak berputus asa dari rahmatNya dan memutus Doa tersebut, maka  Pasti doa tersebut akan di dengar dan di Kabulkan dengan cara yang Allah tentukan sendiri. Karena Allah lah yang lebih tahu dengan segala kebaikan. Manusia hanya sekedar berikhtiar saja.

Allah berfirman:
“Ud’unii Astajib lakum” artinya
“Mintalah kepadaKu maka Aku akan mengabulkan”
Jaka Someh menghela nafas kemudian tersenyum. Setelah tersadar dari lamunannya, Jaka Someh kemudian bertanya kepada Ki Jaya Kusuma

“Ngomong-ngomong, kenapa Aki dan rombongan bisa sampai ke sini...?” Jaka Someh merasa heran.
“Iya jang Someh, kami meninggalkan kampung halaman dan sekarang berada di sini karena kami akan pergi ke Gunung Kareumbi...kami akan bertempur melawan gerombolan Ki Jabrik bersama para pendekar lainnya...oh iya kalau Jang Someh sendiri, kenapa bisa tinggal di sini...jauh dari kampung kita...?” 

Ki Jaya Kusuma menerangkan tujuan perjalanannya kepada Jaka Someh.
“Hmm...panjang ceritanya aki, saya bisa sampai di tempat ini...tapi nanti sambil makan saya akan bercerita kepada Aki...Oh iya kalau begitu, berarti sebentar lagi akan terjadi pertempuran besar ya Aki?” Tanya Jaka Someh

“Iya Jang, makanya supaya tidak membuat panik masyarakat, kami datang dengan kelompok-kelompok kecil, rencananya kami dan para pendekar lainnya akan bertemu dan berkumpul di batas hutan Gunung Kareumbi....” 

Kata Ki Jaya Kusuma
“Wah Aki, kalau begitu,  kenapa tidak berkumpul di sini saja? Di penginapan ini. Kebetulan saya adalah pemilik restoran dan penginapan ini. Di sini ada aulanya juga. Ukurannya  cukup besar,  Insya Allah bisa menampung sampai 1000 orang lebih. Saya yang akan menjamu Aki dan para pendekar semua....Aki tidak perlu memikirkan masalah biaya...karena semuanya adalah gratis...”  Kata Jaka Someh

“Hah...? Benarkah Jang Someh...? Apakah  benar kamu pemilik restoran dan penginapan ini...?” Ki Jaya Kusuma terkejut.

“Bapak...tidak bercanda kan...? Berarti Bapak adalah Saudagar Kaya  yang di ceritakan warga di sini...? Hebat....Jalu benar-benar tidak menyangka...”
Jalu juga merasa kaget dengan apa yang dikatakan oleh Jaka Someh

“Iya betul, Jalu. Bapak serius, Bapak adalah pemilik restoran dan penginapan ini. Sudah 3 tahun, Bapak  merintis bisnis ini...Alhamdulillah Allah memberi kelancaran...” Kata Jaka Someh
“Wah...Alhamdulillah. Syukur ya Pak. Jalu benar-benar merasa bangga dengan Bapak, ternyata Bapak Someh telah sukses di perantauan...” 

Jalu merasa bangga kepada Jaka Someh

“Iya Jang Someh, kamu hebat...Saya juga ikut merasa bangga dengan keberhasilan yang telah kamu capai...” Kata Ki Jaya Kusuma.
“Iya Aki Terima Kasih. Oh ya kalau begitu, sebaiknya kita lanjutkan ngobrolnya sambil makan, kasihan sepertinya murid-murid Aki sudah terlihat lelah dan lapar...ayo...ayo...mangga...silahkan...”
 “Iya, Kang. Benar kami sudah capek dan lapar dari tadi....he...he...” Kata Adang ikut menimpali.
“He...he...Iya...Kang, Saya Mohon Maaf. kalau begitu ayo kita makan dulu saja...” 

Jaka someh tertawa mendengar ucapan Adang yang jujur.
Jaka Someh mempersilahkan Ki Jaya Kusuma dan rombongannya untuk menuju restorannya.

Sambil menikmati hidangan, mereka kembali melanjutkan obrolan. Bercerita tentang pengalamannya masing-masing.
Jaka Someh setelah berhasil mengubah bukit yang tandus menjadi bukit yang subur. Dia pun menanam berbagai jenis tanaman, baik jenis tanaman pangan, sayur dan buah, tanaman obat dan tanaman hutan serta pertamanan. Usahanya tersebut ternyata sangat sukses. Jaka Someh dapat menikmati hasil panen dari berbagai jenis tanaman pangan dan buaha-buahan.

Karena hasil panennya yang berlimpah, sebagian dia bagikan kepada masyarakat desa yang saat itu sedang mengalami bencana kelaparan. Sisanya dia jual ke berbagai wilayah di sekitar Kampung Kahuripan. Keuntungan yang dia peroleh kemudian dia olah untuk membangun usaha perdagangan. 

Awalnya dia hanya fokus pada usaha di bidang agrobisnis. Kemudian setelah sukses di bisnis pertamanya tersebut, dia meluaskan lagi ke bisnis lainnya, mulai dari bisnis properti, kerajinan tangan, industri pengolahan logam, industri batik, bahkan sampai ke bisnis kuliner dan penginapan. Semua masyarakat yang ada di wilayah Kampung Kahuripan dan sekitarnya, juga ikut terlibat dan merasakan dampak positif dari usahanya tersebut.

Dari hasil keuntungan berbagai bisnis yang dijalankan, Jaka Someh berhasil membangun berbagai sarana prasana di kampung kahuripan dan sekitarnya, mulai dari membangun jalan, membangun saluran irigasi pertanian, membangun pasar rakyat, balai kesehatan dan pengobatan, pos keamanan, rumah sosial untuk meramut yatim piatu, fakir miskin  dan orang terlantar, taman-taman desa,  dan berbagai fasilitas umum serta banyak hal lainnya. Sekarang sudah tidak ada lagi masyarakat yang mengalami susah dan kelaparan.

Jaka Someh juga membangun sekolah dan pesantren untuk mengembangan pendidikan di wilayah kampung Kahuripan. Bahkan dia telah mendatangkan banyak guru dan ustadz untuk mengajari ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak dan pendidikan agama kepada masyarakat di sana. 

Berkat usaha yang dilakukan Jaka Someh, Kampung Kahuripan dan sekitarnya mengalami kemajuan yang pesat. Desa dan kampung-kampung mereka menjadi makmur. Masyarakatnya hidup dalam keadaan damai dan sejahtera.
Sekarang, Jaka Someh telah berubah menjadi sosok tokoh yang sangat di hormati di Kampung Kahuripan dan sekitarnya. Seorang tokoh pembangunan masyarakat.

Setelah menikmati hidangan makan, Ki jaya Kusuma dan rombongannya kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di kamarnya masing-masing, yang telah disediakan oleh Jaka Someh bersama kru-nya. 

Malam itu, Jaka Someh mengajak Jalu untuk berkelililng kampung sambil menikmati indahnya malam di Bukit Kahuripan. Jalu merasa bangga, setelah tahu kalau Bapaknya telah menjadi seorang tokoh yang sangat dihormati di wilayah kampung kahuripan dan sekitarnya. 

Ada rasa bahagia yang terpancar di wajah jaka Someh, karena bisa bertemu kembali dengan anaknya. Meskipun Jalu memang bukan anak kandungnya, tapi Jaka Somehlah yang telah merawatnya semenjak lahir. Menyuapi makan, memandikan, mengajarinya berjalan, berbicara, bahkan mencebokinya. Jaka Somehlah yang dulu biasa menggendongnya, membawa pergi berkeliling kampung cikaret. Jaka Someh juga yang menemani Jalu bermain, serta yang menina-bobokannya sampai dia tertidur pulas.

Meskipun Jalu sekarang sudah besar, namun perlakuan Jaka Someh kepada Jalu masih seperti dulu, seperti perlakuan seorang ayah kepada seorang balitanya. Yakni masih memanjakannya.

Jaka Someh bersyukur, Jalu sekarang sudah tumbuh menjadi remaja yang memiliki budi pekerti yang baik. Tidak seperti dirinya yang sering merasa sungkan dan banyak mengalah kepada orang lain, anaknya ternyata memiliki sifat yang tegas dan berwibawa. 

Esok harinya, Ki Jaya Kusuma berdiskusi lagi dengan Jaka Someh, membicarakan teknis undangan kepada para pendekar. Mereka berencana untuk mengundang para pendekar untuk berkumpul dan menginap di bukit Kahuripan. 

Dari hasil diskusi tersebut, Ki Jaya Kusuma akan  mengutus beberapa murid seniornya untuk menemui Ki Buyut Putih dan Rombongan pendekar lainnya,  untuk menyampaikan surat undangan kepada mereka agar bersedia berkumpul di Penginapan Bukit Kahuripan. Semua akomodasi dan penginapannya gratis karena sudah di jamin oleh seseorang yang kaya, berasal dari kampung Kahuripan.

2 komentar:

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...