Jumat, 17 April 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 51. Kecelakaan Yang Mematikan


Arya Rajah menangis, karena tak kuasa menahan kesedihan akibat kehilangan kakak yang sangat dia sayangi. Ki Tapa dan ketiga anak buahnya hanya terdiam melihat Arya Raja menangis sedih. Mereka pun bingung.
Tiba-tiba terdengar suara keras memanggil Ki tapa
“Ki tapa....       !!!”
Mereka melirik ke arah suara tersebut. Ternyata itu adalah suara Jaya Permana yang di temani oleh Ki Buyut Putih, Ki Sepuh Anom, Raden Surya Atmaja dan beberapa murid lainnya.
“Hmm...Raden kenapa kamu manangis...?” Ki Buyut bertanya kepada Arya Rajah.
“Teteh kamu kemana, Arya...?” Raden Surya Atmaja ikut bertanya kepada Arya Rajah.
Arya Rajah tidak menjawab, dia masih  menangis. Hanya telunjuk jarinya saja yang mengarah ke bawah jurang.
“Nyi Dewi kemana Arya? Kenapa tidak kelihatan...?” Raden Surya Atmaja mendesak Arya Rajah.
Arya Rajah terus menangis, telunjuk tangannya kembali menunjuk ke arah dasar jurang.
“Maksud kamu apa, Arya...? menunjuk ke bawah jurang...?”Raden Surya Atmaja menjadi panik.
“ Jatuh...Jatuh...Si Teteh Jatuh ke dalam jurang...Rama...” Arya Rajah berusaha menerangkan.
“ Ha....!” “Si Nyai...terjatuh ke dalam jurang....? Kamu jangan main-main Arya?” Raden Surya Atmaja bertambah panik.
“Ii..yya...a...” Arya Rajah menjawab pertanyaan Ayahnya.
“Nyai...nyai...!!” Raden Surya Atmaja berteriak keras memanggil putri kesayangannya.
“Nyai...!!! Anaking...!!!...Dewi...Sekar...!! Nyai...!!...hu...hu...” Raden Surya Atmaja terus berteriak-teriak sambil menangisi anaknya yang hilang di dasar jurang.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Arya? Kenapa kamu dan kakakmu bisa berada di tempat ini...?” Raden Surya Atmaja bertanya kepada Arya Rajah.
“Hu...Hu..Ini semua karena Rama...hu...hu...Rama dan kang Jaya Permana yang telah bersekongkol mau membunuh Kang Someh...Si Teteh tahu, makanya kami menyusul Kang Someh...Hu...Hu...Namun ternyata kejadiannya seperti ini...Hu...Hu...” Arya Rajah menyalahkan ayahnya.
“Apa...?Kamu ngomong apa Arya...?” Raden Surya Atmaja kaget mendengar penjelasan anaknya. Wajahnya memerah.
Tiba-tiba Jaya Permana berteriak
“Ki Tapa kemana...? Bangsat bajingan itu kabur...!!”
Mereka terhenyak mendengar teriakan Jaya Permana. Mata mereka pun saling melirik, sibuk mencari Ki Tapa dan anak buahnya yang sudah menghilang.
“Sudahlah...biarkan mereka pergi, lebih baik kita sekarang fokus mencari Nyai Dewi Sekar di dasar jurang...siapa tahu masih bisa kita selamatkan...” Ki Sepuh Anom berusaha menenangkan suasana.
Mereka pun setuju
“Baik, Eyang...” Kata Arya rajah
Mereka berjalan perlahan menuruni lembah yang terlihat curam. Dengan penuh kehati-hatian, mereka menuruni lembah itu sambil berpegangan pada tanaman perdu yang ada di sana.
Setelah sampai di dasar jurang, mereka kemudian berpencar untuk mencari jasad Dewi Sekar. Namun aneh, sampai malam menggantikan siang, mereka masih belum mampu menemukan keberadaan Dewi Sekar.
Karena rasa lelah yang sudah payah dan hari juga sudah sedemikian gelap, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali besok paginya.
Kesokan harinya Raden Surya Atmaja bersama lainnya kembali menuruni lembah jurang untuk mencari keberadaan Dewi sekar. Namun sama dengan hari sebelumnya, mereka masih belum mampu menemukan keberadaan Dewi Sekar. Bahkan sampai hari menjelang malam pun masih tak terlihat tanda-tanda keberadaannya. Akhirnya dengan perasaan putus asa, Raden Surya atmaja pasrah dengan nasib putri kesayangannya tersebut. Tak ada lagi yang dapat diperbuat kecuali hanya menangisi dan menyesali dengan apa yang sudah terjadi.
Sudah Empat hari, suasana di Padepokan Buyut Putih masih berkabung.
Pagi itu, Jaka someh sudah kembali dari Sumedang Larang dengan membawa Pusaka Kujang milik Perguruan Pusaka Karuhun. Dia tak berlama-lama di Sumedang Larang. Setelah bertemu dengan Raden Karta dan berbincang-bincang seperlunya, Jaka Someh meminta izin untuk membawa pusaka milik perguruan PusaKa Karuhun. Hari itu juga dia memutuskan untuk kembali ke gunung Tampomas.
Saat memasuki gerbang padepokan, Jaka Someh di sambut haru oleh sarmadi dan murid-murid Ki Buyut Putih lainnya. Mereka menyalami jaka Someh. Bahkan ada yang memegangi pundaknya untuk menunjukan rasa simpati. Jaka someh merasa heran dengan sikap yang ditunjukan oleh mereka. Tidak biasanya mereka bersikap seperti itu. Dalam hati dia berkata
“Hmm...ada apa ini...koq hati saya merasa tidak enak...”
“Kang...Someh sudah pulang...?” sarmadi bertanya pelan kepada Jaka someh


“Sabar ya...kang...” teman sarmadi juga ikut menyampaikan rasa bela sungkawa.

Jaka Someh merasa heran.
“Sabar?... sabar kenapa kang...?” Jaka Someh bertanya
 
“Eh...ehm...anu Kang....”
Orang itu terdiam.
Jaka Someh kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju arah aula padepokan. Banyak orang sedang berkumpul di sana. Mata mereka saling melirik ke arah aka Someh. Ada yang merasa simpati namun lebih banyak yang terlihat sinis kepadanya.
“Kang Someh...!!!” Tiba-tiba terlihat ada Arya Rajah berjalan cepat ke arah Jaka someh.
Setelah berhadapan dengan Jaka Someh, Arya Rajah langsung memeluk Jaka Someh sambil menangis
“Hu...hu...Kang...si Teteh....anu... meninggal...jatuh ke dalam jurang...”
“Adik kamu ngomong apa...?” Wajah jaka Someh menjadi pucat.
“Si Teteh meninggal Kang,....hu...hu....jatuh ke dalam jurang....” Arya Rajah menegaskan kembali ucapannya.
“Benarkah kabar ini, adik? Kamu tidak bercanda bukan...?” Dengan nada yang sangat lemah, Jaka Someh kembali menegaskan kabar tersebut
Arya Rajah menganggukan kepalanya.
Bagaikan tersambar petir di siang hari, jiwanya sangat kaget.  Wajah Jaka Someh pun berubah menjadi pucat. Pandangannya tiba-tiba menjadi gelap. Kepalanya terasa pusing. Hampir saja dia pingsan karena tak kuasa mendengar kabar kematian istrinya. Istri yang baru dinikahinya, dan di cintai dengan sepenuh hati.
Jaka Someh menghela nafas, berusaha menguatkan dirinya. Spontanitas dia berucap
“Inna Lillahi Wa Inna ilaihi Rojiun....”
Air matanya pun merembes, karena tak kuasa menahan kesedihan.
Tiba-tiba, Ki Buyut Putih datang ke tempat itu dan langsung menjumpai Jaka Someh.
“Jang Someh, sabar....semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, Kita ini hanya menjalaninya saja....Semoga Allah menerima amal kebaikan Dewi Sekar selama hidupnya dan mengampuni semua dosa-dosanya...” Ki Buyut Putih mencoba menasehati Jaka Someh.
“Kyai....!” Jaka Someh tak mampu lagi meneruskan kata-katanya. Tanpa sadar dia terduduk ke tanah karena merasakan lemas di sekujur tubuhnya.
Sarmadi berusaha  memegangi Jaka Someh.
“Kang Someh...kamu tidak apa-apa?” Sarmadi bertanya kepada Jaka Someh.
“Iya, Kang, Saya tidak apa-apa...” Jaka Someh menganggukan kepalanya. Air matanya terus merembes membasahi pipinya.
Jaya Permana yang sedang berada di sana, langsung mencibir Jaka Someh.
“Ah, Someh kamu jangan lebay seperti itu, lelaki macam apa kamu, menangis seperti perempuan saja, Pengecut....Nyi Dewi meninggal gara-gara kamu,  yang tak mampu menjaganya...”
“Iya, betul Raden. Memang orang ini tak pantas mendampingi Nyi Dewi Sekar...ilmu silat saja tidak punya...bagaimana bisa menjaga istrinya sendiri...” Teman-teman Jaya Permana ikut mencibir Jaka Someh.
Ki Sepuh Anom dan beberapa pendekar lainnya tidak berkomentar. Hanya Pandangan mata dan senyum sungging yang terkesan meremehkan Jaka Someh.
Jaka Someh tidak menanggapi cibiran Jaya Permana dan teman-temannya. Selama ini dia telah menempa jiwanya untuk bisa bertahan menghadapi segala macam kesusahan dan penderitaan. Namun ternyata, musibah kehilangan Dewi Sekar terasa berat baginya. Jaka Someh bergumam pelan
“Ya Allah, baru saja hamba merasakan kebahagiaan bisa menikah dengan seorang wanita yang saya cintai dengan sepenuh hati, tapi Engkau sudah mengambilnya dengan cepat...Ya Allah Semuanya milik Engkau...Engkaulah yang Berhak untuk mengambilnya...tak ada yang abadi di dunia ini....semuanya akan kembali kepada Engkau....Semoga Engkau menyabarkan Hamba atas musibah ini....” 
Air matanya pun mulai berlinang, terisak, karena merasakan kesedihan mendalam.
Setelah itu, Jaka Someh bertanya kepada Arya rajah
“Adik, bagaimana kronologinya sampai teteh kamu jatuh ke dalam jurang...?”
“Waktu itu kami merasa kawatir dengan keselamatan Kang Someh...Makanya si teteh mengajak saya untuk menyusul Kang Someh ke Sumedang Larang...namun di tengah perjalanan kami bertemu dengan gerombolan Ki Jabrik, kami sempat bertarung, namun karena kalah kemampuan, kami terdesak, dan...dan...”
Arya Rajah tak mampu lagi meneruskan ceritanya, dia kembali menangis karena teringat peristiwa naas yang menimpa kakaknya. Jaka Someh menganggukan kepala seakan sudah mengerti dengan akhir cerita Arya Rajah. Dia pun memeluk Arya Rajah dan berusaha menghiburnya.
“Sabar ya adik, kita ini bisa apa kecuali hanya berdoa dan berihtiar saja, yang menentukan adalah Yang Maha Kuasa...”
“Iya Kang Someh...” Arya Rajah mengangguk.
“Adik, kalau tidak keberatan, maukah adik mengantarkan saya ke makam teteh kamu?” Jaka Someh bertanya kepada Arya Rajah.
Arya Rajah terdiam, terhenyak mendengar permintaan Jaka Someh.
“...Kang Someh, bahkan jenazah si teteh saja belum di ketemukan, bagaimana mungkin kami memakamkannya, kami sudah mencarinya selama beberapa hari di dasar jurang, namun belum berhasil menemukan jasadnya, sampai-sampai kami berputus asa dan berusaha mengikhlaskannya...”
Jaka Someh kaget mendengar pernyataan Arya Rajah
“Ha...!!”
“Kalau begitu tolong antarkan saya ke tempat kejadian itu, tolong lah saya adik...” Jaka Someh terlihat memelas meminta Arya Rajah mengantar dirinya ke tempat jatuhnya Dewi Sekar.
“Iya, Akang...akan saya antarkan...” Arya Rajah menganggukan kepalanya
“Iya Kang Someh, Saya juga akan menemani akang ke sana” Sarmadi menawarkan diri untuk mengantar Jaka Someh ke tempat jatuhnya Dewi Sekar
“Iya  Kang Sarmadi....terima kasih banyak...” Dengan mata berkaca-kaca Jaka Someh mengucapkan rasa terima kasih kepada sarmadi.
“Sama-sama kang Someh...”
Setelah berpamitan kepada Ki Buyut Putih, mereka berangkat menuju tempat jatuhnya Dewi Sekar. Jaka Someh menganggukan kepalanya kepada Ki Sepuh Anom dan para pendekar lainnya, sebagai tanda pamit dan penghormatan. Namun justru mereka memalingkan muka dari Jaka Someh. Tanpa banyak cakap lagi, Jaka Someh segera meninggalkan tempat itu.
Sampai di tempat tujuan mereka kemudian berpencar turun ke dasar jurang untuk kembali mencari jasad Dewi Sekar. Namun sama dengan pencarian sebelumnya, mereka masih belum mampu menemukan keberadaan Dewi Sekar. Seakan-akan Dewi Sekar hilang di telan bumi.
Jaka Someh mencoba untuk memperhatikan sekitarnya, memeriksa pohon-pohon yang di duga tempat jatuhnya dewi sekar. Terlihat ada beberapa dahan dan ranting yang telah patah, seakan-akan tertimpa suatu benda berat dari atas jurang.
“Kalau benar...harusnya...nyi dewi akan jatuh di sekitar sini...terbukti dengan patahan dahan dan ranting-ranting itu....tapi kenapa nyi dewi tidak ada di sekitar sini...aneh sekali...Duh gusti...kasihan sekali istri hamba...hamba kawatir jasadnya di ambil oleh binatang buas....naudzubillahi min dalik... mudah-mudahan saja tidak demikian... “
Jaka Someh bergumam, kemudian menghela nafas. Dia berfikir keras, berusaha meneliti berbagai tanda-tanda yang mungkin bisa menjadi petunjuk keberadaan Dewi Sekar. Namun hasilnya nihil. Dia masih belum mampu menebak keberadaan istrinya tersebut.
Hari menjelang sore, mereka memutuskan untuk kembali ke padepokan. Esoknya Jaka Someh berangkat sendiri. Dia terus mencari dan melacak keberadaan Dewi Sekar. Namun masih belum mampu menemukan tanda-tanda keberadaan istrinya tersebut.
Jaka Someh tetap bertahan untuk mencari keberadaan Dewi. Sudah seminggu dia berada di lembah itu untuk melacak keberadaan istrinya. Pikiran buntu sudah mulai merasuki pikirannya.


Seperti orang yang mengalami kegilaan, Jaka Someh berjalan tak tentu arah. Bulak balik. Dia terus mencari dan mencari namun masih belum mampu menemukan Dewi Sekar.
Jaka Someh sedih bukan karena dia tidak bisa mengikhlaskan kematian istrinya. Tapi karena masih belum mampu menemukan jasad istrinya. Hati kecilnya masih tidak percaya kalau istrinya sudah meninggal. Makanya dia tetap bertahan mencari Dewi Sekar.
“Duh...Gusti...kalau saja memang sudah terbukti saya menemukan jasad istri Saya...mungkin saya bisa mengihklaskannya...tapi sampai sekarang saja saya belum mampu menemukannya...saya berharap dia masih hidup...”
“Nyai...kamu teh dimana...sebenarnya ? Akang teh khawatir...tidak mau kalau kamu dalam keadaan susah....”.
Setengah berputus asa, Jaka Someh pun duduk di sebuah batang kayu yang sudah mengering. Dia termenung cukup lama.
Kalau bukan karena di susul oleh Arya Rajah dan sarmadi serta murid-murid Padepokan Ki Buyut Putih lainnya, mungkin Jaka Someh masih akan tetap berada di sana.
Karena kawatir dengan keberadaan jaka Someh yang sudah seminggu belum pulang, Arya Raja memutuskan untuk menyusul Jaka Someh ke lembah itu. Bersama Sarmadi dan teman-temannya, mereka berangkat ke sana. Di Sana mereka melihat Jaka Someh sedang duduk melamun. Rambutnya tampak acak-acakan, wajahnya kusam dan kumal.
Melihat kondisi Jaka Someh yang sudah tidak karuan, Arya Rajah menangis, merasa kasihan dengan kakak iparnya. Dia kemudian memeluk Jaka Someh
“Kang Someh....Sadar...Kang...Kita harus bisa menerima kenyataan ini...Akang sendiri yang menasehati saya agar bisa sabar dan ihklas dengan musibah ini...Sadar kang...Inget...Istigfar...”
Mendengar ucapan Arya Rajah, Jaka Someh terhenyak dan mulai meneteskan air mata. Dia pun tersadar dengan keadaan dirinya
“Astagfirullah...Astagfirullah... maafkan hamba Ya Allah...”
Sarmadi dan kawan-kawanya juga berusaha menggandeng Jaka Someh. Mereka bersimpati dengan keadaan Jaka Someh.
“Terima kasih adik, kang sarmadi....teman-teman semua...maafkan saya yang telah merepotkan kalian...” Jaka Someh berkali-kali mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf.
Setelah keadaannya stabil, Jaka Someh bersama Arya rajah, sarmadi dan yang lainnya kembali pulang ke padepokan Ki Buyut Putih.
Setelah beristirahat semalaman, pagi harinya kondisi jaka Someh sudah kembali pulih. Hanya wajahnya saja yang masih terlihat murung.’
Pagi itu Jaka Someh berniat untuk menemui Raden Surya Atmaja, dia teringat bahwa dia belum menyerahkan pusaka yang di mintai oleh mertuanya tersebut.
Di sebuah aula besar, Raden Surya Atmaja sedang duduk mengobrol dengan Ki Buyut Putih, Kyiai Sepuh Anom dan para seniornya. Arya Raja dan Raden Jaya Permana juga berada di sana
Jaka Someh mengucapkan salam. Dia menyalami semua orang yang ada di ruangan itu.
“Assalamualaikum....”
“Hey...Jang Someh...ayo...silahkan duduk di sini...bagaimana keadaan Kamu Jang?” Ki Buyut Putih menyambut ramah Jaka Someh.
“ Alhamdulillah Kyiai, saya dalam keadaan baik...” Jawab Jaka Someh dengan tersenyum ramah.
“Maksud kedatangan Saya ke sini sebenarnya untuk menyerahkan kujang pusaka karuhun ini kepada Bapak....” Jaka Someh membungkukan badannya ke arah raden Surya Atmaja, sebagai tanda penghormatan kepada mertuanya.
Raden Surya Atmaja hanya menyeringai melihat sikap santun menantunya. Dengan senyum yang dipaksakan, dia berkata
“Terima Kasih, Someh....”
“Sama-sama Bapak...” Kata jaka Someh masih dalam keadaan menghormat
Raden Surya Atmaja menghela nafas. Diam beberapa saat. Setelah itu dia mulai berkata kepada Jaka Someh
“Someh...Saya minta maaf....”
“Sama-sama Bapak, Saya juga...”
Baru saja Jaka Someh berkata-kata namun langsung di potong oleh raden Surya Atmaja.
“...Bukan...bukan begitu maksud saya...Saya minta maaf kepada kamu karena Saya tidak ingin lagi melihat kamu berada di tempat ini...Kamu harap maklum...Someh...saya tidak ingin lagi teringat dengan putri kesayangan Saya...Gara-gara Kamu, dia  meninggal...Saya harap kamu bisa mengerti keadaan saya...”
Jaka Someh terhenyak, dia tidak menyangka kalau mertuanya masih membencinya. Tiba-tiba Arya raja memprotes ayahnya
“Rama, Punten. Kang Someh tidak bersalah apa-apa. Justru beliau juga menderita dengan musibah yang menimpa si teteh. Yang Salah itu justru Rama dan Kang...”
“...Diam Arya....kamu masih bau kencur, sudah berani menentang Rama mu sendiri...” Raden Surya Atmaja membentak anaknya. Wajahnya terlihat sangat emosi. Suasana di tempat itu pun menjadi tegang. Ada yang simpati kepada Jaka Someh namun lebih banyak yang mengoloknya.
Melihat situasi yang sudah tidak kondusif, Ki Buyut Putih mencoba untuk mendinginkan suasana
“ Sudah...sudah...Tenagkan diri raden, tidak baik mengumbar amarah, apalagi dalam kondisi sedang berkabung seperti ini...”
“Tidak apa-apa Kyai, Saya kira betul apa yang di sampaikan oleh Bapak, Saya mungkin lebih baik segera meninggalkan tempat ini...Saya tidak ingin mengganggu ketentraman di sini...Maafkan saya...” Jaka Someh membungkuk kepada hadirin sebagai tanda permintaan maaf
“Baguslah Someh...Saya harap kamu tidak tersinggung dengan ucapan Saya tadi...Saat ini juga kamu harus segera meninggalkan tempat ini....! ” Raden Surya Atmaja berkata tegas kepada Jaka Someh.
Para Hadirin terdiam, tak ada yang berani untuk berucap walau sepatah kata pun.
“ Baik Bapak, Saya Mohon Maaf. Sekarang juga Saya akan segera meninggalkan tempat ini...Terima kasih...”
Jaka Someh membungkukan badannya dua kali kepada Raden Surya Atmaja. Raden Surya Atmaja hanya mengibaskan tangan kanannya saja.
“ Iya Someh...”
“ Jang Someh, Terima kasih kamu telah bersabar...Saya mohon maaf  atas ketidak nyamanan ini...Suatu waktu, kalau ada kesempatan Silahkan Ujang berkunjung ke tempat ini...tidak perlu sungkan...” Ki Buyut Putih mencoba menghibur Jaka Someh
“Terima kasih Kyai, atas semua kebaikan, Saya berharap suatu saat dapat membalas semua kebaikan Kyai kepada saya...Terima kasih...” Jaka Someh tersenyum kepada Ki Buyut Putih. Dia membungkuk beberapa kali, setelah itu dia melangkah mundur dan segera meninggalkan tempat itu.
“Kang Someh,...!” Arya Raja berteriak memanggil Jaka Someh.
Jaka Someh menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Arya Raja. Tersenyum kemudian mengucapkan kata perpisahan kepada adik iparnya
“Terima kasih adik, selamat tinggal, maafkan akang dengan segala apa yang telah terjadi...ini...”
Jaka Someh juga membungkukan badannya ke arah Arya raja.
“ Kang, hati-hati...dalam perjalanan...” Arya Raja melambaikan tangan ke arah Jaka Someh.
Jaka someh tersenyum, kemudian tanpa menoleh lagi, segera berjalan meninggalkan padepokan Ki Buyut Putih. Dia terus berjalan, menuruni gunung Tampomas.


Bersambung ke bagian 52

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...