Rabu, 22 April 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 52. Guru dan Murid


Sudah dua hari, Dewi Sekar pingsan. Badannya penuh luka karena tergores oleh batang dahan dan ranting pepohonan. Untunglah seorang wanita tua yang sakti langsung menyambar tubuhnya ketika tubuh Dewi Sekar tertahan oleh suatu dahan pohon yang ada di bawah lembah. Dia langsung membawanya pergi, menjauh dari tempat itu. Membawanya ke suatu tempat yang  aman dan nyaman. Untunglah tidak ada luka dalam yang serius, hanya kaget dan trauma yang membuat Dewi Sekar pingsan.
Wanita tua itu begitu telatennya merawat Dewi Sekar. Membuatkannya obat dan beberapa kali memijatinya dengan penuh kelembutan.
Setelah Dua hari, Dewi Sekar mulai siuman. Dia kaget ketika tersadar melihat seorang wanita tua di sampingnya.
“Guru...? “
Wanita tua yang menolong Dewi Sekar ternyata adalah Nini Gunting Pamungkas, guru dari Dewi Sekar sendiri.
Nini Gunting Pamungkas tersenyum melihat muridnya sudah siuman
“Syukur kamu sudah siuman, nyai...guru sangat khawatir melihat keadaan kamu...”
Dewi sekar terdiam. Dia teringat dengan kejadian terakhir kali sebelum pingsan,  bertarung melawan Ki Tapa, kemudian terjatuh ke dalam jurang
“Guru...saya teringat, saya terjatuh ke dalam jurang...bagaimana sekarang saya bisa bersama Guru...?” Dewi Sekar bertanya kepada Nini Gunting Pamungkas.
“Syukur nyai, kamu sudah bisa ingat kembali, dua hari dua malam kamu tak sadarkan diri...” 
Nini Gunting Pamungkas berkata pelan kepada Dewi Sekar. Terdiam beberapa saat. Kemudian kembali melanjutkan ucapannya.
“ Waktu itu guru hendak mengunjungi Padepokan Ki Buyut Putih...setelah lelah mencari kamu yang katanya menghilang entah kemana...tak di sangka justru guru menemukan kamu sedang bertarung dengan Ki Tapa....guru memang sengaja tidak membantu kamu, karena kelihatannya Ki Tapa tidak berniat mencelakai kamu...guru tahu seberapa dalam ilmu Ki Tapa...karena guru sendiri pernah beberapa kali bertarung dengannya...ilmunya sangat tinggi...bahkan ketika guru bersama kakang sepuh Anom mengeroyoknya, dia mampu mengimbangi kami, memang kami tidak kalah namun juga tidak menang dari Ki Tapa...kalau dia berniat mencelakai kamu, tentunya kamu sudah mati di tangannya dalam sekejap saja...namun guru tidak menyangka kamu justru terpeleset dan jatuh ke dalam jurang itu...untunglah kamu sempat tertahan oleh beberapa dahan pepohonan yang ada di dasar jurang sehingga nyawa kamu selamat dan guru masih sempat membawa kamu ke tempat ini...” 
Nini Gunting Pamungkas bercerita panjang kepada Dewi Sekar.
Dewi Sekar menghela nafas mendengar cerita gurunya, dalam hati dia bersyukur masih di beri kesempatan untuk hidup lebih lama. Tiba-tiba dia teringat dengan Jaka Someh. Dia pun berusaha bangun dari tidurnya, namun kepalanya menjadi pusing sehingga dia kembali urung bangun dari tidurnya.
“Sudah...sudah nyai kamu jangan memaksakan diri...lebih baik sekarang kamu tetap beristirahat...tunggu sampai benar-benar pulih...” 

Nini Gunting Pamungkas memegangi Dewi Sekar dan berusaha menidurkannya kembali. Dewi Sekar hanya bisa pasrah.
Keesokan harinya Dewi Sekar sudah mulai bisa bangun dari tidurnya meskipun baru sebatas duduk. Nini Gunting Pamungkas dengan telaten merawat muridnya itu. Bahkan menyuapinya dengan penuh kasih sayang.
Setelah semingguan, Dewi Sekar sudah mulai bisa berjalan kembali, meskipun masih dengan tertatih-tatih.  Hatinya tidak sabar dan selalu memikirkan keadaan keluarganya. Perasaannya mulai dipenuhi rasa rindu kepada suaminya. 
“Bagaimana kabar Kang Someh sekarang ya...apakah dia berhasil melaksanakan perintah Rama, semoga saja tidak terjadi apa-apa kepadanya...” Dewi Sekar berkata sendiri.
Malam itu hujan turun gerimis. Dewi Sekar membaringkan badannya di atas pembaringan. Berkali-kali dia berganti posisi tubuh. Seakan-akan sedang mengalami keresahan. Nini Gunting Pamungkas memperhatikan keadaan muridnya tersebut dan bertanya
“Kamu kenapa, nyai. Dari tadi, guru perhatikan kamu sedang nampak resah?”
“Eh, guru...ehm...tidak ada apa-apa koq guru, saya cuma belum bisa tidur saja...” 

Dewi Sekar berkata kepada gurunya sambil menyunggingkan senyuman.
“Oh begitu...nyai, ya sudah atuh...yang penting kamu jangan banyak pikiran dahulu...bersabarlah...tunggu sampai kamu benar-benar sembuh, baru kita pulang ke Padepokan Ki buyut Putih” Kata Nini Gunting Pamungkas
“Iya guru....”
 
Malam semakin larut akhirnya Dewi Sekar bisa memejamkan matanya. Menjelang subuh, dia bermimpi bertemu Jaka Someh di suatu jalan yang ada jembatannya. Waktu itu Jaka Someh berjalan hendak menyebrangi jembatan. Dewi Sekar memanggilnya
“Kang Someh...tunggu...” Dewi Sekar berteriak
“Nyai...!” Jaka Someh menoleh dan tersenyum ke arahnya
“Akang mau pergi kemana...?” Dewi Sekar bertanya
Jaka Someh tersenyum, kemudian menjawab pertanyaan Dewi Sekar
“Hmm...Nyai akang pergi dulu ya...kamu tunggu di sana dulu... nanti akang kembali lagi”
Jaka Someh melambaikan tangannya ke arah Dewi Sekar, kemudian berjalan menyebrangi jembatan itu.
Dewi Sekar berteriak
“Kang Someh...Kang Someh...tunggu...Kang Someh...”
Tiba-tiba Dewi Sekar dibangunkan oleh Nini Gunting Pamungkas
“Nyai...bangun...bangun...kamu bermimpi buruk kah?”
Dewi Sekar terbangun dan mulai sadar dengan keadaannya
“Guru...?”
“Kamu mimpi apa anaking...? dari tadi memangil-manggil nama Kang Someh, siapa Kang Someh itu?” 
Nini Gunting Pamungkas tersenyum heran kepada Dewi Sekar.
“Guru...eh..eh..hmm” Dewi Sekar tertunduk malu.
“Ya sudah kalau kamu tidak mau bercerita kepada guru, tidak apa-apa...” 
Kata Nini Gunting Pamungkas tersenyum.
Dewi Sekar terdiam beberapa saat. Setelah keadaannya cukup stabil, dia pun mulai bercerita tentang pernikahannya dengan Jaka Someh. Mulai dari awal dia bertemu, kemudian dinikahkan oleh pamannya, sampai konflik dengan ayahnya sendiri. Nini Gunting Pamungkas hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Tak Banyak komentar.
“Nyai, selama kamu mencintai suamimu itu dengan tulus, dan kamu merasa bahagia, guru setuju-setuju saja...masalah yang lainnya jangan di buat susah...biarlah waktu yang menjawabnya...” 
Nini Gunting Pamungkas tersenyum ramah kepada Dewi Sekar
“Iya guru terima kasih atas dukungan guru...”
Nini Gunting Pamungkas menganggukan kepalanya dan tersenyum. Rasa sayangnya sangat mendalam kepada muridnya tersebut. Sebagai seorang guru, dia menghormati keputusan muridnya yang telah menikahi lelaki seperti Jaka Someh meskipun banyak yang meremehkannya.
Tanpa terasa sudah tiga minggu dewi Sekar berada di tempat itu. Sekarang jalannya sudah cukup stabil.
Hatinya sudah dipenuhi kerinduan untuk segera kembali ke Padeopkan Ki Buyut Putih. Nini Gunting 
“Guru, Insya Allah saya sudah kuat untuk berjalan lagi, kalau guru tidak keberatan, bagaimana kalau besok pagi kita kembali ke padepokan gunung tampomas...?”
Nini Gunting Pamungkas mengiyakan keinginan muridnya tersebut.
“Iya, nyai. Kalau kamu memang sudah sehat besok pagi kita kembali ke Padepokan...”
Dewi Sekar merasa senang mendengar ucapan gurunya tersebut. 
Esok paginya, Dewi Sekar bersiap-siap untuk kembali pulang ke Padepokan di Gunung Tampomas. Mereka berjalan dengan santai, karena kondisi Dewi Sekar yang masih belum seratus persen normal. Beberapa kali harus beristirahat untuk melepas lelah. Namun akhirnya mereka sampai di Padepokan Ki Buyut Putih.
Kedatangan Dewi Sekar dan nini Gunting Pamungkas di sambut suka cita oleh seluruh penghuni Padepokan di Gunung Tampomas. Terutama adalah Raden Surya Atmaja dan Arya Raja. 
Arya Raja dan Raden Surya atmaja langsung memeluk Dewi Sekar Hrum karena haru dan bahagia.
“Alhamdulillah Teteh...masih hidup...selamat...selamat...Alhamdulillah selamat....” 
Arya Rajah mengulang-ulang ucapannya.
“Nyai, Rama bahagia ternyata kamu masih hidup...Padahal Rama sudah pasrah kepada Gusti Yang Maha Kuasa...” Raden Surya Atmaja memeluk erat putrinya karena bahagia.
“Iya, Rama. Alhamdulillah saya masih di beri umur panjang...” 
Dewi Sekar tersenyum bahagia bercampur rasa haru karena masin bisa bertemu kembali dengan keluarganya.
Dewi Sekar kemudian menoleh ke arah kumpulan orang yang hadir di sana. Matanya seperti mencari-cari sesuatu
“Adik, Kang Someh kemana? Apakah dia belum kembali dari Sumedang?” Dewi Sekar bertanya kepada Arya Raja.
“Teteh, maafkan kami....” Arya Raja berkata pelan
“Kang Someh sudah kembali dari Sumedang, namun sekarang dia sudah pergi lagi, setelah di usir oleh Rama...” Arya raja berusaha menjelaskan kepada Kakaknya
“Di usir...? Di usir kenapa, Rama?” Dewi Sekar berpaling ke arah ayahnya. Raden Surya Atmaja merasa tidak enak kepada putrinya sendiri.
“Maafkan Rama, Nyai. Ini suatu kesalahpahaman, Rama merasa sangat sedih karena kehilangan kamu, keberadaan si Someh membuat kesedihan Rama semakin menjadi, Dia mengingatkan Rama pada musibah yang menimpa kamu. Hati rama teriris-iris, sedih, susah, dan marah. Makanya Rama memintanya untuk meninggalkan padepokan ini, agar rama tidak teringat dengan peristiwa yang menimpa kamu. Maafkan Rama, nyai...” Raden Surya Atma mencoba menjelaskan.
Dewi Sekar terdiam, badannya tiba-tiba menjadi lemas.
“Nyai, untuk menebus kesalahan Rama, biarlah Rama  mengutus seseorang untuk mencarinya dan memintanya untuk kembali ke sini...” 
Raden Surya Atmaja menghibur putri kesayangannya.
“Tidak apa-apa Rama, tidak usah mengutus orang lain, biar Saya dan adik yang nanti mencarinya...” Dewi Sekar berusaha tersenyum kepada ayahnya.
Raden Surya Atmaja merasa keberatan kalau putrinya yang harus turun tangan mencari Jaka Someh. Namun Dewi Sekar tetap bersikukuh pada pendiriannya. Akhirnya, setelah terjadi tawar-menawar, mereka setuju kalau Dewi Sekar dan Arya raja, akan pergi mencari Jaka Someh.. Nini Gunting Pamungkas tiba-tiba  berkata kepada muridnya.
“Guru juga akan ikut menemani kamu, nyai...” Kata Nini Gunting Pamungkas.
“Waduch...terima kasih banyak guru...” Dewi Sekar tersenyum kepada gurunya.
“Iya, Nyai...” Nini Gunting Pamungkas membals senyum muridnya.
“Alhamdulillah...Saya merasa lega...kalau Guru Gunting Pamungkas ikut menemani mereka...He...he...Terima Kasih...Nini...” 
Ki Buyut Putih tertawa senang mendengar Nini Gunting Pamungkas akan menemani mereka.
“Sama-sama Kyai...” Kata Nini Gunting Pamungkas.
Esok harinya,mereka bertiga berangkat dengan menunggang kuda. Karena tidak tahu secara pasti arah dan tujuan kemana Jaka Someh pergi, Dewi Sekar memutuskan untuk menyusul  ke bukit yang dulu di tempati Jaka Someh.
Lima Hari mereka dalam perjalanan, sampai akhirnya sampai di tempat tujuan. Namun ternyata tempat itu sepi, Jaka Someh tidak ada di sana. Mereka pun memutuskan untuk menunggu Jaka Someh di tempat itu.
Karena lama tak di tempati, tempat itu nampak berdebu dan kusam. Dewi Sekar dibantu Nini Gunting Pamungkas dan Arya Raja segera membersihkannya. Setengah harian mereka membersihkannya sampai akhirnya tempat itu kembali bersih dan nyaman. 
Dewi Sekar memanen beberapa umbi yang di tanam Jaka Someh, kemudian mengukusnya hingga matang. Setelah itu dia tinggalkan untuk pergi menuju tempat pemandian.
“Guru, adik, kalau mau mandi, tempat pemandiannya ada di sana, sangat nyaman dan bersih...” 
Dewi Sekar menunjukan arah pemandian kepada guru dan adiknya.
“Wah iya nyai, guru rasanya sudah gerah, ingin segera mandi...”  Nini Gunting Pamungkas merasa senang di ajak mandi oleh muridnya. Mereka pun berjalan bersama menuju tempat pemandian. Sesampainya di sana Nini Gunting Pamungkas di buat kagum dengan arsitektur dan lanscap pemandian tersebut. Sebuah tempat yang indah, bahkan harum karena wewangian bunga. Airnya begitu jernih dan menyegarkan terpancar dari pancuran yang terbuat dari bilah bantu. Ada bak air yang terbuat dari batu yang di haluskan dan di ukir. Bahkan toiletnya sangat bersih terbuat dari granit.
“Nyai, siapakah yang membuat semuanya ini, suami kamu...?” Tanya Nini Gunting Pamungkas merasa kagum
“Iya guru, bahkan di tempat ini juga ada tanur pembuatan perkakas logam dan alat penenenun kain...Kang Someh yang membuatnya...”
“Bagaimana bisa ada orang seperti itu, banyak memiliki keahlian, kata nyai, suamimu itu hanyalah seorang petani biasa...?tapi ternyata dia seorang yang luar biasa, terampil dan berjiwa seni....” Nini Gunting Pamungkas berdecak kagum. Dewi Sekar tersenyum senang, suaminya mendapat pujian dari gurunya.
“Teteh, saya juga mau mandi, di mana tempat pemandianya...” Kata Arya Raja.  Dewi Sekar pun menunjukan tempatnya. Arya Raja kemudian segera berangkat ke tempat pemndian itu. Cukup lama Arya Raja berada di tempat pemandian. 
“Wah segarnya, Teteh tempat ini benar-benar luar biasa, bahkan saya sampai betah berada di toiletnya, benar-benar bersih dan harum, Apakah Kang Someh yang membuat semua ini...?” Kata Arya Raja sepulang dari tempat pemandian. 

Dewi Sekar tersenyum senang, melihat adiknya menjadi betah di tempat itu.
“Hmmm, iya adik. Kang Someh yang membuat semua ini...” Dewi Sekar menjawab rasa penasaran adiknya
“Wah...hebat...hebat...saya tidak menyangka Kang Someh bisa membuat semua ini....” Arya Raja berdecak kagum.
Tak lama kemudian mereka makan bersama, dengan menu umbi rebus dan teh tawar hangat. Sambil menyantap hidangan mereka mengobrol dengan santay
“Guru, coba lihat ke sana...yang banyak tanaman jagungnya...”  

Dewi Sekar menunjukan telunjuknya ke suatu arah tempat
“Memangnya kenapa nyai...?” Tanya Nini Gunting Pamungkas penasaran.
“Di tempat itu saya nyaris meninggal setelah di siksa oleh Nyi Sundel dan anak buahnya, Saya bertarung mati-matian dengannya, namun ilmu saya kalah jauh, sehingga dengan mudah dikalahkan olehnya, Saya pingsan tak sadarkan diri. Sadar-sadar saya sudah berada di pondok ini....sedang di rawat oleh Kang Someh, katanya saya pingsan sampai tiga hari tiga malam....”. 
Dewi Sekar mengenang saat pertama dia berada di tempat itu.
“Untung sekali kamu bisa selamat nyai, padahal sepengetahuan guru, Nyi Sundel itu sangat kejam dan bengis...” Kata Nini Gunting Pamungkas
“Iya guru, Saya mengalami kebengisannya, saya sampai di siksa habis-habisan olehnya...sampai akhirnya pingsan...” Kata Dewi Sekar.
“Teteh, apakah nyi sundel meninggalkan teteh begitu saja...di tempay ini...?” Tanya Arya Raja
“ Sepertinya begitu, adik....kata Kang Someh, dia menemukan teteh  pingsan di tempat itu....” Kata Dewi Sekar mencoba menjelaskan.
“Nyai, guru pernah mendengar suatu rumor, ada yang bilang, nyi sundel sudah binasa di tangan seorang pendekar misterius....apakah kamu yakin kalau suamimu itu hanyalah seorang petani biasa...karena kejadian ini begitu aneh bagi guru...”  

Nini Gunting Pamungkas mengernyitkan dahinya seakan sedang memikirkan sesuatu.
“saya justru belum tahu guru, kalau nyi sundel sudah meninggal, tapi kalau Kang Someh saya yakin dia bukan pendekar misterius itu, jangankan membunuh manusia, membunuh binatang saja dia tidak tega...” Kata Dewi Sekar.
Nini Gunting Pamungkas dan Arya Raja menganguk-anggukan kepalanya.
Tanpa terasa mereka sudah bertempat di bukit itu selama sebulan lebih. Masih belum juga  terlihat tanda-tanda kedatangan Jaka Someh. Kalau bukan karena di susul oleh Sarmadi dan beberapa temannya, Dewi Sekar, Arya Raja dan Nini Gunting Pamungkas mungkin masih menempati bukit itu untuk menunggu Jaka Someh.
“Punten Nyai, Saya di utus oleh Juragan Surya Atmaja untuk menjemput Nyai dan Raden agar segera kembali ke gunung Tampomas, Juragan Surya merasa khawatir dengan keadaan Nyai dan Raden,  Beliau sekarang sedang sakit...” Kata Sarmadi mengutarakan maksud dan tujuannya
“Hey...Rama Sakit apa Kang sarmadi?” Kata Dewi Sekar terkejut
“Saya kurang tahu nyai...beliau hanya berbaring di tempat tidurnya saja...Guru Buyut Putih merasa khawatir dengan keadaan beliau, makanya mengutus saya untuk menjemput Nyai dan Raden agar segera kembali ke gunung Tampomas."
Mendengar penjelasan Sarmadi, Dewi Sekar dan Arya Raja merasa khawatir dengan keadaan ayahnya. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke gunung Tampomas bersama Nini Gunting Pamungkas dan Sarmadi.
Atas saran Arya Raja, Dewi Sekar meninggalkan sebuah surat untuk Jaka Someh. Mereka berharap apabila Jaka Someh kembali ke tempat itu, membaca surat itu. Isi Suratnya sederhana, memberi tahu Jaka Someh bahwa Dewi Sekar masih hidup setelah di tolong oleh gurunya, Jaka Someh di minta segera untuk menyusulnya ke gunung Tampomas.
Setelah suratnya di letakan di atas meja, Mereka segera berangkat menuju Gunung Tampomas.


Bersambung Ke Bab 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...