Esok pagi, Raden Karta mengajak Dewi
Sekar dan jaka Someh untuk datang ke
rumahnya. Beliau menyuruh istrinya memasak makanan ala kadarnya untuk
menghormati Jaka someh dan keponakannya yang baru datang. Istri Raden Karta
adalah seorang wanita dari kalangan masyarakat biasa. Seorang wanita yang ramah
dan bersahaja. Mereka memiliki dua orang anak. Seorang lelaki dan perempuan.
Keduanya sudah menikah dan memiliki anak. Mereka tinggal di rumahnya
masing-masing, namun masih sekampung dengan Raden Karta. Anak pertamanya adalah lelaki, bernama
Suradita, umurnya di bawah satu tahun di bawah Dewi Sekar, namun sudah berumah
tangga dan memiliki dua anak berusia 6 dan 2 tahun. Sedangkan adiknya yang perempuan bernama
Santika, baru menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selisih umurnya
dengan Dewi Sekar sekitar 5 atau 6 tahunan.
Santika baru bebeberapa bulan yang lalu saja mendapatkan momongan. Raden
Karta berkata kepada Dewi Sekar dan Jaka Someh
“Nyai...untuk sementara waktu
kamu tinggal saja dulu di rumah Mamang, kebetulandi rumah mamang teh banyak kamar yang kosong...jang someh juga...ya...”.
Dewi Sekar sebenarnya keberatan
untuk berlama-lama di rumah Pamannya, dia ingin segera mencari ayah dan
adiknya.
Namun entah kenapa ada rasa
sungkan untuk menolak permintaan pamannya tersebut. Setengah terpaksa dia
menjawab permintaan pamannya tersebut dengan sedikit mengangguk
“Ooh...i...yy...ya...mang...ga apa-apa...”.
Esok harinya sehabis sarapan
pagi, dalam suasana setengah santai Raden Karta mengajak ngobrol Jaka Someh dan
Dewi Sekar. Dia banyak bertanya kepada Jaka Someh. Jaka Someh pun menceritakan
sedikit tentang dirinya. Gaya bicaranya terkesan resmi dan penuh kesopanan. Dewi
Sekar juga ikut bercerita tenytang kepribadian Jaka Someh kepada pamannya, yang
dianggapnya baik dan penuh ketulusan. Dewi Sekar juga bercerita tentang pribadi
Jaka Someh yang terkesan religius kepada pamannya. Ada kesan kagum di dalam
ceritanya tersebut. Raden Karta tersenyum lembut melihat keponakannya bercerita
tentang jaka Someh yang penuh semangat. Di liriknya Jaka Someh yang memerah
wajahnya karena di sanjung oleh Dewi Sekar. Jaka Someh berusaha merendahkan
dirinya di hadapan Raden Karta dan Dewi Sekar
“ Ah...nyai ini bisa
saja...Akang teh tidak sehebat itu...masih terlalu banyak kekurangannya...nyai
terlalu berlebihan... “.
Raden Karta tersenyum melihat
sikap Jaka Someh yang merendah. Entah kenapa ada perasaan senang melihat
pribadi Jaka Someh yang sederhana. Padahal dia baru saja mengenalnya. Dewi Sekar kemudian menambahkan ceritanya
kepada pamannya,
“oh iya Mang Karta, Kang Someh
juga seorang ahli pengobatan lho....”.
Jaka Someh tersenyum malu mendengar ucapan Dewi Sekar, dia pun berusaha merendahkan diri. “ah sebenarnya biasa saja, bapak...tidak ada yang istimewa...hanya kebetulan saja saya pernah belajar sedikit tentang ilmu pengobatan dari kyai Thiban...masih belum seberapa, bapak...masih jauh dari sebutan ahli...”.
Jaka Someh tersenyum malu mendengar ucapan Dewi Sekar, dia pun berusaha merendahkan diri. “ah sebenarnya biasa saja, bapak...tidak ada yang istimewa...hanya kebetulan saja saya pernah belajar sedikit tentang ilmu pengobatan dari kyai Thiban...masih belum seberapa, bapak...masih jauh dari sebutan ahli...”.
Raden Karta melirik Jaka Someh,
sambil tersenyum ramah “oh, iya kah...wah hebat itu...ahh...kebetulan sekali kalau
begitu...itu...ehh.hh..suaminya Si Entin sudah lama di timpa sakit..barangkali
jang Someh bisa mengobati, sakitnya teh sudah hampir dua tahun jalan...”.
“Ceu Entin...adiknya
bibi...mang?” tanya Dewi Sekar
“iya...Mang Adang...adik ipar
mamang...” Kata Raden Karta.
“Sakit apa...ya.. Pak...?”.
Tanya Jaka Someh.
“Saya juga tidak tahu, Jang. Tapi sudah dua tahun beliau lumpuh...tidak bisa jalan...muncul benjolan di perutnya...waduh...kasihan pisan..., Mamang mah tidak tega melihatnya...apalagi kalau pas lagi kumat... beliau suka menjerit-jerit kesakitan...”. Kata raden Karta.
“Saya juga tidak tahu, Jang. Tapi sudah dua tahun beliau lumpuh...tidak bisa jalan...muncul benjolan di perutnya...waduh...kasihan pisan..., Mamang mah tidak tega melihatnya...apalagi kalau pas lagi kumat... beliau suka menjerit-jerit kesakitan...”. Kata raden Karta.
“Masya Allah...apakah boleh
saya memeriksanya, Pak...?”. kata jaka Someh.
“Iya, Jang. Tentu saja
boleh...Barangkali Jang Someh mengerti tentang penyakitnya...mudah-mudahan saja
ada jalan untuk kesembuhan...kapan kira-kira Jang Someh bisa memeriksanya?” tanya raden karta.
“Mangga, Pak. Sekarang juga
tidak apa-apa...apakah rumahnya jauh dari sini...?”. Kata Jaka Someh.
“tidak terlalu jauh...jang...tidak sampai satu kilometeran lah paling juga...itu sebelah timurnya mesjid...sok...atuh...kalau begitu kita berangkat sekarang juga”. Jawab raden Karta.
“tidak terlalu jauh...jang...tidak sampai satu kilometeran lah paling juga...itu sebelah timurnya mesjid...sok...atuh...kalau begitu kita berangkat sekarang juga”. Jawab raden Karta.
“Mangga Pak....silahkan”. Kata
Jaka someh mempersilahkan.
Mereka pun pamit kepada Dewi Sekar dan istri Raden Karta untuk berangkat ke rumah Ceu Entin.
Mereka pun pamit kepada Dewi Sekar dan istri Raden Karta untuk berangkat ke rumah Ceu Entin.
Sesampainya di rumah Ceu Entin,
Jaka Someh langsung di minta memeriksa keadaan Pak Adang oleh Raden Karta. Ceu Entin dan Raden Karta juga ikut menemani
Jaka someh masuk ke dalam kamar. Jaka Someh segera memeriksa kondisi Pak adang
dengan meraba berbagai titik sarafnya. Setelah melakukan pengecekan, Jaka Someh
berkata kepada Raden Karta dan Ceu Entin
“Insya Allah saya akan coba untuk mengobati beliau...mudah2an mulai nanti malam sudah bisa saya terapi...”.
“Insya Allah saya akan coba untuk mengobati beliau...mudah2an mulai nanti malam sudah bisa saya terapi...”.
“kenapa tidak sekarang atuh,
jang?”. Tanya Raden karta.
“Maaf Bapak, saya harus meramu
dahulu beberapa bahan obat...bahannya saya coba cari dahulu...mudah2an saja ada
di daerah sini...”. Kata Jaka Someh.
“Ya sudah atuh...Jang.
Silahkan....tapi kira-kira apa yang bisa saya bantu...?” Kata raden Karta
kepada jaka Someh.
“Bantu doanya saja ya
Pak....mudah-mudahan Allah memberi kelancaran dan kesembuhan...” Jawab jaka
Someh sambil tersenyum. Raden Karta juga ikut tersenyum mendengar jawaban Jaka
Someh seperti itu.
Pada malam hari itu juga, Jaka
someh sudah kembali ke rumah Ceu Entin dengan ditemani oleh Raden Karta. Tidak
membuang waktu, dia segera memberikan terapi pengobatan kepada suami Ceu Entin.
Jaka Someh memijit beberapa titik refleksi di tubuh pasiennya. Pak adang
merasakan kesakitan yang luar biasa.
“Aduuh...sakit
Jang....ampun...Bapak tidak kuat lagi...pelan-pelan jang mijitnya...aduuh...”
Kata pak Adang sambil meringis kesakitan.
Tapi Jaka Someh tidak
memperdulikannya, dia terus memijati beberapa titik anggota tubuh sang pasien,
sambil sesekali menghiburnya dengan kata-kata.
“sabar ya pak...bapak tahan
dulu...Insya Allah sakitnya cuma sebentar...sabar...sabar...pak...sakit sedikit
tidak apa-apa...yang penting bisa segera sembuh...”. Hibur Jaka Someh.
Jaka someh meberikan terapi
pengobatan tersebut selama tiga malam berturut-turut. Malam kedua, saat di
pijit, Pak Adang sudah tidak lagi merasakan sakit seperti pada saat pertama
kali di pijit. Demikian juga pada malam ketiga, Pak Adang sudah merasa nyaman
dengan pijitan Jaka Someh. Esoknya, Jaka Someh dan Raden Karta di beritahu
bahwa suami ceu Entin sudah mulai bisa berjalan, meskipun masih tertatih-tatih
dan kaku.
“Jang Someh, syukur
Alhamdulillah...Kang Adang teh sekarang sudah bisa jalan lagi meskipun
masih...belum lancar...” Kata Ceu Entin dengan girangnya
“Alhamdulillah....” Kata Jaka
Someh dan raden Karta berbarengan dengan nada senang. Raden Karta melirik Jaka
Someh. Dia memandangi muka jaka Someh, seakan takjub dengan kemampuan jaka
Someh di bidang pengobatan.
“Wah...hebat...kamu jang....”. Raden
karta memuji Jaka someh secara tulus.
“Tidak, Bapak...bukan saya yang
hebat....saya hanya berikhtiar saja...Yang Menyembuhkan adalah Gusti
Allah...Alhamdulillah Allah mengabulkan doa kita...” Kata jaka Someh.
Raden Karta mengangguk-anggukan
kepalanya sambil tersenyum senang karena mendengar ucapan Jaka Someh yang
tawadhu. Rasa simpatinya pun bertambaah kepada jaka Someh.
Setelah memberi kabar gembira
kepada Jaka Someh dan yang lainnya, Ceu Entin segera pamit kembali untuk pulang.
Bersambung ke bagin 32