Rabu, 14 Maret 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 31. Sang Tabib Yang Penuh Kerendahan Hati




Esok pagi, Raden Karta mengajak Dewi Sekar dan jaka Someh untuk datang ke rumahnya. Beliau menyuruh istrinya memasak makanan ala kadarnya untuk menghormati Jaka someh dan keponakannya yang baru datang. Istri Raden Karta adalah seorang wanita dari kalangan masyarakat biasa. Seorang wanita yang ramah dan bersahaja. Mereka memiliki dua orang anak. Seorang lelaki dan perempuan. Keduanya sudah menikah dan memiliki anak. Mereka tinggal di rumahnya masing-masing, namun masih sekampung dengan Raden Karta.  Anak pertamanya adalah lelaki, bernama Suradita, umurnya di bawah satu tahun di bawah Dewi Sekar, namun sudah berumah tangga dan memiliki dua anak berusia 6 dan 2 tahun.  Sedangkan adiknya yang perempuan bernama Santika, baru menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selisih umurnya dengan Dewi Sekar sekitar 5 atau 6 tahunan.  Santika baru bebeberapa bulan yang lalu saja mendapatkan momongan. Raden Karta berkata kepada Dewi Sekar dan Jaka Someh 
“Nyai...untuk sementara waktu kamu tinggal saja dulu di rumah Mamang, kebetulandi rumah mamang teh  banyak kamar yang kosong...jang someh juga...ya...”.  
Dewi Sekar sebenarnya keberatan untuk berlama-lama di rumah Pamannya, dia ingin segera mencari ayah dan adiknya.
Namun entah kenapa ada rasa sungkan untuk menolak permintaan pamannya tersebut. Setengah terpaksa dia menjawab permintaan pamannya tersebut dengan sedikit mengangguk “Ooh...i...yy...ya...mang...ga apa-apa...”.
Esok harinya sehabis sarapan pagi, dalam suasana setengah santai Raden Karta mengajak ngobrol Jaka Someh dan Dewi Sekar. Dia banyak bertanya kepada Jaka Someh. Jaka Someh pun menceritakan sedikit tentang dirinya. Gaya bicaranya terkesan resmi dan penuh kesopanan. Dewi Sekar juga ikut bercerita tenytang kepribadian Jaka Someh kepada pamannya, yang dianggapnya baik dan penuh ketulusan. Dewi Sekar juga bercerita tentang pribadi Jaka Someh yang terkesan religius kepada pamannya. Ada kesan kagum di dalam ceritanya tersebut. Raden Karta tersenyum lembut melihat keponakannya bercerita tentang jaka Someh yang penuh semangat. Di liriknya Jaka Someh yang memerah wajahnya karena di sanjung oleh Dewi Sekar. Jaka Someh berusaha merendahkan dirinya di hadapan Raden Karta dan Dewi Sekar
“ Ah...nyai ini bisa saja...Akang teh tidak sehebat itu...masih terlalu banyak kekurangannya...nyai terlalu berlebihan... “.
Raden Karta tersenyum melihat sikap Jaka Someh yang merendah. Entah kenapa ada perasaan senang melihat pribadi Jaka Someh yang sederhana. Padahal dia baru saja mengenalnya.  Dewi Sekar kemudian menambahkan ceritanya kepada pamannya,
“oh iya Mang Karta, Kang Someh juga seorang ahli pengobatan lho....”
Jaka Someh tersenyum malu mendengar ucapan Dewi Sekar, dia pun berusaha merendahkan diri.  “ah sebenarnya biasa saja, bapak...tidak ada yang istimewa...hanya kebetulan saja saya pernah belajar sedikit tentang ilmu pengobatan dari kyai Thiban...masih belum seberapa, bapak...masih jauh dari sebutan ahli...”. 
Raden Karta melirik Jaka Someh, sambil tersenyum ramah “oh, iya kah...wah hebat itu...ahh...kebetulan sekali kalau begitu...itu...ehh.hh..suaminya Si Entin sudah lama di timpa sakit..barangkali jang Someh bisa mengobati, sakitnya teh sudah hampir dua tahun jalan...”.
“Ceu Entin...adiknya bibi...mang?” tanya Dewi Sekar
“iya...Mang Adang...adik ipar mamang...” Kata Raden Karta.
“Sakit apa...ya.. Pak...?”. Tanya Jaka Someh. 
“Saya juga tidak tahu, Jang. Tapi sudah dua tahun beliau lumpuh...tidak bisa jalan...muncul benjolan di perutnya...waduh...kasihan pisan..., Mamang mah tidak tega melihatnya...apalagi kalau pas lagi kumat... beliau suka menjerit-jerit kesakitan...”. Kata raden Karta.
“Masya Allah...apakah boleh saya memeriksanya, Pak...?”. kata jaka Someh.
“Iya, Jang. Tentu saja boleh...Barangkali Jang Someh mengerti tentang penyakitnya...mudah-mudahan saja ada jalan untuk kesembuhan...kapan kira-kira Jang Someh bisa  memeriksanya?” tanya raden karta.
“Mangga, Pak. Sekarang juga tidak apa-apa...apakah rumahnya jauh dari sini...?”. Kata Jaka Someh. 
“tidak terlalu jauh...jang...tidak sampai satu kilometeran lah paling juga...itu sebelah timurnya mesjid...sok...atuh...kalau begitu kita berangkat sekarang juga”. Jawab raden Karta.
“Mangga Pak....silahkan”. Kata Jaka someh mempersilahkan. 
Mereka pun pamit kepada Dewi  Sekar dan istri Raden Karta untuk berangkat ke rumah Ceu Entin.
Sesampainya di rumah Ceu Entin, Jaka Someh langsung di minta memeriksa keadaan Pak Adang  oleh Raden Karta.  Ceu Entin dan Raden Karta juga ikut menemani Jaka someh masuk ke dalam kamar. Jaka Someh segera memeriksa kondisi Pak adang dengan meraba berbagai titik sarafnya. Setelah melakukan pengecekan, Jaka Someh berkata kepada Raden Karta dan Ceu Entin 
“Insya Allah saya akan coba untuk mengobati beliau...mudah2an mulai nanti malam sudah bisa saya terapi...”.
“kenapa tidak sekarang atuh, jang?”. Tanya Raden karta.
“Maaf Bapak, saya harus meramu dahulu beberapa bahan obat...bahannya saya coba cari dahulu...mudah2an saja ada di daerah sini...”. Kata Jaka Someh.
“Ya sudah atuh...Jang. Silahkan....tapi kira-kira apa yang bisa saya bantu...?” Kata raden Karta kepada jaka Someh.
“Bantu doanya saja ya Pak....mudah-mudahan Allah memberi kelancaran dan kesembuhan...” Jawab jaka Someh sambil tersenyum. Raden Karta juga ikut tersenyum mendengar jawaban Jaka Someh seperti itu.
Pada malam hari itu juga, Jaka someh sudah kembali ke rumah Ceu Entin dengan ditemani oleh Raden Karta. Tidak membuang waktu, dia segera memberikan terapi pengobatan kepada suami Ceu Entin. Jaka Someh memijit beberapa titik refleksi di tubuh pasiennya. Pak adang merasakan kesakitan yang luar biasa.
“Aduuh...sakit Jang....ampun...Bapak tidak kuat lagi...pelan-pelan jang mijitnya...aduuh...” Kata pak Adang sambil meringis kesakitan.
Tapi Jaka Someh tidak memperdulikannya, dia terus memijati beberapa titik anggota tubuh sang pasien, sambil sesekali menghiburnya dengan kata-kata.
“sabar ya pak...bapak tahan dulu...Insya Allah sakitnya cuma sebentar...sabar...sabar...pak...sakit sedikit tidak apa-apa...yang penting bisa segera sembuh...”. Hibur Jaka Someh.
Setelah selesai, jaka Someh memberikan ramuaan kepada pasiennya. Sebagian ramuan di balurkan, dan sisanya di minumkan.
Jaka someh meberikan terapi pengobatan tersebut selama tiga malam berturut-turut. Malam kedua, saat di pijit, Pak Adang sudah tidak lagi merasakan sakit seperti pada saat pertama kali di pijit. Demikian juga pada malam ketiga, Pak Adang sudah merasa nyaman dengan pijitan Jaka Someh. Esoknya, Jaka Someh dan Raden Karta di beritahu bahwa suami ceu Entin sudah mulai bisa berjalan, meskipun masih tertatih-tatih dan kaku.
“Jang Someh, syukur Alhamdulillah...Kang Adang teh sekarang sudah bisa jalan lagi meskipun masih...belum lancar...” Kata Ceu Entin dengan girangnya
“Alhamdulillah....” Kata Jaka Someh dan raden Karta berbarengan dengan nada senang. Raden Karta melirik Jaka Someh. Dia memandangi muka jaka Someh, seakan takjub dengan kemampuan jaka Someh di bidang pengobatan.
“Wah...hebat...kamu jang....”. Raden karta memuji Jaka someh secara tulus.
“Tidak, Bapak...bukan saya yang hebat....saya hanya berikhtiar saja...Yang Menyembuhkan adalah Gusti Allah...Alhamdulillah Allah mengabulkan doa kita...” Kata jaka Someh.
Raden Karta mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum senang karena mendengar ucapan Jaka Someh yang tawadhu. Rasa simpatinya pun bertambaah kepada jaka Someh.
Setelah memberi kabar gembira kepada Jaka Someh dan yang lainnya, Ceu Entin segera pamit kembali untuk pulang.
Bersambung ke bagin 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...