Selasa, 06 Maret 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 25. Lelaki Sederhana



Dewi Sekar sudah tak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga dia pun mulai siuman. Matanya terbuka pelan-pelan, disadarinya bahwa saat itu dia sedang berada di suatu ruangan di sebuah pondok kayu yang berukuran sedang. 
Tiba-tiba dia merasakan sensasi hangat di sekujur tubuhnya, setelah diamati ternyata hampir seluruh tubuhnya telah dibalur oleh suatu ramuan obat. Di atas meja yang berada di samping kanannya, terlihat ada segelas minuman obat yang sudah tidak penuh lagi isinya. Dewi Sekar ingat, terakhir kali dia bertarung dengan nyi Sundel kemudian kalah dan menjadi bulan`bulanan Nyi sundel sampai akhirnya tak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian, jaka Someh masuk ke dalam gubuk itu dan mendapati Dewi Sekar sudah sadarkan diri. 
Melihat Dewi Sekar sudah sadar, Jaka Someh merasa senang, kemudian  dia berkata kepada Dewi Sekar 
Alhamdulillah Nyai sudah sadar...sudah tiga hari tiga malam Nyai pingsan...akang menemukan Nyai tergeletak di kebun sayur milik akang...”
Jaka Someh berbohong kepada Dewi Sekar bahwa dia menemukan Dewi Sekar tergeletak pingsan di kebun sayurnya, padahal sebenarnya Jaka Someh lah yang menolongnya dari Nyi Sundel yang kejam. Dewi Sekar berkata pelan kepada Jaka someh 
“akang...ini...siapa...?”. 
Mendengar suara Dewi Sekar yang pelan dan lemah, Jaka Someh tersenyum, kemudian dia memperkenalkan dirinya 
“Nama akang teh Jaka Someh, Nyai...atau Nyai juga bisa memanggil akang dengan sebutan Kang Someh...Akang teh disini hidup menyendiri, kebetulan akang adalah petani yang sedang menggarap lahan di bukit ini...oh ya Nyai teh siapa? Kenapa bisa sampai ke bukit ini dalam keadaan pingsan?”
Dewi Sekar hanya menganggukan kepalanya dengan pelan, kemudian dia mengenalkan dirinya kepada Jaka Someh yang telah menolongnya 
“nama saya Dewi sekar harum...tapi akang bisa memanggil saya Sekar...”. 
Jaka Someh tersenyum mendengar Dewi Sekar memperkenalkan dirinya, sambil mengangguk`anggukan kepalanya. Setelah itu mereka pun saling terdiam, meskipun pikiran mereka saling berkecamuk dengan berbagai pertanyaan. Melihat Jaka Someh terdiam, Dewi Sekar berinisiatif memulai pembicaraan, dia menceritakan tentang perkelahiannya dengan nyi sundel. Dia bercerita dengan suara  pelan dan banyak berhentinya. Sebenarnya dalam hati dia merasa heran, kenapa masih hidup padahal waktu itu nyi sundel begitu bernafsu ingin membunuhnya.  
Dewi Sekar ingat saat dia dikalahkan oleh Nyi Sundel dan nyaris mati, kemudian disiksa sampai akhirnya dia pingsan dan tak sadarkan diri.  Dalam hati dia curiga mungkin Jaka Someh lah yang telah menolongnya dari Nyi Sundel. Namun melihat penampilan Jaka Someh yang sederhana dan jauh dari sosok penampilan seorang pendekar, kecurigaannya pun dia tepis. Rasanya tidak mungkin Jaka someh yang hanya seorang petani mampu mengalahkan Nyi Sundel yang hebat. 
Lalu siapakah yang telah menyelamatkannya dari Nyi Sundel, apakah benar bahwa Jaka Someh hanya menemukan dirinya sudah dalam keadaan pingsan? Lalu kemana nyi sundel dan kawan-kawannya sekarang ini, apakah mereka pergi begitu saja, meninggalkan dirinya dalam keadaan pingsan?. Karena tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan yang sedang berkecamuk dalam pikirannya, dia pun memejamkan mata dan berusaha membuang jauh segala hal yang bisa mengganggu pikirannya. Sambil menghela nafas Dewi Sekar kembali membuka matanya. Jaka Someh hanya tersenyum kecil melihat Dewi Sekar yang nampak seperti orang yang sedang bingung.
Jaka someh berkata lembut kepada Dewi Sekar 
“nyai biar cepat pulih kesehatannya, sekarang nyai makan dulu...ini akang membuatkan bubur untuk nyai...dimakan ya...”.  
Karena kondisi tubuh Dewi Sekar yang masih lemah, Jaka Someh membuatkan bubur dan mecoba untuk menyuapinya. Awalnya Dewi Sekar menolak untuk di suapi, namun Jaka someh tetap memaksanya, akhirnya dia pun menurut kepada Jaka Someh. Dengan telatennya Jaka Someh menyuapi Dewi Sekar.
Setelah kurang lebih satu minggu, Dewi Sekar  sudah mulai terlihat agak pulih kekuatannya. Dia sudah mulai bisa berjalan meskipun harus dengan bantuan tongkat kayu. Untuk sementara waktu Dewi Sekar tetap  bersabar untuk tinggal di pondok Jaka Someh, meskipun hatinya sudah gelisah memikirkan nasib keluarganya yang sekarang mungkin dalam keadaan bahaya.
Dengan adanya seorang wanita cantik tinggal di pondoknya,
sebenarnya Jaka Someh merasa kikuk. Dia bukanlah tipikal lelaki yang pandai mencari-cari kesempatan untuk menggoda wanita. Jaka Someh berusaha menjaga dirinya agar tidak terlalu dekat dengan Dewi Sekar


Beberapa kali Jaka Someh berdoa mohon perlindungan kepada Tuhannya
"Ya Allah Lindungilah hambaMu ini dari nafsu yang rusak, Hamba sadar bahwa hamba hanyalah Hamba biasa, seorang lelaki yang memiliki hawa nafsu terhadap perempuan, maka itu lindungilah hamba dari segala perbuatan keji dan tercela, semoga Engkau menguatkan iman hamba...Aamiin...".
 
Selain karena khawatir terpengaruh oleh jeratan hawa nafsu, dia juga takut kalau Dewi Sekar nantinya akan merasa tidak nyaman kepadanya. Jaka Someh menemui Dewi Sekar hanya pada saat memberikan makan dan obat saja. Selebihnya dia memilih untuk berada di luar pondoknya. Bukan karena dia tidak menyukai perempuan cantik, melainkan karena dia berusaha untuk menjaga diri dari hal-hal yang tidak etis. Bahkan saat malam tiba, Jaka Someh  memilih tidur di serambi luar pondoknya.
Melihat sikap jaka Someh yang penuh kesopanan, tulus dan penuh rasa hormat membuat Dewi Sekar merasa aman dan nyaman berada di pondok itu, dia tidak merasa takut akan dilecehkan oleh jaka Someh yang baru dikenalnya.  
Dewi Sekar diam-diam memperhatikan kegiatan Jaka Someh dalam keseharian. Dia merasa kagum sekaligus takjub dengan Jaka someh yang tertib dalam beribadah. Tak pernah dia meninggalkan sholat lima waktu. Bahkan saat malam menjelang akhir, Dewi Sekar Harum pernah melihat Jaka someh sedang melaksanakan sholat tahajud dengan khusu. 
loading...
Dewi Sekar Harum juga pernah beberapa kali mendengar Jaka someh sedang membaca- ayat-ayat Al Quran dengan faseh dan tartil. Hatinya pun bergetar mendengar lantunan bacaaan Ayat Alquran yang sedang di baca oleh Jaka Someh. Belum pernah dia merasakan getaran dalam hatinya. Selama ini dia merasa jauh dari kegiatan beribadah. Bahkan Sholat pun dia belum pernah melaksanakannya. Padahal dia juga berasal dari keluarga seorang muslim. Hari-harinya hanya digunakan untuk berlatih ilmu kanuragan.
Dewi Sekar Harum merasa betah tinggal di pondok Jaka  Someh. Meskipun sederhana, namun sangat asri dan bersih. Ada taman-taman bunga di sekitar pondok itu. Selain bangunan rumah ada juga tempat pemandian yang terbuat dari batu gunung besar yang telah diukir sedemikian rupa sehingga membentuk bak penampungan air yang memiliki corong membentuk pancuran air.  Pemandian tersebut berada di dalam bangunan semi permanen dari tanaman bambu. Atapnya terbuat dari daun kelapa yang sudah mengering. Sedangkan airnya berasal dari mata air yang ada di puncak bukit. Jernih dan menyegarkan. Pemandian itu pun menyebarkan bau bunga-bungaan yang semerbak. Karena di dalamnya terdapat saripati bunga melati yang sengaja Jaka Someh buat dengan metode penyulingan. Bahkan di dalam pemadian itu juga tersedia sabun wangi yang dibuat oleh Jaka Someh dari campuran minyak kelapa, alkali dan sari pati bunga-bungaan. Pengetahuan tersebut dia peroleh dari Khi Thiban yang dulu pernah belajar dari ahli kimia di negeri Arab.
Di samping tempat pemandian terdapat juga bangunan toilet. Closetnya berupa closet jongkok yang terbuat dari batu alam yang di ukir sedemikian rupa kemudian dihubungkan dengan septitank. Dewi Sekar harum merasa takjub dengan kesemuanya itu.
Di beberapa bagian pekarangan  yang luas terdapat taman-taman bunga yang menyebarkan keharuman alami. Bunganya pun terlihat indah dan menawan. Ada melati, cempaka, mawar, anggrek dan lainnya. Membuat Dewi Sekar bertambah betah tinggal di tempat itu.
Tanpa terasa sekarang sudah hampir dua minggu Dewi Sekar berada di pondok  Jaka Someh. Dia kembali ingat akan Ayahnya yang akan diserang oleh gerombolan Ki Jabrik. Hatinya pun mulai dipenuhi rasa was-was dan kekhawatiran. Meskipun belum seratus persen sembuh namun karena ingat akan bahaya yang akan mengancam keluarganya, dia bertekad untuk segera pulang, agar bisa membantu ayahnya menghadapi ki Jabrik. Akhirnya Dewi Sekar menyampaikan niatnya tersebut kepada Jaka Someh,   
“Kang Someh, saya berterima kasih telah di tolong dan di rawat di sini, akang teh sudah begitu baik terhadap saya...saya benar-benar minta maaf karena telah merepotkan akang selama di sini". 
Jaka someh tertawa mendengar perkataan Dewi Sekar 
"he...he...bisa saja kamu teh Nyai, memang sudah kewajiban akang untuk menolong sesama teh...Akang teh tidak merasa direpotkan oleh Nyai...justru akang minta maaf karena mungkin belum mampu membuat nyai merasa nyaman di sini...maklum gubuk akang sangat sederhana...". 
 Dewi Sekar tersenyum mendengar jawaban dari Jaka Someh seperti itu, lalu dia pun melanjutkan lagi perkataannya 
"begini kang someh…bukannya saya tidak betah tinggal disini namun karena suatu hal yang genting…saya teh harus segera pulang ke Sumedang hari ini juga untuk membantu Rama saya yang akan melawan Ki Jabrik dan anak buahnya". 
Jaka Someh merasa terkejut mendengar Dewi Sekar akan segera pergi dengan kondisi kesehatan tubuhnya yang masih belum pulih total. Jaka someh berkata kepada Dewi Sekar 
"waduh Nyai, kenapa buru-buru sekali, luka Nyai teh belum seratus persen sembuh...tunggu atuh beberapa hari lagi biar lukanya sampai sembuh dahulu...". 
Mendengar ucapan Jaka Someh yang berusaha menghalangi kepergiannya karena kawatir dengan keadaannya, Dewi Sekar mencoba menjelaskan alasan kepergiannya tersebut 
"Maaf akang...Saya pergi teh bukan karena apa-apa, tapi karena  saya memang benar-benar merasa khawatir akan keselamatan Rama saya...seperti yang pernah saya sampaikan kepada akang bahwa saat ini gerombolan Ki Jabrik sedang akan menyerang padepokan Rama saya...saya kawatir kang...karena Ki Jabrik adalah seorang pendekar yang sakti dan kejam, sudah banyak perguruan silat di pasundan ini yang  dihancurkannya....”
Mendengar penjelasan Dewi Sekar seperti itu, Jaka Someh tak mampu lagi untuk menahan niat Dewi Sekar untuk pergi, dia  memaklumi keadaan Dewi Sekar yang mengkawatirkan keluarganya.  Meskipun demikian, Jaka Someh tetap berusaha mencegah Dewi Sekar untuk pergi saat itu 
“ Akang mengerti akan kekawatiran Nyai...tapi Nyai sabar dulu ya, mohon tunggu sampai kamu sembuh dahulu...mungkin dua atau tiga hari lagi...biar sekalian akang bantu siapkan kendaraan untuk Nyai...”.  
 Mendengar niat Jaka Someh mau menyiapkan kendaraan untuknya, Dewi Sekar berusaha untuk menolaknya, dia tidak mau merepotkan Jaka Someh lagi, kemudian berkata kepada Jaka Someh 
“ Tidak usah kang...jangan merepotkan akang lagi...biar saya jalan kaki saja...saya akan berangkat hari ini juga...”. 
Jaka Someh bersikeras menahan Dewi Sekar untuk pulang hari itu 
“waduh tidak bisa Nyai...kondisi Nyai teh belum sembuh betul...jalannya saja masih belum kokoh... masih sempoyongan begitu...ya sudah begini saja..kalau memang Nyai tetap memaksa,  besok saja ya...nanti akang antar...hari ini juga akang akan siapkan sebuah kendaraan...”.  
Dewi Sekar masih berusaha untuk menolaknya, namun karena Jaka Someh juga bersikeras,  akhirnya Dewi Sekar pun luluh dengan niat tulus Jaka someh yang mau menolongnya, apalagi setelah dia pikir rasanya tidak mungkin dia dapat berjalan cepat dengan kondisi dirinya yang masih dalam keadaan terluka seperti itu. Dewi Sekar pu akhirnya berkata kepada jaka Someh 
“ya sudah lah kang...kalau begitu...terserah kang omeh saja...tapi sebenarnya saya sudah tidak mau merepotkan akang lagi...”. 
Jaka Someh tersenyum mendengar ucapan Dewi Sekar yang sudah mulai luluh, kemudian dia berkata kepada Dewi Sekar 
“Ya tidak merepotkan atuh Nyai...ini mah memang sudah kewajiban sesama umat manusia, kebetulan  akang  juga sedang longgar...he...he...”.  
Dewi Sekar tersenyum sambil memamerkan lesung piptnya kepada jaka Someh, membuat dada Jaka someh tiba`tiba menjadi dag dig dug tidak karuan. Sesaat dia terpana melihat senyuman Dewi Sekar yang mempesonanya, setelah sadar, Jaka Someh segera memalingkan muka untuk menghindari tatapan dengan Dewi Sekar. Ada perasaan aneh yang menguasai dirinya saat itu. 
 “Astagfirulloh...” 
Jaka Someh mengucapkan istigfar di dalam hatinya. Kawatir hawa nafsu akan menguasai dirinya, karena terpengaruh oleh aura kecantikan Dewi sekar. 
Tak lama kemudian dia berpamitan untuk pergi dari hadapan Dewi Sekar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...