Menjelang subuh, Jaka Someh dan Dewi Sekar akhirnya sampai di
kaki gunung Tampomas, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Untuk mencapai puncak tidak mungkin menggunakan gerobak, mereka
pun terpaksa harus berjalan
kaki. Jaka someh kemudian melepaskan
sapinya dari belenggu gerobak. Sapi itu pun terbebas
dan makan rerumputan di Padang
rumput yang ada di sekitar tempat itu.
Setelah beristirahat sejenak,
mereka kembali melanjutkan perjalanannya dengan mendaki gunung. Meskipun
gunung Tampomas terlihat
curam dan terjal, namun Jaka Someh tidak merasakan payah sedikitpun. Mungkin
karena sudah terbiasa hidup di pegunungan. Bahkan
dia menjadikan gunung sebagai bagian dari
kehidupannya. Berbeda dengan Dewi Sekar,
yang terlihat payah dan lelah. Jaka someh tertawa melihat wajah Dewi Sekar yang memerah karena
payah yang dirasakannya. Jaka
someh pun menggodanya
“Ha...ha...istri akang ini lucu...katanya
seorang pendekar hebat. Masa kalah sama akang yang hanya seorang petani...”
Dewi Sekar
tersenyum ngingir
mendengar ejekan Jaka Someh yang menggodanya. Dia mencibirkan bibir manisnya. Jaka Someh kemudian
menawarkan bantuan kepada istrinya
“Ya sudah kalau capek, akang
gendong ya...?”. Kata Jaka Someh kepada istrinya.
“Wuihh...memang kang
Someh...kuat...?”
Ejek Dewi Sekar.
“Ha...ha...Insya Allah kuat
atuh nyai...akang kan sudah terbiasa ngangkut kayu bakar yang beratnya melebihi
nyai...ayo...kalau tidak percaya, silahkan buktikan sendiri, nyai naik ke
punggung akang...”
Tantang Jaka Someh.
“he...he...ternyata tidak
percuma punya suami seorang tukang
panggul kayu...maaf ya kang...saya naik ke punggung akang....”.
Dewi Sekar pun
naik ke punggung suaminya.
Jaka Someh berjalan dengan
gagahnya sambil menggendong istri kesayangannya. Meskipun gunungnya terjal tapi
tidak ada tanda-tanda Jaka Someh mengalami kepayahan sedikitpun juga.
Sebenarnya Dewi Sekar sendiri merasa heran dengan kekuatan yang dimiliki
suaminya itu, namun dia berpikir mungkin Jaka Someh menjadi kuat karena sudah
terbiasa hidup di pegunungan.
Tanpa terasa sudah seharian mereka
berjalan, namun masih belum tampak tanda-tanda keberadaan padepokan Ki Buyut
Putih.
Meskipun sudah sampai di puncak gunung
Tampomas, namun mereka masih belum
berhasil menemukan padepokan Ki buyut Putih yang mereka cari. Padahal hari sudah sore. Dewi Sekar merasa putus asa, akhirnya dia tak kuasa
lagi untuk mengeluh
“Duh, bener tidak sih akang, padepokan
Ki Buyut berada di gunung ini, jangan-jangan yang sekarang kita daki ini bukan
gunung Tampomas...? Tidak lucu dech akang kalau kita salah mendaki...gunung....”
Jaka Someh tertawa mendengar istrinya menggerutu
“Ha...ha...Nyai teh bisa saja…Insya
Allah bener atuh Nyai.
Akang yakin ini bener gunung
Tampomas. Ya sudah sekarang mah kita istirahat saja dahulu di sini. Biar nunggu
malam tiba. Saat
hari sudah gelap nanti, Akang akan
mencari lagi padepokan Ki buyut Putih...”
Dewi Sekar
merasa heran dengan perkataan Jaka Someh yang akan mencari padepokan di malam
hari. Dia pun mengungkapkan
keheranannnya tersebut kepada Jaka Someh
“Akang ini bagaimana sih, di saat terang saja
kita kesulitan untuk mencarinya, apalagi di malam
hari, aduh kang Someh ini...ada-ada saja”
Jaka Someh tersenyum mendengar perkataan
Dewi Sekar, kemudian menjelaskan
maksud dari ucapannya
“Ah Istri
akang ini bagaimana, justru saat gelap kita
bisa lebih mudah melihat keberadaan padepokan Ki Buyut Putih. Begini Nyai, maksud akang teh… Nanti
akang coba naik ke tebing yang tinggi itu, supaya akang bisa melihat keadaan di sekeliling gunung ini.
Kalau padepokan ki buyut teh memang berada di sini, kemungkinan besar, akang
akan melihat cahaya obor mereka. Rasanya menurut akang, tidak mungkin mereka
tidak menyalakan obor jika malam sudah tiba...”
Setelah mendengar penjelasan
Jaka Someh, Dewi Sekar
tertawa kecil
“Iya juga sih, kang Someh benar. Bagus
juga ide akang... Koq bisa saya
tidak berpikir seperti itu, ya...?. Hi...hi...ternyata kang Someh pintar
juga...”
Jaka Someh senang karena Dewi Sekar memujinya. Dia pun memegang ujung hidung istrinya sambil berkata
gemas
“Iihh...bisa saja kamu teh nyai...”
Setelah malam tiba Jaka Someh naik ke
tebing yang paling tinggi. Kemudian dia mengamati sekitar wilayah
dipegunungan. Dia
melihat cahaya obor di arah selatan gunung. Jaka Someh pun menyampaikan hasil
pengamatannnya tersebut kepada istrinya.
Dewi Sekar merasa senang
mendengar laporan Jaka Someh yang telah
melihat beberapa cahaya obor di arah selatan. Dewi Sekar kemudian berkata
“Alhamdulillah kang, mudah-mudahan bener
itu padepokan ki Buyut Putih”.
Jaka Someh mengangguk, mengiyakan
keinginan Dewi Sekar
“Iya Nyai,
mudah-mudahan benar cahaya obor tersebut berasal dari padepokan
Ki Buyut”.
Setelah berdiskusi cukup lama, mereka
memutuskan mendatangi tempat tersebut di pagi hari, karena alasan kesopanan
dan pertimbangan resiko yang mungkin akan dihadapi.