Rabu, 04 April 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 45. Pemuda Yang Kuat




Menjelang subuh, Jaka Someh dan Dewi Sekar akhirnya sampai di kaki gunung Tampomas, mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Untuk mencapai puncak tidak mungkin menggunakan gerobak, mereka pun terpaksa harus berjalan kaki. Jaka someh kemudian melepaskan sapinya dari belenggu gerobak. Sapi itu pun terbebas dan makan rerumputan di Padang rumput yang ada di sekitar tempat itu.
Setelah beristirahat sejenak, mereka kembali melanjutkan perjalanannya dengan mendaki gunung. Meskipun gunung Tampomas terlihat curam dan terjal, namun Jaka Someh tidak merasakan payah sedikitpun. Mungkin karena sudah terbiasa hidup di pegunungan. Bahkan dia menjadikan gunung sebagai bagian dari kehidupannya. Berbeda dengan Dewi Sekar, yang terlihat payah dan lelah. Jaka someh tertawa melihat wajah Dewi Sekar yang memerah karena payah yang dirasakannya. Jaka someh pun menggodanya
“Ha...ha...istri akang ini lucu...katanya seorang pendekar hebat. Masa kalah sama akang yang hanya seorang petani...”
Dewi Sekar  tersenyum ngingir mendengar ejekan Jaka Someh yang menggodanya. Dia mencibirkan bibir manisnya. Jaka Someh kemudian menawarkan bantuan kepada istrinya
“Ya sudah kalau capek, akang gendong ya...?”. Kata Jaka Someh kepada istrinya.
“Wuihh...memang kang Someh...kuat...?”
Ejek Dewi Sekar.
“Ha...ha...Insya Allah kuat atuh nyai...akang kan sudah terbiasa ngangkut kayu bakar yang beratnya melebihi nyai...ayo...kalau tidak percaya, silahkan buktikan sendiri, nyai naik ke punggung akang...” 
Tantang Jaka Someh.
“he...he...ternyata tidak percuma punya suami seorang  tukang panggul kayu...maaf ya kang...saya naik ke punggung akang....”. 
Dewi Sekar pun naik ke punggung suaminya.
Jaka Someh berjalan dengan gagahnya sambil menggendong istri kesayangannya. Meskipun gunungnya terjal tapi tidak ada tanda-tanda Jaka Someh mengalami kepayahan sedikitpun juga. Sebenarnya Dewi Sekar sendiri merasa heran dengan kekuatan yang dimiliki suaminya itu, namun dia berpikir mungkin Jaka Someh menjadi kuat karena sudah terbiasa hidup di pegunungan.
Tanpa terasa sudah seharian mereka berjalan, namun masih belum tampak tanda-tanda keberadaan padepokan Ki Buyut Putih.
Meskipun sudah sampai di puncak gunung Tampomas, namun mereka masih belum berhasil menemukan padepokan Ki buyut Putih yang mereka cari.  Padahal hari sudah sore. Dewi Sekar merasa putus asa, akhirnya dia tak kuasa lagi untuk mengeluh
“Duh, bener tidak sih akang, padepokan Ki Buyut berada di gunung ini, jangan-jangan yang sekarang kita daki ini bukan gunung Tampomas...? Tidak lucu dech akang kalau kita salah mendaki...gunung....
Jaka Someh tertawa mendengar istrinya menggerutu  
“Ha...ha...Nyai teh bisa saja…Insya Allah bener atuh Nyai. Akang yakin ini bener gunung Tampomas. Ya sudah sekarang mah kita istirahat saja dahulu di sini. Biar nunggu malam tiba. Saat hari sudah gelap nanti, Akang akan mencari lagi padepokan Ki buyut Putih...”
Dewi Sekar merasa heran dengan perkataan Jaka Someh yang akan mencari padepokan di malam hari. Dia pun mengungkapkan keheranannnya tersebut kepada Jaka Someh
“Akang ini bagaimana sih, di saat terang saja kita kesulitan untuk mencarinya, apalagi di malam hari, aduh kang Someh ini...ada-ada saja
Jaka Someh tersenyum mendengar perkataan Dewi Sekar, kemudian menjelaskan maksud dari ucapannya
“Ah Istri akang ini bagaimana, justru saat gelap kita bisa lebih mudah melihat keberadaan padepokan Ki Buyut Putih. Begini Nyai, maksud akang teh… Nanti akang coba naik ke tebing yang tinggi itu, supaya akang bisa melihat keadaan di sekeliling gunung ini. Kalau padepokan ki buyut teh memang berada di sini, kemungkinan besar, akang akan melihat cahaya obor mereka. Rasanya menurut akang, tidak mungkin mereka tidak menyalakan obor jika malam sudah tiba...” 
Setelah mendengar penjelasan Jaka Someh, Dewi Sekar tertawa kecil
“Iya juga sih, kang Someh benar. Bagus juga ide akang... Koq bisa saya tidak berpikir seperti itu, ya...?. Hi...hi...ternyata kang Someh pintar juga...”
Jaka Someh senang karena Dewi Sekar memujinya. Dia pun memegang ujung hidung istrinya sambil berkata gemas
“Iihh...bisa saja kamu teh nyai...”
Setelah malam tiba Jaka Someh naik ke tebing yang paling tinggi. Kemudian dia mengamati sekitar wilayah dipegunungan. Dia melihat cahaya obor di arah selatan gunung. Jaka Someh pun menyampaikan hasil pengamatannnya tersebut kepada istrinya. Dewi Sekar merasa senang mendengar laporan Jaka Someh yang telah melihat beberapa cahaya obor di arah selatan. Dewi Sekar kemudian berkata
“Alhamdulillah kang, mudah-mudahan bener itu padepokan ki Buyut Putih”.
Jaka Someh mengangguk, mengiyakan keinginan Dewi Sekar
“Iya Nyai, mudah-mudahan benar cahaya obor tersebut berasal dari padepokan Ki Buyut”.
Setelah berdiskusi cukup lama, mereka memutuskan mendatangi tempat tersebut di pagi hari, karena alasan kesopanan dan pertimbangan resiko yang mungkin akan dihadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...