Selasa, 03 April 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 44. Indahnya Malam Supermoon




Tanpa terasa mereka sudah menempuh perjalanan cukup jauh. Melewati banyak kampung dan perbukitan. Waktu itu hari sudah sore ketika mereka mulai memasuki sebuah perkampungan yang berada di balik sebuah bukit yang terlihat gersang dan tandus. Jarang sekali ada tanaman kecuali hanya ilalang yang nampak begitu lebatnya. 
Kampung itu pun nampak kumuh dan miskin. Meskipun terdapat sebuah sungai kecil yang melintasi kampung tersebut, namun tidak banyak pepohonan yang terlihat tumbuh di daerah itu. Wilayah itu benar-benar tampak tandus dan kering.
Penduduknya juga terlihat kurus seperti kekurangan nutrisi. Jaka Someh menjadi penasaran ketika melihat keadaan di kampung tersebut. Di dalam hati jaka Someh berkata
"Sungguh aneh kampung ini terlihat begitu kering dan tandus, jarang sekali terlihat ada pepohonan...padahal saya lihat ada aliran sungai meskipun memang alirannya tidak begitu besar..., tapi saya kira masih bisa dimanfaatkan untuk mengairi sebuah  lahan pertanian...aduh dari tadi saya lihat penduduknya  kurus-kurus seperti kekurangan makanan, kenapa mereka tidak bercocok tanam untuk menghasilkan bahan pangan untuk kebutruhan mereka sendiri...sungguh sayang sekali...lahan dan bukitnya dibiarkan menjadi tandus seperti ini...hmmm...".
 Jaka Someh memberhentikan gerobaknya di sebuah rumah kayu reot yang berada di pinggir jalan. Dewi Sekar merasa penasaran dengan perbuatan Jaka Someh tersebut, dia  pun bertanya kepada Jaka Someh
 “ada apa kang? Kenapa berhenti?”.
Jaka Someh hanya membalas pertanyaan Dewi Sekar dengan senyuman. Dewi Sekar bertambah rasa penasarannya, dia pun mengulangi lagi pertanyaannya  
“kenapa kita berhenti di sini kang Someh...?”.  
Jaka Someh hanya menjawab ringan pertanyaan Dewi Sekar 
“tidak ada apa2 nyi...akang hanya ingin istirahat dulu sejenak...akang mau buang air dulu...boleh kan?”.  
Dewi Sekar merasa lega pertanyaannya di jawab Jaka Someh 
“ooh begitu, saya kira akang mau nginap di kampung ini”. 
Jaka Someh yang mendengar ucapan Dewi Sekar seperti itu, justru tertarik untuk menggoda Dewi Sekar dengan balik bertanya
“Memang kalau menginap di sini, kenapa nyi? kan gak apa-apa...akang malah jadi pengen menginap di kampung sini...”.
Wajah Dewi Sekar menjadi cemberut mendengar candaan Jaka Someh 

Kang Someh bagaimana sih...kita kan sedang terburu-buru..., tidak boleh lagi ada waktu yang terbuang…Kita harus segera sampai di Tampomas...Masa Akang tidak kasihan kepada Saya, istrinya sendiri....
Jaka Someh tersenyum kecil sambil melirik ke wajah Dewi Sekar yang lagi cemberut
“Iya, iya...Nyai. Akang bercanda…maaf...cuma berhenti sebentar saja koq, akang mau buang hajat dulu...sebentar ya...”.
Tanpa mempedulikan lagi kepada istrinya yang masih cemberut, Jaka Someh langsung turun dari gerobaknya dan berjalan ke sebuah rumah yang berada di pinggir jalan.Setelah sampai di depan rumah tersebut, dia mengucapkan salam
“permisi, permisi, apakah ada orang di rumah...?”.
Namun tak ada jawaban dari dalam rumah tersebut. Setelah mengulangi salam nya beberapa kali, akhirnya nampak  seorang wanita setengah baya keluar dari rumah, dia pun bertanya kepada Jaka Someh
“Ada apa kang...ada keperluan apa ke rumah saya “
Jaka Someh pun menjawab pertanyaan perempuan tersebut dengan balik bertanya
“Punten bu, mau tanya kalau tempat buang hajat di sini dimana ya bu? Kebetulan saya seorang musafir yang sedang melewati kampung ini. Saya berdua bersama istri saya...yang itu istri saya”. 
Jaka Someh menunjuk ke arah Dewi Sekar yang sedang duduk di atas gerobak sapinya. Dewi Sekar tersenyum ke arah wanita itu, yang di balas dengan senyuman juga oleh si wanita tadi. Wanita itu pun menunjuk ke sebuah arah di belakang bukit tandus yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di sana terdapat sungai yang biasa di gunakan oleh warga untuk mandi, mencuci pakaian sekaligus untuk buang hajat. Hanya saja untuk buang hajat, warga biasanya memilih sungai yang lebih jauh ke arah muara. Setelah mendapat penjelasan dari wanita itu, Jaka Someh pergi ke arah yang di tunjuk wanita tadi, dan menghilang di balik bebukitan.
Sebenarnya Jaka Someh tidak ingin buang hajat. Dia berpura-pura sakit perut karena hatinya dibuat penasaran dengan keadaan di kampung itu. Dia ingin mengetahui kenapa kampung itu begitu tandus, padahal terdapat aliran sungai di wilayah itu? Padahal banyak lahan kosong yang bisa di garap menjadi lahan pertanian,  seperti di bukit itu. Bukan justru membiarkan lahan-lahan itu menjadi tandus dan menjadi taman ilalang. Lahan dan sumber air pun menjadi sia-sia karena tidak diolah untuk mendapatkan kemanfaatan. 
Jaka Someh kemudian menyelidik. Sumber mata air sungai itu ternyata berasal dari pegunungan yang berada jauh dari  kampung itu. Sungainya memang tidak melintasi bukit gundul itu hanya mengalir dibawahnya saja. Meskipun demikian mestinya ada suatu cara untuk mengalirkan aliran sungai itu ke atas bukit agar bisa mengairi lahan tandus yang ada di atas sana. Toh ketinggian bukit itu pun sebenarnya tidak terlalu tinggi. Jaka Someh terus mengamati ke beberapa lokasi yang ada di bawah bukit. Dilihatnya di sebelah selatan terdapat banyak pohon bambu.
Setelah puas mengamati kondisi dan topograpi wilayah tersebut, Jaka Someh kemudian melesat menuju puncak bukit dengan berlari dan berlompatan. Setelah berada di puncak bukit dia kembali mengamati wilayah itu. Bukit itu telah di penuhi banyak ilalang dan tanaman perdu. Sungguh sayang  bukit itu tidak dimanfaatkan oleh warga untuk aktifitas pertanian. Warga kampung itu justru mengalami  kelaparan. Padahal kalau saja mereka mau bekerja keras mengolah bukit tandus itu besar kemungkinan tidak akan terjadi kelaparan di wilayah itu..
Setelah puas mengamati puncak bukit, Jaka someh kembali turun menuju aliran sungai yang ada di bawah bukit. Kemudian berjalan menyusuri aliran sungai itu menuju tempat   dia meninggalkan Dewi Sekar sendirian. Dilihat istrinya sedang was-was menunggunya. 
Melihat suaminya sudah kembali, Dewi Sekar memanyunkan bibirnya dan  berkata dengan roman cemberut
“Kirain akang teh tersesat...lama tidak muncul-muncul...sampai hati saya was-was tak karuan.Tidak lucu kan, akang…kalau ada berita ‘seorang lelaki yang sedang buang hajat di sungai hilang dicaplok buaya' hmmmm...”.
Jaka Someh tertawa mendengar Dewi Sekar yang ngambek kepadanya. Kemudian dia berkata
“ yah tidak mungkin atuh Nyai, masa ada buaya di sungai yang banyak batunya seperti itu...iya deh maaf, akang agak lama...tapi akang senang, Nyai ternyata mengkhawatirkan keselamatan akang...he...he...”.
Dewi Sekar kembali mencibirkan bibirnya setelah mendengar ucapan Jaka Someh yang menggodanya. Dengan wajah yang memerah, Dewi Sekar membalas gurawan Jaka Someh
“hiih...Ge Er..., siapa juga yang mengkhawatirkan kang Someh...”.
Jaka Someh tertawa mendengar cibiran Dewi Sekar
“iya...iya...akang minta maaf...yuk atuh sekarang mah kita berangkat lagi saja...biar Nyai tidak marah-marah lagi ke akang...he...he...”.
Dewi Sekar kembali tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh yang melemah kepadanya. Mereka pun kembali melanjutkan  perjalanannya.
Tanpa terasa malam sudah menggantikan siang, namun Jaka Someh masih tetap terus mengendarai gerobak sapinya. Dewi Sekar duduk di sampingnya. Sambil mengobrol dan bercanda, mereka  menikmati perjalanannya tersebut. Malam pun semakin bertambah larut.
Untunglah malam itu sedang purnama, bahkan purnama yang tidak biasa karena ukuran bulannya terlihat lebih besar. Begitu indahnya fenomena supermoon, cahaya yang lembut menerangi jalan-jalan gelap yang sedang dilewati. Jaka Someh berkata lembut kepada istrinya sambil menunjuk ke arah bulan
Nyai, lihat...bulannya kelihatan lebih besar ya...indah sekali...”. 
Pandangan Dewi Sekar mengikuti ke arah yang di tunjuk Jaka Someh 
“iya, kang. Bulannya indah sekali...saya baru sadar ternyata langit begitu indah apabila sedang purnama...”.
Jaka Someh tersenyum mendengar ucapan Dewi Sekar.  Tanpa terasa Dewi Sekar kemudian menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Jaka someh yang baru pertama kali merasakan bersentuhan dengan wanita, hatinya menjadi dag dig dug tidak karuan. Meskipun memang Dewi Sekar sudah resmi menjadi istrinya, namun tetap saja dia merasa kikuk dan sungkan. ingin rasanya dia memeluk istrinya, namun tangannnya serasa tak berdaya untuk melakukannya. Hanya pikirannya saja yang sibuk tidak karuan. Jantungnya berdebar sangat keras, bahkan Dewi Sekar mampu mendengar detak jantung Jaka Someh yang sedang berdegup kencang. Dewi Sekar tersenyum, kemudian memandangi wajah suaminya. Ada perasaan iseng untuk menggoda suaminya yang nampak masih terlihat polos.
" Muka akang koq jadi pucat begitu...kenapa... akang sakit ya..?."
"eh...ah...anu..anu...akang tidak apa-apa..nyai...eh..ah....aduhh..." Jaka Someh terbata-bata menjawab pertanyaan iseng istrinya. Dewi Sekar tersenyum kemudian memeluk  Jaka someh.

Malam bertambah larut, angin malam berhembus menerpa keheningan malam. Rasanya begitu dingin menambah keharmonisan sepasang pengantin baru yang baru saja sedang di mabuk asmara. Terdengar suara alunan anjing hutan yang  melolong.
Setelah malam semakin larut, Jaka Someh menyuruh Dewi Sekar untuk segera istirahat tidur
Nyai, sudah malam...sok atuh...kamu istirahat dulu saja...biar besok pagi nyai bisa kembali fresh...”.

Dewi Sekar menuruti anjuran suaminya, sambil melirik wajah Jaka Someh, dia berkata dengan suara yang lembut

“Ya kang someh...kalau begitu...saya tidur dulu ya, kang. He...he...”.  

Dewi Sekar kemudian membaringkan dirinya di atas gerobak sapi yang dikemudikan Jaka Someh. Tak lama setelah itu, dia pun tertidur pulas dengan mimpi indahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...