Tampilkan postingan dengan label janda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label janda. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Mei 2020

Cerita Novel Silat "sang Pendekar" Bab 55. Bukan Seorang Janda



Berbulan-bulan Dewi Sekar menunggu kehadiran Jaka someh, namun suaminya tersebut masih belum juga datang ke Padepokan Ki Buyut Putih. Hatinya sangat sedih.  Arya raja dan gurunya, merasa prihatin dengan Dewi Sekar yang selalu murung.

“Teteh, sabar ya...Saya yakin kalau Kang Someh sudah membaca surat teteh, Insya Allah dia akan segera datang ke sini....” Kata Arya Raja.

“Iya Adik, masalahnya Kang Someh sampai sekarang belum membaca surat teteh, Aduuh...entah ada di mana dia sekarang...apakah dalam keadaan baik atau tidak...”

Dewi Sekar mengeluh kepada adiknya.

“Yaah...di doakan saja atuh nyai...semoga suami kamu dalam keadaan baik...yang penting mah sekarang nyai fokus pada diri kamu sendiri...kembali giat berlatih...” Nini Gunting Pamungkas menasehati muridnya.

“Iya guru, terima kasih...Maafkan saya yang masih belum bisa ikhlas menerima kehilangan Kang Someh...” Kata Dewi Sekar.

Nini Gunting Pamungkas menganggukan kepala dan tersenyum.

“Iya geulis...”

Hari demi hari, Dewi Sekar masih tetap selalu berharap suaminya dapat segera kembali. Tak ada yang dapat dia lakukan selain berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kebahagiaan Jaka Someh.

Tanpa terasa sudah Lima tahun Dewi Sekar tinggal di padepokan Ki Buyut Putih. Untuk mengisi waktunya, agar tidak terlalu ingat kepada suaminya, Dewi Sekar kembali berlatih ilmu silat kepada Nini Gunting Pamungkas.

Di bawah bimbingan Nini Guntung Pamungkas, dia berlatih dengan penuh kedisiplinan. Sekarang kemampuan silat nya pun sudah berkali-kali lipat.

Sore itu Dewi Sekar berlatih seperti biasanya dengan Nini Gunting Pamungkas di sebuah tanah lapang di padepokan ki buyut putih. Saking asyiknya berlatih, tidak sadar bahwa ada orang yang ikut menyaksikan mereka. Orang itu adalah Dewi tunjung biru dan Pangeran Jaya Permana.

Pangeran Jaya Permana nampak bersemangat memperhatikan Dewi Sekar yang sedang berlatih. Dia merasa bangga melihat Dewi Sekar yang sudah mahir dalam memainkan jurus- jurus silat yang nampak indah namun berbahaya.

Menjelang matahari terbenam, Nini Gunting Pamungkas menyudahi latihannya. Sambil nafasnya terengah-engah, dia berkata kepada murid kesayangannya

“Sudah, sudah Nyai, guru sudah Capek...he...he...sekarang kemampuan kamu sudah meningkat hebat. Kamu sudah mampu membuat guru kerepotan seperti ini...”

Dewi Sekar tersenyum mendengar ucapan gurunya, kemudian menggoda gurunya “He...He...bukan kemampuan saya yang sudah meningkat, guru. Tapi guru yang sekarang sudah menjadi tua...he...he...”

Nini Gunting Pamungkas tertawa mendengar candaan muridnya

“He...he...bisa saja kamu Nyai, yaah meskipun guru sudah tua...dan peot...sudah menjadi nenek-nenek, tapi yang penting, guru masih tetap cantik, guru juga tidak kalah dengan Nyai, masih mampu kalau hanya mendapatkan seorang brondong he...he...”.

Dewi Sekar tertawa  geli melihat gurunya yang menjadi genit

“Ih guru koq jadi genit begini...he...he..., iya guru...guru memang cantik, belum peyot kayak nenek-nenek...he...he..., ya sudah atuh guru, saya mau pamit dulu...mau mandi...”

Nini Gunting Pamungkas mengiyakan Dewi Sekar untuk pergi mandi

“Iya mangga Nyai, silahkan kalau mau mandi mah, kalau guru masih ada urusan dulu...mau menemui ki buyut putih...”

Setelah mendapat izin gurunya, Dewi Sekar berjalan ke arah pemandian wanita yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berlatih. Namun baru saja Dewi Sekar berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya

Nyai...Nyai Dewi Sekar...Nyai..., tunggu Nyai...”

Dewi Sekar kemudian melirik ke arah suara tersebut, dilihatnya Raden Jaya Permana sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum, di belakangnya ada Dewi Tunjung Biru yang juga datang menghampirinya. Dewi Sekar terkejut melihat  Jaya Permana ada di sana

“Eh, kang Jaya Permana, maaf ada apa ya Kang?”

Raden Jaya Permana tersenyum manis kepada Dewi Sekar, kemudian dia berkata

“Sudah selesai latihannya, Nyai?”.

Dewi Sekar menganggukan kepalanya. Hatinya sebenarnya tidak suka berdekatan dengan Jaya Permana.

“Iya, kang. Sudah selesai”. Kata Dewi Sekar agak sedikit ketus.

Dewi Sekar melirik kepada Dewi Tunjung Biru

“Eh ada bibi, tumben atuh bibi datang ke sini, ada apa bi?.”

Dewi Tunjung Biru tersenyum kepada Dewi Sekar

“Wah, sekarang kamu sudah jadi pendekar hebat Nyai, he...he...”

Dewi Sekar tersipu malu di puji oleh bibinya tersebut, dia berkata dengan merendah 

Ah, biasa saja atuh bi, kemampuan saya teh masih kalah jauh kalau di banding kemampuan bibi...”

Dewi Tunjung Biru tertawa mendengar keponakannya yang merendah di hadapannya

“Iya, Nyai, tapi beneran koq. Menurut bibi, kemampuan kamu sekarang sudah meningkat pesat. Tadi bibi lihat, guru kamu saja sudah kewalahan dengan jurus-jurusmu. Oh ya Nyai, bibi teh sebenarnya datang menemui kamu karena mau ngasih tahu, bahwa nanti malam akan ada pertemuan para pendekar di kaki gunung Tampomas. Bibi lihat sudah banyak para pendekar yang datang kesana. Apakah nini gunting belum bercerita kepada Nyai?”.

Dewi Sekar tidak nampak terkejut mendengar informasi dari bibinya tersebut, kemudian dia berkata

“Beberapa waktu yang lalu guru sudah bercerita ke saya bahwa akan ada pertemuan para pendekar di sekitar gunung Tampomas, guru juga bercerita bahwa dia akan mendampingi Ki Buyut untuk memimpin pertemuan tersebut, tapi dia tidak memberitahu saya mengenai isi pertemuan itu, memangnya ada apa ya bi? Koq sepertinya ada masalah yang cukup serius”.

Belum sempat dewi tunjung menjawab pertanyaan keponakannya, tiba-tiba Raden Jaya permana sudah mendahuluinya

“Iya Nyai, pertemuan tersebut untuk membahas rencana kita menyerang markas ki jabrik yang ada di gunung Padang...Nyai ikut datang ya ke pertemuan nanti malam...”.

Dewi Tunjung biru mengiyakan pernyataan Pangeran Jaya Permana

“Iya Nyai, nanti malam kita memang akan membicarakan rencana penyerangan ke markas ki Jabrik, kebetulan mata-mata yang telah dikirim Ki Buyut Putih sudah  kembali, nah bibi datang menemui kamu teh, sebenarnya mau mengajak kamu menghadiri pertemuan tersebut, kebetulan pamam kamu, sedang pergi, jadi bibi sendirian... tolong temani bibi ya..He...he...”

Dewi Sekar  tersenyum mendengar ajakan bibinya

“Aah bibi mah suka maksa, ya sudah kalau begitu, Insya Allah saya temani bibi, tapi kalau tidak ada halangan ya bi....”.

 Dewi Tunjung biru senang mendengar jawaban Dewi Sekar yang bersedia menemaninya datang ke pertemuan para pendekar, demikian juga dengan Raden Jaya Permana.

Setelah itu, Dewi Sekar kembali berpamitan kepada Dewi Tunjung Biru dan Raden Jaya Permana untuk pergi mandi.

Malam itu bulan dan bintang tidak nampak, namun para pendekar aliran putih yang telah di undang ki buyut putih sudah berkumpul di pelataran tanah di bawah kaki gunung Tampomas. Jumlah mereka sangat banyak.

Banyak perguruan terkenal di tanah Pasundan yang menghadiri acara tersebut. Bahkan ada yang datang dari jauh seperti Perguruan Maung Karuhun dari Kampung Cikaret tempat asal Jaka Someh, ikut hadir dalam pertemuan tersebut. Ki Jaya Kusuma mengirimkan 3 murid andalannya untuk menghadiri acara tersebut. Sedangkan Dia sendiri dan beberapa murid lainnya masih dalam perjalanan menuju Gunung Padang. Udara pada malam itu begitu dingin serasa menusuk sampai ke tulang.

Cahaya obor terlihat banyak bertaburan di beberapa sudut pelataran, menerangi malam yang sedang gelap gulita. Para pendekar yang telah di undang oleh Ki Buyut Putih sudah banyak yang berkumpul, sebagian besar dari mereka duduk di atas tikar yang telah disiapkan oleh murid-murid padepokan ki buyut putih. Sedangkan beberapa pendekar dan tokoh senior seperti Raden Surya Atmaja dan yang lainnya, duduk di bangku-bangku kayu yang khusus disediakan untuk mereka.

Sambil menunggu acara di mulai, mereka asyik mengobrol dengan teman yang ada di dekatnya. Tidak lama kemudian, Ki Buyut Putih datang dengan didampingi para sesepuh pendekar lainnya, di antaranya ada kyai Sepuh Anom, dan Nini Gunting Pamungkas, mereka  berjalan beriringan dengan gagah. Setelah masing-masing duduk di bangkunya, Ki Buyut Putih berkata dengan suara yang lantang, menenangkan suara riuh para pendekar yang sedang mengobrol.

“Para pendekar yang terhormat....harap tenang...! Pertemuan akan segera di mulai...”

Mendengar suara lantang yang mengandung wibawa kepemimpinan dari ki buyut putih tersebut, para pendekar yang sedang asyik mengobrol pun langsung terdiam.

Suasananya menjadi hening, setelah itu, Ki Buyut Putih pun mulai membuka acara tersebut dengan mengucap salam dan terima kasih kepada semua yang telah hadir di acara tersebut “Assalamualaikum...para pendekar semuanya...sampurasun...pertama-tama...saya berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pendekar semua...karena telah sudi untuk hadir di acara kita ini...”

Suasana hening pun segera tergantikan lagi oleh suasana meriah setelah ucapan salam pembuka dari Ki Buyut Putih tadi. Beberapa hadirin ada yang menjawab salam Ki Buyut Putih dengan “Wa alaikum Salam...”,

Sedangkan sebagian yang lain menjawab dengan kata

“Rampess...” 

Ki Buyut Putih tersenyum dan kembali melanjutkan pidatonya kepada para pendekar

“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudari pendekar semua, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia persilatan kita telah mengalami banyak musibah. Yakni munculnya gerombolan penjahat yang telah memporak-porandakan perguruan silat di wilayah kita ini...telah banyak perguruan-perguruan silat yang telah dihancurkan oleh mereka.... Kita juga tahu bahwa gerombolan Ki Jabrik terdiri dari para pendekar sakti aliran hitam. Mereka juga sangat brutal dan sadis sehingga menyebabkan banyak korban, bukan hanya dari kalangan pendekar saja namun juga masyarakat umum.

Para pendekar semua...Meskipun mereka terdiri dari kumpulan para pendekar sakti, tentu saja kita tidak boleh menyerah begitu saja, untuk melawan mereka, apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, kekejaman mereka sudah semakin melampaui batas. Kita tidak boleh membiarkan kezaliman mereka. Mereka sekarang sudah banyak melakukan perampokan, penindasan, pemerkosaan, dan pembunuhan secara sadis terhadap masyarakat. Banyak laporan dari masyarakat kepada saya, bahwa anggota keluarga mereka yang telah di culik, dijadikan budak, bahkan banyak wanita yang diperkosa. Intinya sudah banyak masyarakat yang sudah menjadi korban kekejaman mereka. Untuk itu, kita sebagai pendekar mempunyai kewajiban untuk menghentikan kekejaman mereka tersebut...”.

Mendengar ucapan Ki Buyut Putih, suasana kembali menjadi ramai dan gaduh. Mereka saling berbeda pendapat. Ada yang setuju dengan ajakan Ki Buyut Putih untuk melawan gerombolan Ki Jabrik, namun banyak pula yang tidak setuju. Banyak dari mereka yang merasa sangsi untuk bisa mengalahkan gerombolan ki jabrik yang terkenal kejam dan kuat. Namun ada juga yang bersemangat untuk melawan gerombolan Ki Jabrik. Tidak peduli menang atau kalah, yang penting bagi mereka adalah dapat bertempur sepenuh hati, melawan segala kezaliman. Mereka rela dan siap berkorban meskipun dengan nyawa mereka sekalipun. Dewi Sekar dan keluarganya adalah termasuk diantara mereka itu.

“Tenang....tenang...tenang para pendekar semuanya....saya tahu...gerombolan ki Jabrik memang terdiri dari orang-orang sakti,  namun saya mengajak kalian semua,  melawan Ki Jabrik bukanlah tanpa dasar yang kuat alias hanya sekedar asal ngomong. Dalam setahun terakhir ini saya berhasil mengumpulkan banyak informasi yang berkaitan dengan pergerakan mereka, saya berhasil mengirimkan mata-mata untuk menyusup kedalam markas mereka, tujuannya adalah untuk mengawasi setiap gerak dan kelemahan mereka. Menurut informasi yang saya terima, telah terjadi perpecahan di antara mereka. Yang sekarang memimpin mereka bukan lagi Ki Jabrik, melainkan anak buahnya yang bernama Ki Anyar Malih. Ki Jabrik telah menghilang entah kemana. Ada yang mengatakan kalau dia tewas di khianati oleh Ki Anyar Malih, namun kabar tersebut masih harus kita teliti lebih dalam lagi....”.

Mendengar keterangan bahwa Ki Jabrik telah tewas dan digantikan oleh anak buahnya yang bernama Ki Anyar Malih, para pendekar yang tadi merasa sangsi mulai tumbuh rasa percaya dirinya. Mereka berpikir, tentu gerombolan Ki Jabrik sekarang dalam kondisi  yang lemah, karena pemimpinnya telah tewas di tikam oleh anak buahnya sendiri.

Suasana kembali menjadi riuh, salah seorang pendekar, bernama Darkasim dari perguruan Gagak Sakti, berkata dengan suara keras kepada Ki Buyut Putih

“Wah, Aki, kalau memang benar seperti itu, maka ini adalah saat yang tepat untuk menghancurkan musuh kita...saya yakin pemimpin mereka yang sekarang, tidak sesakti Ki Jabrik...dia hanya seorang pengecut licik yang beruntung bisa menikam Ki Jabrik dari belakang...”.

Yang lain pun banyak yang mengiyakan pendapat Darkasim tersebut. Mereka setuju untuk segera menghancurkan gerombolan Ki Jabrik yang masih tersisa.

“Iya...kami sebagai wakil dari perguruan Maung Karuhun juga setuju dengan pendapat saudara Darkasim dari Gagak sakti...saat ini, guru kami, Ki Jaya Kusuma dan beberapa murid lainnya sedang dalam perjalanan menuju gunung padang untuk membantu perjuangan saudara-saudara semua, yaitu menumpas gerombolan Ki Jabrik yang telah meresahkan masyarakat...” Kata Salah satu murid Ki Jaya Kusuma.

“Alhamdulillah, saya merasa senang dengan dukungan dan bantuan dari Ki jaya Kusuma, beliau adalah salah satu pendekar yang sangat di segani di tanah Pasundan ini....Dukungannya sangat berarti bagi kami...” Kata Ki Buyut Putih kepada murid dari Ki Jaya Kusuma

“Terima kasih, Kyai...” Jawab murid Ki Jaya Kusuma

Dewi Sekar melirik ke arah pendekar dari Perguruan Maung Karuhun, dalam hati dia berkata,

“Hmmm....jadi ini murid-murid dari perguruan yang dulu pernah menolak Kang Someh untuk belajar ilmu silat....Kasihan Kang Someh...”

Para pendekar sebenarnya tidak tahu kalau kemampuan Ki Anyar jauh di atas kemampuan Ki Jabrik. Bahkan sepeninggal Ki Jabrik, dia telah berhasil merekrut beberapa pendekar sakti lainnya seperti Ki Maung dan Ki Jalak Bodas, yang masih satu seperguruan  dengan Ki Tapa yang telah tewas.

Ki Buyut merasa senang melihat semangat dan kepercayaan diri mereka sudah tumbuh. Kemudian melanjutkan kembali pidatonya yang sempat terputus.

 “Alhamdulllah, kalau Ki Darkasim, Perguruan Maung Karuhun dan kawan-kawan semuanya yang lain, sudah siap dan bersemangat melawan musuh kita....Oh iya..., tentunya banyak diantara pendekar sekalian yang telah mengenal kehebatan Ki Tapa dan Nyi Sundel, dua dedengkot Ki Jabrik yang telah menggegerkan dunia persilatan beberapa waktu yang lalu, menurut informasi yang saya terima, mereka ternyata sudah tewas....”.

Mendengar kabar Ki Tapa dan Nyi Sundel sudah tewas, banyak pendekar yang merasa terkejut, walaupun beberapa dari mereka sebenarnya sudah sempat mendengar tentang rumor tersebut. Api semangat pun semakin berkobar di dada mereka, ingin segera menghancurkan musuh yang selama ini telah menjadi momok menakutkan.

Banyak dari mereka yang telah menyaksikan sepak terjang Ki Tapa dan Nyi Sundel. Tak ada yang menyangsikan tentang kehebatan dua orang itu. Yang telah menggegerkan dunia persilatan di tanah Pasundan. Bahkan Raden Surya atmaja, yang perguruannya terkenal hebat pernah dihancurkan oleh Ki Tapa.

Raden Surya Atmaja termasuk salah satu pendekar yang merasa terkejut ketika mendengar Ki Tapa telah tewas.

“Punten Aki, Apakah benar kabar itu teh? Bahwa Ki Tapa sudah tewas? Siapa pendekar hebat yang telah mengalahkan Ki Tapa?”

Ki Buyut putih tersenyum kepada Raden Surya atmaja

“Benar Raden, Ki Tapa dan Nyi Sundel memang telah tewas, saya sudah mengecek kebenaran beritanya, Menurut informasi yang saya dapatkan, Nyi Sundel tewas di tangan seorang pendekar sakti...sedangkan Ki Tapa mati karena bunuh diri setelah kalah bertarung dengan seorang pendekar yang mengalahkannya dengan mudah. Saya tidak tahu apakah pendekar yang telah membunuh mereka itu masih orang yang sama atau bukan. Sayangnya saya belum tahu dengan jelas, mengenai siapa pendekar misterius yang telah membunuh mereka itu. Apakah berasal dari aliran putih atau hitam. Namun saya sempat mendengar kabar tentang munculnya seorang pendekar sakti yang sempat menjadi buah bibir di tengah masyarakat, beberapa tahun yang lalu. Pendekar tersebut telah banyak membasmi gerombolan penjahat, termasuk membunuh Ki Bewok, ketua gerombolan rampok sadis dari leuweung Sukanagara.

Para hadirin menjadi ramai riuh, mendengar penjelasan Ki Buyut Putih. Mereka merasa kagum dengan kehebatan pendekar misterius yang telah mengalahkan Ki Tapa dan Nyi Sundel.

Darkasim kemudian berkata

“Betul Kata Kyai, saya sempat mendengar rumor tersebut, bahkan menurut rumor yang saya dengar, pendekar misterius itu membunuh Nyi Sundel hanya dengan satu pukulan ringan saja...”

Para hadirin bertambah kagum mendengar keterangan Darkasim. Merasa takjub dengan kesaktian pendekar misterius tersebut. Tak ada dari hadirin yang tidak merasa salut kepada pendekar misterius tersebut

“Wah...hebat...hebat...sungguh sakti sekali orang tersebut...Nyi Sundel yang sangat sakti seperti itu ternyata dapat di kalahkan hanya dengan satu pukulan saja oleh pendekar itu...benar-benar luar biasa...” Kata salah satu dari para pendekar.

Yang lain nya juga ikut mengomentari

“Iya betul, pendekar misterius tersebut memang luar biasa kesaktiannya...saya kagum...benar-benar kagum...ingin rasanya mencium tangan pendekar itu...”

Raden Surya Atmaja juga inkutmerasa kagum mendengar orang-orang membicarakan kesaktian pendekar misterius. Dia pun berkata

“Hebat sekali pendekar sakti ini, apakah kalian ada yang tahu siapa pendekar tersebut? kalau saja saya bertemu dengannya, saya akan memberi hormat dan mencium tangannya, sebagai rasa terima kasih karena telah membunuh orang yang telah memporak porandakan perguruan saya...”

Para pendekar menjadi riuh mendengar ucapan Raden Surya Atmaja. 

Raden Surya Atmaja tidak mengerti kalau sosok pendekar yang dia kagumi sebenarnya adalah menantunya sendiri, yakni  Jaka Someh. Orang yang dia remehkan dan dia benci karena kesederhanaannya. Tidak tahu apa jadinya kalau dia mengetahui tentang Jaka Someh yang sebenarnya.
Darkasim kemudian menjawab ucapan Raden Surya Atmaja

“Wah Raden, kalau kami tahu siapa pendekar sakti ini, pastinya kami juga akan memberi hormat kepadanya, bukan raden saja....sayangnya kami tidak tahu siapa sebenarnya pendekar misterius ini...”

Ki Buyut Putih tersenyum mendengar percakapan Raden Surrya Atmaja dan para pendekar

“Hmm...saya bersyukur ternyata para hadirin sekarang menjadi antusias, sudah memiliki semangat tinggi untuk menumpas kejahatan...meskipun kita tidak tahu siapa pendekar misterius yang membunuh Ki Tapa dan Nyi Sundel, semangat perjuangan kita harus tetap berkobar, Kita harus tetap berjuan meski tanpa bantuan dari pendekar misterius itu....”

Ki Sepuh Anom membenarkan perkataan Ki Buyut Putih.

“Iya, betul kyai. Kita tidak boleh menggantungkan bantuan pada orang yang masih misteri...”

Nini Gunting Pamungkas juga ikut berkomentar dengan ucapan Ki Sepuh Anom.

“Betul kata Kakang Anom, kita harus tetap semangat berjuang meski tanpa bantuan pendekar itu...rasanya kemampuan kita sudah cukup untuk membasmi sisa-sisa gerombolan Ki Jabrik”

Orang-orang masih ramai membicarakan sosok pendekar sakti yang misterius itu. Mereka semua merasa kagum dengan kehebatannya. Mereka ingin sekali menjumpai pendekar itu. Mereka penasaran dengan sosok misterius yang sekarang sedang hangat di bicarakan oleh para pendekar. 


Dewi Sekar tidak tahu, kalau orang yang sedang dibicarakan dan dikagumi oleh para pendekar sebenarnya adalah suaminya sendiri. Jaka Someh yang sederhana dan terlihat lugu. Lelaki yang telah diremehkan oleh ayahnya sendiri dan orang lain.
 Mendengar Nyi Sundel dan Ki Tapa sudah tewas, Dewi Sekar menjadi teringat dengan kejadian ketika sedang di kejaroleh  Nyi Sundel sampai lari ke bukit yang di tempati oleh Jaka Someh. Masih terbayang saat dia babak belur di siksa  Nyi Sundel sampai akhirnya pingsan. Ketika sadar, ternyata dia telah di rawat oleh Jaka Someh.

Teringat dengan Jaka Someh, Dewi Sekar menjadi mengenang kembali saat-saat bersama suaminya. Rasa rindu kembali menguasai jiwanya.

Lamunan Dewi Sekar terganggu saat hadirin berteriak menyatakan setuju untuk menyerang markas Ki Jabrik di gunung Padang

“Iya...setuju...Ki, ayo kita bantai gerombolan penjahat itu...!”

 Dewi Sekar kembali fokus mendengarkan pidato Ki Buyut Putih.

Ki Buyut Putih menyampaikan keinginannya menyerang markas Ki Jabrik, dalam waktu satu atau dua bulan ke depan.

Ki Buyut Putih kemudian meneruskan lagi pidatonya

“Para pendekar semua, nanti kita akan bagi dalam beberapa kelompok, kemudian kita pergi secara bertahap, jangan sekaligus dalam jumlah besar, supaya pergerakan kita lebih fleksibel, dan tidak membuat kepanikan di tengah masyarakat. Untuk masalah pembagian kelompok, nanti akan kita bahas kemudian...di pertemuan berikutnya...Mungkin untuk saat ini, saya cukupkan dahulu pertemuan ini, kita akan kembali melanjutkan pertemuannya minggu depan. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih...”.

Setelah pertemuan tersebut selesai, para pendekar bubar, sambil mengobrol dengan teman-temannya mereka pergi menuju ke tempatnya masing-masing. Dewi Sekar pulang ke tempat peristirahatannya, bersama Dewi Tunjung Biru dan Arya Rajah. Sedangkan ayahnya, Raden Jaya Permana masih menemani Ki Buyut Putih, mengobrol dengan para sesepuh pendekar lainnya.

Keesokan paginya.

Setelah melaksanakan shalat subuh, Dewi Sekar pergi ke puncak gunung untuk berlatih sendirian. Dia begitu bersemangat dalam melatih ilmu kanuragannya, apalagi sebentar lagi mereka berencana untuk menyerang markas Ki Jabrik. Setelah beberapa jam berlatih di tengah sinar matahari pagi yang masih hangat, Dewi Sekar memtuskan untuk beristirahat sejenak. Keringatnya mulai bercucuran,  Dewi Sekar  duduk di sebuah batu berukuran sedang,  kemudian memandang ke arah bawah gunung Tampomas. Pemandangannya begitu indah dan mendamaikan hati. Angin yang semilir pun menerpa wajahnya.

Sesaat kemudian Dewi Sekar terbuai oleh lamunan. Dia teringat dengan suaminya, Jaka Someh. Ingat dengan momen-momen saat mereka bersama. Waktu itu mereka sedang asyik menikmati pemandangan indah bulan purnama di atas gerobak sapi yang sedang berjalan. Mereka mengobrol dan bercengkrama.

Saat itu mereka baru saja menjadi pengantin baru. Dewi Sekar juga teringat dengan momen  saat dia menjahili suaminya saat berada di pinggir sungai. Waktu itu Dewi Sekar mendorong suaminya sehingga tercebur ke dalam sungai, kemudian dia lari dan mentertawakan Jaka Someh yang basah kuyup. Terlihat jelas wajah polos Jaka someh yang terkaget-kaget saat sadar dirinya tercebur ke dalam sungai. Wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Tiba-tiba lamunannya membuyar saat seseorang memanggilnya dari arah belakang

“Teh...teteh...eh teteh teh sedang apa di sini? Dari tadi saya mencari-cari teteh...”.

Dewi Sekar terperanjat adiknya sudah berdiri di belakangnya sambil melongo. Arya Raja heran dengan Kakaknya yang sedang duduk menyendiri di tempat yang sepi.

“Eh adik...Teteh kira siapa... anu....teteh barusan berlatih di sini...karena capek...maka istirahat dahulu sambil melihat pemandangan...”.

Arya Rajah tersenyum melihat kakaknya kaget kepergok sedang duduk menyendiri sambil melamun.

“Aah...si teteh mah, adik kira sedang apa...habisnya saya lihat teteh tadi senyum-senyum sendiri...he...he...”

Wajah Dewi Sekar menjadi merah, merasa malu dengan ucapan adiknya

“Oh tidak ada apa-apa koq adik, bisa saja kamu mah...teteh hanya sedikit teringat beberapa kenangan lucu...saja...sudah ah. Oh ya kamu kenapa mencari teteh?”.

Arya Rajah tersenyum dan kembali menggoda kakaknya

“He...he...emang ada kenangan apa yang membuat teteh bisa tersenyum sendiri? Apakah teteh sedang ingat dengan Kang Someh ya...? Wah...hebat teteh saya ini, masih tetap selalu setia kepada suami tercinta...Oh iya teh, tadi Rama  mencari teteh, sepertinya  ada hal penting yang ingin di sampaikan...”.

Mendengar ayahnya sedang mencarinya, Dewi Sekar sedikit merasa heran

Eh ada apa ya Adik...? Tidak biasanya Rama mencari saya. Apakah ada sesuatu hal yang serius...?”.

 Arya Rajah Menggelengkan kepalanya

“Tidak tahu, teh. Saya tidak tahu, sepertinya Rama mau menyampaikan sesuatu ke teteh...sebaiknya teteh segera menemui Rama saja atuh...”.

Dewi Sekar tersenyum kepada adiknya, dan berkata

“Ya sudah, kalau begitu, ayo kita pulang saja menemui Rama...”.

Mereka berjalan bersama menuju arah padepokan ki Buyut Putih, menuruni puncak gunung. Langkah mereka terkesan hati-hati saat menuruni jurang bebatuan yang curam. Tak memakan waktu lama, mereka sudah sampai di depan halaman padepokan.

Dewi Sekar segera menuju aula untuk menemui ayahnya. Di dalam aula tersebut ayahnya sedang duduk, sambil menikmati hidangan teh dan kue wajit buatan Bi Kesih, seorang wanita paruh baya,  juru masak padepokan.

Melihat Dewi Sekar datang, Raden Surya Atmaja langsung menyambutnya dengan riang “Eh...geulis..., Syukur Alhamdulillah kamu datang, dari tadi Rama mencari kamu...”

Dewi Sekar tersenyum hormat kepada ayahnya,

Iya...Rama... mohon maaf tadi Saya sedang berlatih silatpunten, Dik Arya mengatakan bahwa ada hal penting yang Rama mau sampaikan kepada Saya...?

Raden Surya Atmaja tertawa kecil, kemudian mempersilahkan anaknya duduk di dekatnya “He...He...Iya Nyai. Sok...atuh...ke sini...duduk dulu di sini dekat Rama...”

Dewi Sekar duduk di depan ayahnya. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang.  Kemudian Raden Surya atmaja menuangkan air teh dari teko perunggu ke dalam gelas kosong yang ada di dekatnya

“Sok Nyai, di minum dulu atuh minuman nya...!”.

Dewi Sekar mengikuti perintah ayahnya untuk meminum air teh yang ada di dalam gelas. Setelah itu, Raden Surya Atmaja membuka obrolannya.

“Sebenarnya tidak ada hal yang sangat serius, Rama hanya sekedar ingin mengobrol saja dengan Nyai...sudah lama kita tidak ngobrol ya...?

Raden Surya Atmaja terdiam beberapa saat.

Dia menghela nafas, kemudian kembali berkata dengan nada yang mulai serius

 “Hmmm...sebenarnya begini nyai...tadi bibi kamu, Dewi Tanjung Biru menyampaikan sesuatu kepada Rama, katanya keluarga Raden Jaya Permana ada itikad baik kepada Nyai....yaitu ingin mempersunting kamu....Jujur Rama merasa senang sekali mendengarnya, secara kamu sekarang sudah tidak memiliki suami lagi, Rama ingin kamu segera menikah kembali....tak baik kalau kamu menjanda terlalu lama...apalagi bisa menikah dengan Raden Jaya Permana...Seorang lelaki yang terpandang..”.

Dewi Sekar terperanjat mendengar ucapan ayahnya tersebut. Dia merasa bingung harus berkata apa kepada ayahnya.  

“Maksud Rama  bagaimana? Saya belum mengerti....”.

 Raden Surya Atmaja mengulangi lagi isi pembicaraannya

 “Begini Nyai, Rama ingin Kamu menikah dengan Raden Jaya Permana. Menurut Rama beliau adalah seorang lelaki idaman bagi para wanita...Dia Tampan dan gagah... berdarah ningrat...seorang yang kaya... rasanya bagi Rama, dia tidak memiliki kekurangan apapun untuk seorang lelaki...banyak gadis yang mengantri untuk mendapatkan cintanya...tapi semuanya dia tolak...justru dia memilih kamu, nyai. Putri Rama....kamu lah wanita yang beruntung itu”.

Dewi Sekar terdiam sesaat, setelah itu dia berkata dengan ucapan yang mengandung ketegasan

“Maaf Rama, Saya tidak punya perasaan apa-apa kepada Kang Jaya Permana...Mohon maaf sekali Rama, jujur Saya masih merasa terikat pernikahan dengan Kang Someh...Kami memang telah terpisahkan oleh suatu keadaan, namun status Saya masih istri syahnya Kang Someh, Saya belum menjanda, karena belum ada kata talak dalam pernikahan kami...Mohon Rama mengerti dengan perasaan Saya....Saya sekarang sedang memfokuskan diri saja pada berlatih kanuragan. Tidak mau memikirkan masalah yang lain dahulu, Apalagi dalam waktu dekat ini, kita akan pergi berperang melawan gerombolan Ki Jabrik...saya sendiri tidak tahu apakah dalam pertempuran nanti saya bisa selamat atau tidak...”

Raden Surya Atmaja merasa kecewa mendengar jawaban putrinya. Suasana kembali menjadi hening. Sama tegangnya. Keduanya terdiam dalam kebisuan.

Setelah beberapa saat kemudian, Raden Surya Atmaja mencoba menenangkan suasana percakapannya

“Ya sudah kalau memang itu keputusan kamu, Rama akan hargai, Rama hanya ingin kamu hidup bahagia, memiliki suami yang terhormat dan mulya, seperti Raden Jaya Permana. Tapi ternyata kamu berbeda pandangan dengan Rama. Hmm...Rama tidak mungkin memaksakan kehendak kepada kamu, karena sekarang kamu sudah dewasa. Hanya saja, Rama mohon bantuan kamu Nyai, nanti sore  Jaya Permana dan keluarganya akan berkunjung kemari untuk menyampaikan pinangan....tolong kamu hargai dan hormati mereka...tolong jangan bersikap kasar kepada mereka”.

 “Mangga rama, silahkan kalau Kang Jaya Permana dan keluarganya mau datang bersilaturahim ke sini...tentu harus kita hormati dan terima dengan baik, saya akan menghormati mereka...”. Raden Surya Atmaja menganggukan kepalanya,

“Terima Kasih nyai”

Dewi Sekar  menganggukan kepalanya, kemudian bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk pamit dari hadapan ayahnya

“Punten Rama, kalau boleh, saya mau pamit dulu, ingin istirahat di kamar....”.

Raden Surya Atmaja memepersilahkan Dewi Sekar untuk pergi ke kamarnya.

Sore harinya keluarga Raden Jaya Permana datang ke tempat Dewi Sekar. Raden Jaya Permana datang dengan didampingi oleh kakak kandungnya dan istri alamarhum kakak pertamanya, yaitu Nyi Ageung Cintanagara. Sedangkan dari pihak keluarga Dewi Sekar, selain ayah dan adiknya, hadir juga bibinya, Dewi Tunjung Biru. Kedatangan keluarga Jaya Permana di sambut hangat oleh Raden Surya Atmaja dan Dewi Tanjung Biru.

Dewi Sekar sendiri awalnya mengurung diri di dalam kamar, namun karena desakan ayahnya dia pun terpaksa menemui Jaya Permana dan keluarganya.

Meski berdandan seadanya, namun Dewi Sekar terlihat begitu cantik dan berwibawa. Tak henti-henti Raden Jaya Permana menatap wajah Dewi Sekar yang cantik mempesona. Dewi Sekar merasa kikuk dengan tatapan Raden Jaya Permana, hatinya merasa tidak senang. Wajah Dewi Sekar pun tertunduk.

Dalam pertemuan tersebut Dewi Sekar lebih banyak terdiam, hanya sesekali saja dia berkata secara singkat.  Di akhir pertemuan keluarga Jaya Permana secara resmi mengutarakan maksud dan kedatangan mereka kepada keluarga Dewi Sekar. Mereka datang untuk melamar Dewi Sekar agar bersedia menjadi istri Raden Jaya Permana. Raden Surya Atmaja nampak terlihat tegang, hatinya sebenarnya senang dengan lamaran dari keluarga Jaya Permana, namun dia tahu bahwa putrinya akan menolak lamaran itu. Dewi Tunjung Biru juga nampak tersenyum senang, dia membayangkan akan berbesanan dengan keluarga Jaya Permana.

Dewi Sekar terdiam karena bingung harus menjawab apa. Tak mungkin dia menerima lamaran itu, bukan karena alasan tidak memiliki perasaan suka kepada Jaya Permana...Namun karena dia masih memiliki ikatan pernikahan dengan Jaka Someh.  Apabila langsung menolak lamaran tersebut, tentu akan mempermalukan keluarganya. Melihat Dewi Sekar nampak bingung dan susah, Raden Surya Atmaja mencoba menengahi

Kalau memang kamu masih bingung untuk menjawabnya sekarang…tidak apa-apa kamu putuskan nanti saja nyai...”

Dewi Sekar berkata kepada ayah dan Jaya Permana

Terima kasih, Rama...” Dewi Sekar terdiam sebelum melanjutkan lagi ucapannya

“Hmmm, Kang Jaya Permana......Nyi Ageung, dengan segala kerendahan hati, Saya meminta maaf, anu...ehmmm...maaf saya belum bisa menjawab lamaran ini, anu...Saya sendiri sedang bingung, karena seperti yang Kang Jaya Permana ketahui, saya sudah menikah dengan Kang Someh. Karena sesuatu hal kami jadi terpisah. Saya memang tidak tahu apakah saat ini Kang Someh masih hidup atau sudah tidak ada, tapi saya merasa, sampai detik ini saya masih terikat oleh tali pernikahan itu...Mohon Kang Jaya Permana bisa mengerti keadaan Saya. Untuk saat ini saya masih belum mau memikirkan pernikahan dahulu...saya memilih untuk fokus pada latihan saya, untuk persiapan memerangi gerombolan Ki Jabrik nanti...punten...Kang... saya minta maaf...Mungkin suatu saat kalau segala sesuatunya telah menjadi jelas bagi saya,  saya bisa memutuskan jawabannya...”.

Mendengar jawaban dari Dewi Sekar yang berbelit-belit, namun jelas maksudnya adalah menolak lamaran Raden Jaya Permana dengan halus. Mereka merasa kecewa, terlebih lagi Raden Jaya Permana dan Dewi Tunjung Biru.

Jaya Permana kemudian berkata kepada Dewi Sekar  dengan nada yang tinggi, nadanya mengandung emosi

Nyai...coba dipikir lagi atuh...kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali ...memang Nyai teh masih mikir apa lagi atuh...? coba dipikir...kurang apa Saya teh bagi nyai...saya kaya dan seorang ningrat, bahkan saya juga seorang pendekar ksatria, berkebalikan dengan si Someh yang seorang gelandangan, bahkan ilmu silat saja dia tidak bisa. Banyak gadis cantik yang berebutan untuk mendapatkan cinta Saya.....haduuuh...nyai...akang heran dengan kamu....”

Dewi Sekar tertunduk, Ada perasaan marah, sedih dan malu yang berkecamuk dalam hatinya, dia khawatir karena telah mengecewakan ayahnya.

Ketika Raden Jaya Permana  hendak melanjutkan lagi kemarahannya kepada Dewi Sekar, tiba-tiba Nyi Ageung Cinta nagara langsung memotongnya “sudah...sudah...Jaya Permana, mungkin Dewi Sekar perlu waktu untuk berfikir dulu... Kamu tolong beri kesempatan Dewi Sekar, untuk berfikir lagi....”.

Dewi Sekar merasa sedih karena harus mengecewakan keluarga Jaya Permana. Dia juga merasa sedih karena telah mempermalukan keluarganya. Dia tak kuasa untuk meneteskan  air mata. Raden Jaya Permana yang melihat Dewi Sekar terlihat sedih, menjadi reda emosinya

Ya sudah...Nyai, kalau begitu akang minta maaf, akang tidak mau membuat kamu susah seperti ini...Kamu tidak usah sedih lagi ya...akang ikhlas untuk menunggu Nyai sampai kapan pun itu...”.

Dewi Sekar menyeka air matanya yang menetes di pipi kemudian berkata kepada Raden Jaya Permana

“Terima kasih Kang Jaya Permana...saya minta maaf...terima kasih atas kebaikan akang mau memaklumi keadaan saya...”.

Raden Jaya Permana meskipun hatinya sedih, marah dan kecewa karena telah di tolak oleh Dewi Sekar secara halus, namun berusaha untuk tetap tersenyum

“Iya...Nyai...tidak apa-apa...”.

Setelah itu, Dewi Sekar pun meminta ijin kepada ayah dan para tamunya untuk masuk ke dalam kamar. Ayahnya hanya bisa menganggukan kepala tanpa mengucap sepatah kata pun.

Di dalam kamar Dewi Sekar menangis karena merasa telah mengecewakan ayahnya. Tak lama kemudian Raden Jaya Permana dan keluarganya berpamitan kepada tuan rumah.

Hari-hari berikutnya, wajah Dewi Sekar selalu menampakan kesedihan. Dewi Sekar yang biasanya ceria, penuh semangat dan ramah ke setiap orang, sekarang terlihat murung dan kurang ceria. Tak banyak patah kata yang dia ucapkan dalam kesehariannya.

Perubahan sikap Dewi Sekar yang drastis membuat perasaan sedih dan maklum keluarganya. Mereka sedih karena melihat Dewi Sekar sudah tidak ceria lagi seperti biasanya. Meskipun demikian, mereka tidak mau terlalu dalam untuk mencampuri urusan pribadi Dewi Sekar.


Bersambung ke bab 56

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...