Untuk sementara kita tinggalkan Dewi Sekar dahulu, sekarang kita
kembali ke jaka Someh setelah di usir
oleh Raden Surya Atmaja dari gunung Tampomas. Dengan perasaan hampa Jaka
someh berjalan menuruni gunung tampomas, hatinya
dipenuhi oleh rasa kesedihan yang sangat mendalam.
Tak kuasa, Jaka Someh menangis menguraikan air mata
kesedihan mengingat istrinya yang meninggal secara tragis. Jatuh ke dasar jurang, bahkan jenazahnya pun tidak
diketahui rimbanya. Hatinya benar-benar telah di
kuasai oleh perasaan tak menentu,
hancur tidak karuan. Semangat hidupnya pun menjadi redup.
Meskipun demikian dia berusaha untuk tetap tegar dalam kehampaan.
Hanya butuh setengah hari, dia sudah
berada di kaki gunung tampomas. Dilihat sapinya sedang memakan rumput-rumputan.
Setelah membiarkan sapinya beristirahat sekian waktu, Jaka Someh kembali
menyiapkan gerobaknya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap, dia
pun segera pergi meninggalkan
gunung Tampomas dengan menggunakan gerobak sapinya.
Setelah
beberapa hari dia mengendarai
gerobak sapinya, waktu itu saat
hari menjelang sore, dia sampai di suatu tempat yang nampak ramai oleh warga
yang sedang berlalu lalang. Ternyata sekarang dia berada di pasar Kota Sumedang
larang yang sangat ramai.
Jaka Someh sedang asyik mengamati
keadaan sekitarnya, tiba-tiba terdengar keributan dari arah
selatan pasar. Orang-orang
berteriak keras terhadap seorang pencuri yang tertangkap oleh warga.
Jaka Someh merasa penasaran, dia pun turun
dari gerobak sapinya dan berjalan ke
arah keributan tersebut. Dia bertanya kepada
salah satu warga yang sedang ada di sana
“Ada apa ini kang, koq ramai sekali?”.
Lelaki itu menoleh kepada Jaka Someh dan berkata
“Anu kang, ada pencuri yang tertangkap...katanya sih mencuri makanan...pencurinya masih anak-anak..., saya
heran....kecil-kecil koq sudah jadi berandalan...”
Jaka Someh hanya diam mendengar
penjelasan lelaki itu. Ada perasaan
menelisik dalam
hatinya, dia pun mendekati asal keributan itu.
Dia menerobos diantara sela-sela
kerumunan manusia. Setelah berada di barisan paling depan, Jaka Someh melihat
seorang bocah sedang menangis karena
ketakutan. Usianya mungkin
sekitar 9 atau 10 tahunan. Tubuhnya begitu kurus seperti kekurangan gizi. Pakaian dan rambutnya tampak kumal tak terusrus. Tiba-tiba jaka
Someh teringat dengan anaknya, si Jalu. Hatinya pun menjadi iba kepada bocah
itu.
Wajah bocah itu nampak babak
belur dipukuli para preman pasar. Sebenarnya banyak warga yang merasa
iba dengan kondisi anak itu, namun apa
daya mereka juga takut dengan para preman pasar.
Bocah
itu berkali-kali meminta ampun kepada
Sarmin, preman yang telah menangkapnya. Dia
juga meminta maaf kepada Pak Juhadi pemilik warung makanan yang telah dia curi.
“Ampun...ampun...Pak...Maafkan Saya...Saya berjanji
tidak akan mencuri lagi...saya mencuri juga karena terpaksa...Saya Mohon ampun...tolong Pak...Lepaskan saya...Kasihani Saya...”
Salah satu anak buah Sarmin terlihat kesal mendengar rengekan si bocah, dia pun
langsung menjorokan kepala si bocah.
Bocah itu langsung tersungkur dan jatuh ke tanah,
tangisannya bertambah keras. Namun dia
segera bangun lagi dan berlutut di hadapan Sarmin
“Ampun pak...tolong ampuni saya...tolong
jangan pukuli saya lagi...”.
Melihat kondisi bocah itu, Jaka Someh semakin merasa iba, dia pun berniat untuk
menolong anak itu.
Ketika salah satu anak buah Sarmin akan
kembali menghajar anak itu, Jaka Someh langsung berteriak kepadanya
“Tahan...tahan pak, jangan sakiti anak
itu lagi...”
Abah sarmin dan anak buahnya langsung
menoleh ke arah Jaka Someh, secara bersamaan mereka berkata
“Kamu siapa? Mau jadi jagoan rupanya kamu? Berani-berani melarang kami menyiksa anak ini...
jangan-jangan kamu
komplotannya anak ini ya?”.
Jaka Someh yang mendengar bentakan kedua
orang itu, berusaha untuk tetap
tenang. Dia berusaha menenangkan Abah sarmin dan anak buahnya
“Tenang pak, saya minta maaf telah
mencampuri urusan ini, saya bukan komplotan anak ini, bahkan saya tidak kenal
dengan anak ini, Saya hanya tidak
tega saja, kebetulan Saya juga punya anak”.
Abah Sarmin yang masih belum bisa
menerima campur tangan jaka someh, berkata dengan kasar
“Kamu tahu tidak, anak itu sudah mencuri
di warungnya pak Juhadi, saya tidak terima kalau ada orang yang berbuat onar di
pasar ini, saya kepala keamanan di pasar ini...”
Abah Sarmin dengan bangga menyebutkan
dirinya sebagai kepala keamanan pasar.
Jaka Someh yang tidak ingin terlibat
keributan dengan Abah sarmin dan teman-temannya, berusaha mencari cara
“Tenang pak, sekali lagi saya minta
maaf, tidak ada maksud saya untuk melawan bapak, apalagi berani berbuat masalah
di pasar ini, namun biarlah saya mengganti kerugian yang diakibatkan oleh anak
ini, kebetulan saya masih ada sedikit uang simpanan...”.
Abah sarmin yang melihat Jaka Someh berkata sopan dan hormat
kepadanya, menjadi melunak
“Ya sudah, kalau kamu mau mengganti kerugiannya, kamu silahkan bertanya sendiri kepada pak Johadi”
Jaka Someh berkata kepada Pak
Johadi
“Bapak, Mohon maafkan Anak ini,
Biar semua kerugiannya Saya yang menanggung...”
Pak Johadi menganggukan kepalanya kepada Jaka Someh
“Iya Kang, Terima kasih...
harganya cuma 1 kepeng saja”.
Jaka Someh yang mendengar jawaban dari
pak Johadi, langsung mengeluarkan uang simpanannya yang ada di kantung dalam
bajunya. Diapun mengambil 2
kepeng, dan langsung diberikan ke abah sarmin dan Pak Johadi. Masing-masing 1 kepeng.
“Ini pak, mudah-mudahan ini cukup untuk
mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh anak ini”.
Abah Sarmin merasa senang menerima uang dari jaka Someh dan langsung tersenyum.
Dia berkata kepada Jaka Someh
“Nah...kalau begini kan enak...tidak
perlu saya menghajar anak ingusan itu lagi...”
Abah Sarmin kemudian berkata kepada
warga yang masih berkerumun di tempat itu
“Hey...sudah...bubar....bubar...”
Para warga langsung membubarkan diri, mereka khawatir
dimarahi oleh Abah Sarmin yang sangar.
Setelah warga bubar, Abah Sarmin berkata
kepada Jaka Someh
“Ya sudah, kang. Anak ini saya serahkan ke akang,
terserah akang mau apakan...saya sudah tidak peduli...”.
Setelah itu, Abah Sarmin dan anak buahnya
meninggalkan Jaka Someh dan anak itu.
Setelah semuanya pergi, Jaka Someh
segera menolong bocah itu,
dia membopongnya menuju gerobak sapi. Anak itu mengucapkan terima kasih kepada
Jaka Someh
“Terima Kasih, paman...telah menolong
saya”.
Jaka Someh terkejut mendengar anak itu
meneyebutnya dengan kata paman bukan dengan kata ‘Mamang atau Akang’.
Dari bahasa yang digunakan anak itu,
Jaka Someh menyangka bahwa anak memiliki
pendidikan yang baik, karena menggunakan tata bahasa seperti layaknya para
bangsawan.
Jaka Someh heran kenapa anak itu sampai berani mencuri makanan yang
nilainya tidak seberapa, namun untuk sementara waktu dia simpan rasa penasarannya tersebut.
Jaka Someh tersenyum kepada anak itu dan menganggukan kepala
“Iya, sama-sama, adik”.
Sebelum sampai digerobak, Jaka someh
menoleh kepada anak itu, dan
berkata
“Adik lapar ya? Tunggu sebentar, kita
makan dahulu di sana ya?”
Jaka someh menunjuk ke salah satu kedai
makanan yang nampak sepi dari
pengunjung. Anak itu menjawab Jaka Someh
“Tidak usah paman, sebenarnya saya
mencuri makanan itu bukan untuk saya, tapi...”.
Anak itu agak sedikit ragu untuk
meneruskan perkataannya, Jaka someh kemudian
berusaha untuk menebaknya
“Apakah... buat orang tua kamu ya adik?”
Anak itu menggelengkan kepala, sambil
berkata
“Bukan, paman, tapi....tapi buat adik
saya yang sedang sakit...sudah beberapa hari kami tidak makan”.
Jaka Someh agak terkejut, dia heran dan
sekaligus merasa kasihan dengan anak itu “Memangnya orang tua kamu dimana adik?”
Anak itu nampak sedih, setelah beberapa
saat, baru dia menjawab
pertanyaan Jaka Someh
“Rama saya sudah meninggal, Paman. Kalau ibunda entah ada
dimana? Kami terpisah ketika terjadi kerusuhan di rumah kami, Rama meninggal di
bunuh oleh segerombolan
penjahat, saya dan adik diculik oleh mereka.
Sedangkan Bunda dan beberapa anggota keluarga lainnya,
berhasil lari untuk
menyelamatkan diri...”
Jaka Someh semakin bertambah rasa ibanya, dia sedih dengan nasib
yang di alami anak itu, kemudian
bertanya
“Lo...Terus adik koq bisa sampai ada di sini, apakah kamu
berhasil kabur dari mereka?”
Anak itu sedikit menghela nafas
“Sebenarnya saya dan adik, dilepaskan
oleh pemimpin gerombolan itu, ternyata dia
tidak tahu kalau kami di culik oleh anak buahnya,
kami di titipkan ke warga
yang ditemui di jalan, pemimpin itu meminta warga itu mengantarkan kami kembali
ke rumah, bahkan dia memberikan
kami uang, untuk bekal perjalanan pulang, namun sayangnya warga itu ternyata
tidak amanah, dia meninggalkan kami di sini, bahkan uang kami pun di
ambilnya...”.
Jaka Someh menjadi terharu mendengar
cerita anak itu,
“Ya sudah, nanti paman akan antarkan
kamu dan adikmu kembali kerumah...sekarang kita temui adikmu dulu, katanya
sedang sakit...”
Anak itu mengiyakan Jaka Someh
“Iya paman, mari...”
Sebelum berangkat, jaka Someh menyempatkan
membeli makanan untuk mereka bertiga. Setelah itu dia mempersilahkan anak itu
naik ke atas gerobak sapi
“Ayo dik, naik...oh ya nama kamu siapa? He...he...dari
tadi kita mengobrol tapi belum saling kenal...Nama paman adalah Jaka Someh...kamu
boleh memanggil saya dengan Paman Jaka atau Paman Someh....terserah adik, mau
memanggil apa...”
Anak itu balas memperkenalkan dirinya kepada jaka Someh
“Nama saya Purba Anom, paman, kalau adik
saya bernama Dewi Intan...”.
Jaka Someh tersenyum kepada Purba Anom,
kemudian mereka berangkat menuju tempat Dewi Intan.
Tak lama kemudian, mereka sampai di
suatu tempat, berupa bangunan tua
yang kosong. Purba Anom langsung masuk ke dalam
bangunan itu dan
diikuti oleh Jaka Someh. Di sana ada Dewi
Intan sedang menggigil karena demam yang sedang di deritanya. Wajahnya pucat dan layu. Tubuh Dewi Intan juga terlihat kurus karena kurang asupan makanan. Jaka Someh,
langsung memegang kening Dewi Intan untuk memeriksa kondisi, lalu dia berkata
kepada Purba Anom
“Tubuhnya panas, adikmu sepertinya sedang mengalami
demam, biar paman buatkan obat dahulu... kamu jaga adikmu dulu ya...”
Jaka Someh kemudian pergi ke gerobak
sapinya untuk mengambil kotak obat. Dia mengambil beberapa lembar daun
meniran dan daun dewa, kemudian dia
meraciknya, dan
meminumkannya ke Dewi Intan.
Dengan telaten, dia mengompres kening
Dewi Intan, untuk menurunkan suhu tubuh yang sudah tinggi. Setelah kondisi Dewi
Intan sudah mulai stabil, Jaka Someh menyuruh Purba Anom untuk makan
“Paman sampai lupa, kamu belum makan,
sekarang kamu makan dulu ya...biar tidak sakit seperti adikmu...”
Purba Anom yang sudah lapar semenjak
tadi pun langsung melahap makanannya.
Jaka Someh hanya melihatnya, dalam hati dia bersyukur bisa menolong kedua kakak
beradik itu.
Keesokan hari, tubuh dewi Intan sudah
mulai stabil, panas tubuhnya sudah normal kembali. Dia melihat ke arah Jaka
Someh, lalu bertanya
“Paman,
siapa?”.
Jaka Someh tersenyum melihat Dewi Intan
sudah mulai sembuh, ada perasaan senang melihat
usahanya berhasil,
Jaka Someh
menjawab pertanyaan Dewi Intan
“Nama paman adalah Jaka Someh, adik cantik...”
Purba Anom yang sudah bangun pun ikut
nimbrung, kemudian bercerita kepada adiknya, menceritakan pengalamannya bertemu dengan Jaka
Someh. Dewi Intan tersenyum kepada Jaka Someh, lalu dia berkata
“Terima kasih paman, sudah menolong kami...”
Jaka Someh menganggukan kepalanya dan
tersenyum
“Iya, cantik...sama-sama”.
Setelah itu Jaka Someh membuatkan bubur
untuk Dewi Intan, dan meminta Purba Anom untuk menyuapi adiknya.
Setelah tiga hari, kesehatan Dewi Intan
sudah benar-benar pulih, dia sudah bisa bercengkrama dengan kakaknya, Purba
Anom.
Jaka Someh senang bisa melihat kedua
kakak beradik itu sudah kembali bersukaria. Dia tersenyum. Hatinya sedikit terobati setelah melihat kedua bocah itu. Perasaan hampa karena kehilangan istri tercinta sedikit terhibur oleh keberadaan anak-anak itu.
Hari itu Jaka Someh mengajak Purba Anom
untuk menangkap ikan di sungai yang letaknya tidak jauh dari bangunan tua. Purba Anom merasa gembira mendapat ajakan
Jaka Someh. Setelah membuat
tombak dari kayu, mereka segera
berangkat ke arah sungai.
Sedangkan dewi Intan menunggu di dalam bangunan tua.
Di Sungai, Jaka Someh mengajarkan Purba
Anom beberapa teknik untuk menombak. Purba Anom senang mendapat pelajaran
berburu dari jaka someh.
Jaka Someh dengan mahirnya menombak
beberapa ikan yang berukuran besar. Setelah merasa cukup dengan hasil
tangkapannya, mereka kembali pulang ke bangunan tua. Mereka membersihkan
ikan-ikan dan memanggangnya
dalam perapian.
Hari itu mereka berpesta makan ikan bakar.
Setelah satu minggu, Jaka Someh berniat
untuk mengantarkan Purba anom dan adiknya kembali ke rumah mereka yang berada
di wilayah Galuh, Jaka Someh berkata kepada Purba Anom dan Dewi Intan
“Besok pagi, paman akan antarkan kalian,
untuk pulang ke rumah..., sekarang kalian istirahat yang banyak”.
Purba Anom dan Dewi Intan merasa senang
mendengar perkataan Jaka Someh, mereka sudah rindu dengan kedua orang tua
mereka, meskipun tahu bahwa ayahanda mereka sudah meninggal.
Teringat dengan ayahnya yang sudah
meninggal, Purba Anom kembali menjadi sedih, Jaka Someh yang melihat perubahan
di wajah Purba Anom bertanya
“Kenapa Purba, koq kelihatan sedih?”.
Purba Anom menjawab pertanyaan Jaka
Someh
“Saya teringat dengan Rama saya, paman.
Beliau tewas terbunuh
oleh pendekar tua yang sangat sakti,
bahkan beliau mati dihadapan
saya”.
Jaka Someh berusaha menghibur Purba Anom
dan Dewi Intan
“Sabar ya, paman tahu kalian tentunya
merasa sedih dengan kematian ayah kalian...tapi kalian harus ikhlas...karena
semuanya sudah menjadi ketentuan
dari Yang Maha Kuasa...semuanya pasti ada hikmahnya...tapi kalian masih bisa bersyukur karena
masih punya Bunda yang merawat kalian”.
Purba Anom tersenyum mendengar nasehat jaka
Someh, meskipun hatinya masih sedih
“Iya, paman, saya sudah ikhlas koq...!”
Jaka Someh berangkat mengantar kedua bocah itu kembali ke rumahnya yang ada
di wilayah bekas kerajaan Galuh.
Lima harian mereka
berjalan dengan menggunakan gerobak sapi, akhirnya mereka sampai juga di perbatasan wilayah
galuh.
Ada yang berbeda dengan keadaan Galuh pada waktu itu. Tempat
itu sudah dikuasai oleh gerombolan Ki Jabrik.
Bahkan Ki
Tapa, telah menjadikan tempat kediaman Purba anom sebagai markas mereka. Banyak Masyarakat yang menderita akibat perbuatan mereka.
Sebagian ada yang di bunuh sedangkan yang masih hidup,
hidup dalam ketakutan. Mereka harus memberikan upeti yang besar kepada Ki Tapa
dan anak buahnya.
Ketika gerobak Jaka someh memasuki
wilayah perbatasan galuh, mereka langsung
di hadang oleh anak buah Ki Tapa.
Ada 20 orang bersenjatakan golok yang siap mengancam mereka. Jaka someh masih kelihatan tenang,
sedangkan purba anom dan dewi intan merasa
sangat ketakutan. Purba anom berkata kepada
jaka someh dengan suara bergetar ketakutan,
“Paman, bagaimana ini...? Lebih baik
kita menyerah saja, daripada di bunuh mereka...”
Jaka Someh menenangkan Purba Anom
“Tenang, purba. Biar paman atasi masalah
ini...”
Jaka Someh turun dari gerobaknya, dan tersenyum ramah kepada
mereka
“Maaf
akang-akang, ada apa ini...? Kami hanya mau numpang lewat...Semoga akang semua
berkenan mengijinkan kami...”
Salah seorang yang paling sangar membentak kepada Jaka Someh
“Hey
Kamu....Kalau kamu mau lewat sini, kamu harus
bayar upeti kepada kami”.
Jaka Someh kemudian bertanya kepada orang itu
“Maaf
akang, saya tidak tahu kalau ada peraturan seperti itu, berapa saya harus
membayar kepada akang?”.
Lelaki itu pun menjawab pertanyaan Jaka
Someh
“Kamu bayar dengan semua barang yang
kamu miliki, termasuk sapi,
dan semua harta benda yang ada di gerobak itu...”
Jaka Someh tertawa mendengar perkataan
lelaki itu
“He...he...Akang ini bercanda...tidak bisa atuh akang, kalau saya
serahkan gerobak ini, terus kami harus naik apa atuh, lagian ini kan jalan umum...tidak ada peraturannya kalau kami harus membayar...”.
Mendengar Jaka Someh tertawa dan menolak
memberikan harta bendanya, mereka
tertawa, kemudian membentak jaka Someh
“Ha...ha...dungu, apakah kamu mencari
mati...! Apakah kamu tidak tahu siapa kami? Kami adalah anggota dari gerombolan
Ki Jabrik yang kejam dan paling ditakuti di wilayah ini...” Purba Anom dan dewi
Intan bertambah pucat wajahnya. Mereka takut mendengar ancaman anak buah Ki
Tapa.
Jaka Someh yang mendengar ancaman mereka, bukannya takut, justru tertawa dan meledek mereka
“He...he...akang ini bisa saja.
Jangan cepat marah begitu atuh kang, nanti bisa cepat mati...kang...”
Lelaki itu menjadi emosi karena
diremehkan oleh
jaka someh. Dia
berteriak keras dan bersiap membunuh Jaka Someh
“Kurang ajar, sudah bosan hidup rupanya
kamu ini, baiklah.. saya kirim kamu ke neraka, rasakan nih...golok saya...”.
Tanpa banyak kata-kata mereka langsung
menyerang Jaka Someh yang masih berdiri dengan tenang. Purba Anom tak tega kalau melihat Jaka Someh terbunuh, dia langsung memejamkan matanya.
Di serang oleh anak buah Ki Tapa yang
berjumlah 20 orang dengan bersenjata
golok, Jaka Someh justru berjalan ke depan dengan santai. Ketika salah satu
golok sudah hampir sampai ke lehernya, dia menyambutnya dengan tangkisan kilat
ke arah pergelangan tangan lawannya.
Prak...!!! Suara benturan keras antara
pergelangan tangan Jaka Someh yang mengadu dengan pergelangan tangan anak buah
Ki tapa terdengar begitu keras, yang di susul suara kesakitan dari anak buah Ki
tapa yang tulang tangannya telah patah,
“Waaw, aduuh...”
Goloknya terjatuh, dan langsung di ambil oleh
Jaka someh dengan cepatnya, kemudian golok itu langsung di babatkan ke beberapa
anak buah ki Tapa yang lainnya, yang berada dekat dengan Jaka Someh.
Breet...!!. Darah pun bercucuran dari paha
dan tangan mereka. Ada 6 orang yang terkena sabetan golok Jaka Someh. Jaka Someh memang tidak berniat membunuh mereka, hanya
melukai dan melumpuhkan lawannya saja.
Betapa kaget lelaki yang sangar tadi,
yaitu lelaki yang pertama kali sesumbar mengancam Jaka Someh. Dia tidak
menyangka kalau Jaka someh dapat mencelakai
teman-temannya dengan sangat mudah dan cepat. Belum habis rasa kagetnya
terhadap kemampuan silat jaka Someh yang lihay, diapun langsung berteriak
dengan kerasnya, terkena pukulan
Jaka Someh yang kilat. Kecepatan gerak Jaka
Someh tak mampu dia ikuti.
Orang itu pun langsung terkapar, diikuti
oleh 7 orang lainnya yang ikut ambruk terkena sabetan dan pukulan Jaka Someh. Mereka semuanya pingsan.
Tinggal sisa Lima orang dari anak buah Ki tapa
yang masih sadar.
Mereka tampak tertegun, hati mereka tiba-tiba menjadi ciut, keringat dingin
nampak keluar dari kening dan leher mereka, kaki merekapun nampak gemetaran.
Mereka merasa ketakutan yang luar biasa,
setelah melihat kemampuan Jaka Someh yang hebat, baru pertama kali inilah
mereka melihat orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam ilmu silat.
Salah satu dari mereka berlutut di
hadapan Jaka Someh meminta ampun
“Ampun...ampun...tuan pendekar...tolong
ampuni saya”.
Jaka Someh yang melihat orang itu sudah
meminta ampun, langsung memeganginya
“Sudah...sudah...kang, bangun. Saya
sudah mengampuni akang, silahkan berdiri. Akang boleh pergi, sekarang “.
Lelaki itu pun langsung mengucapkan
terima kasih kepada jaka Someh yang sudah melepaskannya
“Terima kasih tuan pendekar...saya mohon
maaf telah mengganggu tuan...”
Lelaki itu
langsung lari menjauh dari jaka Someh, diikuti oleh 4 orang temannya yang lain.
Setelah mereka pergi, jaka Someh kembali ke gerobak sapinya.
Betapa terkejutnya Purba Anom dan Dewi
Intan setelah mengetahui bahwa Jaka Someh adalah seorang pendekar hebat yang
telah mengalahkan anak buah Ki Tapa
dengan sangat mudahnya.
Dewi Intan yang pertama berbicara ke
Jaka Someh
“Hebat....paman someh, paman benar-benar
hebat...saya bangga punya paman seorang pendekar hebat...”
Jaka Someh hanya tersenyum mendengar pujian Dewi
Intan. Purba anom masih belum berkata apa-apa, dia benar-benar merasa shock
melihat pertarungan Jaka Someh melawan anak buah Ki Tapa tadi. Setelah jiwanya
sudah mulai stabil, dia berkata kepada Jaka Someh
“Paman
someh, kenapa tidak bilang kalau paman adalah seorang pendekar...saya
benar-benar tidak menyangka kalau paman ternyata seorang pendekar, tolong ajari
saya ilmu silat paman...”.
Jaka Someh tersenyum kepada Purba Anom
“Iya, Insya Allah nanti paman ajari kalian dengan ilmu silat yang pernah
paman pelajari”.
Dewi Intan pun bersorak mendengar
perkataan jaka Someh
“Hore..., terima kasih, paman someh...”.
Jaka Someh hanya menganggukan kepala. Setelah
itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah peninggalan ayah Purba
anom.
Ketika sampai di depan gerbang kediaman
keluarga Purba Anom yang nampak megah, tiba-tiba ada suara orang berteriak
begitu keras dari dalam pendapa rumah
“Aki...Ki Tapa...itu...itu dia...Orang
yang telah mengalahkan Ki Darba dan yang lainnya...cepat Ki...”
Ternyata orang yang berteriak itu adalah
salah satu anak buah Ki Tapa yang tadi ikut
lari dari Jaka Someh. Tak lama kemudian, keluarlah
seorang lelaki tua yang badannya begitu gempal dan kekar, berpakaian pangsi
serba hitam. Lelaki itu meski sudah tua namun gerakannya masih terlihat gesit
dan berbobot, dia lah Ki tapa salah satu pendekar aliran hitam yang memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi. Sang Jawara
Pilih Tanding. Dia berjalan dengan gagahnya
menyambut Jaka Someh
“Ha...ha...tidak perlu susah-susah
mencari...kamu malah datang menuju kuburanmu sendiri”. Jaka Someh tertawa
ringan sambil memandang Ki Tapa, kemudian mengejek
Ki tapa untuk memainkan emosinya
“He...he...ini rupanya kakek tua yang
bernama Ki Tapa, sudah peot dan ubanan tapi masih merasa sok jagoan...”.
Ki Tapa yang merasa di remehkan Jaka Someh langsung berubah mukanya menjadi
merah padam karena sangat
marah
“Kurang
ajar kamu bocah...sudah bosan hidup rupanya kamu ini...baru bisa beberapa jurus
saja sudah belagu”.
Jaka someh mendengar ucapan Ki Tapa hanya
membalasnya dengan tersenyum, dalam hati dia berkata
“Ini
rupanya salah satu jagoannya Ki jabrik yang telah meluluh lantakan perguruan
Pusaka Karuhun, perguruan ayahnya Dewi
Sekar...saya harus hati-hati menghadapinya”.
Ki Tapa yang melihat Jaka Someh telah
berdiri dihadapannya dengan sikap yang tenang, berkata dalam hatinya
“Siapa orang ini...sikapnya nampak
tenang...sepertinya dia bukan pendekar sembarangan...Saya menjadi penasaran...”
Beberapa anak buah Ki Tapa segera
mengepung Jaka Someh. Setelah Ki Tapa memberi aba-aba mereka segera menyerang Jaka
Someh dengan berbagai senjata yang ada ditangannya masing-masing.
Mendapat serangan dari berbagai arah,
Jaka Someh hanya egos dan menghindar secukupnya,
kemudian dia membalas dengan pukulan
ringan dan jurus kepretan.
Meskipun pukulannya nampak pelan, namun tak ayal membuat beberapa anak buah Ki
Tapa langsung berjatuhan. Ada
yang memegang perut, kepala dan dada mereka.
Beberapa yang lain juga di robohkan Jaka
Someh dengan menggunakan jurus tarikan dan dorongan.
Melihat anak buahnya dengan mudah
dirobohkan oleh jaka someh, Ki Tapa langsung melompat dan menyerang lawannya dengan jurus pukulan, ke arah kepala Jaka
Someh. Mendapat serangan cepat dari Ki Tapa, jaka Someh berusaha menghindar
dengan cara merundukan kepalanya.
Setelah serangannya berhasil di hindari
oleh jaka Someh, Ki Tapa langsung melanjutkan serangan mautnya dengan
jurus-jurus andalannya. Serangannya begitu gencar dan dahsyat, sampai-sampai tembok
batu yang ada di gapura halaman rumah juga ikut hancur terkena serangan Ki
Tapa. Terdapat hawa panas dalam jurus-jurus yang dilancarkan Ki Tapa,
menandakan jurusnya tersebut mengandung tenaga dalam yang tinggi. Melihat
kekuatan Ki Tapa yang hebat jaka Someh langsung berlari ke arah lapangan luas
yang ada di dekat rumah keluarga Purba Anom, untuk menghindari kerusakan
bangunan yang lebih parah lagi.
Ki Tapa langsung mengikuti Jaka Someh ke
tempat lapang tersebut. Mereka saling
berhadapan di tanah lapang, dan segera melanjutkan
pertarungan.
Ki Tapa menyerang Jaka Someh dengan
jurus-jurusnya yang cepat dan kuat. Meskipun serangan Ki tapa begitu cepat dan
kuat, namun Jaka Someh tidak merasa
kewalahan sedikitpun juga menghadapi serangan-serangan tersebut,
bahkan terkesan meledek dengan melakukan berbagai gerakan
yang nampak ringan. Beberapa pohon yang berada di
sekitar lapangan banyak yang roboh terkena serangan Ki Tapa. Suasananya tampak
begitu kacau balau terkena serangan
kuat dari Ki Tapa.
Setelah sekian lama Ki tapa melancarkan
jurus-jurus mautnya, Jaka Someh masih tetap dapat berdiri dengan gagahnya. Tak
sedikitpun rasa lelah nampak di wajahnya. Sedangkan Ki Tapa terlihat sudah
merasa payah akibat tenaganya yang terkuras dalam pertarungan, nafasnya sudah
terlihat ngos-ngosan.
Merasa putus asa karena belum mampu
merobohkan Jaka Someh, Ki Tapa segera mengambil ancang-ancang untuk menggunakan
jurus pamungkasnya, jurus naga geni. Dia langsung memejamkan mata sambil
bibirnya berkomat
kamit merapalkan mantra-mantra.
Jaka Someh yang melihat sikap Ki Tapa seperti
itu, mulai mengatur pernafasannya, dia pun menggunakan jurus barunya, jurus
ilalang melawan badai. Jaka Someh
memanjatkan doa kepada yang maha Kuasa untuk memohon perlindungan dari segala
marabahaya
“Bismillahi tawakaltu alallahu, la haula
wala quwwata illa billah...”.
Sesaat kemudian, Ki Tapa langsung
menyerang dengan melompat ke arah jaka Someh menggunakan kedua telapak tangannya mengarah ke tubuh Jaka Someh,
hawa panas langsung menerpa jaka Someh. Namun hawa panas itu mampu di serap
oleh jaka Someh dan di salurkan
ke dalam bumi. Tiba-tiba
kedua tangan Ki Tapa di tangkap oleh jaka Someh dan langsung di banting dengan
keras. Bantingannya begitu keras dan dahsyat, Ki Tapa langsung ambruk ke tanah dengan kerasnya,
badannya terasa remuk. Dia merasakan payah
yang amat sangat.
Meskipun sudah merasa payah, Ki tapa masih tetap berusaha untuk bangkit lagi. Namun upayanya gagal, dia kembali ambruk. Rupanya
beberapa sarafnya telah mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga mengalami
kelumpuhan. Hatinya mulai berputus asa. Tak menyangka dia dapat dikalahkan oleh
Jaka Someh dengan mudahnya. Tubuhnya sekarang terasa remuk dan lemah. Hanya tangannya
saja yang masih mampu dia gerakan.
“Kamu...”
Ki Tapa menunjuk ke arah Jaka
Someh
“Sudah Ki Tapa, kita sudahi
pertarungan ini, Bertaubatlah Ki Tapa, jangan berbuat kejahatan lagi...” Kata
Jaka Someh
“Kamu...dasar bajingan, tak
sudi saya takluk kepada bocah ingusan seperti kamu lebih baik saya mati dengan
tangan saya sendiri....”
Sesaat setelah dia menolak
ajakan ajakan Jaka Someh untuk bertaubat, Ki Tapa langsung memukul kepala nya
dengan tangannya sendiri. Tangan yang sudah di isi oleh tenaga dalam yang
hebat.
‘Prak’ dari kepalanya keluar
darah segar. Ki Tapa sempat mengalami sekaratul maut sebelum akhirnya tewas di
tangannya sendiri. Matanya masih melotot memandang ke arah Jaka Someh.
Jaka Someh hanya mampu
menggelengkan kepalanya, menyesali kematian sia-sia Ki Tapa yang bunuh diri
karena tak sudi dikalahkan olehnya. Sifat sombong dan kerasnya hati telah
membutakannya dari mensyukuri nikmat kehidupan yang telah di anugrahkan oleh
yang maha kuasa. Kebodohannya telah membuat jiwanya berputus asa. Putus asa
dari Rahmat Tuhan Seluruh Alam. Dia tidak tahu, bahwa setelah mati bakal ada
kehidupan yang lain. Kehidupan untuk mempertanggungjawabkan segala amal
perbuatannya selama hidup di dunia.
Melihat Ki Tapa sudah tewas, anak
buahnya pun langsung berlarian kabur meninggalkan tempat itu, takut menjadi
korban kemarahan jaka Someh. Jaka Someh
membiarkan mereka untuk berlarian.
Purba Anom dan Dewi Intan
merasa senang melihat Jaka Someh telah berhasil mengalahkan Ki Tapa, mereka
langsung memeluk Jaka Someh.
Setelah keadaan sudah menjadi normal
Jaka Someh bersama Purba Anom dan Dewi Intan masuk ke dalam rumah yang sudah di
tinggalkan oleh anak buah Ki tapa.
Purba Anom merasa sedih melihat kondisi
rumahnya yang sudah kosong tidak berpenghuni lagi. Ayahnya sudah meninggal, ibu
dan anggota keluarganya yang lain entah ada di mana, apakah masih hidup atau
sudah meninggal. Air matanya pun mengalir membasahi pipi. Purba Anom kemudian berkata
kepada Jaka someh
“Paman Someh, saya tidak kuasa untuk
tinggal di rumah ini lagi, Banyak kenangan indah dan kenangan pahit yang ada di rumah ini, mungkin lebih
baik saya tidak tinggal lagi di rumah ini, saya ingin ikut, kemanapun paman
pergi...”.
Jaka Someh ikut merasakan kesedihan
Purba Anom dan Dewi Intan, dia langsung merangkul mereka berdua
“Sabar ya, Purba. Paman berharap kamu
dapat segera melupakan kenangan pahit yang pernah kalian jumpai saat ayah
kalian meninggal di sini, mengenai ibu kalian, paman berharap beliau masih
dalam keadaan hidup, nanti coba paman tanyakan ke beberapa penduduk di sini,
barangkali saja mereka ada yang tahu keberadaan ibu kalian...sekarang sebaiknya
kita tinggalkan saja tempat ini...”.
Purba Anom dan dewi Intan pun mengiyakan
Jaka Someh
“Iya, paman. Mari kita pergi dari
sini...”
Mereka bertiga pun segera keluar dari
rumah itu.
Di luar ternyata banyak sekali warga
yang berdatangan ke rumah peninggalan alamarhum Raden Purba Sora. Para warga
ternyata sudah tahu bahwa Ki tapa sudah tewas dikalahkan oleh Jaka someh.
Jaka Someh sendiri tidak menyadari ternyata banyak warga yang menyaksikan pertarungannya
dengan Ki Tapa, meski menyaksikan dari jarak yang jauh.
Mereka merasa takjub melihat kehebatan
dua pendekar pilih tanding yang sedang bertarung. Bagi mereka itu adalah momen
yang langka, bisa melihat pertarungan dahsyat dari dua pendekar sakti.
Terlebih lagi setelah melihat
jaka Someh dapat mengalahkan Ki tapa yang selama ini telah menghantui mereka.
Untuk itulah mereka mendatangi rumah raden Purbasora, untuk menemui Jaka Someh yang
telah membebaskan mereka dari Ki tapa dan anak buahnya.
Melihat jaka Someh keluar dari rumah,
mereka langsung berebutan menyalami Jaka Someh. Salah satu dari mereka,
mengucapkan terima kasih kepada Jaka someh,
“Tuan Pendekar, terima kasih
banyak...tuan sudah membebaskan kami dari Ki Tapa dan anak buahnya...saya
Jauhari, kepala kampung di sini, mewakili warga di sini, mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya
kepada tuan pendekar”.
Jaka someh merasa geli mendengar dirinya
di sanjung dengan sebutan tuan pendekar oleh bapak kepala kampung, dia pun
tertawa dan berkata kepada pak jauhari
“Aduh bapak, jangan panggil saya tuan
pendekar segala atuh...he...he...nama saya teh Jaka Someh, bapak dan para warga
semua dapat memanggil saya, Someh, Omeh atau akang saja, mangga
silahkan...he...he...”.
Pak kepala kampung tersenyum ramah
kepada jaka Someh
“Baik, euuh...Eehh...Kang, sekali lagi
kami mengucapkan terima kasih pada akang...”
Jaka someh merasa kikuk dengan sikap
warga yang terlalu menghormatinya
“Iya bapak, sama-sama...”
Para warga juga menyalami raden Purba
Anom dan Dewi Intan, mereka gembira setelah tahu bahwa Raden Purba Anom dan
dewi Intan ternyata masih hidup dan telah kembali ke rumahnya. Malam itu
terpaksa jaka Someh menunda keberangkatannya meninggalkan rumah Raden Purba
Sora, karena para warga melakukan syukuran setelah terbebas dari cengkraman Ki
Tapa. Mereka memasak berbagai makanan yang enak-enak untuk menghormat Jaka Someh dan Purba Anom.
Keesokan hari Jaka Someh berpamitan
kepada kepala kampung dan para warga lainnya untuk melanjutkan perjalanan,
Raden Purba Anom dan Dewi Intan juga ikut bersamanya.
Di tengah perjalanan, Dewi Intan
bertanya kepada Jaka Someh
“Paman Someh, kita mau kemana?”
Jaka Someh terdiam mendengar pertanyaan
dari Dewi Intan, dia sebenarnya juga bingung karena belum punya bayangan tempat
yang akan dituju. Sebelum bertemu Purbasora dan dewi intan, jaka Someh tak
begitu merisaukan perjalanannya, kemanapun dia melangkah, maka itulah
tujuannnya. Tapi sekarang dia membawa Purba Anom dan dewi Intan yang kini
menjadi tanggung jawabnya. Tidak mungkin rasanya dia menghabiskan hidup mereka
dengan perjalanan yang tak memiliki arah tujuan. Jaka Someh ingin kedua anak
itu memiliki masa depan yang baik, mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang
jelas, hidup bahagia dan terhormat. Terlintas dalam benaknya untuk menitipkan
kedua anak itu di perguruan Ki Buyut Putih, Namun
segera dia urungkan karena teringat kepada almarhum istrinya, Dewi Sekar.
Rindu pun menyesak dalam dadanya.
Jaka Someh juga teringat kepada
mertua yang telah mengusirnya. Sedih rasanya kalau harus kembali ke sana. Namun
masalahnya dia sekarang harus mengurusi Purba Anom dan Dewi Intan. Jaka Someh
menjadi bingung untuk memtuskan. Kemudian bertanya
kepada Dewi Intan dan Purba Anom
“Kalau kalian paman titipkan di
perguruannya eyang Buyut Putih bagaimana? Kalian bisa belajar silat ke eyang
Buyut Putih yang namanya sudah sangat terkenal, beliau adalah pendekar yang
hebat dan baik hati...”
Purba Anom menjawab pertanyaan Jaka someh
dengan pertanyaan juga
“Apakah paman juga akan tinggal di sana?”
Jaka Someh menggelengkan kepalanya
“Sepertinya paman tidak bisa tinggal di
sana, Purba...”.
Mendengar jawaban jaka Someh yang tidak
menggembirakan, Purba Anom berkata kepada Jaka Someh
“Kalau begitu kami tidak mau tinggal di
sana, lebih baik kami tinggal bersama paman...kemana pun paman pergi”.
Jaka Someh bertambah bingung setelah
mendengar jawaban Purba Anom yang tegas, kemudian Jaka Someh bertanya lagi
kepada Purba Anom
“Kalau kalian paman ajak untuk bercocok tanam bagaimana?”.
Giliran Purba Anom yang bingung menjawab
pertanyaan Jaka Someh, dalam benaknya dia ingin hidup bersama Jaka Someh, karena ingin mendapat
pelajaran silat darinya, bukan untuk menjadi seorang petani. Dewi Intan yang
kemudian menjawab pertanyaan jaka Someh
“Iya paman tdak apa-apa, tapi Paman tetap ajari kami dengan ilmu silat ya...!”.
Jaka Someh menganggukan kepalanya
“Iya, Dewi
Intan, Insya Allah...”.
Mendengar Jaka Someh sudah berjanji untuk
mengajari ilmu silat, Purba Anom
pun berkata “Iya paman, tidak apa-apa, saya bersedia
untuk menjadi petani...”.
Setelah mendengar jawaban mereka, Jaka Someh merasa senang. Sudah tak ragu lagi dia akan
mengajak Purba Anom dan Dewi Intan ke bukit Tandus yang
dulu pernah di singgahi bersama Dewi
Sekar.
Ada rasa penasaran yang cukup besar
dalam dirinya untuk mengolah bukit tandus tersebut, agar kembali menjadi bukit
yang hijau dan indah. Selain itu, Jaka Someh juga menganggap bahwa bukit
tersebut sangat cocok untuk dijadikan tempat latihan Purba Anom dan Dewi
Intan.
Setelah menetapkan tempat tujuannya,
Jaka Someh segera menjalankan gerobaknya ke arah bukit tandus yang pernah di
datanginya bersama Dewi Sekar.
Setelah berjalan berhari-hari,
akhirnya mereka sampai
di bukit itu. Saat itu hari sudah sore.
Jaka Someh berkata kepada Purba
Anom dan dewi Intan
“Nah, disinilah kita akan tinggal, dan
berccok tanam, di tempat ini juga paman akan melatih kalian...”
Purba Anom dan Dewi Intan merasa heran
dengan ucapan Jaka Someh,
Purba Anom bertanya kepada Jaka Someh
“Hah...Paman, apakah kita akan tinggal
di bukit tandus seperti ini?
Apakah tidak salah? Bagaimana
bisa kita bercocok tanam di tempat seperti ini? Kenapa kita tidak tinggal di
perkampungan saja paman, lebih nyaman dan
aman”.
Jaka someh tertawa mendengar keheranan
Purba Anom
“he...he...Iya Anom, paman ingin mencoba
mengubah bukit tandus ini agar bisa hijau dan indah kembali...hati paman merasa
tertantang, memang ini bukan pekerjaan
yang ringan...tentunya
akan membutuhkan usaha yang besar, namun kalau kita berhasil dapat mengelola
bukit ini, Insya Allah akan mendapat ganjaran yang setimpal juga, makanya
paman memutuskan untuk tinggal di atas
bukit ini daripada di perkampungan,
supaya konsentrasi kita tidak terganggu
dalam mengelola bukit ini”.
Meskipun tidak yakin dengan ucapan Jaka Someh, Purba Anom tetap mengiyakan keinginan Jaka Someh
“Ya
sudahlah paman, terserah paman saja, kami akan ikut...”.
Jaka Someh tersenyum melihat Purba Anom
dan Dewi Intan yang masih terheran-heran dengan niatnya, dia pun berkata kepada
mereka
“Oke, untuk sementara waktu kita akan
bermalam di sini, di atas gerobak sapi ini, besok kita akan membuat pondok
bambu sederhana di atas bukit...sekarang kalian beristirahat dahulu...”.
Keesokan harinya, Jaka someh pergi
bersama Purba Anom ke hutan bambu yang berada di seberang kampung. Jaka Someh
menebang beberapa pohon bambu yang berukuran sedang sampai besar. Kemudian membawa
bambu-bambu tersebut ke atas bukit.
Purba Anom ikut membantu mengangkat
beberapa potong bambu. Setelah sampai di bukit, bambu-bambu itu di kumpulkan
dalam satu tempat. Banyak sekali pohon bambu yang dikumpulkan oleh Jaka Someh,
sehingga Purba Anom merasa heran
“Paman, kenapa bambunya banyak sekali?
Memangnya paman akan membangun pondok sebesar apa?”
Jaka Someh tertawa mendengar pertanyaan
dari Purba Anom
“He...he... pondoknya sih tidak besar, hanya saja Paman ingin
membuat saluran air untuk mengairi lahan kita nanti, nah paman akan mencoba
menyalurkan air dari atas bukit
hijau sana ke bukit ini...”
Jaka
Someh menunjuk ke arah bukit yang masih nampak hijau yang berada sekitar 2
km-an dari bukit tandusnya.
“Ha...!!”
Purba anom bertambah heran dengan
rencana Jaka Someh
“Paman akan mengalirkan air dari bukit
hijau itu ke bukit ini dengan menggunakan pohon-pohon bamboo ini?”
Jaka
Someh tersenyum
“Ya, Purba Anom...makanya paman akan membutuhkan banyak pohon
bambu...kalau sekarang sih masih kurang rasanya...nanti...besok, setelah pondok
kita selesai,
kita akan mengmpulkan lagi pohon bambunya...”
Setelah berkata begitu, Jaka Someh segera
membuat sebuah pondok sederhana yang terbuat dari pohon bambu. Dengan cekatan
dia memotong dan membelah bambu-bambu itu. Setelah selesai membuat kerangka
pondok diapun segera membelah beberapa bambu yang lainnya, untuk dijadikan
bahan untuk bale-bale dan dinding bilik.
Purba Anom dan Dewi Intan merasa takjub
melihat Jaka Someh yang begitu terampil dan cekatan membuat pondok bambu untuk
tempat tinggal mereka. Hanya dalam satu hari, pondok mereka pun sudah jadi di
atas bukit tandus.
Beberapa warga yang sedang berlalu
lalang di sekitar bukit,
merasa heran dengan yang dilakukan oleh Jaka Someh dan Purba Anom, mereka
sempat bertanya kepada Jaka someh, pertanyaan mereka pun nyaris sama satu
dengan yang lainnya
“Sedang melakukan apa kang?”
Jaka someh tidak bosan-bosan menjawab
pertanyaan para warga yang merasa heran dengan apa yang dilakukannya
“Sedang membuat pondok rumah, mang”
Atau
jawaban yang lain
“Sedang membuat pondok, pak”.
Kemudian para warga itu pun bertanya
lagi
“Kenapa membuat
pondoknya di atas bukit ini atuh kang? ini bukit
kan tandus”.
Jaka Someh pun menerangkan lagi bahwa
dia berencana akan mengelola bukit tandus ini agar bisa dijadikan lahan untuk
bercocok tanam, dia mengatakan kepada warga bahwa dia akan mencoba menghijaukan
kembali bukit tandus tersebut.
Tentu saja sebagian besar warga tersebut
mencemoohnya, mereka mengatakan bahwa pekerjaannnya itu akan sia-sia, lebih
baik bercocok tanam di tempat lain saja.
Bahkan ada warga yang mengatakan bahwa
Jaka Someh adalah seorang yang kurang waras. Meskipun banyak warga mencemoohnya, Jaka Someh tetap
meneruskan niatnya untuk mengelola bukit tandus tersebut, tekadnya sudah bulat untuk
menjadikan bukit itu kembali
hijau. Selesai membangun pondok, keesokan harinya mereka mulai menebangi
pohon-pohon bambu lagi. Banyak sekali bambu yang mereka kumpulkan.
Setelah terkumpul banyak, Jaka Someh mulai
membuat kolam untuk menampung air.
Dia mencangkuli tanah-tanah yang ada di
area perbukitan untuk membuat sengkedan
dan kolam yang sangat besar di beberapa tempat di bukit
tandus itu.
Selain untuk menampung air
sumberan, kolam itu nantinya akan berguna untuk menampung air hujan. Kolam itu
di beri dasar pecahan bebatuan dan pasir agar nanti airnya tetap jernih.
Meskipun airnya belum ada, namun
orang-orang sudah bisa menebak bahwa Jaka someh sedang membuat kolam yang besar di bukit itu.
Begitulah kegiatan Jaka Someh beberapa
bulan terakhir. Begitu keras usaha yang dia lakukan untuk menghidupkan kembali
sebuah bukit yang tandus. Tidak ada yang membantunya kecuali Purba anom dan
Dewi Intan saja. Setelah tanah sengkedan, kolam serta saluran-saluran airnya
jadi, mereka pun mulai menyusun
bambu-bambu untuk menghubungkan
sumber air dengan bukit tandusnya itu.
Akhirnya setelah beberapa kali mereka berusaha,
berkat keuletan dan sifat pantang menyerah yang di
miliki, air pun sudah bisa mengalir menuju bukit tandusnya. Air-air itu sudah
mengisi kolam-kolam
yang di buat oleh jaka Someh.
Air dalam kolam-kolam
tersebut digunakan
untuk menyirami bibit-bibit tanaman
dan untuk keperluan budi daya perikanan.
Sedangkan untuk keperluan mandi dan
keperluan sehari-hari lainnya, jaka Someh mempersiapkan
tangki besar yang terbuat dari kayu
berikut pancurannya.
Setelah sumber air tersedia, Jaka Someh
mulai menggarap bukit itu untuk bercocok tanam. Dia menanam banyak
sekali pohon dari berbagai jenis, mulai dari pohon kayu-kayuan, pohon
buah-buahan, tanaman bunga, tanaman palawija serta tanaman sayur dan juga
tanaman obat. Selain tanaman-tanaman, jaka someh juga mengembangkan budidaya
perikanan air tawar dan juga peternakan ayam dan kambing.
Di saat senggang, dia menyempatkan diri
mengajarkan kepandaian silat kepada Purba Anom dan Dewi Intan yang sekarang
menjadi asuhannya.