Minggu, 11 Februari 2018

Cerita novel Silat "Sang Pendekar" Bab 3. Ki Jaya Kusuma


Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang


Perguruan maung Karuhun adalah perguruan silat yang sangat terkenal di wilayah Kampung Cikaret. Bahkan terkenal sampai ke kampung-kampung lainnya. Banyak para pemuda, baik yang berasal dari kampung Cikaret maupun dari kampung lainnya berguru di perguruan tersebut. Namun karena Jaka Someh memang seorang yang kuper, tidak mengetahui tentang Perguruan tersebut. 

Mang engkos kemudian bercerita kepada Jaka someh perihal Ki Jaya Kusuma yang memiliki perawakan tinggi besar dan memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat luar biasa. Konon katanya dia memiliki Jari-jari yang sangat kuat, hasil dari latihan khusus jurus cakar harimau yang terkenal ganas. Sorot matanya juga sangat tajam seperti sorot mata harimau yang sedang marah. Membuat orang lain menjadi segan untuk berurusan dengannya. Mendengar penjelasan Mang Engkos, Jaka Someh menjadi semakin mantap untuk berguru kepada Kijaya Kusuma. Keesokan harinya, Jaka Someh sudah bersiap-siap berangkat menuju perguruan Maung Karuhun. Tekadnya sudah demikian kuat untuk belajar silat kepada Ki Jaya Kusuma, supaya menjadi seorang pendekar hebat dan yang di takuti oleh musuh-musuhnya. Dia membayangkan kalau dia sudah menjadi pendekar hebat dia akan membalas dendam kepada Ki Marta dan kawan-kawannya. 
Meskipun perguruan Maung Karuhun masih terbilang satu kampung dengan gubuk Jaka Someh, namun perjalanan untuk mencapai perguruan tersebut memakan waktu setengah harian.
Karena tidak memiliki uang sepeserpun, Jaka someh menyiapkan bekal sendiri.  Yaitu nasi yang di bungkus dengan daun pisang, di tambah dengan lauk pauk seadanya berupa pepes peda dan sambal bawang. Bekal makanan dan sepasang pakaian yang bersih sudah dia simpan dalam sarung bututnya. Setelah siap, Jaka someh pun segera meninggalkan gubuknya yang sederhana.
Satu jam lebih, Jaka Someh berjalan. Dia telah melewati area pesawahan dan hutan kayu yang sudah nampak mengering. Dia berjalan di sebuah jalan setapak, di atas bukit yang di apit oleh dua buah jurang kecil. Meskipun jalanannya tampak sepi, tapi dia begitu menikmati perjalanannya tersebut. Pemandangannya yang hijau dan indah sangat memanjakan matanya. Tak terasa sudah empat jam dia berjalan, Jaka Someh pun mulai memasuki lahan perkebunan kopi dan cengkeh milik warga.  Setelah itu, dia pun mulai memasuki pemukiman warga. Di sana banyak sekali rumah rumah panggung milik warga. Rumah-rumah yang berdindingkan bilik bambu. Terlihat ada beberapa warga yang sedang menjemur gabah padi yang baru saja di panen. Mereka menjemur di atas bahan yang berupa anyaman tikar dari daun kelapa. Beberapa orang, sedang duduk santai di dalam rumahnya, sambil di temani kopi dan camilan goreng pisang ataupun rengginang. Beberapa anak terlihat bermain bersama teman-temannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, tidak peduli dengan Jaka Someh yang sedang berjalan santai kearah barat kampong mereka. 
Namun tanpa Jaka Someh sadari ada sepasang mata yang dari tadi mengawasi gerak-geriknya. Usianya yang sudah paruh baya membuatnya menjadi agak sedikit pelupa, namun matanya merasa tidak asing dengan paras dan cara jalan Jaka Someh, hal itu mengingatkannya pada salah satu sahabat karibnya ketika masih muda. Dia adalah Pak Rohadi, jaro di kampung itu. Jaro adalah gelar untuk sebutan kepala kampung. Mengalahkan rasa penasarannya akhirnya ia memanggil Jaka Someh, yang baru saja melewati bale-bale depan rumahnya.  
“Jang …!” 
Panggil pak Rohadi, suaranya sudah sedikit berat karena sudah termakan usia. Dengan cepat kepala jaka someh menoleh kearah sumber suara. 
“Bapak manggil saya?” Tanya jaka someh dengan sopan. 
“Iya, sini dulu!” tangan pak rohadi memberikan isyarat agar jaka someh menghampirinya. Dengan perasaan ragu Jaka Someh menghampiri orang yang memanggilnya. 
“Kamu tinggal di lereng Halimun bukan?” Tanya pak Rohadi 
“Iya pak, kok bapak tau?” jawab Jaka Someh. Ada perasaan heran juga dalam hatinya, kok bisa orang ini tau asal tempat tinggalnya.
“Kamu anak almarhum Sabarudin bukan?” Medengar pertanyaan seperti itu Jaka Someh menjadi tambah heran, matanya melirik Pak Rohadi dengan sedikit memincing. Ditelisiknya pak Rohadi dari atas sampai bawah. 
“Bapak kenal dengan bapak saya?” 
Jaka someh balik bertanya kepada pak Rohadi. Tapi bukannya menjawab, Pak Rohadi malah merangkul tubuh kekar jaka someh. 
“Beneran kamu anak sabarudin?” suara Pak Rohadi agak sedikit serak, ada sedikit rasa haru dalam dadanya bisa bertemu dengan anak sahabat dekatnya. 
Saya Pak Rohadi, sahabat bapakmu dari kecil, dulu kami sama-sama belajar ilmu agama di pesantrennya Kiai Hasan Sukabumi…ayo mampir dahulu kesini... Masuk ke rumah saya...!” Jaka Someh tersenyum kepada bapak tadi, lalu dia pun masuk ke pekarangan rumah pak Rohadi. Samar-samar Jaka Someh mulai ingat, dulu ayahnya pernah mengajaknya berkunjung ke rumah ini. Dia pun sudah ingat dengan pak Rohadi, sahabat karib ayahnya. Jaka Someh tersenyum pada pak Rohadi, lalu mengucapkan Salam
” Assalamu alaikum pak Rohadi, bagaimana kabar bapak?”
Pak Rohadi menjawab
”Wa alaikum salam, alhamdulillah baik, ayo naik… mari masuk ke dalam...!” 
Jaka Someh menaiki tangga pendek yang berada di bawah pintu rumah panggung milik pak Rohadi. Dia di sambut ramah oleh pak Rohadi 
“Bagaimana kabarmu jang Someh? Sudah lama bapak tidak melihat kamu…dulu kamu masih kecil sewaktu di ajak ayahmu main ke rumah bapak, wajah kamu mirip dengan almarhum Sabarudin...makanya dari tadi, bapak tilik-tilik koq rasanya seperti kenal...eh ternyata Someh anaknya Sabarudin, kebetulan pisan atuh jang...” 
Kata pak Rohadi sambil bediri di atas tangga rumahnya.
Setelah dipersilahkan masuk, Jaka Someh pun masuk ke dalam rumah pak Rohadi. Rumahnya cukup luas, namun hanya terdiri dari 3 ruangan saja, yaitu satu ruang tengah dan dua kamar tidur. Di ruang tengah itu Jaka Someh duduk di atas tembikar yang telah di gelar di atas lantai yang berupa bale-bale bambu. Pak Rohadi kemudian menyibukan diri dengan memberi suguhan kopi panas dan kue keripik yang terbuat dari singkong. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, mereka kemudian mengobrol cukup lama tentang kehidupan Jaka Someh sepeninggal ayah dan ibunya. Jaka Someh sendiri jadi lupa dengan tujuan awal perjalanannya untuk berguru ke Kijaya Kusuma. Dia baru ingat hal tersebut, setelah tiba-tiba pak Rohadi menanyakan perihal tujuan perjalanannya
”Jang Someh ini mau kemana sebenarnya...? Koq tumben jalan-jalan sampai kesini?” 

Mendengar pertanyaan itu, Jaka Someh pun menceritakan niatnya yang ingin berguru ke KiJaya kusuma. Dia juga menceritakan tentang kejadian penganiayaan yang dialaminya oleh Ki Marta dan kawan-kawannya. Pak Rohadi hanya terdiam tanpa ada komentar sedikitpun ketika mendengar cerita Jaka Someh. Setelah menghela nafas, Pak Rohadi akhirnya berucap pada Jaka Someh 
“Jang Someh…Bapak ikut prihatin…dengan musibah yang telah menimpa ujang dan keluarga...Tapi ujang sabar ya… jangan sampai ujang teh punya niat untuk membalas dendam kepada Ki Marta dan kawan-kawannya…Lebih baik bersabar...biarlah Allah saja yang membalas perbuatan mereka...Allah itu Maha Adil…semua kejadian pasti ada hikmahnya…kita saja yang seringkali tidak memahaminya…Insya Allah saya yakin Bapak ujang teh mati sahid, mati dalam keadaan khusnul khotimah…karena matinya dalam keadaan membela kebenaran…”. 
Jaka Someh hanya bisa terdiam mendengarkan nasehat dari Pak Rohadi. Tidak mengamini juga tidak menolaknya. Pak Rohadi lalu melanjutkan ucapannya
”Bapak tidak melarang kamu untuk belajar silat...apalagi kepada Ki Jaya Kusuma…Bapak teh kenal dengan beliau…meskipun terkenal sebagai jawara hebat tapi beliau orangnya rendah hati dan tidak sombong… kalau kamu nanti sudah berhasil menguasai ilmu bela diri dari Ki Jaya Kusuma...maka pergunakanlah ilmu tersebut di jalan yang benar...untuk menolong masyarakat yang lemah dan teraniaya... jangan dipakai untuk kesombongan atau takabur, jika ujang menggunakan kepandaian tersebut di jalan kebenaran...Insya Allah semuanya akan berkah...selamat…dunia dan akherat…”. 
Mendengar nasehat dari pak Rohadi, Jaka Someh semakin tertunduk sambil sesekali menganggukan kepalanya, seakan-akan dia patuh dengan ucapan sahabat almarhum ayahnya. Pak Rohadi kemudian melanjutkan lagi ucapannya.
”Bapak berharap setelah kamu selesai berguru, tinggallah di sini, di rumah bapak ini...dari pada kamu tinggal sendirian di lereng bukit…. jauh dari peradaban manusia...” 
Jaka Someh terdiam sesaat, kemudian dia berkata dengan sopan pada pak Rohadi
Terima kasih banyak pak, atas tawarannya… tapi saya masih merasa berat kalau harus meninggalkan gubuk peninggalan orang tua saya...” 
Pak Rohadi berkata” Iya, iya…Bapak juga mengerti ujang teh berat melepaskan segala kenangan dengan orang tuamu. Hanya saja Bapak merasa punya kewajiban untuk merawat kamu…anak dari sahabat Bapak sendiri yang sudah Bapak anggap sebagai saudara… bapak benar-benar menerima jang Someh dengan tangan terbuka”. 
Ketika Jaka Someh dan pak Rohadi sedang mengobrol, tiba-tiba terdengar suara orang yang datang, rupanya orang tersebut adalah Asih, putri semata wayang dari pak Rohadi. Dia sudah ada di dekat pintu rumah, di temani dua pemuda yang kelihatan eksentrik. Dua lelaki yang baru dikenalnya sewaktu nonton pagelaran wayang golek seminggu yang lalu. Pemuda itu bernama Panji dan Udan. Panji yang memiliki wajah tampan dan pandai mengucapkan kata-kata gombal dengan mudahnya membuai hati Asih. Hanya berselang dua hari semenjak pertemuan waktu itu, mereka pun sudah saling mengikat jalinan asmara. Asih berkata manja kepada Panji 
“Ayo, kang Panji masuk dulu ke rumah, Asih ingin mengenalkan akang ke bapak.” 
Panji menjawab pelan sembari tersenyum simpul
“Nanti saja ya...nyi...lain kali saja...! Akang sekarang sedang terburu-buru...ada keperluan yang harus akang selesaikan segera hari ini…” 
Asih terlihat kecewa dengan penolakan Panji. Dia pun segera memegang tangan Panji dengan mesra, seakan` tidak mau berpisah dengan pujaan hatinya itu
”Keperluan apa sih Kang…? Koq buru-buru begitu...ayo masuk dulu atuh kang… sebeentaaaar...saja…!” 
Asih merayu Panji supaya mau masuk ke rumahnya. Panji tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya dia berkata lembut kepada Asih “nanti saja ya Nyai...lain waktu saja akang main ke rumah Nyai...Beneran…Nyai…akang janji…lain waktu akang akan mampir ke rumah Nyai, bertemu dengan Bapak Nyai…sekarang mah akang pamit dulu...”. 
Meskipun cemberut Asih tak kuasa lagi untuk menghalangi niat Panji untuk pergi. Setelah Panji dan temannya tidak kelihatan lagi, Asih naik ke tangga rumahnya. Pak Rohadi yang melihat kedatangan Asih, langsung tersenyum sambil berkata” Eh Nyai…sudah pulang…? Tadi teh kamu dengan siapa…koq tidak di ajak masuk dulu atuh ke dalam rumah…?” 
Asih menjawab pertanyaan ayahnya dengan senyuman
“Tadi teh kang Panji…Bapak…Teman Asih…Kebetulan tadi Kang Panji sedang terburu-buru…katanya masih ada keperluan penting yang harus dia selesaikan, makanya gak bisa masuk ke rumah…”. 
Pak Rohadi menganggukan kepalanya sambil berkata lembut 
“Ya sudah atuh Nyai…tidak apa-apa mungkin lain kali Nyai bisa memperkenalkannya ke bapak…  Eh iya Nyai, kebetulan ini bapak mau meperkenalkan kamu dengan Jang Someh, anak pak Sabarudin, sahabat bapak waktu kecil….” 
Asih melirik ke arah Jaka Someh yang sedang memandanginya. Asih tersenyum sesaat, sambil menganggukan kepalanya sekali. Lesung pipitnya terlihat begitu manis. Mendapatkan senyum manis dari Asih, Jaka Someh merasa jiwanya mau terbang. Hatinya bergetar. Seumur hidupnya belum pernah dia merasakan suatu getaran aneh seperti itu.  Entah karena belum pernah melihat seorang gadis ataukah karena dia merasa takjub melihat kecantikan Asih, jantungnya terus berdegup tidak karuan. Ada perasaan takjub melihat wajah Asih yang khas. Cantik dan fresh. Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Jaka Someh baru saja mengalaminya. 
Namun untunglah Jaka someh adalah seorang pemuda yang telah di didik dengan etika dan norma kesopanan. Meskipun terpesona dengan Asih namun dia mampu menahan diri untuk tidak mengumbar hawa nafsunya. Jaka Someh tersenyum hormat kepada Asih. Namun kali ini, Asih hanya membalasnya dengan sedikit senyum yang dipaksakan. Dia mengamati pakaian Jaka Someh yang tampak lusuh. 
 Setelah itu Asih memalingkan mukanya. Sikapnya tersebut terkesan meremehkan Jaka Someh. Deg, hati Jaka Someh merasa perih, serasa teriris oleh sebilah pisau yang tajam karena mendapat perlakuan remeh dari Asih. Entah kenapa, hatinya terasa begitu sedih. Tanpa berkata apa-apa, Asih langsung masuk ke dalam kamarnya. Roman muka pak Rohadi tampak tidak senang melihat sikap anaknya yang kurang sopan terhadap tamunya. Pak Rohadi berkata pada Jaka Someh
” Maapkan sikap anak saya ya jang Someh, Asih memang agak manja anaknya….” 
Jaka Someh tersenyum sambil berkata 
“Tidak apa-apa, pak...” 
Tidak lama setelah itu Jaka Someh pun berpamitan kepada Pak Rohadi untuk melanjutkan perjalanannya.
Tanpa terasa Jaka Someh telah berjalan selama lebih dua jam, sampai akhirnya tiba di pintu gerbang perguruan Maung Karuhun. Mendadak ada perasaan ragu untuk meneruskan langkahnya untuk masuk ke perguruan itu. Dia hanya berdiri di bawah sebuah pohon rindang yang berada tidak jauh dari pintu gerbang. Jaka someh memandang keadaan disekitarnya. Ada banyak murid Maung Karuhun yang sedang berlatih. Jumlah mereka cukup banyak, kurang lebih ada sekitar 40 orang-an. Mereka berlatih secara berkelompok, ada 7 sampai 8 orang per kelompoknya.  
Ketika Jaka Someh sedang asyik mengamati mereka, tiba-tiba ada empat murid Maung Karuhun yang menghampiri Jaka someh. Mereka melihat Jaka Someh sedang berdiri di bawah pohon dengan tingkah yang terkesan mencurigakan. Salah satu dari mereka berteriak kepada Jaka someh
” Hey... kamu...sedang apa kamu di sana...?” 
Jaka Someh terperanjat mendengar ada yang berteriak kepadanya, dia menengok ke arah suara yang menghardiknya. Belum sempat Jaka someh berkata apa-apa, mereka langsung mendahuluinya dengan berkata kasar
” Kurang ajar, kamu pasti anak buah Ki Jabrik…yang sedang memata-matai latihan kami ...ya…?” 
Jaka Someh kaget kalau dirinya di tuduh sebagai mata-mata oleh murid Maung Karuhun, beberapa saat dia hanya terdiam. Setelah kondisinya mulai stabil, Jaka Someh berusaha menjawab pertanyaan mereka, meskipun dengan suara terbata-bata
Oh bukan kang...saya...saya bukan mata-mata…saya datang kemari justru karena ingin menjadi murid di perguruan ini”. 
Salah satu dari murid yang tadi menghardik Jaka Someh berkata dengan keras 
“Bohong kamu... Ayo ngaku saja...kamu mata-mata kan? Kamu anak buah Ki Jabrik kan?” belum sempat Jaka Someh menjawab, tiba-tiba salah satu dari mereka langsung memukulnya “ah...sudah lah teman-teman...mana ada mata-mata musuh mau ngaku...kita hajar saja lah dia...” 
Mereka pun langsung mengepung Jaka someh. Mendengar ada suara keributan, murid-murid yang lain yang sedang berlatih pun ikut berdatangan ke tempat itu, tanpa banyak bertanya mereka juga langsung ikut mengepung Jaka Someh. Jaka Someh menjadi panik, dia tidak menyangka kalau Akan mengalami kejadian seperti itu. Beberapa dari mereka ada yang langsung memukul dan menendang Jaka Someh. Jaka Someh dengan terpaksa melakukan perlawanan sebisa mungkin untuk membela dirinya. Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai dirinya. Karena kewalahan di keroyok banyak orang, Jaka Someh berusaha untuk lari. Namun mereka segera menghadangnya kembali dan langsung menangkapnya. Tiba-tiba saja sebuah pukulan telah mengenai wajahnya. Jaka Someh kaget dan merasakan wajahnya terasa sakit. Belum sempat dia membalas, sebuah tendangan keras dari arah belakang tiba-tiba telah mengenai punggungnya. Jaka Someh pun terjerambab ke depan, jatuh ke tanah. Untunglah pada saat itu ada Ki Jaya kusuma yang berteriak pada murid-muridnya
“Heeyy...hey hentikan...ada APA ini...?” 
Murid-murid perguruan Maung Karuhun langsung berhenti, mereka tidak ada yang berani menentang Ki Jaya Kusuma. Ki Jaya Kusuma berkata kepada Jaka Someh 
“Kamu siapa...dan ada maksud apa kamu datang ke sini...?”
Jaka Someh menjawab dengan lemah 
“Saya Jaka Someh Aki...saya datang ke sini karena ingin belajar silat di perguruan ini...Saya ingin menjadi murid Aki.” 
Jaka Someh menceritakan perihal dirinya pada Ki Jaya Kusuma. 
Sambil mengamati keadaan Jaka Someh yang tampak lusuh, Ki Jaya kusuma mendengarkan keterangan Jaka Someh dengan seksama. Setelah yakin kalau Jaka Someh bukan musuh yang sedang memata-matai, dia berkata kepada Jaka Someh
” Saya minta maaf atas perlakuan murid-murid saya. Ujang datang di saat yang tidak tepat, situasi di sini sekarang memang sedang tidak kondusif.  Saya mendapat informasi bahwa Gerombolan Ki Jabrik akan menyerang padepokan ini. Mungkin murid-murid saya mengira kamu adalah salah satu anak buah Ki Jabrik yang sedang menyamar untuk memata-matai kami...” 
Mendengar keterangan dari Ki Jaya Kusuma, Jaka Someh mengangguk-anggukan kepalanya. Dia pun bertanya kepada Ki Jaya Kusuma 
“Maaf Aki, Ki Jabrik teh memang siapa? Sampai-sampai Aki sendiri terlihat khawatir kepadanya…”  
Ki Jaya Kusuma menghela nafas mendengar pertanyaan Jaka Someh, lalu dia pun menjawab pertanyaan Jaka Someh 
“Saya juga tidak tahu, siapa sebenarnya Ki Jabrik, tapi baru-baru ini dunia persilatan di wilayah pasundan telah di buat gempar oleh sepak terjang Ki Jabrik. Banyak perguruan silat telah di hancurkan oleh Ki Jabrik dan gerombolannya. Bahkan para tokoh persilatan yang terkenal hebat pun banyak yang telah dikalahkan olehnya. Akibat ulah mereka, banyak masyarakat yang menjadi korban. Penduduk banyak yang mati secara sia-sia. Harta benda di rampas, para wanita diperkosa dan di culik untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Oh ya. Tadi kamu bilang mau belajar silat di perguruan ini..?” 
Jaka someh langsung mengiyakaan pertanyaan Ki Jaya Kusuma, dengan semangat dia langsung menjawab
”Iya…iya betul Aki…maksud kedatangan saya kemari teh sebenarnya memang untuk berguru di perguruan ini…” 
Ki Jaya Kusuma memandangi Jaka someh, dia merasa bingung harus menjawab APA. Di saat genting seperti ini rasanya tidak mungkin dia menerima murid baru. Dia tidak tega kalau Jaka someh justru nanti akan menjadi korban keganasan musuh. Walau bagaimanapun dia merasa harus bertanggung jawab kepada keselamatan murid-muridnya. 

Ada perasaan tidak enak kalau harus menolak Jaka Someh secara langsung. Ki Jaya Kusuma memikirkan cara bagaimana menolak Jaka Someh secara halus. Ki Jaya Kusuma berkata kepada Jaka Someh
 “Sebenarnya saat ini Saya sedang tidak menerima murid baru lagi tapi…Begini saja jang…kamu akan saya terima jadi murid tapi  kalau kamu bisa memenuhi persyaratannya yaitu kamu harus menyediakan mahar berupa 1 ekor kambing berwarna hitam...yang benar-benar hitam tidak kecampuran warna apapun…bagaimana apakah kamu sanggup?” 
Jaka Someh kaget mendengar persyaratan dari Ki Jaya Kusuma. Rasanya tidak mungkin kalau ada kambing yang warnanya seratus persen hitam. Kalau pun ada mungkin langka sekali. Jaka someh menghela nafasnya, lalu dia berkata kepada Ki Jaya Kusuma.
” Saya minta maap Aki...saya tidak tahu...kalau ada syarat seperti itu...sekarang saya belum punya kambing seperti yang Aki minta...kebetulan saat ini saya juga tidak punya uang sedikitpun untuk membeli kambing sebagaimana yang aki minta...” 
Kijaya Kusuma tersenyum kepada Jaka Someh, kemudian berkata
Kalau begitu kamu pulang dulu ke rumahmu untuk menyiapkan persyaratan yang saya minta...kalau sudah ada, silahkan kamu datang lagi kemari... Bagaimana kamu bersedia...?” Mendengar perkataan dari Ki Jaya kusuma, Jaka Someh merasa sedih, dia berpikir bagaimana dia bisa mendapatkan satu ekor kambing. Warnanya pun harus hitam lagi. Ingin rasanya Jaka Someh menangis. Jaka Someh tidak memiliki uang, hartanya pun hanya berupa beberapa helai pakaian yang nampak sudah tidak layak. Dia merasa perjalanannya untuk mencari sosok seorang guru pun menjadi sia-sia.  
Setelah terdiam beberapa saat, Jaka Someh menjawab pertanyaan Ki Jaya Kusuma 
“Baik aki…saya akan coba memenuhi persyaratan yang aki minta, sekarang saya mohon pamit dahulu…” 
Ki Jaya Kusuma tersenyum kepada Jaka Someh, dalam hati dia berkata 
“Saya minta maaf Jang…kalau kamu merasa kecewa. Saya lakukan ini adalah untuk kebaikan kamu sendiri. Mudah-mudahan suatu saat nanti kamu bisa memakluminya”. 
Setelah berpamitan kepada Ki jaya kusuma, Jaka Someh pergi dengan langkah gontai tak bersemangat, meninggalkan perguruan Maung Karuhun. Jaka someh berjalan gontai sambil merenungi nasibnya, tidak diterima menjadi murid Kijaya Kusuma bahkan nyaris dikeroyok oleh murid-murid yang lain. Dia tidak sadar bahwa Ki jaya Kusuma menolaknya karena tidak ingin Jaka Someh celaka. Saat itu memang Perguruan Maung karuhun sedang terancam oleh musuh yang kuat lagi kejam. Dia tidak ingin ada korban jiwa terutama dari murid-muridnya. Ki Jaya Kusuma meskipun terlihat sangar namun sebenarnya hatinya penuh dengan kelembutan. Dia adalah seseorang yang mudah berempati, makanya dia menolak Jaka someh karena tidak mau melibatkannya dalam masalah yang belum jelas. 
Jaka Someh terus berjalan. Dia berusaha untuk tetap tegar. Tidak mau dirinya menjadi lemah hanya gara-gara keinginannya tidak tercapai saat itu. Dia berusaha menerima semua musibah yang dialaminya tersebut dengan hati yang lapang.  Tidak ingin cengeng dan cepat putus asa. Jaka Someh bergumam sendirian 
“Sabar, sabar Someh, lebih baik kamu berbaik sangka saja, mungkin Allah punya kehendak lain, yang lebih baik daripada yang aku rencanakan ini, semuanya milik Allah, terserah Allah untuk menetapkan hasilnya, yang penting sudah berusaha semampu kamu, lebih baik beristirja saja, Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, mudah-mudahan saya di beri kesabaran dan bisa Ridho atas semua musibah ini”. 
Setelah menasehati dirinya sendiri untuk sabar dan tawakal, Jaka Someh kembali berjalan ke arah tujuan pulang menuju gubuknya.
Bersambung ke bagian 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...