Rabu, 21 Februari 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 17. Pendekar Pengelana


Cerita Novel silat Ksatria Ilalang


Tanpa terasa sudah hampir  lima bulan Jaka Someh berjalan tak tentu arah. Dia tidak tahu tempat mana yang akan dia tuju, hanya perasaannya saja yang dia jadikan sebagai kompas perjalanannya. Sudah banyak desa dan bukit dia lalui. Keluar masuk hutan, menuruni lembah dan menaiki gunung.
Jaka Someh begitu menikmati perjalanannya, tanpa memusingkan capek dan kawatir akan bahaya ataupun kekurangan makan. 
Perasaan luka karena cinta telah dikhianati oleh istrinya pun berangsur-angsur telah pulih. Jaka Someh sudah merelakan mantan istrinya menikah dengan lelaki lain. Yang tersisa hanyalah kerinduan yang mendalam pada anak kesayangannya, Si Jalu. Meskipun dia sadar bahwa si Jalu bukan anak kandungnya sendiri. Tapi dialah yang telah merawatnya semenjak lahir dengan penuh kasih sayang.

Jaka Someh tidak terlalu memusingkan apakah dia bisa makan atau tidak di hari itu.  Dia memakan apa saja yang dia dapatkan dalam perjalanan, selama makanan tersebut halal dan dipandang baik. Adakalanya dia memakan buah-buahan yang ada di hutan, ada pula ikan dan daging binatang buruan, seperti kelinci, burung dan rusa. Ketika berada di  hutan, Jaka Someh menyempatkan diri untuk melatih ilmu silatnya. Bukan hanya ilmu meringankan tubuh saja yang dia latih namun juga ilmu pukulan dan tenaga dalam yang telah di ajarkan Aki Sudin maupun Haji Ibrahim kepadanya. Ilmu silatnya kini sudah maju pesat, bahkan kini dia sudah mampu melesat berlompatan di atas daun-daun pepohonan yang tinggi. Gerakannya begitu cepat dan ringan.
Pada suatu hari, dia memasuki sebuah perkampungan yang nampak sepi, hanya beberapa warga saja yang terlihat sedang berada di halaman rumahnya, padahal saat itu hari masih belum begitu sore. Kampung tersebut sebenarnya memiliki wilayah yang cukup luas dengan jumlah rumah yang terbilang banyak. Namun Jaka Someh melihat ada keganjilan dari kampung tersebut, yaitu banyak rumah yang nampak kosong seperti telah ditinggalkan oleh penghuninya  dan sebagian besar lagi nampak kurang terawat.  Rasa penasaran meliputi pikiran Jaka Someh. Tiba-tiba dia melihat seorang lelaki  tua renta sedang berjongkok, mengikat kayu suluhnya. Jaka Someh mendekati lelaki itu, sambil mengucapkan salam dalam bahasa sunda
“ Sampuarasun, Abah...”.
 Lelaki tua tersebut nampak kaget dan terlihat kawatir di  wajahnya.
“Ra...rampes...Ujang teh siapa dan mau kemana...?”.
Jaka Someh bukan menjawab pertanyaan lelaki tersebut malah kembali bertanya
 “ Maaf abah, ini teh kampung apa ya...?”.
 Lelaki tersebut terdiam sesaat sambil memperhatikan wajah dan penampilan Jaka Someh, nampak keraguan dalam wajahnya untuk menjawab pertanyaan Jaka Someh. Jaka Someh agak sedikit kikuk melihat sikap lelaki tersebut, dia pun berusaha menenangkan lelaki tersebut supaya hilang rasa curiga dari kepadanya.  Jaka Someh pun memperkenalkan diri
 “ maaf abah, Nama saya Jaka Someh, saya berasal dari kampung Cikaret di gunung halimun dari daerah pakuan Bogor, maaf abah kalau boleh tahu, ini teh kampung apa ya?”.
Lelaki tua itu pun mulai merasa aman setelah Jaka Someh memperkenalkan dirinya. Lelaki tua pun menjawab pertanyaan Jaka Someh
“ini teh kampung Sukanagara, ujang. Ujang teh sekarang berada di wilayah Subang...Ujang teh sebenarnya mau kemana ?”.
Jaka Someh menjawab pertanyaan lelaki tua dengan sejujurnya
“Saya tidak punya tujuan pasti Abah. Saya sekarang sedang mengembara ingin mencari pengalaman hidup. Kalau boleh tahu, kenapa kampung ini sepi ya Abah...saya melihat banyak rumah kosong seperti sudah ditinggalkan pemiliknya, memangnya ada apa ya abah...?”.
Lelaki tua itu pun menjawab pertanyaan Jaka Someh dengan suara pelan seperti berbisik, seakan-akan ada perasaan takut dalam hatinya untuk bercerita tentang kondisi di kampungnya tersebut
“Kampung abah teh, sedang mengalami musibah. Tapi sebenarnya bukan kampung ini saja... kampung-kampung lainnya yang berada di sekitar wilayah ini juga sama sedang di timpa musibah...anu...Jang...Ada gerombolan perampok sadis yang sudah beberapa kali menjarah kampung ini...mereka bener-bener kejam, Sudah banyak warga yang di bunuh oleh mereka...” Jaka Someh bertanya lagi pada lelaki tua itu
“ memangnya tidak ada yang berani melawan mereka atuh abah...?”
Lelaki tua itu pun langsung menjawab pertanyaan Jaka Someh
 “ weleuh...tidak ada yang berani atuh jang...pemimpin mereka yang bernama ki Bewok teh sakti luar biasa atuh...sudah banyak jawara-jawara yang di bunuh oleh ki Bewok...bahkan parguruan silat yang paling hebat di wilayah sini...sudah habis di bantai oleh ki Bewok dan anak buahnya yang bengis itu... ki mantap yang terkenal sakti, yang memimpin perguruan silat di kampung ini juga dengan mudahnya di bunuh oleh ki Bewok...”.
Mendengar cerita tersebut, Jaka Someh hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja. Melihat sikap Jaka Someh yang nampak tenang, membuat kawatir lelaki tua itu, kawatir Jaka Someh meremehkan ceritanya,
“ Daripada Ujang celaka bertemu dengan Ki Bewok nanti, mending di tunda dulu saja perjalanannnya, apalagi hari sudah sore...begini, sekarang mah ujang istirahat dulu saja di rumah abah, besok baru lanjutkan lagi perjalanannya...rumah abah memang sederhana tapi masih nyaman lah kalau digunakan untuk istirahat...”
Jaka Someh senang mendapatkan tawaran menginap dari abah Sarmad
“ Iya abah, saya mau, terima kasih banyak ya bah, mudah-mudahan tidak merepotkan abah sekeluarga. O h ya abah, nama abah teh siapa ya...he...he...dari tadi ngobrol tapi belum tahu nama abah...”.
Lelaki tua itu pun tersenyum
“ Nama abah teh Sarmadi, panggil saja dengan panggilan Abah Sarmad...ayo atuh sekarang ke rumah abah...”.
Jaka Someh tersenyum, lalu dia berkata
“ Terima kasih abah, biar suluhnya, saya yang bawakan...”.
Abah Sarmad senang kayu bakarnya di bawakan oleh Jaka Someh, mereka pun berjalan menuju rumah Abah sarmad. Rumah abah Sarmad hanya berupa gubuk yang nampak sudah agak reot. Di gubuk itu hanya ada istrinya yang juga sudah nampak berumur, yaitu ambu Sarifah. Di gubuk itulah Jaka Someh di jamu oleh sepasang suami istri yang sudah berumur tersebut dengan rebusan singkong dan segelas air putih. Keduanya begitu ramah dan tulus memperlakukan tamunya, sampai-sampai Jaka Someh pun menjadi kerasan berada di rumah itu.  Bakda Isya, Jaka Someh membaringkan dirinya di bale gubuk abah Sarmad yang terletak di pertengahan rumah. Dia memejamkan matanya dan tidak lama kemudian dia pun tertidur.

Tepat tengah malam, tiba-tiba terdengar suara keributan dari sebelah arah timur kampung, yang terus merembet ke seluruh wilayah kampung. Suara orang berteriak karena ketakutan, diiringi dengan tangisan,  bercampur aduk dengan suara teriakan kasar yang mengancam. Beberapa  lelaki sangar nampak sedang mengejar beberapa orang wanita. Jaka Someh terbangun dari tidurnya. Dilihatnya abah sarmad sedang berjongkok di bawah bale-bale, sambil memberi isyarat kepada Jaka Someh,
“ Sstt...Jang...ayo sembunyi...gerombolan ki Bewok sedang ngamuk...entah mau menjarah apalagi mereka, padahal kampung ini teh sudah tidak punya harta yang berharga lagi...”.
Di belakang Abah Sarmad nampak istrinya juga sedang bersembunyi di bawah bale-bale. Wajah mereka nampak begitu ketakutan.  Suasana menjadi hening, tak terdengar suara apapun. Seakan-akan bunyi nafas pun mereka sengaja sembunyikan agar tidak terdengar oleh anggota gerombolan Ki Bewok yang sedang ngamuk. Jaka Someh merasa kasihan melihat muka mereka yang nampak pucat karena ketakutan. Gerombolan Ki Bewok memang datang ke kampung tersebut bukan untuk menjarah harta milik warga namun mereka datang  untuk menculik para perawan di kampung itu untuk dijadikan bahan hiburan mereka, selanjutnya para  wanita itu akan dijual untuk dijadikan wanita penghibur lelaki hidung belang yang berduit. Dalam suasana hening dan tegang tersebut tiba-tiba terdengar suara halus dari pantat abah sarmad.
“tuuut..preet...pret...”.
Tidak lama kemudian tercium bau busuk yang begitu menyengat. Ambu Sarifah langsung menutup hidungnya. Namun sudah terlambat bau busuk itu pun sudah masuk ke dalam hidungnya. Ingin rasanya dia marah kepada abah Sarmad yang telah tega mengentutinya. Namun kemarahan dan kekesalannya tersebut hanya mampu dia pendam. Karena kawatir gerombolan Ki Bewok mengetahui persembunyian mereka. Jaka Someh yang melihat kejadian tersebut menjadi tertawa. Dia heran koq bisa dalam situasi yang tegang seperti itu, abah sarmad mengeluarkan kentutnya. 
Sambil tertawa Jaka someh langsung melompat membuka jendela rumahnya. Agar polusi yang sempat mengotori ruangan itu tergantikan oleh udara segar dari luar. Mata Abah sarmat melotot melihat tindakan Jaka Someh seperti itu. Dia pun memberi isyarat agar Jaka Someh segera bersembunyi di bawah bale-bale. Karena Jaka Someh tetap tidak mau bersembunyi, Abah sarmad pun berkata pelan sambil matanya melotot karena marah 
“hey jang...ayo sembunyi...apakah kamu mau mencelakakan kita semua...ayo cepetan sini...bersembunyi di sini...”.
Mendengar himbauan dari Abah Sarmad seperti itu, Jaka Someh bukannya ikut bersembunyi bersama abah sarmad dan istrinya, dia malah menuju pintu rumah. Abah Sarmad kaget, lalu bertanya kepada Jaka Someh
“ mau kemana jang...?”
Jaka Someh menjawab
“Saya mau keluar, bah...abah tunggu di dalam sini saja ya...”
Abah Sarmad tambah kaget mendengar jawaban Jaka Someh
“ jangan jang...apa kamu mau mencari mati...?ayo sini, jangan jadi sok jagoan...jang...mereka itu gerombolan sadis...senang membunuh rakyat...”
Belum selesai abah Sarmad berucap-ucap, jaka Someh sudah keluar dari gubuknya abah Sarmad. Di luar, jaka Someh mengamati sekelilingnya. Nampak beberapa wanita sedang berlarian dengan panik karena dikejar oleh anggota gerombolan ki Bewok. Jaka Someh melihat ada dua lelaki sangar yang sedang mengejar seorang wanita yang masih belia yang lari menuju ke arahnya, sambil berteriak minta tolong
 “ tooloong...kang...tolongin saya...”.
Dua lelaki sangar yang mengejar wanita itu tertawa terbahak-bahak menikmati rasa takut dari wanita muda itu. Ketika mereka sudah dekat dengan Jaka Someh, tiba-tiba Jaka Someh meloncat dengan ringannya mencegat kedua lelaki itu. Tentu saja kedua lelaki tersebut, menjadi kaget dan marah melihat Jaka Someh berbuat demikian. Mereka mengancam Jaka someh dengan berteriak kasar
“Bangsat culun, kamu mau jadi sok pahlawan di sini...ha...ha...saya kirim kamu ke kuburan...biar mampus....ini rasakan golok saya...”.
Mereka pun mencabut golok mereka dari sarungnya. Kemudian langsung menyabetkannya ke leher Jaka Someh. Jaka Someh, tetap berdiri diam. Namun saat golok tersebut sudah mau sampe ke lehernya, jaka Someh pun mengubah posisi tubuhnya sambil tangan kirinya memukul siku lawannya. Pukulannya nampak pelan tak bertenaga namun yang dirasakan lawannya adalah rasa sakit yang luar biasa, golok yang dipegangnya pun terlepas. Golok itu langsung diambil oleh Jaka Someh dengan tangan kirinya sesaat setelah terlepas dari tangan lelaki sangar itu. Kemudian dengan kecepatan kilat, golok itu langsung di sabetkan ke perut lawannya. Darah pun langsung terburat, memancar dari perut orang itu. Dengan reflek lelaki itu pun memegangi perutnya yang robek, dia kaget, dan tiba-tiba kepalanya pun menjadi pusing, pandangannya kemudian menjadi gelap. Dia pun tersungkur jatuh ke tanah. Jaka Someh melirik kearah lelaki satunya, golok yang tadi dipegang dengan tangan kirinya sekarang sudah berpindah di tangan kanannya. 
Melihat temannya sudah mati, lelaki yang satunya menjadi marah bercampur kaget. Matanya melotot ke Jaka Someh, tanpa pikir panjang lagi dia pun langsung menyabetkan goloknya ke arah kepala Jaka Someh. Tentu saja itu bukan sesuatu yang menakutkan bagi Jaka Someh, belum sampe golok tersebut mengenai dirinya, dia sudah mendahuluinya dengan menyabetkan golok yang ada di tangannya ke leher lawan. Darah pun langsung muncrat dari tenggorokan anak buah ki Bewok tersebut. Lelaki itu pun berteriak dan langsung mati tersungkur dengan mata masih membelalak. Kejadian itu ternyata dilihat oleh beberapa anak buah ki Bewok yang lain, mereka pun berteriak-teriak memanggil teman-temannya yang lain. 
Dalam beberapa kejap jaka Someh sudah dikepung oleh hampir 30 orang anak buak ki Bewok yang nampak ganas. Mereka siap mengepung Jaka Someh dengan berbagai senjata di tangan mereka. Ada yang memegangi kapak, golok, kayu bahkan ada juga yang menggunakan celurit. Ki Bewok yang sudah ada di tempat itu juga ikut menyaksikan pengepungan jaka Someh oleh anak buahnya. Dia pun segera memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Jaka Someh
“ Ayo...anak2...bantai orang yang sok mau jadi jagoan ini...belagu pisan...mampusin saja dia...ayo...”.
Mereka pun langsung mengeroyok Jaka Someh. Namun Jaka Someh tidak gentar sedikitpun juga. Bahkan dia  menyambut serangan anak buah ki Bewok dengan santai dan dingin. Jaka Someh tanpa kesulitan sedikitpun dapat menghindari berbagai serangan dari anak buah ki Bewok, hanya dengan sedikit egos ke kanan dan ke kiri, ada kalanya dia sedikit merunduk kemudian mengubah posisi tubuhnya dengan melangkahkan kaki. Bahkan bukan hanya menghindar, Jaka Someh juga dapat membalas serangan mereka dengan mudahnya. Golok yang ada di tangannya pun dengan sigap dan cepatnya membabat beberapa anak buah ki Bewok. 
Setelah merobohkan beberapa anak buah Ki Bewok, dia langsung melompat ke sisi kanan seorang anak buah ki Bewok yang sedang lengah, kemudian dia langsung menebaskan goloknya ke arah punggung orang itu. Orang itu pun langsung roboh, setelah itu Jaka Someh  berjalan dengan santainya ke tengah kumpulan anak buah ki Bewok yang masih kebingungan dengan gerakan Jaka Someh yang begitu cepat bagaikan kilat, lalu Jaka Someh menyabetkan goloknya  ke arah kanan dan kirinya, serta menusukan golok tersebut ke arah belakangnya, sabetan goloknya yang cepat itu pun melukai tubuh beberapa anak buah ki Bewok. Darah bersemburan dari tubuh dan leher anak buah ki Bewok. Sudah ada dua belas anak buah ki Bewok yang tersungkur mati dengan luka menganga di beberapa bagian vital tubuhnya. 
Melihat hal tersebut, ki Bewok menjadi marah. Dia sudah tidak menganggap remeh lagi Jaka Someh.  Ki Bewok langsung melompat terjun ke kancah perkelahian. Dengan ganasnya dia memainkan jurus-jurus goloknya yang terkenal ganas dan menakutkan, namun jaka Someh ternyata tidak mengalami kesulitan sedikitpun untuk menghadapi jurus-jurus dari ki Bewok. Ketika golok dari Ki Bewok hendak menusuk dada Jaka Someh dengan kecepatan yang tinggi, Jaka Someh malah tidak menghindarinya, tangan kirinya justru  memegang bagian atas golok ki Bewok. 
Ki Bewok kaget karena tusukannya tertahan oleh tangkapan tangan kiri Jaka Someh. Dia coba menarik dengan seluruh tenaga yang dia miliki, namun dia tidak mampu melepaskan golok tersebut dari Jaka Someh. Padahal ki Bewok memiliki tenaga yang luar biasa, bahkan dia mampu mengangkat pohon besar sendirian. Namun ternyata tenaga dalam Jaka Someh jauh lebih tinggi dibandingkan miliknya. Sekali lagi Ki Bewok mencoba  dengan seluruh kekuatannya untuk menarik goloknya dari Jaka Someh, tiba-tiba Jaka Someh melepaskan golok tersebut secara mendadak, membuat Ki Bewok kehilangan keseimbangan tubuhnya, dia pun tersungkur ke belakang akibat tenaga tarikannya sendiri. Belum sempat ki Bewok jatuh ke tanah, Jaka Someh dengan gerakan kilat melompat ringan ke arah depan, menyusul Ki Bewok yang masih dalam posisi melayang jatuh kebelakang, kemudian dia mendaratkan pukulan tangan kanannya ke dada ki Bewok.
“ Praakkkk....”.
Ki Bewok tersungkur kebelakang dengan kerasnya. Darah hitam keluar dari mulutnya. Matanya melotot, terbelalak, kaget dan nyeri yang luar biasa. Napasnya tersengal-sengal. Ketika dia berusaha untuk bangkit lagi dari tanah, tiba-tiba dia terjatuh lagi, dia pun tewas dengan luka dalam di dadanya. Bagian dadanya nampak gosong seperti terbakar. 
Jaka Someh setelah memukul ki Bewok, langsung berbalik arah dan menyerang beberapa anak buah ki Bewok yang lain. Pukulannya  berhasil mengenai salah satu anak buah ki Bewok yang langsung tewas seketika dengan bersimpahkan darah di bagian kepalanya. Kemudian dia mengambil golok lawannya dan langsung membabat beberapa anak buah ki Bewok yang lain yang sedang ada di dekatnya. Empat orang dari anak buah ki Bewok pun langsung menemui ajalnya. Sungguh ganas dan mematikan jurus-jurus yang dilancarkan oleh Jaka Someh. Dia bertarung seakan-akan bukan seperti dirinya, yang biasanya lembut dan penuh kesopanan. Melihat Ki Bewok dan banyak temannya yang sudah tewas secara mengenaskan, sisa gerombolan lainnya yang masih hidup langsung menciut nyalinya. Mereka panik dan akhirnya berlarian menuju arah hutan desa Sukanagara, agar selamat terhindar dari amukan Jaka Someh.
Abah sarmad yang mengintip pertarungan Jaka Someh dengan gerombolan Ki Bewok dari celah bilik gubuknya terkesima dengan kehebatan Jaka someh yang mampu mengalahkan Ki Bewok dan gerombolannya dengan mudahnya. Awalnya dia mengira bahwa Jaka Someh akan binasa di tangan anak buah Ki Bewok. Bahkan dia sempat mengata-ngatai Jaka Someh yang tidak mau mendengarkan nasehatnya agar bersembunyi di dalam gubuknya. Namun setelah melihat Jaka Someh mampu mengalahkan banyak anak buah Ki Bewok dengan mudahnya, kekawatirannya pun berubah menjadi rasa girang. Apalagi saat melihat Ki Bewok tewas di tangan Jaka Someh, hati Abah sarmad pun menjadi tak menentu, antara bangga, bahagia dan puas karena telah terlepas dari momok yang menakutkannya. Ketika anak buah Ki Bewok lari kocar-kacir, abah Sarmad langsung lari keluar dengan hati yang riang gembira, sambil berlari dia berteriak
“ Horee...Ki Bewok...sudah mati...kampung kita sudah bebas...ayo keluar...keluar...!”.
Setelah berlarian kesana kemari, Abah Sarmad pun segera mendatangi Jaka Someh dan menyambutnya sebagai Pahlawan Kebanggaan. Beberapa wanita yang tadi nyaris menjadi korban keganasan gerombolan Ki Bewok langsung menyambut Jaka Someh. Tak henti-hentinya mereka bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Jaka Someh yang telah membebaskan mereka dari penindasan Ki Bewok. Para warga yang bersembunyi di dalam rumah pun satu persatu mulai keluar menyambut pahlawan mereka. Malam itu mereka bersuka cita karena telah terlepas dari marabahaya yang selama ini menakutkan mereka.
Kabar tewasnya Ki Bewok dan gerombolannya rupanya menjadi viral, menyebar luas ke berbagai kampung yang ada di sekitar wilayah Sukanagara. Mereka banyak memperbincangkan sosok Jaka Someh sebagai pendekar sakti yang rendah hati yang telah mengalahkan Ki Bewok dan anak buahnya.
Dua hari kemudian Jaka Someh pun berpamitan kepada Abah sarmad dan para warga kampung Sukanagara untuk melanjutkan pengembaraannya. Mereka nampak kecewa karena Jaka Someh akan pergi dari Kampung mereka. Apalagi para gadis dan janda-janda muda yang ada di kampung itu, banyak dari mereka yang berharap apabila Jaka someh bisa menjadi suaminya. Namun mereka memaklumi bahwa niatan Jaka Someh untuk melanjutkan pengembaraannya tidak akan mungkin bisa mereka tolak. Sebagai rasa terima kasih, mereka pun mencoba membekali Jaka someh dengan berbagai hadiah ala kadarnya, namun sebagian besar ditolak oleh Jaka Someh secara halus. Bukan karena kurang bersyukur namun karena Jaka Someh kawatir hatinya menjadi tidak ikhlas. Jaka Someh takut penghormatan yang dia terima dari para warga, akan membuatnya menjadi riya dan sombong, untuk itulah dia berniat untuk segera meninggalkan kampung tersebut secepatnya. Akhirnya setelah berbasa-basi sejenak, Jaka Someh pun melanjutkan perjalanannya, mengembara untuk mencari pengalaman dan pembelajaran dari berbagai wilayah yang dia datangi.
Sudah hampir dua tahun Jaka Someh melakukan pengembaraannya dan telah banyak wilayah yang telah dia datangi. Selama perjalanannya tersebut dia banyak belajar mengenai berbagai karakter masyarakat dan cara kehidupan mereka. Bagaimana mereka hidup, berbudaya dan beradat istiadat, bahkan dia juga sering merasa kagum dengan berbagai keterampilan dan keahlian yang dimiliki masyarakat yang ternyata banyak keunikan dan kekhasan sendiri. Dalam kurun waktu itu juga Jaka Someh telah banyak membasmi para pendekar jahat yang sombong dan senang menindas rakyat kecil. Kebanyakan dari mereka adalah  gerombolan perampok sadis, garong, begal dan rentenir. Nama Jaka Someh pun semakin terkenal di berbagai wilayah di tanah pasundan, baik dikalangan para pendekar maupun rakyat pada umumnya, meskipun mereka hanya sebatas mengenal nama dan reputasinya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...