Suasana kampung Cikaret sudah
kembali menjadi normal. Jaka Someh sudah beraktivitas seperti biasanya, yaitu
berlatih silat dan mengelola ladang pertaniannya. Luka di pergelangan tangan dan dadanya
pun sudah kembali sembuh. Ketika matahari sudah mulai surut, dia pulang ke gubuknya di
lereng gunung halimun. Karena hari sudah mulai gelap, Jaka Someh menyalakan lenteranya.
Selesai shalat magrib, dia memasak air panas. Malam itu dia ingin
membuat minuman dari jahe. Sambil menyiapkan nasi yang telah dia masak di waktu
pagi, Jaka Someh membuat sambal sederhana yang hanya terdiri dari cabe, bawang
merah, bawang putih dan tomat. Kesemua bahan tersebut dia peroleh dari
pekarangan gubuknya. Kemudian dia membakar ikan nila, hasil tangkapanya tadi
siang. Ketika Jaka Someh mau menyantap hidangannya, tiba-tiba terdengar suara
seseorang yang mengucapkan salam
“assalamualaikum…sampurasun. mohon maap
mengganggu...apakah ada orang di rumah ini?” Jaka Someh membalas salam itu,
“wa alaikum salam, iya pak, tunggu
sebentar…”
Dia membuka pintu gubuknya, di
lihatnya ada seorang laki-laki separuh baya sedang berdiri di depan pintu
gubuknya. Pakaiannya tampak lusuh, namun wajah lelaki itu tampak bersih dan
berwibawa. Jaka Someh bertanya kepada lelaki itu
“permisi bapak siapa ya...? koq bisa
sampai ke sini? Saya yakin bapak bukan warga kampong di sekitar sini... “.
Lelaki itu menjawab pertanyaan Jaka
Someh
“nama saya haji Ibrahim, saya sedang
musafir, sedang melakukan perjalanan jauh... saya berasal dari daerah
cianjur...”.
Jaka Someh pun mempersilahkan masuk
kepada tamunya
“mangga atuh pak, silahkan masuk ke
gubuk saya yang sederhana ini...mohon maaf apabila keadaannya kurang berkenan
di hati bapak”
setelah dipersilahkan masuk, tamu
itu pun masuk ke dalam gubuk.
“Terima kasih jang...rumah ini
terasa nyaman untuk saya... justru saya minta maap karena merepotkan ujang...”
Jaka Someh pun menjawab,
“Syukur atuh pak, kalau bapak merasa
nyaman berada di gubuk saya...berhubung saya sudah menyiapkan makan malam,
sekarang mah kita makan dulu saja ya pak... sok mangga atuh pak...jangan
sungkan-sungkan...he...he...makan seadanya ya...”
Haji Ibrahim tersenyum mendapatkan
tawaran makan malam dari jaka someh
“Alhamdulillah dapat rejeki, saya
jadi merasa enak...kalau begitu bapak ikutan makan saja, ya jang...?
he...he...tidak baik atuh jang kalau menolak rejeki mah...pamali...”.
Tanpa malu-malu, haji Ibrahim pun
makan bersama jaka Someh. Jaka Someh tertawa melihat haji Ibrahim yang nampak
tidak sungkan menerima tawaran makan darinya. Mereka menikmati makan sambil
mengobrol ngalor kidul. Suasana nya begitu akrab padahal mereka baru bertemu
bahkan belum saling kenal satu dengan yang lainnya. Jarang sekali jaka someh
kedatangan tamu seperti haji Ibrahim. Beberapa kali memang pernah ada beberapa
penduduk kampung cikaret yang ikut menginap di gubuknya karena sedang ada
urusan di gunung Halimun, namun tamu yang datang dari jauh, baru haji Ibrahim
ini saja. Setelah selesai makan, Jaka
Someh menyuguhkan minuman jahe kepada tamunya tersebut. Mereka pun kembali
asyik mengobrol menceritakan berbagai hal, namun yang paling banyak adalah
tentang kehidupan Jaka Someh sehari-hari.
Jaka Someh sempat menceritakan
sedikit tentang latihan silatnya kepada haji Ibrahim. Haji Ibrahim mendengarkan
cerita Jaka Someh dengan seksama. Beliau juga bercerita sedikit tentang
dirinya, terutama tentang pengalamannya berkelana ke berbagai wilayah di tanah
pasundan, yang hanya sekedar untuk menambah wawasan kehidupannya. Jaka Someh
merasa senang mendengar cerita dari Haji Ibrahim yang telah berkelana ke
berbagai wilayah, dia pun ingin menjadi seorang pengelana seperti haji Ibrahim,
berkelana menjelajah ke berbagai wilayah yang masih asing. Baginya itu adalah
pengalaman yang luar biasa. Hal itu untuk menggosok jiwanya agar lebih matang
dan kuat.
Setelah malam semakin larut, jaka
Someh mempersilahkan tamunya untuk beristirahat di bale-bale bambunya. Dia
merasa senang bisa mendapatkan teman yang bisa diajaknya untuk mengobrol,
sehingga hidupnya tidak lagi kesepian. Haji Ibrahim juga merasa senang dengan
keramah tamahan Jaka Someh yang penuh dengan ketulusan. Bagi Haji Ibrahim Jaka
Someh adalah seorang pemuda yang memiliki budi pekerti yang baik, selain sopan
dia juga sangat tulus menghomati tamunya.
Keesokan pagi setelah sarapan, haji
Ibrahim berkata pada Jaka Someh
“Jang Someh, saya berterima kasih
atas kebaikan ujang menerima saya di sini, sebelum pergi melanjutkan
perjalanan, saya ingin membalas kebaikan ujang pada saya, tapi saya tidak punya
apa2...”
Jaka Someh tersenyum mendengar
ucapan haji Ibrahim
“wah bapak ini kayak ke siapa
saja... gak apa-apa atuh pak...saya teh...benar-benar ikhlas...tidak perlu
bayar-bayaran segala...bahkan saya
senang kalau Bapak tinggal di sini lebih lama lagi...biar saya punya
teman...he...he...”
Haji Ibrahim tertawa kepada Jaka
Someh, kemudian dia berkata
“ he...he..iya Jang terima kasih banyak...saya
minta maap tidak bisa memberikan barang yang berharga untuk ujang...namun
karena ujang pernah bercerita ke saya, bahwa ujang sekarang sedang belajar ilmu
silat sendirian saja...maka perkenankan saya untuk berbagi pengetahuan yang
saya miliki, saya ingin berbagi beberapa jurus silat yang saya
miliki...mudah-mudahan saja bisa bermanfaat untuk Jang Someh...”
kata haji Ibrahim. Kemudian haji
Ibrahim pun melanjutkan lagi perkataannya
“mungkin ini teh cuma jurus
sederhana tapi kalau ujang rajin dan yakin dalam melatih nya...Insya Allah
jurus ini bisa memberi kemanfaatan dan keberkahan buat ujang kelak...”
Jaka Someh menjawab
“Alhamdulillah atuh pak, saya teh
seneng sekali kalau bapak mau memberi pelajaran ilmu silat...tolong ajari saya,
pak”.
Deg-degan rasanya Jaka Someh
mendengar akan di ajari beberapa jurus oleh Haji Ibrahim, rasanya dia tidak
sabar untuk segera mendapatkan pelajaran baru.
Pagi itu juga Jaka Someh mendapatkan
pelajaran ilmu silat dari haji Ibrahim. Ada tujuh jurus yang diajarkan kepada
Jaka Someh, semua gerakannya di barengi dengan olah pernapasan. Jurus ke satu
tentang ilmu pukulan, yaitu memukul dan menarik dengan cepat. Pukulannya tanpa
awalan, agar tidak bisa di tebak oleh lawan, dan di lancarkan dengan keras,
cepat dan spontanitas. Jurus kedua tentang cakaran atau bisa juga untuk
tangkisan. Jurus ini juga melatih kekuatan dari cengkeram jari-jari untuk
menghancurkan benda keras dan mengoyakan daging, dengan cara mencakar dan
mencengkeram. Jurus ketiga tentang teknik mengunci dan membuka kuncian, serta
teknik tangkapan dan dorongan. Jurus ke empat tentang ilmu bantingan yang dapat
menghancurkan kepala dan mematahkan berbagai persendian dan tulang. Jurus
kelima tentang ilmu sodokan maut untuk menghancurkan berbagai organ vital dan
saraf-saraf yang ada dalam tubuh lawan. Jurus ke enam tentang latihan
kombinasi, yaitu mengkombinasikan berbagai gerakan dalam variasi yang tidak
terbatas, ada kombinasi tangkisan, pukulan dan bantingan, jurus ke enam ini
adalah sebagai dasar untuk pengembangan jurus yang tanpa batas. Sedangkan Jurus
ke tujuh adalah tentang olah nafas dan pikiran, yang berguna untuk melatih dan
mengumpulkan energi dari alam agar bisa di salurkan dan di simpan ke seluruh
tubuh.
Jurus-jurus yang diajarkan haji
Ibrahim begitu berbahaya dan mematikan karena mengarah pada berbagai titik
kelemahan lawan, diantaranya bisa digunakan untuk membutakan mata lawan,
menghancurkan tengkorak lawan, menghancurkan tenggorokan lawan, mencongkel dan
membelah persendian yang ada di tengkorak lawan, mematahkan setiap persendian
lawan, meremukan tulang-tulang lawan, menghancurkan organ vital lawan dan
lainnya. Selain jurus tersebut digunakan untuk menghancurkan lawan, jurus-jurus
tersebut juga bermanfaat untuk membangkitkan dan memperkuat tenaga dalam serta
meningkatkan kekuatan tubuh bagi orang yang melatihnya.
Haji Ibrahim berkata pada Jaka Someh
“awas jang, kamu tidak boleh menggunakan jurus-jurus ini secara sembarangan,
gunakan kalau kondisi sedang kepepet
saja...karena ini adalah Jurus aliran keras untuk menghancurkan lawan...”
Haji Ibrahim juga mengajarkan teknik
untuk menghadapi lawan yang banyak, dengan menggunakan jurus langkah Empat Kelima
Pancar. Meskipun hanya kombinasi langkah-langkah kaki sederhana yang
memanfaatkan empat arah mata angin dan satu pusat sumbernya (pancar), jurus ini
bermanfaat ketika menghadapi serangan yang dilancarkan oleh banyak musuh dari
berbagai arah. Jurus langkah Empat Kelima Pancar ini sebenarnya adalah teknik mengubah posisi kita
terhadap kedudukan lawan, sehingga posisi kita bisa lebih
strategis terhadap lawan. Haji Ibrahim berkata
“Posisi tubuh itu menentukan jang,
kalau kita berada pada posisi yang tidak benar maka selain serangan kita tidak
efektif, kita juga bisa mudah dikalahkan lawan, makanya langkah kaki dan bentuk
kuda-kuda memiliki peranan yang penting dalam silat.”
Jaka Someh yang begitu serius
mendengarkan penjelasan dari haji Ibrahim, hanya menjawab dengan singkat “baik
pak, saya mengerti”.
Sebelum mengakhiri pelajarannya,
Haji Ibrahim pun menyampaikan lagi wasiatnya
“Jang Someh, Ujang harus ingat, Ilmu
silat ini adalah ilmu kehidupan, untuk meneruskan hidup kita yang penuh makna,
semua jurusnya ini berasal dari keinginan kita untuk tetap bisa melanjutkan
kehidupan yang sedang dalam keadaan terancam, Jadi ilmu silat ini adalah
tentang semangat kita yang ingin mempertahankan hidup yang berharga dan penuh
dengan nilai. Hidup itu memiliki siklus, jang... Hidup-mati-mati-hidup, kembang
menjadi buah-buah menjadi kembang, berusahalah dan bertawakalah, ada keras-ada
juga kelembutan, semuanya saling menggantikan, kalau tidak mampu dengan cara
halus ya coba dengan cara keras, kalau tidak mampu dengan cara keras ya cobalah
dengan cara halus...semuanya itu saling mengisi...”.
Mendengar perkataan haji
Ibrahim, Jaka Someh hanya bisa mengangguk, meskipun sebenarnya dia masih belum
begitu mengerti dengan maksud dari ucapan dari Haji Ibrahim tersebut.
Banyak sekali pelajaran yang telah
Jaka Someh terima dari haji Ibrahim. Ilmu dan kepandaian Jaka Someh sebelum
belajar ke haji Ibrahim ternyata belum ada apa-apanya. Padahal Jaka Someh waktu
itu sudah cukup bangga dapat mengalahkan seekor harimau ganas dengan tebasan goloknya. Ternyata di atas langit memang
masih ada langit. Jaka Someh yang selama ini sudah berlatih silat dengan sangat
keras ternyata masih cetek di bandingkan ilmu silatnya haji Ibrahim. Bagaikan
orang yang haus akan ilmu, Jaka Someh pun banyak menyerap pelajaran yang
berharga dari haji Ibrahim.
Haji Ibrahim berkata pada Jaka Someh
“jang Someh, untuk menggunakan
jurus-jurus ini, kuda-kuda ujang harus kuat dan kokoh, karena kuda-kuda itu
adalah pondasi dasar, agar kita bisa kuat maka tubuh kita juga harus bisa
menyatu dengan bumi, ujang harus membayangkan seakan-akan kita adalah bagian
yang tidak terpisahkan dengan bumi, harus menyatu dengan bumi agar bisa
mengambil energi yang ada di bumi sehingga kita bisa salurkan melalui tubuh
kita, untuk menghancurkan musuh-musuh yang sedang mengancam kita...”
Jaka Someh cuma bisa mengiyakan “baik pak,
saya juga akan melatih kuda-kuda saya agar lebih kuat lagi..”
Jaka Someh kali ini tidak banyak
berkata-kata, hanya mampu mengatakan “ya”, dan “baik, pak”. Dia begitu serius
mempelajari ilmu yang diajarkan haji Ibrahim, seakan-akan dia kawatir apabila
ada pelajaran yang terlewatkan olehnya.
Tanpa terasa, sudah tujuh hari Jaka
Someh belajar ilmu silat kepada haji Ibrahim. Pada hari kedelapan haji Ibrahim
pun berpamitan kepada Jaka Someh untuk melanjutkan perjalanannya. Jaka Someh
merasa sedih ditinggalkan oleh guru yang baru dikenalnya itu. Namun Jaka Someh
tidak mampu mencegah keinginan haji Ibrahim untuk melanjutkan perjalanannya.
Jaka Someh berterima kasih kepada haji Ibrahim yang telah mau mengajarkan
pelajaran silat. Haji Ibrahim akhirnya pergi meninggalkan Jaka Someh. Jaka
Someh tidak tahu bahwa haji Ibrahim adalah seorang pendekar yang melegenda
sebagai maha guru dari berbagai aliran silat di tanah pasundan seperti aliran
silat cikalong dan berbagai aliran silat lainnya. Penulis sendiri
sebenarnya masih bingung dengan nama haji Ibrahim. Ada dua versi tentang nama
haji Ibrahim dalam cerita ini yaitu ada yang mengatakan bahwa haji Ibrahim di
sini maksudnya adalah seorang syekh bernama Maulana Malik Ibrahim (beliau di
anggap sebagai salah satu wali di tanah Jawa) atau ada yang mengatakan bahwa
haji Ibrahim ini adalah Raden Jaya Perbata yang kemudian
mengganti nama setelah menunaikan ibadah haji ke mekah menjadi Raden haji
Ibrahim. Penulis menganggap
bahwa haji Ibrahim dalam cerita ini adalah Raden Jaya Perbata sesepuh dari
perguruan silat Cikalong yang terkenal di tanah Pasundan. Wallahu alam...
Sepeninggal Raden haji Ibrahim, Jaka
Someh bertambah giat dalam latihannya. Dia terus menerus melatih ilmu silatnya
secara berulang-ulang setiap hari. Meskipun gerakan jurusnya tampak sederhana,
namun ketika dia mempraktekan jurusnya secara sungguh-sungguh, ternyata baru
jurus ke satu saja, nafasnya sudah terengah-engah. Bajunya pun basah oleh
keringat yang bercucuran. Jaka Someh yang memang pantang menyerah, terus
berusaha melatihnya dengan disiplin. Setelah satu tahun lebih barulah dia mampu
menguasai kesemua jurus, mulai dari jurus ke satu sampai jurus ke tujuh tanpa
nafasnya terengah-engah. Ketika selesai mempraktekan sampai jurus ke tujuh,
tubuh Jaka Someh nampak mengeluarkan asap, menandakan tubuhnya menjadi panas
karena pengaruh energi besar yang ada dalam seluruh tubuhnya. Demikianlah
setiap hari dia masih terus menerus melatih ilmu yang telah di ajarkan oleh
haji Ibrahim, sehingga seluruh badannya pun menjadi bertambah keras dan pejal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar