Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang |
Pagi itu, Jaka Someh berjalan
menyusuri jalan setapak menuju suatu perkampungan diwilayah Subang. Dilihatnya
pemandangan sawah yang terhampar hijau karena terawat dengan baik oleh para
pemiliknya. Aliran air dari saluran irigasi sederhana tampak lancar mengairi sawah-sawah
dan perkebunan di wilayah tersebut. Dilihatnya beberapa petani sedang berjalan
menyusuri pesawahan sambil bercakap-cakap riang dengan teman-temannya. Jaka
Someh terus berjalan hingga dia berpapasan dengan sepasang suami istri setengah
baya yang sedang berjalan menuju kebun ladangnya. Mereka tersenyum ramah kepada
Jaka Someh, kemudian mereka menyapanya
“Permisi, kang..., hapunten kalau si
akang teh dari mana dan mau kemana?”.
Jaka Someh terkesima dengan sikap
mereka yang ramah. Jaka Someh pun menjawab senyum mereka, sambil berkata dengan
kikuk
“eeh...anu bapak dan ibu saya cuma
numpang lewat, saya teh dari jauh mau ke arah kulon..”. Sambil masih tersenyum,
mereka mempersilahkan Jaka Someh
“ Ooh..Mangga atuh
Kang...Wilujeng...”.
Mereka pun pergi sambil menganggukan
kepala sebagai tanda kesopanan dan hormat pada tamu yang baru mereka temui
tersebut. Jaka Someh pun melanjutkan perjalanannya dan memasuki area dalam
perkampungan. Di dalam perkampungan itu, dia melihat banyak warga sedang melakukan berbagai aktivitas. Wajah mereka dipenuhi oleh semangat yang penuh kegembiraan. Beberapa
dari mereka bekerja secara berkelompok dan nampak begitu rukun lan guyub. Sambil berjalan, Jaka Someh terus
mengamati keadaan di sekitar perkampungan itu. Dia menyimpulkan bahwa kampung
itu adalah kampung yang makmur, sejahtera, aman sentosa dan rakyatnya hidup sejahtera dan penuh kerukunan. Tidak terlihat
adanya khawatir akan ancaman dari orang asing. Di sebelah utara kampung ada sebuah warung yang cukup
ramai dikunjungi oleh para warga yang senang cangkruan. Jaka Someh menyempatkan mampir ke
warung tersebut. Dia pun memesan makanan dan minuman dari warung tersebut
sebagai hidangan untuk sarapan di pagi itu. Jarang sekali dia bisa makan di
warung makan sebagaimana hari itu. Sambil menyantap hidangan, Jaka Someh mengajak ngobrol si pemilik warung
tersebut. Pemilik warung tersebut bernama pak Supar. Orangnya ramah dan supel. Jaka Someh banyak bertanya tentang
keadaan di kampung itu kepada Pak Supar. Untuk mengobati rasa heran dan
kagumnya pada suasana baik yang ada di kampung tersebut. Pak Supar yang ramah,
melayani obrolan Jaka Someh dengan asyiknya. Dia pun menceritakan perihal
kampungnya yang aman dan penuh ketentraman. Dalam ceritanya, dia membanggakan
kepala kampungnya sebagai pemimpin yang baik dan adil yang selalu memperhatikan
kesejahteraan warganya. Umumnya warga di kampung itu adalah para petani, namun sebagian ada juga yang
berprofesi sebagai pedagang dan pengrajin gerabah. Pak Supar juga bangga bahwa
hasil gerabah dari kampungnya tersebut telah terkenal dan tersebar keberbagai
wilayah di daerah sumedang larang. Jaka Someh lalu bertanya lagi kepada pak
Supar “Pak, kampung bapak ini kan makmur, apakah para warga tidak takut kalau
nanti ada gerombolan perampok yang menjarah ke kampung ini?”.
Pak Supar tertawa mendengar
pertanyaan dari Jaka Someh, dia menjawab
“tentu tidak atuh kang...kampung ini
teh ada yang menjaga...konon kata para sesepuh kampung, kampung kita ini teh di
jaga oleh seorang karuhun kampung yang berdiam di bukit karuhun itu...tuh..”.
Pak Supar menunjuk dengan jari
telunjuk kanannya ke sebuah bukit yang
nampak menjulang di sebelah selatan kampung. Percaya tidak percaya, jaka Someh
menoleh ke arah bukit yang di tunjuk oleh pak Supar, dia cuma berkata
“ Oohh, begitu ya pak...”.
Pak Supar kemudian melanjutkan lagi
ceritanya
“Mungkin si akang tidak percaya
dengan cerita saya...he...he..., tapi kang...ini bener...sudah ada
buktinya...pernah ada beberapa rampok yang mau datang kesini untuk
merampok...namun belum juga merampok mereka sudah mati duluan bahkan dengan kondisi yang mengenaskan...misterius kang matinya
juga...beberapa mayatnya ditemukan warga bergeletakan di pinggir hutan di bawah
bukit itu, dalam keadaan gosong seperti terbakar...”. Jaka Someh semakin tertarik dengan cerita Pak
Supar, dia pun bertanya kepada pak Supar “apakah sudah ada warga yang pernah
ketemu dengan karuhunnya, pak?”.
Pak Supar tertawa ringan kemudian
menjawab pertanyaan Jaka Someh
“ Sebenarnya belum pernah ada warga
yang bertemu dengan karuhun itu, kang...lagian bukit itu teh kelihatan angker pisan...jadinya tidak ada warga yang berani
mendekati apalagi memasuki areal bukit...namun kami percaya saja bahwa itu teh perbuatan eyang karuhun yang menempati bukit
itu...sebab yang cerita teh para sesepuh di sini...”.
Cerita pak Supar menambah rasa
penasaran jaka Someh, dia pun bertanya lagi pada pak Supar “pak, bagaimana
ceritanya, koq bisa ada karuhun bisa menempati di bukit itu...?”.
Pak Supar tertawa, lalu dia berkata
pada Jaka Someh
“ Ha...ha... si akang penasaran ya..kepo ya....begini kang...konon...ini kata
sesepuh kampung di sini lo, kang...dahulu kala ada pendekar
sakti yang luar biasa saktinya datang ke kampung ini...pendekar itu baru saja
melakukan pertarungan dengan kakak seperguruannya, tidak tahu masalahnya
kenapa, rupanya kakak seperguruannya itu lebih sakti dari dia, sehingga
pendekar itu terluka dalam pertarungan itu. Karena terluka parah dia pun nyaris meninggal, namun untungnya
kang...dia teh berhasil di selamatkan oleh Ki Sapri, tabib yang ada di kampung
ini...setelah sembuh dia bertempat di bukit itu untuk bertapa dan melatih
ilmunya lagi, mungkin untuk menghadapi kakak seperguruannya lagi, kang...nah
sebagai ucapan terima kasih kepada Ki sapri...dia pun berjanji akan menjaga
kampung ini dari segala ancaman musuh yang akan mengganggu kampung ini...begitu kang ceritanya...Ki
saprinya sendiri sudah lama meninggal, sekarang yang mewarisi ilmu
pengobatannya adalah Ki Thiban... kang, beliau teh cucu ki sapri... biasanya
beliau tinggal di lereng bukit itu, oh iya di sana ada pesantren juga, tempat
Ki Thiban mengajari para santrinya. Beliau adalah...seorang
ulama yang pernah belajar di kota Mekah dan Madinah......”.
Jaka Someh bertambah heran mendengar
cerita pak Supar tentang Eyang Karuhun, lalu dia mengungkapkan
keheranannya
“Pak, kalau memang ceritanya begitu,
saya heran apa mungkin pendekar itu masih hidup...ya.....padahal kalau di
hitung-hitung usianya mungkin sudah lebih dari 100 tahun...apa
mungkin ada orang yang bisa hidup lebih dari 100 tahun ya pak...? wah hebat juga kalau memang itu benar terjadi...”.
Pak
Supar juga merasa bingung untuk menjawab keheranan dari Jaka Someh
“ Iya Kang, saya juga tidak tahu
kalau masalah itu mah...bingung jawabnya...mungkin karena orang sakti kali
ya...sehingga tubuhnya bisa terpelihara tetap bugar meskipun umurnya sudah
ratusan tahun...waduuh...tapi tidak tahulah, kang...saya
juga...heran...he...he...”.
Setelah berbincang-bincang dan
beristirahat sejenak di warung pak Supar, jaka Someh pun akhirnya berpamitan
untuk melanjutkan perjalanannya. Rasa penasaran yang begitu besar terhadap
cerita pak Supar membuat Jaka Someh berniat untuk mendatangi bukit itu untuk
membuktikan keberadaan sosok pendekar karuhun yang diceritakan oleh pak Supar.
Akhirnya dia pun berjalan menuju bukit itu.
Jaka Someh terus berjalan menuju
bukit Karuhun. Dia baru sampai di lereng bukit menjelang sore hari. Kemudian
dia memutuskan untuk istirahat di suatu hamparan tanah lapang dekat
aliran sungai kecil yang mata airnya berasal dari puncak bukit. Setelah
melaksanakan shalat ashar, Jaka Someh mencoba mengamati keadaan di sekitarnya.
Dilihatnya segerombolan monyet kecil yang sedang bermain-main di pepohonan yang
ada di lereng bukit. Tanpa terasa matahari pun sudah mulai mau tenggelam di
ufuk barat. Langit sudah mulai tampak gelap tanda siang akan digantikan oleh
malam. Suara serangga-serangga hutan mulai terdengar dengan nyaring. Ketika
malam sudah benar-benar menguasai hari, Jaka Someh pun bersiap untuk
melanjutkan perjalanannya menuju puncak bukit. Dia terus berjalan menyusuri
jalan setapak yang sudah tampak tidak jelas lagi karena telah tertutupi oleh
ilalang. Semakin malam dia berjalan semakin dekat dia menuju puncak bukit.
Suara lolongan anjing liar sudah mulai terdengar dari arah puncak menambah
suasana angker bukit itu. Untunglah malam itu sedang bulan purnama, sehingga
masih ada cahaya rembulan yang membantu penglihatan Jaka Someh. Semakin
mendekati puncak, semakin terasa suasana angkernya, seakan-akan ada suasana
mistis yang menguasai bukit itu. Tiba-tiba ada hembusan angin dingin keras yang
menerpa tubuh Jaka Someh, membuat dia terhenyak dan menghentikan langkah
kakinya. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, memunculkan perasaan was-was dan
suasana hati yang tidak menentu. Belum pernah Jaka Someh merasakan rasa was-was
dalam hatinya seperti yang dia rasakan saat itu. Dia mengamati keadaan
sekelilingnya, tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan hitam dari arah kanan
tempat sekarang dia berdiri. Jaka Someh kaget, karena tiba-tiba saja bayangan
hitam itu berpindah dengan cepatnya melintasi pepohonan. Kemudian bayangan itu
pun melesat mendekati ke arah Jaka Someh, dan berhenti di depan Jaka Someh sambil menyeringai.
Jaka Someh coba mengamati sosok tersebut. Meskipun masih samar, namun Jaka
Someh mengetahui bahwa sosok tersebut adalah seorang lelaki tua berjubah hitam
dengan wajah menyeramkan. Tiba-tiba lelaki tua itu tertawa dengan suara
menyeramkan sambil berkata kepada Jaka Someh
“Ha...ha...anak muda apakah kamu mau
mencari mati datang ke bukit ini...?”.
Jaka Someh menjadi agak tenang
setelah mendengar suara dari lelaki tua itu. Dia yakin bahwa orang itu adalah
manusia meskipun dia yakin bahwa beliau bukan manusia sembarangan. Dia berkata
“Maaf eyang, saya tidak bermaksud
mengganggu peristirahatan eyang, saya cuma sekedar lewat saja, saya ini seorang
pengembara...”.
Belum selesai Jaka Someh ngomong,
eyang karuhun sudah memotongnya
“ Ha...ha...kamu bohong...saya tahu
kamu merasa hebat, merasa jagoan sehingga berniat menantang saya...”.
Mendengar ucapan eyang karuhun, Jaka
Someh kaget, dia berkata
“Maaf eyang mana berani saya
menantang eyang...”.
Eyang Karuhun tertawa lagi
“ha...ha...sudahlah tidak usah banyak
basa-`basi lagi...sudah lama saya tidak bertarung dan membunuh manusia...malam
ini juga kamu harus menjadi mangsa saya...ha...ha...”.
Setelah berkata begitu eyang karuhun
langsung menyerang Jaka Someh dengan kecepatan kilat dengan menggunakan jurus
cakarnya. Jaka Someh langsung meloncat kebelakang untuk menghindari serangan
dari eyang karuhun. Serangan eyang karuhun gagal mengenai tubuh Jaka Someh dan
mengenai pohon yang ada di sebelah kiri Jaka Someh tadi. Begitu kagetnya Jaka
Someh ketika melihat dampak dari
serangan eyang karuhun yang mengenai pohon tersebut. Pohon tersebut langsung
roboh dan terlihat gosong seperti habis terbakar. Melihat hal tersebut, Jaka
Someh langsung meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi eyang karuhun.
Tidak lama kemudian eyang karuhun pun melancarkan kembali serangannya yang
kedua, namun kali ini Jaka Someh tidak menghindar dia justru menangkis
pergelangan tangan eyang karuhun dengan pergelangan tangan kanannya. Ketika
kedua pergelangan tangan saling beradu, terdengar suara keras seperti dua logam
baja yang saling di adu. Jaka Someh langsung menarik tangannya yang tadi
digunakan untuk menangkis serangan eyang karuhun. Tangannya terasa panas dan
menyakitkan, namun dia masih bisa menahan rasa sakit itu. Serasa ada hawa
setani yang kuat dalam jurus-jurus yang dilancarkan eyang Karuhun. Dalam hati
Jaka Someh berkata
“Hebat sekali orang ini...saya harus
hati-hati menghadapinya”.
Setelah kedua serangannya mampu di
hadapi oleh Jaka someh, eyang karuhun pun melanjutkan lagi dengan
serangan-serangan yang lain yang lebih dahsyat. Untuk menghadapi serangan
selanjutnya, Jaka Someh tidak berani lagi menggunakan kedua tangannya untuk di
adu secara langsung dengan tangan eyang karuhun,dia lebih memilih untuk menghindar dan menahan
dengan telapak tangannya daripada harus bentrok langsung dengan pergelangan
tangan eyang karuhun. Keduanya pun melanjutkan pertarungan dengan seru, saling
menyerang dan bertahan, namun lebih banyak eyang karuhun yang melancarkan
serangan dibandingkan Jaka Someh. Jaka Someh lebih banyak menghindar daripada
menyerang. Baru sekarang dia merasakan rasa payah ketika bertarung. Meskipun
Jaka Someh merasa kewalahan dengan jurus-jurus yang dilancarkan eyang karuhun,
namun sampai saat itu dia masih mampu
bertahan dan mencoba mengimbangi jurus-jurus dari eyang karuhun.
Setelah bertarung beberapa jam tanpa
kejelasan, tiba-tiba Eyang karuhun pun meloncat ke arah belakang, berdiri tegak
memasang kuda-kudanya, dia pun mulai menyiapkan jurus pamungkasnya untuk
mengakhiri pertarungan tersebut. Dia berkata kepada Jaka Someh “ha...ha...tidak
di sangka...kamu hebat juga anak muda...Entah berapa lama saya melatih
ilmu kanuragan saya, untuk menghadapi kakak seperguruan saya, sekarang
ilmu saya sudah mencapai puncak, kekuatannya juga sudah berlipat ganda...tapi
sungguh saya tidak menyangka, ternyata masih ada orang yang mampu mengimbangi
ilmu saya, padahal selama ini belum pernah ada seorang pun yang sanggup
bertahan lama dengan jurus-jurus yang saya miliki. Baiklah...pendekar
muda...sekarang kamu terima ajian andalan saya...aji sagara geni...”. Eyang
Karuhun pun langsung memejamkan matanya dan mulai mengkonsentrasikan dirinya.
Bibirnya tampak komat-kamit merapalkan mantera-mantera yang dia miliki. Setelah
beberapa saat eyang karuhun langsung menyerang Jaka Someh dengan kedua
telapak tangannya sambil berteriak keras “Aji sagara geni...”. Jaka Someh
merasakan hawa panas mendekatinya, dia pun meloncat tinggi ke atas suatu dahan
pohon untuk menghindari serangan itu. Eyang karuhun pun langsung menyusulkan
gerakan telapak tangannya ke arah pohon tempat Jaka Someh hinggap. Jaka Someh
pun langsung turun lagi ke tanah. Dia kaget pohon yang tadi digunakan untuk
berpijak ternyata sudah hangus terbakar dan menjadi abu. Belum hilang rasa
kagetnya, tiba-tiba dia merasakan ada hawa serangan dari jurus telapak tangan
kanan eyang karuhun yang sudah mendekati tubuhnya. Karena sulit untuk menghindarinya,
Jaka Someh pun dengan terpaksa menahan serangan tersebut dengan tangan kanannya
yang sudah dia isi dengan tenaga dalamnya. Sambil tangan kirinya memukul dada
eyang karuhun yang nampak tidak terlindungi. Jaka Someh langsung mundur ke
belakang akibat bentrokan dengan kekuatan dari eyang karuhun, demikian juga
dengan eyang karuhun yang dadanya terkena pukulan tangan kiri Jaka Someh, juga
mundur kebelakang. Jaka Someh langsung terhuyung-huyung, seluruh badannya
terasa panas seperti terbakar. Dadanya terasa sesak, kepalanya pun menjadi
pusing. Darah segar pun langsung keluar dari mulutnya. Jaka Someh tak
mampu lagi untuk berdiri. Dia pun langsung roboh ke tanah. Naluri hidupnya
memaksa dia untuk segera pergi dari tempat itu. Jaka Someh langsung berusaha
kabur meski dengan jalan tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit dan panas
akibat serangan dari eyang karuhun. Jaka Someh sudah tidak lagi peduli dengan
apa yang terjadi dengan eyang Karuhun yang terkena pukulan tangan kirinya. Yang
dia pikirkan saat itu adalah berusaha menjauh dari tempat itu agar bisa
selamat. Karena sudah tidak mampu lagi
untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, Jaka Someh pun tergelincir dan jatuh ke
lereng bukit. Dia pun pingsan tidak
sadarkan diri.
Bersambung ke bagian 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar