Jumat, 23 Februari 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 18. Eyang Karuhun

Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang



Pagi itu, Jaka Someh berjalan menyusuri jalan setapak menuju suatu perkampungan diwilayah Subang. Dilihatnya pemandangan sawah yang terhampar hijau karena terawat dengan baik oleh para pemiliknya. Aliran air dari saluran irigasi sederhana tampak lancar mengairi sawah-sawah dan perkebunan di wilayah tersebut. Dilihatnya beberapa petani sedang berjalan menyusuri pesawahan sambil bercakap-cakap riang dengan teman-temannya. Jaka Someh terus berjalan hingga dia berpapasan dengan sepasang suami istri setengah baya yang sedang berjalan menuju kebun ladangnya. Mereka tersenyum ramah kepada Jaka Someh, kemudian mereka menyapanya 
“Permisi, kang..., hapunten kalau si akang teh dari mana dan mau kemana?”.
Jaka Someh terkesima dengan sikap mereka yang ramah. Jaka Someh pun menjawab senyum mereka, sambil berkata dengan kikuk
“eeh...anu bapak dan ibu saya cuma numpang lewat, saya teh dari jauh mau ke arah kulon..”. Sambil masih tersenyum, mereka mempersilahkan Jaka Someh
“ Ooh..Mangga atuh Kang...Wilujeng...”.
Mereka pun pergi sambil menganggukan kepala sebagai tanda kesopanan dan hormat pada tamu yang baru mereka temui tersebut. Jaka Someh pun melanjutkan perjalanannya dan memasuki area dalam perkampungan. Di dalam perkampungan itu, dia melihat banyak warga  sedang melakukan berbagai aktivitas. Wajah mereka dipenuhi oleh semangat yang penuh kegembiraan. Beberapa dari mereka bekerja secara berkelompok dan nampak begitu rukun lan guyub. Sambil berjalan, Jaka Someh terus mengamati keadaan di sekitar perkampungan itu. Dia menyimpulkan bahwa kampung itu adalah kampung yang makmur, sejahtera, aman sentosa dan rakyatnya  hidup sejahtera dan penuh kerukunan. Tidak terlihat adanya khawatir akan ancaman dari orang asing. Di sebelah utara kampung ada sebuah warung yang cukup ramai dikunjungi oleh para warga yang senang cangkruan. Jaka Someh menyempatkan mampir ke warung tersebut. Dia pun memesan makanan dan minuman dari warung tersebut sebagai hidangan untuk sarapan di pagi itu. Jarang sekali dia bisa makan di warung makan sebagaimana hari itu. Sambil menyantap hidangan, Jaka Someh mengajak ngobrol si pemilik warung tersebut. Pemilik warung tersebut bernama pak Supar. Orangnya ramah dan supel. Jaka Someh banyak bertanya tentang keadaan di kampung itu kepada Pak Supar. Untuk mengobati rasa heran dan kagumnya pada suasana baik yang ada di kampung tersebut. Pak Supar yang ramah, melayani obrolan Jaka Someh dengan asyiknya. Dia pun menceritakan perihal kampungnya yang aman dan penuh ketentraman. Dalam ceritanya, dia membanggakan kepala kampungnya sebagai pemimpin yang baik dan adil yang selalu memperhatikan kesejahteraan warganya. Umumnya warga di kampung itu adalah para petani, namun sebagian ada juga yang berprofesi sebagai pedagang dan pengrajin gerabah. Pak Supar juga bangga bahwa hasil gerabah dari kampungnya tersebut telah terkenal dan tersebar keberbagai wilayah di daerah sumedang larang. Jaka Someh lalu bertanya lagi kepada pak Supar “Pak, kampung bapak ini kan makmur, apakah para warga tidak takut kalau nanti ada gerombolan perampok yang menjarah ke kampung ini?”.
Pak Supar tertawa mendengar pertanyaan dari Jaka Someh, dia menjawab
“tentu tidak atuh kang...kampung ini teh ada yang menjaga...konon kata para sesepuh kampung, kampung kita ini teh di jaga oleh seorang karuhun kampung yang berdiam di bukit karuhun itu...tuh..”.
Pak Supar menunjuk dengan jari telunjuk kanannya ke  sebuah bukit yang nampak menjulang di sebelah selatan kampung. Percaya tidak percaya, jaka Someh menoleh ke arah bukit yang di tunjuk oleh pak Supar, dia cuma berkata
“ Oohh, begitu ya pak...”.
Pak Supar kemudian melanjutkan lagi ceritanya
“Mungkin si akang tidak percaya dengan cerita saya...he...he..., tapi kang...ini bener...sudah ada buktinya...pernah ada beberapa rampok yang mau datang kesini untuk merampok...namun belum juga merampok mereka sudah mati duluan bahkan dengan kondisi yang mengenaskan...misterius kang matinya juga...beberapa mayatnya ditemukan warga bergeletakan di pinggir hutan di bawah bukit itu, dalam keadaan gosong seperti terbakar...”.  Jaka Someh semakin tertarik dengan cerita Pak Supar, dia pun bertanya kepada pak Supar “apakah sudah ada warga yang pernah ketemu dengan karuhunnya, pak?”.
Pak Supar tertawa ringan kemudian menjawab pertanyaan Jaka Someh
“ Sebenarnya belum pernah ada warga yang bertemu dengan karuhun itu, kang...lagian bukit itu teh kelihatan angker pisan...jadinya tidak ada warga yang berani mendekati apalagi memasuki areal bukit...namun kami percaya saja bahwa itu teh perbuatan eyang karuhun yang menempati bukit itu...sebab yang cerita teh para sesepuh di sini...”.
Cerita pak Supar menambah rasa penasaran jaka Someh, dia pun bertanya lagi pada pak Supar “pak, bagaimana ceritanya, koq bisa ada karuhun bisa menempati di bukit itu...?”.
Pak Supar tertawa, lalu dia berkata pada Jaka Someh
“ Ha...ha... si akang penasaran ya..kepo ya....begini kang...konon...ini kata sesepuh kampung di sini lo, kang...dahulu kala ada pendekar sakti yang luar biasa saktinya datang ke kampung ini...pendekar itu baru saja melakukan pertarungan dengan kakak seperguruannya, tidak tahu masalahnya kenapa, rupanya kakak seperguruannya itu lebih sakti dari dia, sehingga pendekar itu terluka dalam pertarungan itu. Karena terluka parah dia  pun nyaris meninggal, namun untungnya kang...dia teh berhasil di selamatkan oleh Ki Sapri, tabib yang ada di kampung ini...setelah sembuh dia bertempat di bukit itu untuk bertapa dan melatih ilmunya lagi, mungkin untuk menghadapi kakak seperguruannya lagi, kang...nah sebagai ucapan terima kasih kepada Ki sapri...dia pun berjanji akan menjaga kampung ini dari segala ancaman musuh yang akan mengganggu kampung ini...begitu kang ceritanya...Ki saprinya sendiri sudah lama meninggal, sekarang yang mewarisi ilmu pengobatannya adalah Ki Thiban... kang, beliau teh cucu ki sapri... biasanya beliau tinggal di lereng bukit itu, oh iya di sana ada pesantren juga, tempat Ki Thiban mengajari para santrinya.  Beliau adalah...seorang ulama yang pernah belajar di kota Mekah dan Madinah......”.
Jaka Someh bertambah heran mendengar cerita pak Supar tentang Eyang Karuhun, lalu dia mengungkapkan keheranannya
“Pak, kalau memang ceritanya begitu, saya heran apa mungkin pendekar itu masih hidup...ya.....padahal kalau di hitung-hitung usianya mungkin sudah lebih dari 100 tahun...apa mungkin ada orang yang bisa hidup lebih dari 100 tahun ya pak...? wah hebat juga kalau memang itu benar terjadi...”.
Pak  Supar juga merasa bingung untuk menjawab keheranan dari Jaka Someh
“ Iya Kang, saya juga tidak tahu kalau masalah itu mah...bingung jawabnya...mungkin karena orang sakti kali ya...sehingga tubuhnya bisa terpelihara tetap bugar meskipun umurnya sudah ratusan tahun...waduuh...tapi tidak tahulah, kang...saya juga...heran...he...he...”.
Setelah berbincang-bincang dan beristirahat sejenak di warung pak Supar, jaka Someh pun akhirnya berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Rasa penasaran yang begitu besar terhadap cerita pak Supar membuat Jaka Someh berniat untuk mendatangi bukit itu untuk membuktikan keberadaan sosok pendekar karuhun yang diceritakan oleh pak Supar. Akhirnya dia pun berjalan menuju bukit itu. 
Jaka Someh terus berjalan menuju bukit Karuhun. Dia baru sampai di lereng bukit menjelang sore hari. Kemudian dia memutuskan untuk istirahat  di suatu hamparan tanah lapang dekat aliran sungai kecil yang mata airnya berasal dari puncak bukit. Setelah melaksanakan shalat ashar, Jaka Someh mencoba mengamati keadaan di sekitarnya. Dilihatnya segerombolan monyet kecil yang sedang bermain-main di pepohonan yang ada di lereng bukit. Tanpa terasa matahari pun sudah mulai mau tenggelam di ufuk barat. Langit sudah mulai tampak gelap tanda siang akan digantikan oleh malam. Suara serangga-serangga hutan mulai terdengar dengan nyaring. Ketika malam sudah benar-benar menguasai hari, Jaka Someh pun bersiap untuk melanjutkan perjalanannya menuju puncak bukit. Dia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah tampak tidak jelas lagi karena telah tertutupi oleh ilalang. Semakin malam dia berjalan semakin dekat dia menuju puncak bukit. Suara lolongan anjing liar sudah mulai terdengar dari arah puncak menambah suasana angker bukit itu. Untunglah malam itu sedang bulan purnama, sehingga masih ada cahaya rembulan yang membantu penglihatan Jaka Someh. Semakin mendekati puncak, semakin terasa suasana angkernya, seakan-akan ada suasana mistis yang menguasai bukit itu. Tiba-tiba ada hembusan angin dingin keras yang menerpa tubuh Jaka Someh, membuat dia terhenyak dan menghentikan langkah kakinya. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, memunculkan perasaan was-was dan suasana hati yang tidak menentu. Belum pernah Jaka Someh merasakan rasa was-was dalam hatinya seperti yang dia rasakan saat itu. Dia mengamati keadaan sekelilingnya, tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan hitam dari arah kanan tempat sekarang dia berdiri. Jaka Someh kaget, karena tiba-tiba saja bayangan hitam itu berpindah dengan cepatnya melintasi pepohonan. Kemudian bayangan itu pun melesat mendekati ke arah Jaka Someh, dan berhenti di  depan Jaka Someh sambil menyeringai. 
Jaka Someh coba mengamati sosok  tersebut. Meskipun masih samar, namun Jaka Someh mengetahui bahwa sosok tersebut adalah seorang lelaki tua berjubah hitam dengan wajah menyeramkan. Tiba-tiba lelaki tua itu tertawa dengan suara menyeramkan sambil berkata kepada Jaka Someh
“Ha...ha...anak muda apakah kamu mau mencari mati datang ke bukit ini...?”.
Jaka Someh menjadi agak tenang setelah mendengar suara dari lelaki tua itu. Dia yakin bahwa orang itu adalah manusia meskipun dia yakin bahwa beliau bukan manusia sembarangan. Dia berkata
“Maaf eyang, saya tidak bermaksud mengganggu peristirahatan eyang, saya cuma sekedar lewat saja, saya ini seorang pengembara...”.
Belum selesai Jaka Someh ngomong, eyang karuhun sudah memotongnya
“ Ha...ha...kamu bohong...saya tahu kamu merasa hebat, merasa jagoan sehingga berniat menantang saya...”.
Mendengar ucapan eyang karuhun, Jaka Someh kaget, dia berkata
“Maaf eyang mana berani saya menantang eyang...”.
Eyang Karuhun tertawa lagi
 “ha...ha...sudahlah tidak usah banyak basa-`basi lagi...sudah lama saya tidak bertarung dan membunuh manusia...malam ini juga kamu harus menjadi mangsa saya...ha...ha...”.
Setelah berkata begitu eyang karuhun langsung menyerang Jaka Someh dengan kecepatan kilat dengan menggunakan jurus cakarnya. Jaka Someh langsung meloncat kebelakang untuk menghindari serangan dari eyang karuhun. Serangan eyang karuhun gagal mengenai tubuh Jaka Someh dan mengenai pohon yang ada di sebelah kiri Jaka Someh tadi. Begitu kagetnya Jaka Someh ketika melihat  dampak dari serangan eyang karuhun yang mengenai pohon tersebut. Pohon tersebut langsung roboh dan terlihat gosong seperti habis terbakar. Melihat hal tersebut, Jaka Someh langsung meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi eyang karuhun. Tidak lama kemudian eyang karuhun pun melancarkan kembali serangannya yang kedua, namun kali ini Jaka Someh tidak menghindar dia justru menangkis pergelangan tangan eyang karuhun dengan pergelangan tangan kanannya. Ketika kedua pergelangan tangan saling beradu, terdengar suara keras seperti dua logam baja yang saling di adu. Jaka Someh langsung menarik tangannya yang tadi digunakan untuk menangkis serangan eyang karuhun. Tangannya terasa panas dan menyakitkan, namun dia masih bisa menahan rasa sakit itu. Serasa ada hawa setani yang kuat dalam jurus-jurus yang dilancarkan eyang Karuhun. Dalam hati Jaka Someh berkata
“Hebat sekali orang ini...saya harus hati-hati menghadapinya”.
Setelah kedua serangannya mampu di hadapi oleh Jaka someh, eyang karuhun pun melanjutkan lagi dengan serangan-serangan yang lain yang lebih dahsyat. Untuk menghadapi serangan selanjutnya, Jaka Someh tidak berani lagi menggunakan kedua tangannya untuk di adu secara langsung dengan tangan eyang karuhun,dia  lebih memilih untuk menghindar dan menahan dengan telapak tangannya daripada harus bentrok langsung dengan pergelangan tangan eyang karuhun. Keduanya pun melanjutkan pertarungan dengan seru, saling menyerang dan bertahan, namun lebih banyak eyang karuhun yang melancarkan serangan dibandingkan Jaka Someh. Jaka Someh lebih banyak menghindar daripada menyerang. Baru sekarang dia merasakan rasa payah ketika bertarung. Meskipun Jaka Someh merasa kewalahan dengan jurus-jurus yang dilancarkan eyang karuhun, namun sampai saat itu dia masih mampu  bertahan dan mencoba mengimbangi jurus-jurus dari eyang karuhun. 
Setelah bertarung beberapa jam tanpa kejelasan, tiba-tiba Eyang karuhun pun meloncat ke arah belakang, berdiri tegak memasang kuda-kudanya, dia pun mulai menyiapkan jurus pamungkasnya untuk mengakhiri pertarungan tersebut. Dia berkata kepada Jaka Someh “ha...ha...tidak di sangka...kamu hebat juga anak muda...Entah berapa lama saya  melatih ilmu kanuragan saya, untuk menghadapi  kakak seperguruan saya, sekarang ilmu saya sudah mencapai puncak, kekuatannya juga sudah berlipat ganda...tapi sungguh saya tidak menyangka, ternyata masih ada orang yang mampu mengimbangi ilmu saya, padahal selama ini belum pernah ada seorang pun yang sanggup bertahan lama dengan jurus-jurus yang saya miliki. Baiklah...pendekar muda...sekarang kamu terima ajian andalan saya...aji sagara geni...”. Eyang Karuhun pun langsung memejamkan matanya dan mulai mengkonsentrasikan dirinya. Bibirnya tampak komat-kamit merapalkan mantera-mantera yang dia miliki. Setelah beberapa saat eyang karuhun langsung menyerang Jaka Someh  dengan kedua telapak tangannya sambil berteriak keras “Aji sagara geni...”. Jaka Someh merasakan hawa panas mendekatinya, dia pun meloncat tinggi ke atas suatu dahan pohon untuk menghindari serangan itu. Eyang karuhun pun langsung menyusulkan gerakan telapak tangannya ke arah pohon tempat Jaka Someh hinggap. Jaka Someh pun langsung turun lagi ke tanah. Dia kaget pohon yang tadi digunakan untuk berpijak ternyata sudah hangus terbakar dan menjadi abu. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dia merasakan ada hawa serangan dari jurus telapak tangan kanan eyang karuhun yang sudah mendekati tubuhnya. Karena sulit untuk menghindarinya, Jaka Someh pun dengan terpaksa menahan serangan tersebut dengan tangan kanannya yang sudah dia isi dengan tenaga dalamnya. Sambil tangan kirinya memukul dada eyang karuhun yang nampak tidak terlindungi. Jaka Someh langsung mundur ke belakang akibat bentrokan dengan kekuatan dari eyang karuhun, demikian juga dengan eyang karuhun yang dadanya terkena pukulan tangan kiri Jaka Someh, juga mundur kebelakang. Jaka Someh langsung terhuyung-huyung, seluruh badannya terasa panas seperti terbakar. Dadanya terasa sesak, kepalanya pun menjadi pusing. Darah segar pun langsung keluar dari mulutnya.  Jaka Someh tak mampu lagi untuk berdiri. Dia pun langsung roboh ke tanah. Naluri hidupnya memaksa dia untuk segera pergi dari tempat itu. Jaka Someh langsung berusaha kabur meski dengan jalan tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit dan panas akibat serangan dari eyang karuhun. Jaka Someh sudah tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi dengan eyang Karuhun yang terkena pukulan tangan kirinya. Yang dia pikirkan saat itu adalah berusaha menjauh dari tempat itu agar bisa selamat. Karena sudah tidak mampu  lagi untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, Jaka Someh pun tergelincir dan jatuh ke lereng bukit. Dia pun pingsan tidak  sadarkan diri. 


Bersambung ke bagian 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...