Rabu, 14 Februari 2018

Cerita Novel "Sang Pendekar" Bab 6. Kembang Desa


Cerita Novel Silat Ksatria Ilalang


Sudah 2 Tahun Jaka Someh berlatih ilmu silat. Seperti biasanya, setiap bulan dia mengunjungi kediaman Aki Sudin. Sambil memikul barang bawaan hasil panen, dia berjalan tegap menuju desa Cinangka.

Sesampainya di kediaman Aki Sudin, seperti biasanya Jaka someh di sambut penuh keramahan oleh Aki sudin dan Nini Esih. Mereka sudah menganggap Jaka Someh seperti cucunya sendiri. Demikian juga dengan Jaka someh yang menganggap mereka sebagai kakek dan neneknya sendiri.

Hari itu, Nini Esih  sedang sibuk memasak sesuatu di dapur.

“Eh Nini sedang membuat apa...koq kelihatan sibuk sekali...?”

Jaka someh bertanya penasaran kepada Nini esih.

“Ini loh ...cucuku...nini  sedang membuat minyak kelapa...” Kata Nini Esih

“Minyak kelapa...? memangnya untuk apa Nini...?”

Kata Jaka someh merasa heran. Dia memang belum tahu banyak tentang minyak kelapa. Selama ini, untuk memasak makanan, Jaka Someh hanya menggunakan metode membakar, merebus dan mengukus saja.

“Ya buat masak  ...biar masakannya menjadi lebih enak dan gurih...bisa juga untuk meminyaki rambut biar kelihatan hitam dan sehat...atau bisa juga  untuk melembabkan kulit...wah pokoknya  banyak manfaatnya...itu waktu kamu dibalur tangan oleh si aki, kan menggunakan campuran minyak kelapa juga...masa kamu tidak tahu...?”.

Nini Esih berusaha memberi penjelasan.

Jaka someh mengangguk-anggukan kepalanya.

Jaka someh memang selalu merasa tertarik pada hal-hal yang baru dia temui. Dia kemudian banyak bertanya kepada Nini Esih mengenai cara membuat minyak kelapa. Nini Esih pun dengan senang hati menjelaskannya.

Dengan sabar dan telaten, Nini Esih terus mengaduk-aduk santan kelapa tua yang ada dalam wajan besar itu. Dia terus mengaduk-aduk secara kontinyu dan lama. Sampai akhirnya terbentuk minyak dan limbahnya yang berupa blondo. Jaka someh terus memperhatikan kegiatan itu.

Jaka someh merasa senang karena mendapatkan ilmu pengetahuan baru dari Nini Esih.

Setelah puas belajar cara membuat minyak kelapa, malamnya dia kembali mulai berlatih silat bersama Aki sudin dipekarangan rumah.

 Melihat kemampuan Jaka someh yang semakin pesat, Aki Sudin merasa bangga.  Dalam hati, beliau  berkata

“ Hebat kamu jang someh...kamu memang memiliki bakat yang luar biasa...dulu saya butuh puluhan tahun untuk bisa menguasai gerakan-gerakan itu sampai sempurna...kamu bahkan tidak memakan dua tahun, sudah memiliki gerakan yang sudah sempurna....bahkan jauh lebih kuat di bandingkan Saya...”

Setelah tiga hari dua malam berlatih di kediaman aki sudin, Jaka someh kembali berpamitan untuk pulang ke gubuknya di lereng gunung Halimun.

Hari menjelang sore ketika Jaka someh berjalan menyusuri sungai yang berada di wilayah perbatasan kampung Cikaret dan Kampung Cinangka.

Dengan langkah gontai dia berjalan sambil menikmati pemandangan alam sekitar. Matahari sudah tidak begitu terik. Angin juga berhembus sepoi-sepoi. Suara burung sudah mulai terdengar berkicau.

Ketika Jaka Someh sedang melewati daerah pinggiran sungai yang dipenuhi rerumputan yang tinggi, tiba-tiba dia mendengar suara orang yang sedang mengiba.

“Kang...jangan...jangan...tolong kang...jangan...saya gak mau...”

Jaka someh berhenti untuk mendengarkan lebih seksama. Baru saja dia akan mendekati asal suara tadi, tiba-tiba seorang perempuan melompat dan berlari dari arah rerumputan tinggi.

“aduh...kang Panji...Saya tidak mau...sudah ah...jangan di teruskan...saya pulang saja....”

Jaka Someh terkesima melihat perempuan itu.

Deg, jantungnya berdegup kencang saat dia mengetahui bahwa perempuan itu ternyata adalah Asih, anaknya Pak Rohadi. Seorang gadis berwajah ayu yang  memancarkan gairah kemudaaan. Seorang Kembang Desa dari Kampung Cikaret.

Seorang lelaki tampan berusaha mengejarnya,

“Nyai...ayo lah...jangan lari...Akang cuma bergurau saja koq...”.

Kata lelaki itu, yang tak lain adalah Panji, kekasih dari Asih.

“Tidak ah, Kang. Asih mau pulang...sudah sore...takut di marahi Bapak...”.

Panji pun berusaha mengejar Asih.

Tak memerlukan waktu lama, Panji segera menyusul Asih yang berlari tidak begitu kencang. Tangan asih pun segera ditariknya. Kemudian Panji merangkulnya dengan penuh hawa nafsu. Asih yang nampak ketakutan berusaha untuk berontak.

Panji tertawa melihat Asih yang berusaha menolaknya. Dia pun segera menguatkan pelukannya.

Jaka Someh yang melihat kelakuan Panji seperti itu langsung menjadi emosi. Dia segera melompat ke arah Panji dan mendorongnya. Panji langsung terjungkal ke belakang.

Kaget mendapat serangan mendadak dari seseorang. Panji berusaha bangkit, dan langsung menatap ke arah Jaka Someh.

“Bangsat...kamu siapa...? Berani-beraninya melawan Panji...murid dari perguruan Maung Karuhun...apakah kamu mencari mati...hah...?”

Tanpa pikir panjang, Panji langsung bangkit dan menyerang Jaka Someh.

Jaka Someh hanya sedikit mengelak, sambil memasukan pukulan tangan kanannya ke arah perut Panji. Gerakannya ringan, cepat namun berbobot.

Bruk...pukulan Jaka someh langsung mengenai perut Panji.

Panji meringis dan merasakan sakit yang luar biasa. Kedua tangannya memegangi perut. Nafasnya pun tersengal-sengal.

Dari mulutnya keluar darah segar. Matanya hanya bisa melotot menahan rasa sakit, sambil menunjuk ke arah Jaka someh. Namun dia tak mampu untuk berucap sepatah kata pun. Kemudian dia ambruk kembali dan terduduk di atas tanah.

Melihat kekasihnya roboh, Asih langsung lari mendekat ke arah Panji

“Kang...Panji...kamu tidak apa-apa...?”

Dengan penuh perasaan was-was, Asih langsung merangkul tubuh Panji yang sedang merasakan kesakitan.

Jaka Someh merasa heran melihat tingkah Nyi Asih seperti itu.

“Nyai kamu  kenapa...bukannya orang ini tadi mau menyakiti kamu...?”

“Kang someh...ternyata benar kamu  Kang Someh...Kang...ini  Kang Panji...awas kalau terjadi apa-apa dengan Kang panji...Asih akan marah terhadap akang...”

Jaka Someh terdiam. Dia Bingung dengan keadaan itu.

Kemudian dia segera menolong Panji. 

“Eh, kamu  kenal dengan orang ini, nyai...?”

Kata Panji sambil menunjuk ke arah Jaka Someh.

“iya kang..ini  Kang Someh...anak dari almarhum sahabat Bapak...”

Asih berusaha menerangkan.

“Kang Someh, Kang Panji  kekasih saya, jadi tidak mungkin dia menyakiti saya...tadi  cuma kesalah pahaman saja...”

Kata Asih kepada jaka Someh.

“Iya maaf nyai, Akang tidak tahu...akang kira orang ini akan memperkosa kamu...”

Kata Jaka someh berterus terang, seakan-akan menyesali tindakannya yang terkesan buru-buru.

“Iya tidak apa-apa, sekarang Akang minta maaf kepada Kang Panji....”

Oke...nyai....Kang Panji...saya minta maaf kepada kamu...karena sudah menyangka kamu akan berbuat kejahatan...”

Jaka Someh kemudian berusaha menyalami Panji.

Dengan terpaksa Panji menerima jabat  tangan Jaka Someh.

“Kang Someh...saya minta kepada akang agar akang tidak bercerita apa-apa kepada Bapak mengenai peristiwa tadi... awas lo kang...kalau akang berani bercerita...Asih akan marah...”

“Iya nyai...akang janji tidak akan bercerita apa-apa kepada Pak Rohadi...”

“Oh iya...sekarang bagaimana? apakah nyai bersedia saya antarkan pulang ke rumah...?”

Jaka Someh menawarkan diri untuk mengantar Nyi Asih pulang.

tidak usah Kang...Asih mau menemani Kang Panji dulu di sini...Akang silahkan pulang dulu saja...” Kata Asih.

Jaka Someh merasa ragu untuk meninggalkan Asih dan Panji berduaan di tempat itu.

“Sudahlah kang...akang pulang dulu saja...Asih tidak apa-apa...”

“tapi nyai...!kata Jaka Someh merasa ragu

tidak  apa-apa kang someh...sudahlah...akang silahkan pulang dulu saja...”

Kata Asih yang menyuruh Jaka someh untuk segera meninggalkan tempat itu.

Meskipun berat, akhirnya jaka Someh meninggalkan tempat itu.

 Dia berjalan menuju arah gubuknya di lereng gunung halimun. Sesampainya di rumah, jaka Someh langsung merebahkan dirinya di bale-bale rumahnya. Entah kenapa wajah Nyi asih menjadi terbayang-bayang di dalam pikirannya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya.

“Sudah ah...Someh kamu  jangan bermimpi terlalu tinggi...”.

Jaka Someh bergumam dalam hati. Dia segera memejamkan matanya agar bisa segera melupakan wajah manis Nyi Asih, sang Kembang Desa.


Bersambung ke bagian 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...