Jumat, 16 Maret 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 32. Sebuah Perjodohan



Saat sarapan bersama di rumah Raden karta, Dewi Sekar memberikan pujian kepada Jaka Someh karena telah berhasil menyembuhkan suami Ceu Entin. “Kang Someh, hebat...! bisa berhasil menyembuhkan Mang Adang, suami ceu Entin...bagaimana caranya Kang...?”
“ Bukan saya yang menyembuhkan nyai, akang mah hanya sekedar ikhtiar saja...Gusti Allah yang menyembuhkan...” Kata Jaka Someh kepada Dewi Sekar
“iya...tapi kan atas perantaraan Akang....beliau bisa sembuh....” kata Dewi Sekar.
“Ya Alhamdulillah...mungkin begitulah jalannya nyai...semua atas kehendak Gusti Allah...yang mengabulkan doa dan usaha kita...”. Kata jaka Someh sambil makan.
“ah..kang Someh..mah terlalu merendah...”. Kata Dewi Sekar lagi.
“bukan merendah nyai...tapi memang demikian adanya...  intinya sih...kita bersyukur ke Gusti Allah yang sudah mengabulkan doa dan harapan kita...eeh...sudah ya nyai....jangan di bahas lagi...akang takut nanti jadi sombong dan  riya...naudzubillahi min dzalik...he...he...maaf ya nyai...”.
Dewi Sekar hanya melongo mendengar ucapan Jaka Someh seperti itu.
Raden Karta tertawa melihat percakapan Jaka Someh dengan keponakannya. Dia semakin tertarik dengan kepribadian jaka Someh yang unik. Ada sesuatu yang istimewa di dalam kepribadian Jaka Someh meskipun penampilannya terkesan sederhana. Tanpa terasa mereka pun akhirnya mengobrol ngalor ngidul. Mereka berhenti saat hari menjelang siang. 
Waktu itu anak perempuan Raden Karta datang berkunjung sambil menggendong anaknya yang masih balita. Raden Karta dan istrinya terlihat sumringah karena kedatangan cucunya. Mereka pun berebutan untuk menggendong cucu kesayangan, sambil memain-mainkan pipi si anak, menjawel dan mencubit karena gemasnya. Tiba-tiba istri Raden Karta berkata kepada Dewi sekar
“Ayooo. Nyai...kapan kamu punya momongan...masa kalah sama Santika...adik sepupu kamu...”.
Santika tertawa kepada Dewi Sekar. Sedangkan Dewi Sekar memerah wajahnya mendengar ucapan bibinya. Raden Karta juga ikut menimpali ucapan istrinya seolah tidak peduli dengan rasa malu Dewi Sekar
“iya..atuh nyi...menurut mamang mah kamu teh sudah wayahnya untuk berumah tangga..wanita seusia kamu umumnya sudah punya momongan ...eleh..eleh... keponakan mamang yang geulis teh masih sibuk saja melatih ilmu kanuragan...kalau kata mamang mah sudahlah nyai...buat apa atuh kamu teh menyibukan diri di dunia persilatan...kurang ada gunanya...hidup teh suatu realita....”.
Dewi Sekar tak mampu menjawab ucapan paman dan bibnya. Hanya sedikit senyuman yang dipaksakan saja untuk menutupi rasa malunya. Untunglah dia terselamatkan oleh Jaka Someh yang tiba-tiba meminta izin kepada Raden Karta untuk pergi ke mesjid yang berada di kampung itu. Karena waktu itu sudah terdengan kumandang azan dhuhur. Raden Karta dengan senang hati mempersilahkannya. Dewi Sekar akhirnya dapat bernafas lega, dia pun segera pamit untuk menuju kamarnya. Khawatit Paman dan bibinya mengungkit lagi masalah perumah-tanggaan.
Raden Karta secara diam-diam memperhatikan sikap dan tingkah laku  Jaka Someh yang di anggapnya istimewa. Bukan hanya akhlaknya saja yang  baik, namun juga Jaka Someh adalah  seorang religius yang penuh sifat tawadhu. Ada kesan mendalam dalam hati Raden Karta mengenai pribadi Jaka Someh. Entah ide dari mana, tiba-tiba saja terbersit di dalam kepalanya untuk menjodohkan Jaka Someh dengan keponakannya.   
Bagaikan seorang mak comblang yang senang menjodoh-jodohkan, dia pun mendiskusikan hal tersebut dengan istrinya. Istrinya ternyata setuju dengan idenya. Malam itu juga Raden Karta memanggil keponakannya untuk menghadap. Dewi sekar sedikit merasa heran dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba  memintanya untuk menghadap ke kamar mereka. Di dalam kamar, Dewi Sekar bertanya heran kepada pamannya
“Ada apa mang? Seperti ada hal penting yang akan dibicarakan...”.
Raden Karta melirik kepada istrinya. Istrinya memberi isyarat mata kepada Raden Karta agar segera mengutarakan maksud tujuan Dewi Sekar di panggil menghadap mereka. Raden Karta  memulai obrolannya dengan sedikit berbasa-basi 
“Begini nyai....eh bentar....nyai teh sekarang sudah umur berapa ya...”. Dewi sekar merasa heran mendengar pertanyaan pamannya, dia pun menjawab 
“Sudah 19 tahun, mang....emang kenapa mang?”. Raden Karta mengangguk-anggukan kepalanya
“aduuh...keponakan mamang teh ternyata sudah dewasa ya...sudah wayahnya...eh nyai...geulis...menurut nyai bagaimana pribadinya jang someh teh...?”.
 Dewi sekar bertambah heran dengan ucapan dan pertanyaan pamannya. 
“kalau kang Someh menurut saya sangat baik, Mang..., memangnya ada apa dengan Kang Someh, mang ?”.
Raden Karta tersenyum 
“oh tidak apa-apa sih Nyai...cuma mamang dan bibi kamu teh berfikir...apakah nyai masih belum memikirkan masa depan nyai...?.”
Dewi Sekar terhenyak, dia pun langsung bertanya kepada pamannya 
“Maksud Mamang bagaimana?”.
Raden Karta menghela nafas, kemudian dia melanjutkan perkataannya 
“heemh...nyai...gadis-gadis seusia kamu teh kebanyakan sudah pada menikah...apakah kamu masih belum memikirkan perihal berumah tangga...? apa belum punya keinginan untuk menikah...?”.
Dewi sekar bertambah terkejut mendengar pertanyaam pamannya itu 
“Hemmh..bagaimana ya mang, jujur saya  belum berfikir ke arah sana...saat ini saya sedang fokus untuk mencari Rama dan adik Saya...yang sampai sekarang masih belum jelas kabarnya...”.
Raden karta tersenyum kepada dewi sekar 
“Ya sudah nyai, kalau begitu....begini saja...coba kamu timbang-timbang dahulu ucapan Mamang... bukan apa-apa Mamang teh cuma kawatir dengan masa depan kamu...mamang tidak mau kamu jadi perawan tua selamanya...makanya mamang berharap kamu bisa segera membangun rumah tangga...hidup teh terasa sangat singkat, nyai...tahu-tahu... kita sudah menjadi nenek-nenek....”.
Raden Karta melanjutkan ocehannya lagi, dia terus mengoceh yang intinya menasehati Dewi Sekar agar segera membangun rumah tangga. Ucapannya sangat lihay bagaikan mak comlang perjodohan yang sangat profesional. Lama-kelamaan Dewi Sekar pun mulai sedikit terpengaruh oleh ocehan Raden Karta, dia berkata sambil menghela nafas
 “hmhhh...iya...mang..iya...baiklah kalau begitu, saya akan coba fikirkan tentang   masalah itu...”.
Raden karta dan istrinya tertawa senang mendengar pernyataan Dewi Sekar barusasn “ha...ha...bagus...bagus...nyai...tapi ngomong-ngomong apakah kamu sudah punya lelaki yang di kagumi...untuk jadi calon suami kamu...?”.
Dewi Sekar menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Raden Karta “e...ee...hh...be...luum...Mang, memang Mamang dan Bibi punya pandangan?”.  Dewi Sekar berkata dengan polosnya.
“Kalau menurut Mamang mah.... jang Someh cukup baikk.....Dia seorang lelaki baik dan penuh ketulusan...”.
Dewi Sekar terhenyak kaget “Kang Someh...?”.
Raden Karta mengiyakan dewi Sekar “iya, jang Someh...memangnya kenapa? bukannya Jang someh cukup baik terhadap nyai...?”.
Dewi sekar memerah wajahnya mendengar pamannya berusaha menjodohkan dirinya dengan Jaka Someh. Dia memang kagum terhadap kepribadian Jaka Someh, tapi apakah itu sudah cukup menjadikan alasan untuk menikah dengannya? Raden Karta tersenyum melihat keponakannya yang mulai bimbang.
“Ya sudah...Begini saja, Nyai. Coba kamu fikirkan dahulu ucapan mamang...kamu timbang-timbang baik dan buruknya...kalau sudah ada keputusan segera sampaikan kepada mamang dan Bibi...Mamang tidak akan memaksa nyai...semua ini mamang lakukan hanya karena mamang sayang sama kamu...mamang ingin kamu menikah dengan lelaki yang baik...masalah harta, tahta, jabatan atau ketampanan seorang lelaki bukanlah jaminan untuk menjadi kamu hidup bahagia di dalam kehidupan rumah tangga...percayalah pada omongan mamang ini...”.
 Dewi Sekar menganggukan kepalanya 
“Baiklah Mang, Sekar akan coba pertimbangkan dahulu masalah ini...”
Raden Karta tersenyum mendengar jawaban dari keponakannnya tersebut 
“bagus nyai...bagus...mamang senang mendengar jawaban nyai...”. 
Tak lama kemudian Dewi Sekar berpamitan kepada paman dan bibinya.
Malam itu Dewi Sekar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia terus memikirkan perkataan pamannya yang menyuruhnya agar segera berumah tangga. 

Dewi Sekar menjadi ingat Jaka Someh., terbersit kenangan saat pertama dia bertemu Jaka Someh. Bayangan-bayangan kebaikan Jaka Someh pun terlintas begitu saja di dalam benaknya. 
Dewi Sekar juga ingat saat Jaka Someh menyuapinya ketika  sedang terluka, saat Jaka Someh menolong para warga yang kelaparan dan kebaikan-kebaikan lainnya. 

Sebenarnya Dewi Sekar tidak merasa keberatan kalau pun harus dijodohkan dengan Jaka Someh. Dia memang merasa berhutang nyawa kepada Jaka Someh. Tapi masalahnya sekarang dia sedang fokus mencari keberadaan Ayah dan adiknya. 

Dewi Sekar menghela nafasnya. Malam semakin larut, Dewi Sekar merasa sangat lelah dan ngantuk, dia pun akhirnya tertidur.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...