Bab 2: Sekilas Dendam
Jaka Someh berjalan menyusuri jalan setapak yang lebarnya hanya sekitar dua meter, seolah membelah Hutan Halimun1 menjadi dua bagian. Dengan semangat yang masih membara, ia terus melangkah gagah menuju sisi selatan gunung. Suara burung berkicau mengiringi perjalanannya, seakan menjadi musik alami yang menenangkan.
Di tengah perjalanan, ketika ia melintasi sebuah sungai kecil dengan air jernih, Jaka berhenti sejenak untuk mengisi wadah minumnya yang terbuat dari bambu. Ia meneguk beberapa kali, merasakan kesegaran air itu seolah menenangkan jiwanya yang lelah. Setelah wadah bambunya penuh, Jaka kembali melanjutkan perjalanannya.
Tak lama setelah berjalan sekitar seratus langkah, Jaka tiba-tiba melihat sekelompok pria bertampang garang berjalan tergesa-gesa dari arah puncak gunung. Mereka tampak membawa seorang lelaki tua dengan wajah penuh luka, seolah baru saja dipukuli.
Jaka tertegun ketika mengenali salah satu dari mereka. Ia tak akan pernah melupakan wajah orang yang telah membunuh ayahnya, meskipun kejadian itu sudah berlalu lebih dari lima tahun. Orang itu adalah Ki Marta2, salah satu anak buah Juragan3 Permana, yang telah menyebabkan ayahnya meninggal dengan tragis.
Melihat wajah Ki Marta, Jaka hanya bisa berdiri kaku, tak tahu harus bagaimana. Di dalam dadanya, berbagai perasaan berkecamuk—marah, benci, dan bingung. Ia ingin sekali menghadapi Ki Marta, namun ia sadar betul bahwa itu akan seperti bunuh diri. Ki Marta adalah seorang jawara dari Kampung Rawa Balong4 yang ditakuti banyak orang, sementara Jaka hanya seorang pemuda yang belum memiliki kemampuan bela diri. Bagaimana mungkin ia mampu menghadapi Ki Marta dan kawan-kawannya?
Namun, amarah dan kebenciannya mengalahkan rasa takutnya. Jaka berdiri tegak di tengah jalan, menghalangi Ki Marta dan kelompoknya.
Ketika rombongan Ki Marta mendekat, salah satu dari mereka, pria bertubuh kurus namun berwajah garang, berteriak kepada Jaka, “Hei, bocah cunguk! Kenapa kamu menghalangi jalan kami? Apa wajah bodohmu itu ingin kubuat seperti Ki Madun ini?”
Dibentak seperti itu, Jaka hanya terdiam, namun tatapannya terpaku pada Ki Marta dengan sorot mata tajam. Melihat tatapan Jaka, Ki Marta pun tersulut amarahnya.
“Kurang ajar! Kenapa kamu melotot seperti itu, hah? Mau kuhajar?” Ki Marta mengancam dengan nada mengejek.
Mendengar ancaman Ki Marta, Jaka semakin menatap tajam, matanya penuh kemarahan dan kebencian. Melihat sikap Jaka yang dianggap lancang, Ki Marta berlari ke arahnya dan langsung menampar wajahnya dengan keras. Tak berhenti di situ, Ki Marta pun menendang perut Jaka, membuatnya terjatuh ke belakang. Seruling bambunya terlepas dari ikatannya.
Sebelum Jaka sempat berdiri, teman-teman Ki Marta ikut bergabung, memukul dan menendangnya tanpa ampun. Jaka refleks melindungi wajah dan tubuhnya dengan kedua tangan. Rasa sedih, marah, dan kecewa bercampur aduk dalam dirinya, membuatnya sejenak lupa pada rasa sakit akibat pukulan Ki Marta dan teman-temannya. Untungnya, tubuhnya cukup kuat sehingga ia masih mampu bertahan dari serangan mereka. Namun, karena serangan yang terus-menerus, ia akhirnya mulai kehabisan tenaga dan merasakan kesakitan yang tak tertahankan.
Saat rasa sakit mencapai puncaknya, Jaka berteriak secara refleks, menangis dalam kesedihan dan kekecewaan karena tak mampu melawan Ki Marta dan kawan-kawannya.
“Aduh Gusti… aduh… sakit... ampun… Mang…”
Namun, Ki Marta dan teman-temannya tak menghiraukan tangisan Jaka, terus memukul tanpa belas kasihan sedikit pun. Hingga akhirnya, karena tak kuat lagi menahan rasa sakit, Jaka pun pingsan. Melihat Jaka yang sudah tak sadarkan diri, salah satu dari mereka berseru kepada yang lain, meminta mereka berhenti.
“Sudah, sudah. Bocah ini sudah sekarat. Percuma kita terus memukulinya, hanya buang-buang tenaga. Yang penting dia sudah dapat pelajaran, biar kapok.”
Ki Marta dan kawan-kawannya akhirnya berhenti. Setelah puas melihat Jaka tergeletak tak berdaya, mereka meninggalkannya begitu saja dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret lelaki tua yang mereka bawa.
Bersambung ke Bab 3