Jumat, 01 November 2024

The Hidden Master of Silat: Bab 3. Awal Sebuah Tekad

Matahari hampir berada di tengah langit, dan panasnya terasa begitu terik. Hanya sedikit awan yang menutupi langit di Kampung Cikaret. Angin gunung berhembus sepoi-sepoi, namun Jaka Someh sudah pingsan selama lebih dari enam jam. Meski di sekelilingnya banyak pepohonan rimbun, Jaka tergeletak di jalan setapak yang tidak terlindungi, sehingga terik matahari langsung mengenai kulitnya, menyadarkannya dari pingsan.

Jaka Someh mencoba membuka matanya. Kepalanya terasa pusing, bumi dan langit seakan-akan berputar. Ia kembali memejamkan mata, menunggu kesadarannya pulih sepenuhnya. Setelah cukup tenang, ia membuka mata lagi, mengingat kejadian yang baru saja dialaminya—peristiwa pahit yang terjadi begitu cepat dan tiba-tiba.

Wajahnya terasa perih akibat pukulan dan tamparan. Dadanya terasa sesak akibat tendangan Ki Marta dan kawan-kawannya. Sendi-sendinya ngilu. Dengan susah payah, ia bangkit dan duduk. Setelah berhasil, Jaka terdiam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sedih, marah, dan kecewa bergejolak di dalam dirinya, menyalakan api dendam.

Hatinya dipenuhi luka yang dalam, membuatnya tak lagi peduli pada rasa sakit di tubuhnya. Ia bertekad untuk membalas dendam pada mereka yang telah menganiaya dirinya dan ayahnya. Dengan tubuh yang masih lemah, Jaka berusaha berdiri. Meskipun tubuhnya sempoyongan, akhirnya ia berhasil tegak. Ia berjalan menuju pohon asam yang rimbun tak jauh dari sana. Di bawah pohon itu, Jaka mengistirahatkan jiwa dan raganya yang sedang terluka.

Setelah beristirahat cukup lama, kekuatannya mulai kembali. Ia pun memutuskan untuk pulang ke gubuknya. Dengan langkah tertatih, ia meninggalkan tempat itu, kembali ke gubuknya. Hari itu ia telah gagal pergi ke ladangnya.

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, dan Jaka belum kembali ke ladangnya. Ia lebih banyak melamun di dalam gubuknya. Tubuhnya mulai membaik, meskipun masih ada lebam di wajahnya. Meski usianya muda, tubuh Jaka kuat, dan semua luka fisiknya berangsur-angsur sembuh. Namun, luka di hatinya belum juga sembuh.

Hari itu, Jaka duduk melamun di serambi bale-bale, merenungi nasibnya yang tampak begitu sial. Ia merasa Tuhan berlaku kejam terhadapnya. Setelah kehilangan ayah dan ibu, kini ia mengalami penganiayaan. Hidupnya yang sebatang kara membuatnya merasa tak ada tempat berbagi keluhan, apalagi mencari pertolongan. Gubuknya yang terpencil semakin menambah kesepiannya. Ia berharap ada orang yang menemani di saat-saat susah seperti ini.

Kadang-kadang, warga kampung yang mencari kayu bakar mampir ke gubuknya, meskipun hanya untuk beristirahat di serambi. Namun, sudah lebih dari seminggu ini tak ada satu pun tamu yang datang.

Rasa rindu yang mendalam pada kedua orang tuanya tiba-tiba muncul. Ia teringat masa-masa bersama ayah dan ibunya dulu. Jaka merasa sedih mengenang ayahnya yang meninggal tragis di tangan Ki Marta dan kawan-kawannya. Ia sendiri hampir mengalami nasib yang sama. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membalas perbuatan Ki Marta yang telah menganiayanya.

“Seandainya aku bisa bela diri, apalagi kalau aku bisa jadi pendekar… pasti akan kuhancurkan mereka semua…” gumam Jaka sambil mengepalkan tinjunya. Dalam hatinya, ia berkeinginan menjadi pendekar yang kuat, yang tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Tapi, bagaimana caranya? Dasar-dasar silat saja ia tidak tahu.

Jaka bergumam, “Kalau begitu, aku harus mencari guru silat yang hebat. Tapi ke mana? Ah, tak peduli di mana dia berada, pokoknya aku harus menemukan seorang guru yang bisa mengajariku silat!”

Hari-hari berikutnya, pikiran Jaka dipenuhi hasrat untuk mencari guru yang bisa mengajarinya silat.

Pagi itu, Jaka duduk di atas batang pohon besar di halaman gubuknya. Pikirannya melayang memikirkan berbagai peristiwa yang telah terjadi. Ketika sedang asyik melamun, tiba-tiba seorang lelaki datang ke gubuknya. Ia adalah Mang Engkos, warga Kampung Cikaret yang sedang mencari kayu bakar. Melihat Jaka yang sedang melamun, muncul keisengan dalam benak Mang Engkos untuk mengagetkannya. Dengan mengendap-endap dari belakang, Mang Engkos menepuk pundak Jaka keras sambil berteriak.

“Hey... Someh, kamu lagi mikirin apa?”

Jaka terperanjat, lamunannya buyar seketika. “Ah, Mang Engkos ini bikin jantung saya mau copot saja…” balas Jaka.

Mang Engkos tertawa terbahak-bahak melihat Jaka yang kaget, lalu berkata, “Lagian kamu sih, pagi-pagi sudah melamun... melamunin apa sih, Meh?”

Jaka merasa senang bisa bertemu Mang Engkos di tengah hatinya yang sedang gundah, namun ia berpura-pura cemberut. “Ah, Mang Engkos kepo saja… dasar mau tahu urusan orang,” kata Jaka sambil menahan senyum.

Mang Engkos pun memasang wajah serius, meski tetap terlihat lucu di mata Jaka. “Bukan begitu, Meh. Pamali kalau kebanyakan melamun... saya punya cerita tentang orang yang meninggal mendadak gara-gara kebanyakan melamun…”

Entah kenapa, Jaka penasaran dengan cerita Mang Engkos. “Hah, yang benar, Mang? Masa iya cuma karena melamun orang bisa meninggal mendadak?”

Dengan muka serius, Mang Engkos melanjutkan, membuat Jaka semakin penasaran.

“Jadi begini, Meh… dulu ada seorang lelaki tua di kampung sebelah, namanya Pak Somad. Dia terkenal karena kebiasaannya yang aneh, selalu mau ‘mencoba’ setiap barang sebelum membelinya.”

Someh mulai tersenyum, penasaran. “Mencoba barang dulu, Mang?”

Mang Engkos mendekatkan wajahnya dan berkata dengan nada rahasia, “Iya, Pak Somad itu nggak bisa beli barang tanpa ‘uji coba’. Kalau beli buah, pasti digigit dulu. Kalau beli kain, dia tarik-tarik biar tahu kuat atau nggaknya. Pokoknya, semua harus dicoba dulu!”

Someh tertawa kecil, tetapi Mang Engkos melanjutkan dengan nada lebih serius.

“Suatu hari, Pak Somad pergi ke pasar untuk beli ayam. Dia ingin ayam yang gemuk dan sehat, tapi dia mulai melamun di jalan, kebayang enaknya sop ayam. Sampai di pasar, saking semangatnya, dia langsung bilang ke penjualnya, ‘Bu, saya mau ayamnya yang gemuk dan kenyal, ya!’”

Mang Engkos berhenti sebentar, membuat wajah penuh ekspresi.

“Nah, si ibu penjual ayam kasih ayam yang bagus, tapi Pak Somad masih nggak yakin. Jadi, seperti biasa, dia mau ‘uji coba’ dulu. Tiba-tiba… eh, dia langsung nyubit ayam hidup itu sambil berkata, ‘Bentar ya, Bu, saya cek dulu kenyal atau nggak!’ Ayamnya langsung berontak untuk bisa kabur bahkan hampir terbang, sementara si ibu penjual marah-marah, ‘Pak! Itu ayam hidup, bukan sayur! Jangan dicubit-cubit!’”

Someh sudah tidak bisa menahan tawa, terbayang tingkah Pak Somad mencubit ayam hidup di pasar.

Mang Engkos melanjutkan sambil tertawa kecil, “Belum selesai, Meh! Waktu si ibu marah-marah, Pak Somad bukannya minta maaf, dia malah balik jawab, ‘Bu, kan saya cuma mau uji coba, biar nggak salah beli. Kalau ayamnya lari pas dicubit, berarti ayamnya sehat!’”

Someh langsung tertawa membayangkan kejadian itu.

Mang Engkos melanjutkan, “Penjual ayamnya langsung marah-marah, ‘Pak, ini ayam hidup! Jangan dicubit-cubit, nanti kabur!’ Tapi bukannya sadar, Pak Somad malah bilang, ‘Tenang, Bu. Ini cuma ‘uji coba’ buat memastikan ayamnya sehat!’”

Someh tertawa terbahak-bahak, tetapi Mang Engkos belum selesai.

Mang Engkos melanjutkan cerita dengan semakin seru, membuat Someh terpingkal-pingkal.

“Nah, Pak Somad yang lagi melamun dan asyik mencubit-cubit ayam itu, tiba-tiba merasa ayamnya kok makin lama makin liar. Tiba-tiba… BUWUS! Ayamnya terlepas dari tangannya, kabur sambil mengepak-ngepakkan sayap, lari pontang-panting ke tengah pasar!” Mang Engkos berkata sambil menirukan ayam yang kabur.

Someh sudah tak bisa menahan tawa, membayangkan ayam itu lari ketakutan.

“Pak Somad masih melongo waktu ayamnya kabur. Tapi si ibu penjual ayam langsung berteriak-teriak marah. ‘Pak Somad! Itu ayam saya! Bayar dulu, woi!’”

Mang Engkos menirukan suara ibu penjual ayam yang marah-marah. Someh tertawa keras, sementara Mang Engkos melanjutkan.

“Karena ayamnya lari ke segala arah, semua pedagang di pasar jadi ribut! Ayamnya lari ke kios sayur, cakar-cakarin kol dan cabai merah, terus lompat ke kios kain sampai bikin kainnya jadi berantakan! Si ibu penjual makin ngamuk-ngamuk, teriak sambil ngejar Pak Somad yang masih melongo!”

“Waduh…!” Someh tertawa sampai perutnya sakit, membayangkan keributan itu.

Mang Engkos semakin antusias bercerita, “Karena takut dimarahi, Pak Somad pun ikut lari sambil teriak-teriak, ‘Ayam! Ayam! Balik sini, ayam!’ tapi si ayam makin lari ngibrit, nggak mau diam!”

Someh semakin terpingkal-pingkal, membayangkan Pak Somad lari keliling pasar sambil dikejar ibu penjual ayam.

“Belum selesai, Meh! Ayam itu tiba-tiba lompat ke bakul telur di kios sebelah dan... BYAR! Telurnya pecah semua! Si penjual telur yang ngeliat itu langsung ikut marah-marah, ikut ngejar Pak Somad sambil bilang, ‘Pak Somad! Bayar telur saya!’”

Someh semakin keras tertawa hingga matanya berair.

Mang Engkos melanjutkan, “Pasar jadi penuh teriakan dan kejar-kejaran. Pak Somad lari sambil dikejar ibu penjual ayam, penjual telur, sampai tukang kain, sementara ayamnya lompat-lompat bikin keributan! Warga yang lagi belanja cuma bisa ngeliatin sambil ketawa-ketawa lihat keributan gara-gara ayam kabur.”

Someh hampir terjatuh dari tempat duduknya karena tertawa terpingkal-pingkal. Mang Engkos mengakhiri ceritanya dengan geleng-geleng kepala.

“Itulah akibatnya kalau terlalu banyak melamun, Meh! Niat beli ayam, malah bikin heboh satu pasar. Pulangnya Pak Somad cuma bawa kantong kosong dan muka merah kena marah ibu-ibu pasar. Habis heboh deh, gara-gara si ayam kabur!”

Someh tertawa terbahak-bahak, dan sejenak melupakan semua kesedihannya. Mang Engkos tersenyum puas, lega melihat Someh terhibur dan kembali ceria.

Setelah suasana tenang, Jaka akhirnya bercerita kepada Mang Engkos bahwa ia ingin mencari guru silat. Mang Engkos berkata, “Kenapa kamu tidak cerita dari tadi, Someh? Soal itu, kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa belajar di Perguruan Maung Karuhun. Perguruan silat ini sudah terkenal sampai ke Pajajaran dan Sukabumi… bukan cuma di kampung kita saja. Banyak orang datang ke sana untuk berguru pada Ki Jaya Kusuma.”

Mendengar penjelasan Mang Engkos, wajah Jaka berseri-seri, seolah-olah telah menemukan secercah harapan. Ia merasa senang mendengar informasi tersebut, dan berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Mang Engkos.

“Terima kasih banyak, Mang. Insya Allah, saya akan berguru ke sana. Tapi, kira-kira Ki Jaya Kusuma mau menerima saya tidak, ya?”

Mang Engkos tersenyum, “Hey, belum apa-apa kok sudah pesimis. Insya Allah diterima, Someh. Kamu tidak perlu khawatir. Ki Jaya Kusuma itu baik dan tidak sombong. Kamu tenang saja... ayo semangat, semangat!”

Jaka tersenyum, hatinya berbunga-bunga setelah berbincang dengan Mang Engkos.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...