Selasa, 06 Maret 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 28. Hati Yang Penuh Keikhlasan



Jaka Someh begitu menikmati perjalanannya kali ini, sudah hampir dua tahun dia tidak berkelana karena memilih bermukim di bukit yang sekarang dia tempati. Hari itu dia merasa senang mendapatkan kesempatan untuk berkelana meski  untuk mengantar Dewi Sekar Harum  ke Sumedang Larang. Selama dalam perjalanan Jaka Someh lebih banyak terdiam. Hanya sesekali dia mengamati keadaan Dewi Sekar, karena khawatir apabila  Dewi Sekar merasa tidak nyaman selama dalam perjalanannya. 
Dewi Sekar Harum duduk dengan menyandarkan diri di gerobak, sambil melihat keadaan alam di sekitarnya. Sedangkan jaka Someh duduk di bangku depan sambil mengemudikan sapinya. 
Menjelang siang, mereka beristirahat, meskipun hanya sebentar saja. Mereka  makan, sambil membiarkan si sapi makan rerumputan. Setelah Jaka someh melaksanakan solat dhuhur dan beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanannya sampai hari terlihat mulai gelap.
Malam itu mereka menginap di suatu tanah lapang yang dikelilingi pepohonan rimbun di pinggir suatu perkampungan. Jaka Someh membuat api unggun di tempat itu. Dia membakar Jagung sebagai menu makan malam. Sambil menunggu jagung bakarnya matang, Jaka Someh menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan Dewi Sekar. Jaka Someh bertanya tentang keadaan Dewi Sekar
“Bagaimana Nyai,  masih kuat kan untuk menikmati perjalanannya?”.
Dewi Sekar membalas pertanyaan Jaka Someh dengan senyuman,
“ Iya Kang Someh. Saya masih sehat... hanya sedikit capek saja...”.
Jaka Someh hanya menganggukan kepala, sambil tersenyum ramah kepada Dewi Sekar
“ya sudah, Nyai istirahat dulu saja nanti setelah selesai makan...”.
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil menangis dengan keras dari balik pepohonan tempat mereka beristirahat. Jaka Someh dan Dewi Sekar saling bertatapan sambil mendengarkan suara tangisan anak tersebut. Karena rasa penasarannya yang tinggi, Jaka Someh berinisiatif  untuk menyelidikinya. Dia segera pergi untuk mencari asal  suara tangisan tersebut. 
Ternyata di balik rimbunan pepeohonan terdapat beberapa rumah penduduk yang membentuk suatu perkampungan kecil. Suara tangisan itu berasal dari salah satu rumah  yang ada di sana. Karena tangisan anak kecil itu terdengar semakin keras dan tidak berhenti, Jaka Someh  mendatangi rumah tersebut. Sedikit menyelidik, dia mengintip ke dalam rumah melalui celah biliknya.  Ternyata ada seorang anak  sedang menangis keras dalam gendongan ibunya. 
Jaka Someh mengetuk pintu dan mengucapkan salam beberapa kali. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan keluar dari rumah tersebut. Dia melihat Jaka someh sedang berdiri di depan pintunya, lalu bertanya
“Maaf akang ini siapa? ada keperluan apa...malam-malam datang ke rumah saya...?”.
Jaka Someh tersenyum ramah, kemudian menjawab pertanyaan lelaki itu
“ Maaf pak, nama saya Someh, kebetulan saya sedang melakukan suatu perjalanan dan beristirahat tak jauh dari rumah Bapak...".
Jaka Someh menunjuk ke arah tanah lapang tempat dia dan Dewi Sekar beistirahat, kemudian dia meneruskan lagi perkataannya
"Maaf bapak, saya mendengar anak bapak terus menerus menangis....kalau boleh tahu apakah sedang ada masalah ?Barangkali   saya bisa membantu... .?.
Bapak yang bernama pak sumantri itu melongo mendengar perkataan Jaka Someh. Sesaat dia terdiam sambil memandangi Jaka Someh. Setelah merasa yakin bahwa Jaka Someh adalah orang baik, dia pun menjelaskan kenapa anaknya menangis
“Tidak ada apa-apa sih...kang...sebenarnya anak saya menangis cuma karena lapar saja, kebetulan kami kehabisan bahan makanan. Jadi tidak ada yang bisa kami masak hari ini. Cadangan beras yang kami miliki sudah habis.  Kemarin kampung kami di datangi gerombolan perampok, mereka membawa apa saja yang di anggap barang berharga termasuk persedian beras kami...sekarang kami sudah tidak punya makanan apapun untuk di makan...”.
Jaka Someh merasa iba setelah mendengar keterangan lelaki itu. Dia prihatin dengan musibah yang baru saja mereka alami. Jaka Someh kemudian berkata kepada pak sumantri
“Begini saja pak, kebetulan saya ada sedikit cadangan beras dan jagung di gerobak yang saya bawa...bapak bisa  mengambilnya sekarang untuk di masak dan sisanya bisa bapak bagikan  ke warga kampung lainnya...ayo pak, ikuti saya...”.
Pak Sumantri masih terlihat ragu dan sangsi dengan ucapan Jaka Someh
Kumaha kang...?”.
Jaka Someh meyakinkan kembali pak sumantri
“ Iya pak, mangga, silahkan ikut saya...”.
Meskipun masih ada keraguan, namun pak sumantri berjalan mengikuti Jaka Someh untuk mengambil beras dan jagung yang dijanjikan Jaka Someh.    Jaka Someh berkata kepada Dewi Sekar Harum yang terlihat heran melihat Jaka Someh membawa seorang lelaki bersamanya,   
“ada apa kang...?koq kelihatan serius sekali...” .
Jaka Someh menganggukan kepalanya kemudian berekata kepada Dewi Sekar
“Begini Nyai, keluarga bapak ini teh sedang mengalami musibah  Mereka baru saja di rampok sehingga cadangan makanan mereka habis tak bersisa. Anak bapak ini merasa sangat lapar ...makanya bapak ini akang bawa kesini, biar beliau mengambil sebagian cadangan beras dan jagung milik kita... tidak apa2 kan Nyai ? kalau kita memberikan sebagian cadangan makanan kita untuk mereka?”.
Dewi Sekar ikut bersimpati terhadap keadaan yang di alami oleh keluarga pak Sumantri dan warga kampung lainnya
“Iya kang Someh...tidak apa-apa atuh...lagian itu kan memang punya akang...justru saya merasa senang kalau akang bisa berbagi dengan mereka...”.
Jaka Someh tersenyum ke Dewi Sekar
“ Terima kasih atuh Nyai...”. 
Pak sumantri juga mengucapkan terima kasih kepada Dewi Sekar, kemudian dia  membawa sekarung beras yang sudah dicampur dengan jagung, yang diperkirakan akan cukup untuk cadangan makan selama 2 bulanan.  Jaka Someh merasa bahwa perbuatan Ki Jabrik dan anak buahnya memang sudah kelewatan. Mereka telah memeras warga di berbagai kampung, sehingga hidup masyarakat menjadi menderita seperti ini. Kemiskinan jadi bertambah banyak dimana-mana, dampak dari kedholiman yang dilakukan Ki Jabrik dan gerombolannya. Jaka Someh berpikir mungkin dia pun harus melibatkan diri untuk menghentikan perbuatan Ki Jabrik dan anak buahnya yang bertindak sewenang-wenang kepada masyarakat.
Malam itu Jaka Someh membuat ladang jagung di tanah lapang ditempat itu, agar di kemudian hari warga kampung dapat memanennya. Setelah Dewi Sekar Harum tertidur, Jaka Someh pergi ke rumah pak Sumantri untuk meminjam cangkul.  Meskipun heran, pak Sumantri  meminjamkan cangkulnya tanpa banyak bertanya apa-apa kepada Jaka Someh. Malam itu Jaka Someh membuat ladang jagung.
 Menjelang subuh dia telah menyelesaikan pekerjaannya, mulai dari mengolah tanah, memasukan benih-benih jagung ke lubang-lubang tanam kemudian menyiramnya dengan air. Jaka Someh kemudian melaksanakan salat subuh. Setelah itu barulah dia istirahat tidur, sampai matahari pagi mulai bersinar hangat.
Selesai sarapan mereka kembali bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi , Jaka Someh dan Dewi Sekar  berpamitan kepada Pak Sumantri. Tidak Lupa Jaka someh juga mengembalikan cangkul milik pak Sumantri. Jaka Someh berkata kepada Pak Sumantri
 “ pak, saya sudah menanam jagung di lahan itu, semoga Bapak berkenan merawatnya,  Insya Allah dalam kurun waktu 2 bulanan lagi sudah bisa di panen, pak...silahkan Bapak ambil, dan Bapak bagikan kepada warga yang membutuhkan”.
Pak sumantri kaget, dia baru mengerti kenapa Jaka Someh meminjam cangkulnya malam tadi “waduh terima kasih sekali kang... tidak tahu lagi… saya sekeluarga teh harus membalas akang dan Nyai dengan apa...saya sekeluarga hanya bisa mendoakan akang dan Nyai semoga selalu dalam Lindungan yang Maha Kuasa, selalu dalam keadaan sehat, aman, selamat dan lancar dari semua urusannya. Aamiin...”
Jaka Someh pun mengamininya 
“ aamiin pak...terima kasih...”. 
loading...
Dewi Sekar Harum merasa heran dengan kebaikan Jaka Someh yang penuh totalitas. Dia baru mengerti bahwa  Jaka Someh  ternyata tadi malam tidak tidur karena membuat ladang Jagung untuk keluarga pak Sumantri dan warga kampung lainnya. Ada rasa kagum dalam hatinya. Baru sekarang dia menemukan  sosok lelaki yang penuh perhatian dan ketulusan. Bukan hanya kepada dirinya saja namun juga kepada setiap orang  yang memerlukan bantuan, tanpa pandang bulu. Setelah berpamitan mereka pun kembali melanjutkan perjalanannya.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...