Pada suatu hari, Mak Ipah mengalami sakit yang sangat parah, akibat musim paceklik yang melanda kampung Dadap Kulon. Tanaman-tanaman banyak yang mati, sungai dan mata air pun mengering, hewan ternak juga banyak yang mati akibat kelaparan. Pada waktu itu sebagian besar warga mengalami kekurangan makanan, sehinga wabah kelaparan pun melanda warga kampung. Sugandi merasa sedih nenek kesayangannya menderita sakit, dia berkata pada neneknya
“Ambu, ambu sabar ya...gandi mau mencari obat buat ambu...”.
Mak Ipah berkata dengan suara yang pelan kepada Sugandi
“mau nyari obat kemana atuh ujang? Sudahlah jang, tidak usah repot-repot nyari obat buat ambu... ambu mah nanti juga akan sembuh sendiri...yang penting kamu jangan sampai sakit, bagaimana apakah kamu sudah makan jang?”.
Sugandi membalas ucapan mak Ipah dengan suara penuh kelemah lembutan
“Gandi sudah makan ambu, , rencananya Gandi mau minta tolong ke abah Sarpin, bapaknya kang madani, Gandi dengar bahwa dia adalah seorang tabib di kampung kita, ambu. Kebetulan gandi teh kenal dengan kang Madani. Siapa tahu bapaknya kang Madani mau menolong kita”.
Mak Ipah tersenyum kepada cucu kesayangannya tersebut
“ya sudah kalau ujang memang kenal baik dengan keluarganya abah Sarpin, mudah2an saja dia bersedia mau mengobati ambu, tapi ambu mah tidak terlalu berharap banyak...”.
Sugandi berkata lagi kepada mak ipah
“kalau begitu, gandi pamit dulu ya ambu, nanti gandi mampir dulu ke warung emak. Gandi mau minta tolong ke emak supaya emak mau menjaga ambu dulu sementara Gandi pergi”.
Mak Ipah terlihat agak keberatan dengan niat sugandi untuk menemui ibunya. Mak Ipah khawatir kalau Sugandi akan diperlakukan kasar oleh ibunya, dia pun berkata kepada Sugandi
“tidak usah mampir ke warung emakmu, ujang. Biar ambu sendiri saja di sini, kamu tidak usah ganggu emakmu...”.
Meskipun sudah dilarang oleh neneknya, namun Sugandi tetap bersikeras untuk minta bantuan ibunya tersebut
“tidak apa-apa ambu, Sugandi coba ngomong dulu ke emak, siapa tahu dia mau bantu menjaga ambu, kalau memang emak tidak mau, Sugandi juga tidak akan memaksa, ambu”.
Mak Ipah yang mendengar ucapan Sugandi seperti itu akhirnya cuma pasrah saja. Dia tahu kalau nyi surti memang memiliki sifat egois, dia tidak peduli pada anak dan emaknya sendiri, yang dia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mak Ipah pun berkata pasrah kepada Sugandi
“ ya sudah atuh jang, terserah kamu saja...tapi jangan paksa emakmu ya jang...”.
Sugandi pun hanya tersenyum kepada mak Ipah, kemudian dia pergi ke warung ibunya. Warung Nyi Surti hanya berada 5 meteran saja dari rumah mak Ipah. Sugandi heran ketika sampai di warung nyi surti, ternyata warung tersebut dalam keadaan tertutup. Karena warungnya dalam kondisi tertutup, Sugandi pun langsung menuju pintu belakang warung, tanpa pikir panjang dia langsung membuka pintu warung tersebut yang ternyata tidak dalam keadaan terkunci.
Begitu terkejutnya Sugandi ketika dia membuka pintu warung nya, dilihatnya Nyi Surti sedang berbuat mesum dengan seorang pemuda kampung, yang bernama Suraji. Suraji adalah anak seorang juragan di kampung Dadap Kulon. Kaget karena tiba-tiba ada orang yang memergokinya sedang berbuat mesum, Nyi Surti langsung menarik pakaiannya yang berada di lantai. Namun tak lama kemudian setelah dia tahu bahwa yang masuk tersebut adalah Sugandi, anaknya sendiri, Nyi Surti pun langsung naik pitam. Dia langsung membentak Sugandi yang masih berdiri dalam keaadaan melongo
“Dasar anak kurang ajar, tidak punya sopan santun kamu teh... masuk tanpa mengetuk pintu dahulu...Sugandi...!!! ayo...keluar...!!!”.
Sugandi panik, dia merasa sedih dan kecewa dengan kelakuan ibunya tersebut, dia pun keluar. Suraji yang sudah mulai sadar bahwa yang memergokinya cuma Sugandi, langsung mengambil celananya yang tercecer di lantai. Setelah Suraji kembali memakai celana pangsinya, dia berteriak kepada Sugandi
“hey
bocah...kamu mau kemana? Kamu kesini dulu, jangan asal selonong saja kamu,
kemari kamu!!!”.
Sugandi
yang di bentak oleh Suraji pun kembali berbalik. Dia meminta maaf kepada Suraji
dan Nyi Surti
“Maaf
kang, saya tidak tahu kalau ada akang di sini...”.
Suraji
bukannya mereda dari kemarahannya, dia bertambah emosi setelah tahu Sugandi
justru melemah kepadanya. Tanpa rasa iba dia pun langsung memukul wajah
Sugandi. Spontan saja Sugandi berteriak kesakitan sambil terus meminta maaf,
“aduuh...!!!
maaf kang...saya...minta maaf...ampun emak...gandi minta maaf...”.
Nyi
Surti yang merasa telah terganggu oleh kehadiran anaknya, langsung meludahi muka
Sugandi. Sugandi sedih mendapat perlakuan kasar dari ibunya. Melihat Nyi Surti
juga berlaku kasar terhadap Sugandi, Suraji pun semakin tersulut emosinya
terhadap Sugandi. Dia pun memukuli Sugandi secara bertubi-tubi. Sugandi pun
tersungkur, dia terjatuh ke tanah, sambil berteriak minta ampun. Namun mereka
tidak mempedulikannya. Sugandi menangis, sedih dan kecewa dengan sikap ibunya
yang tidak peduli kepadanya. Melihat Sugandi menangis sedih dan kesakitan, nyi
Surti bukannya iba, justru malah marah dan menghardik anaknya tersebut. Dia
marah karena Sugandi telah merusak kesenangannya.
Sugandi sudah tidak kuasa lagi menahan kesedihan dan kemarahan dalam dirinya, dia pun mencoba untuk melawan balik Suraji. Namun karena Sugandi masih remaja bau kencur, dia pun akhirnya menjadi bulan-bulanan pemuda itu. Keributan itu pun terdengar oleh Mak Ipah yang sedang terbaring sakit. Mak Ipah berusaha keluar dari kamarnya dan mendapati Sugandi sedang dipukuli oleh Suraji. Dilihatnya juga Nyi Surti sedang berdiri melihat kejadian tersebut dengan pakaian yang masih morat-marit setengah telanjang. Mak Ipah langsung menghalangi Suraji dengan badannya yang sudah renta, sambil mencoba membangunkan Sugandi yang roboh
Sugandi sudah tidak kuasa lagi menahan kesedihan dan kemarahan dalam dirinya, dia pun mencoba untuk melawan balik Suraji. Namun karena Sugandi masih remaja bau kencur, dia pun akhirnya menjadi bulan-bulanan pemuda itu. Keributan itu pun terdengar oleh Mak Ipah yang sedang terbaring sakit. Mak Ipah berusaha keluar dari kamarnya dan mendapati Sugandi sedang dipukuli oleh Suraji. Dilihatnya juga Nyi Surti sedang berdiri melihat kejadian tersebut dengan pakaian yang masih morat-marit setengah telanjang. Mak Ipah langsung menghalangi Suraji dengan badannya yang sudah renta, sambil mencoba membangunkan Sugandi yang roboh
“hey...hentikan...jauh-jauh...dari
cucuku, awas...kamu...jangan ganggu cucuku...ayo gandi bangun...cepat pergi
dari sini...”.
Karena
merasa di halangi, pemuda itu pun marah kepada Mak Ipah, dan langsung mendorong
mak Ipah hingga jatuh tersungkur,
“bangsat
kamu...tua bangka...ini rasakan...biar sekalian mampus kamu”
Karena
di dorong dengan keras oleh Suraji, mak Ipah pun langsung tersungkur dengan
kerasnya, kepalanya membentur sebuah batang pohon yang berada tak jauh dari
warung Nyi Surti. Mak Ipah seketika itu
juga langsung meninggal dengan kepala berlumuran darah. Suraji bukannya
menyesali perbuatannya karena telah membunuh Mak Ipah, dia malah tertawa, puas
karena telah melampiaskan amarahnya
“ha...ha...mampus
kamu tua renta...”.
Sugandi
yang melihat neneknya jatuh terkapar karena di dorong oleh Suraji, langsung bangkit
dan mendekati mak Ipah. Dia pun langsung memeluk mak Ipah dan memegang kepala
neneknya sambil menangis karena panik
“
ambu...ambu...bangun...ambu...ayo bangun ambu...”.
Karena
mak Ipah tidak meresponnya, Sugandi pun mengguncang-guncang tubuh mak Ipah
“ambu...bangun...jangan tinggalkan gandi sendirian di sini...bangun atuh
ambu...”.
Meskipun
sudah di guncangkan sedemikian rupa, mak Ipah tetap saja tak bisa menjawab
sambatan Sugandi.
Setelah
Sugandi menyadari bahwa neneknya memang sudah meninggal secara tragis karena
di aniaya oleh Suraji yang menjadi
kekasih ibunya, Sugandi pun berbalik ke arah Suraji, dia marah bukan kepalang.
Matanya memerah, badannya juga bergetar. Dia pun langsung menyeruduk Suraji itu
hingga tersungkur, kemudian langsung memukuli wajah, kepala dan perut Suraji
secara serampangan,
“bangsat
kamu Suraji...rasakan pembalasanku ini...”.
Sugandi
benar-benar telah menjadi kalap. Suraji yang kemudian menjadi bulan-bulanan
kemarahan Sugandi, berusaha melawan Sugandi, dia coba membalas memukul Sugandi,
namun Sugandi sudah tidak mempedulikan dirinya, Dia terus memukuli Suraji
dengan ganasnya. Pemuda naas itu pun akhirnya mati secara mengenaskan. Melihat
kejadian itu, nyi Surti pun ketakutan, khawatir dia pun akan dia aniaya oleh
anaknya yang sedang kesetanan. Setelah tahu Suraji sudah meninggal, Sugandi pun
berbalik arah dan berdiri menghadap ibunya dengan sorot penuh kebencian dan
kemarahan
“Mak, emak teh benar-benar egois, bahkan emak
tidak peduli terhadap orang tua emak sendiri, orang yang telah melairkan dan
merawat emak, Gandi tidak peduli emak benci pada Gandi, tapi emak telah
membunuh orang tua emak sendiri, lebih
baik emak pun menyusul mereka ke alam baka...”.
Nyi
Surti yang melihat kemarahan anaknya, hatinya
menjadi takut. Dia kemudian berteriak minta tolong,
“tolong...tolong...Sugandi
kesurupan...tolong...tolong...!!!”.
Tidak
lama kemudian para warga pun berdatangan. Mereka mendapati Suraji dan Mak Ipah
sudah tergolek dalam keadaan tidak bernyawa. Mereka juga menyaksikan Sugandi
sedang mencekik leher Nyi Surti. Para
warga yang telah salah paham terhadap Sugandi, langsung berusaha mengamankan
Sugandi. Mereka mengepung Sugandi, kemudian beramai-ramai memukuli Sugandi
dengan berbagai peralatan seperti kayu dan batu. Sugandi mencoba melawan para
warga yang hendak melumpuhkannya, namun karena jumlah mereka yang demikian
banyak, akhirnya dia pun berhasil di lumpuhkan warga.
Sugandi tersungkur setelah terkena pukulan kayu oleh salah satu warga dari arah belakang kepalanya, Setelah tersungkur ke tanah, dia pun di tangkap, kemudian di tali dan di pasung di sebuah tiang kayu yang berada di tengah perkampungan. Banyak warga yang menontonnya, bahkan banyak dari mereka yang meludahi dan melemparinya dengan batu. Sugandi merasa begitu sedih dan juga marah. Dia sedih dengan nasib diri dan neneknya yang telah meninggal secara tragis, dia juga marah dengan sikap ibu dan para warga yang telah membencinya. Meskipun tubuhnya lunglai, namun hatinya sekarang dipenuhi oleh perasaan amarah dan dendam kesumat. Dia mengeluh dalam hatinya, mengapa hidup ini tidak begitu adil kepadanya, apa kesalahannya sehingga dia harus menderita, diperlakuan kasar oleh ibu dan para warga kampung lainnya yang selalu membencinya. Keadaan Sugandi sungguh mengenaskan, namun kesedihannya kini sudah habis, berganti dengan dendam membara dalam jiwanya. Sugandi merasa pasrah kalau hidupnya akan segera berakhir. Dalam kepasrahannya tersebut, tiba-tiba saja terbersit dalam hatinya keinginan untuk tetap hidup, bahkan dia ingin hidup sebagai seorang yang kuat dan berkuasa, agar dia tidak diremehkan dan dianiaya lagi. Kemudian dia pun memanjatkan doa
“Ya Tuhan, kalau Engkau memang ada, tolonglah saya, tolong jangan matikan saya dahulu, saya ingin hidup lebih lama lagi...saya ingin menjadi orang yang kuat dan berkuasa, agar saya tidak di hina dan diremehkan lagi oleh manusia...Mereka telah menganiaya saya, padahal Engkau Maha Adil...tolonglah Tuhanku....Saya ingin membalaskan rasa sakit hati saya ini, kepada mereka yang telah menyakiti saya...”.
Sugandi tersungkur setelah terkena pukulan kayu oleh salah satu warga dari arah belakang kepalanya, Setelah tersungkur ke tanah, dia pun di tangkap, kemudian di tali dan di pasung di sebuah tiang kayu yang berada di tengah perkampungan. Banyak warga yang menontonnya, bahkan banyak dari mereka yang meludahi dan melemparinya dengan batu. Sugandi merasa begitu sedih dan juga marah. Dia sedih dengan nasib diri dan neneknya yang telah meninggal secara tragis, dia juga marah dengan sikap ibu dan para warga yang telah membencinya. Meskipun tubuhnya lunglai, namun hatinya sekarang dipenuhi oleh perasaan amarah dan dendam kesumat. Dia mengeluh dalam hatinya, mengapa hidup ini tidak begitu adil kepadanya, apa kesalahannya sehingga dia harus menderita, diperlakuan kasar oleh ibu dan para warga kampung lainnya yang selalu membencinya. Keadaan Sugandi sungguh mengenaskan, namun kesedihannya kini sudah habis, berganti dengan dendam membara dalam jiwanya. Sugandi merasa pasrah kalau hidupnya akan segera berakhir. Dalam kepasrahannya tersebut, tiba-tiba saja terbersit dalam hatinya keinginan untuk tetap hidup, bahkan dia ingin hidup sebagai seorang yang kuat dan berkuasa, agar dia tidak diremehkan dan dianiaya lagi. Kemudian dia pun memanjatkan doa
“Ya Tuhan, kalau Engkau memang ada, tolonglah saya, tolong jangan matikan saya dahulu, saya ingin hidup lebih lama lagi...saya ingin menjadi orang yang kuat dan berkuasa, agar saya tidak di hina dan diremehkan lagi oleh manusia...Mereka telah menganiaya saya, padahal Engkau Maha Adil...tolonglah Tuhanku....Saya ingin membalaskan rasa sakit hati saya ini, kepada mereka yang telah menyakiti saya...”.
Setelah
itu dia pun kembali memejamkan matanya, berharap agar bisa tertidur dan
melupakan segala penderitaan hidupnya.
bersambung ke bagian 40
Kembali ke HOME : Daftar Isi