Selasa, 03 April 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 41. Perjuangan Hidup



Di dasar jurang, Sugandi ternyata tidak mati. Dia hanya mengalami patah tulang di kaki kirinya, dan beberapa luka memar di beberapa bagian anggota tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa yang dia derita membuat dia terpaksa untuk merebahkan dirinya. Karena sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakit, dia pun akhirnya pingsan, tak sadarkan diri selama lebih dari satu harian. 
Setelah larut malam, Sugandi mulai siuman. Dia mengerang kesakitan, badannya menggigil menahan dinginnya malam yang gelap gulita. Sugandi hanya mampu pasrah dengan keadaannya tersebut, hanya matanya saja yang melelehkan air mata. Begitu berat penderitaan yang dia rasakan. Akhirnya dia pun tertidur sampai matahari mulai bersinar dari ufuk timur. Setelah bangun dari tidurnya, Sugandi masih mengerang kesakitan, hanya saja semangat hidupnya mulai muncul kembali. Dia ingin tetap hidup dan ingin membalaskan dendamnya kepada para warga yang telah menyakitinya. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia pun mulai merangkak menuju tempat yang lebih nyaman. Dilihatnya, di dekatnya ada sebuah sumber air, Sugandi pun mulai merangkak menuju mata air tersebut untuk meminum beberapa teguk air. 
Setelah puas meminum air tersebut dia pun mulai merangkak lagi mencari tanaman yang sekiranya bisa dia jadikan sebagai makanan. Namun dia tidak melihat ada tanaman atau buah-buahan yang bisa di jadikan makanan yang layak. Akhirnya dia pun memakan daun-daunan muda yang berada di sekitar tempat itu. Meskipun rasanya tidak enak, Sugandi tetap memakannya untuk mengembalikan tenaganya. Demikianlah selama beberapa pekan dia hanya mampu makan daun-daunan. Sungguh ajaib, setelah kurang lebih lima pekan, badannya pun sudah mulai pulih, bahkan kakinya yang patah pun sudah mulai sembuh, meskipun jalannya masih tertatih-tatih. Dengan kaki yang masih pincang, Sugandi mencoba untuk menelusuri lembah, dia berjalan mengikuti aliran sungai kecil. Ketika sampai di suatu tempat, dilihatnya ada kumpulan bebatuan yang berukuran cukup besar, Sugandi pun mendekati bebatuan tersebut dan beristirahat di atas sebuah batu yang ukurannya lebih kecil. Sambil duduk, dia pun mengamati keadaan di sekitar tempat itu. 
Tepat di sebelah dinding lembah yang menjulang tinggi terdapat sebuah gua yang terlihat begitu gelap. Sugandi tiba-tiba merasa penasaran dengan gua tersebut, kemudian dia mendekati gua tersebut. Ketika dia sudah berada tepat di mulut gua tersebut, dilihatnya banyak tulang berserakan di sekitarnya. Setelah di amati secara seksama, ternyata tulang belulang tersebut adalah tulang belulang manusia. Dia melihat bukan hanya tulang belulang saja yang berserakan di situ melainkan juga terdapat berbagai senjata. Sugandi menyangka bahwa tulang belulang tersebut adalah sekumpulan prajurit dari masa lampau yang tewas di tempat itu. 
Entah, dia seorang yang pemberani ataukah memang rasa takutnya telah habis, Sugandi benar-benar tidak merasa gentar sedikitpun berada di tempat yang nampak angker tersebut. Sugandi pun mengumpulkan beberapa senjata yang berhasil di temukannya itu. Ada pedang, golok, kapak, pisau, tombak, dan kujang. Menemukan berbagai senjata tersebut membuat Sugandi bahagia, seakan-akan dia telah menemukan harta karun yang banyak.   
Dengan menggunakan kapak dan golok, Sugandi berhasil membuat sebuah pondok sederhana dari kayu dengan cara menebang dan mengolah beberapa pohon yang ada di sekitar lembah itu. Dengan tombak yang di temukannya itu juga Sugandi mulai belajar berburu binatang buruan dan ikan yang ada di sungai. Awalnya memang dia mengalami kegagalan dalam perburuannya, namun seiring dengan waktu, dia pun sudah mulai mahir menggunakan tombaknya untuk berburu hewan buruan termasuk ikan. Tanpa terasa sudah hampir setahun dia hidup di lembah itu, dia pun sudah ahli dalam berburu. Jarang sekali dia mengalami kegagalan dalam perburuannya. Tubuhnya pun kini menjadi sehat dan kuat, gerakannya juga sudah demikian gesit.
Pada suatu malam ketika dia sedang tertidur, tiba-tiba ada seekor ular sanca yang berukuran besar melilit tubuhnya. Ketika Sugandi tersadar, tubuhnya sudah dililit kuat oleh sanca itu. Dia merasa kesulitan untuk bernafas. Namun karena semangat hidupnya yang begitu tinggi dia pun berusaha untuk melawan ular tersebut, dia tidak mau menyerah terhadap ular tersebut, dengan kujang yang selalu ada di pinggangnya, Sugandi berhasil merobek perut ular sanca tersebut hingga lilitannya menjadi terlepas. Setelah itu, dia langsung membunuh ular tersebut. Bahkan ular itu pun akhirnya berhasil dia kuliti. 
Kulitnya kemudian  dia jadikan sebagai pakaian, setelah di jemur sampai kering di terik matahari. Pernah juga ketika dia sedang berburu ikan dengan tombaknya, tiba-tiba saja ada seekor macan tutul yang menyergapnya dari arah belakang punggung.    
Punggung Sugandi pun terluka, namun dengan sisa tenaganya, dia berhasil menghempaskan macan tersebut hingga terpelanting ke tanah. Meskipun dalam keadaan terluka, Sugandi tetap berusaha melawan macan tutul yang sedang kelaparan tersebut. Sorot matanya juga tak kalah ganas dengan mata macan yang sedang berusaha memangsanya. 
Sugandi menatap tajam ke arah macan itu. Tangannya sudah bersiap menggenggam kujang. Ketika macan itu kembali menerjangnya, Sugandi dengan sigapnya menusukan kujangnya ke arah perut macan yang sedang melayang ke arahnya. Tusukannya begitu  dalam, membuat macan itu langsung terkulai jatuh ke tanah. Macan itu pun mati seketika itu juga. Meskipun punggungnya dalam keadaan terluka akibat cakaran macan, namun Sugandi tetap mampu berdiri kokoh. Dia sudah tidak begitu peduli terhadap lukanya. Justru dia asyik menguliti kulit macan yang sudah mati. Untuk dijadikan pakaiannya sehari-hari.
Tanpa terasa sudah dua tahun kini Sugandi tinggal di lembah hutan Dadap Kulon. Pada suatu malam Sugandi bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang bertampang sangat seram meminta untuk menemuinya di dalam gua gelap yang tak jauh dari pondok Sugandi. Kakek itu mengaku bernama Eyang Jaya perkasa.  Awalnya Sugandi mengacuhkan dengan mimpinya itu. Dia menganggpnya sebagai bunga tidur. Namun mimpi itu terus datang di setiap tidurnya. Sugandi pun terpengaruh. Dia merasa penasaran dengan mimpinya ingin membuktikan isi dari mimpinya. Keesokan pagi, Sugandi pergi menuju gua yang ada dalam mimpinya itu. Sesampainya di mulut gua, Sugandi berhenti dan mengamati keadaan di sekitarnya. Entah mengapa dia merasa takut dalam hatinya. 
 Gua tersebut terkesan angker. Namun karena rasa penasarannya yang membesar, Sugandi kembali meneguhkan niatnya  untuk masuk ke dalam gua tersebut. Rasa takutnya dia singkirkan jauh-jauh. Awalnya gua itu terlihat gelap dan lembab, namun semakin kedalam, ternyata gua itu nampak  menjadi lebih terang. Di dalam gua, Sugandi melihat  suatut ruangan yang luas yang dan terang karena terkena sinar matahari dari celah lubang yang berada di atas gua tersebut. Dalam suasana remang, Sugandi memperhatikan keaadaan di sekitarnya. Dia berusaha meningkatkan kewaspadaannyai. Kujangnya sudah  dalam genggamamannya, khawatir akan ada bahaya yang tiba-tiba menimpanya. Dilihatnya ada seseorang yang sedang duduk menyila di pojok gua tersebut. Matanya melotot tajam mengamati sosok tersebut. Dalam hati dia bertanya
“itu siapa? Manusia ataukah setan penghuni gua ini....?”.
Sosok tersebut tak bergerak sedikitpun juga, tidak terpengaruh oleh kedatangan Sugandi. Matanya  terpejam, hampir Sugandi menyangkanya sebagai sebuah arca. Namun Sugandi meyakinkan diri bahwa itu adalah memang sesosok mahluk hidup, yaitu seorang kakek yang sedang bertapa. Setelah diamati secara seksama wajah nya persis sama dengan wajah kakek yang ada dalam mimpi Sugandi . Sugandi memberanikan diri mendekati kakek itu, kemudian dia memanggiil nama kakek itu  
“Eyang Jaya Perkasa...?”.
Mendengar namanya di panggil,  kakek itu membuka matanya. Matanya melotot berwarna merah menyala. Dia menatap tajam ke arah Sugandi. Kemudian kakek itu melompat ke arah Sugandi dan langsung mencekiknya. Tentu saja Sugandi kaget dan panik, dia pun secara spontan langsung menusukan kujangnya ke arah tubuh kakek itu. Namun Sugandi merasa kaget, karena ternyata kujangnya tak mampu menembus tubuh kakek itu. Bahkan tangan sugandi seperti kesemutan setelah kujangnya beradu dengan tubuh kakek itu. Tubuh kakek itu begitu keras bagaikan sebuah batu karang yang  pejal. Kakek itu tertawa dan berkata kepada Sugandi
“ha...ha...bocah...kenapa kamu mengganggu pertapaan saya...?”.
Setelah tertawa, kakek itu  membanting tubuh Sugandi ke didinding gua. Sugandi  terpelanting membentur dinding gua. Dia berusaha bangkit dan membalas menyerang kakek itu, namun usahanya sia-sia, karena kakek itu ternyata sangat kuat. Sugandi menjadi bulan-bulanan kakek itu, di banting ke sana kemari. Meskipun badannya terasa remuk,  namun tidakmau menyerahi. Dia terus berjuang  melawan kakek itu meskipun sadar bahwa kekeuatannya tidak sebanding dengan kakek itu. Tenaga Sugandi mulai terkuras habis, hanya menyisakan semangat hidupnya saja yang membuatnya masih bisa bertahan. Sorot mata Sugandi masih tajam menatap kakek itu. Kakek misterius itu tertawa melihat sorot mata Sugandi yang masih menyala 
“ha..ha...bocah...kamu masih punya semangat rupanya...sekarang ini rasakan...”.
Setelah berhenti tertawa, kakek itu pun memukul perut Sugandi, meski terlihat pelan, namun ternyata Sugandi langsung terhempas beberapa langkah ke belakang dan langsung tersungkur. Dari mulutnya keluar darah segar. Meskipun kondisinya sudah demikian kritis, namun Sugandi masih berusaha untuk melawan kakek itu. Dia mencoba memukul dan menendang kakek itu dengan sisa-sisa tenaganya. Namun usahanya itu menjadi sia-sia, karena kakek itu langsung memukul Sugandi dengan satu tinju ke dada Sugandi. Sugandi terpelanting ke belakang dan terjatuh. Tapi dia masih berusaha bangkit meski tubuhnya sudah sempoyongan. Melihat Sugandi kembali bangkit, kakek itu tiba-tiba tertawa  dengan keras
“ha..ha..bocah...kamu punya semangat hidup yang tinggi...kamu layak untuk menjadi murid saya...”.
Sugandi kaget mendengar perkataan dari eyang Jaya Perkasa yang menerimanya sebagai murid. Sugandi langsung berlutut untuk memberi hormat kepada eyang Jaya Perkasa
“Terima kasih....e..yang...”.  

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...