Jumat, 30 Maret 2018

Cerita Novel Silat "Sang Pendekar" Bab 36. Bintang Jatuh





Hubungan Jaka Someh dan Dewi Sekar semakin bertambah erat. Jaka Someh merasa sangat bahagia bisa memiliki istri seperti Dewi Sekar. Demikian juga dengan Dewi Sekar, dia merasa nyaman dan bahagia menikah dengan Jaka Someh. Meskipun Jaka Someh hanyalah seorang lelaki sederhana namun di mata Dewi Sekar, Jaka Someh merupakan sosok lelaki sejati yang penuh kasih sayang dan ketulusan dalam hidup.
Bakda Isya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dengan ditemani cahaya bintang-bintang di langit, gerobak sapi yang mereka tumpangi pun melaju sedang. Malam itu langit begitu cerah, sehingga banyak bintang bertaburan di langit. Sepanjang perjalanan, Jaka Someh dan Dewi Sekar tampak asik mengobrol, mereka terlihat menikmati perjalanan tersebut. Sesekali terdengar oleh mereka suara lolongan anjing liar dari arah hutan  yang ada di samping kiri mereka. Suara serangga dan burung hantu juga menjadi pelengkap perjalanan malam mereka. Tiba-tiba Jaka Someh berkata kepada Dewi Sekar sambil menunjuk  ke arah langit dengan jari telunjuk kanannya
Nyai, lihat itu ada bintang jatuh...”.  
Dewi Sekar pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh jaka someh 
“Oh iya kang...bagus sekali ya... Wah pemandangan langitnya juga indah sekali ya kang...eh menurut kang Someh, bintang jatuh itu pertanda apa ya kang?”.
Jaka someh tersenyum mendengar pertanyaan Dewi Sekar, kemudian dia pun bercanda dengan  menjawab pertanyaan Dewi Sekar sambil mencubit pipi istrinya dengan gemas
Mungkin karena dia melihat ada bidadari cantik yang sedang lewat di tengah malam buta seperti ini, barangkali nyai...he...he...”.
Dewi Sekar tertawa mendengar jawaban Jaka someh, dia pun  menjawabnya dengan bercanda juga 
“Iih…kang someh koq nakal... diam-diam ternyata suka  merayu wanita...wah harus hati-hati ini...”.
Jaka Someh tersenyum mendengar ucapan istrinya.
"he...he...tidak apa-apa kalau merayunya ke istri  cantik seperti kamu mah...nyai...". 
Jaka Someh terus menggoda istrinya. Dia pun mencubit gemas pipi Dewi Sekar.
"Aah Kang Someh nakal..." 
Dewi Sekar tersipu malu, kemudian membalas Jaka Someh dengan mencubit paha suaminya.
"Aduuh sakit, ampun...ampun...nyai...yang cantik...."
"He...he...makanya tidak boleh nakal...."
Dewi Sekar tertawa, melihat suaminya kesakitan.

Malam  semakin larut, angin malam juga semakin terasa sampai ke tulang persendian. Dewi Sekar sudah mulai mengantuk, tak lama kemudian dia pun tertidur di gerobaknya. Jaka Someh  memberhentikan gerobaknya beberapa saat, kemudian menyelimuti istrinya dengan selimut halus yang di belinya ketika melewati pasar. Dia pun mencium kening istrinya yang sudah tertidur nyenyak. Kemudian jaka someh kembali mengemudikan gerobaknya sampai malam menjelang subuh.
Menjelang terbit fajar, Jaka Someh membangunkan istrinya untuk mengajaknya sholat subuh berjamaah. Sebenarnya dia tidak tega untuk membangunkan istrinya yang sedang tertidur nyenyak, namun karena demi kebaikan semuanya, jaka Someh pun mentegakan dirinya untuk membangunkan istri tersayangnya itu. Mereka melaksanakan shalat subuh berjamaah. Setelah itu  jaka Someh  beristirahat tidur beberapa saat. 
Dia bangun setelah matahari pagi sudah bersinar. Di lihatnya Dewi Sekar sedang menyiapkan sarapan pagi. Jaka someh kemudian pergi ke arah sungai kecil  yang tidak jauh dari tempatnya beristirahat. Sungai itu tidak besar, hanya saja airnya cukup jernih, sehingga layak digunakan sebagai air minum dan mandi pagi. Setelah sarapan, mereka pun kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanannya.
Jaka Someh dan Dewi Sekar tidak tahu bahwa  perkampungan terdekat dari tempat mereka beristirahat hanya berjarak sekitar 2 km saja. Kampung tersebut bernama Dadap Kulon.
Tidak memakan waktu lama mereka sudah sampai di kampung dadap Kulon. Di perkampungan itu, jaka someh melihat ada beberapa warga yang sedang menggotong jenazah. Jaka Someh menghentikan gerobaknya karena ingin menghormati  jenazah. Kemudian jaka someh turun dari gerobaknya dan bertanya kepada salah penduduk yang berjalan paling belakang
“Ada apa mang? apakah ada yang meninggal?”. 
Orang itu pun berhenti dari rombongan iringan jenazah, kemudian dia menjawab pertanyaan Jaka Someh
“Iya kang, sudah bertahun-tahun kampung kita ini terkena musibah, bahkan dalam bulan ini saja sudah ada 6 warga yang meninggal...”
Jaka Someh melanjutkan lagi pertanyaannya 
“Memang mereka meninggalnya karena apa, mang?”. 
Lelaki yang bernama Mang Jajang itu pun menjawab pertanyaan jaka someh
“Penyakit, kang. Kampung sini teh sekarang sedang terkena wabah penyakit”.
Jaka someh menjadi penasaran, kemudian bertanya lagi 
“wabah penyakit apa mang? Memang tidak ada tabib di kampung ini?”.
Mang Jajang menjawab lagi pertanyaan dari Jaka Someh 
“Wabahnya ya saya tidak tahu kang, di kampung sini teh tidak ada tabib, cuma ada ki Madani yang biasa mengobati orang kampung kalau sakit, tapi aki madani sendiri juga sekarang terkena wabah penyakit itu...”.
Setelah mendengar keterangan dari mang Jajang, Jaka Someh pun menanyakan rumah ki Madani. Mang Jajang pun menunjukan letak rumahnya ki Madani, ketika Jaka someh berpamitan, mang jajang pun bertanya kepada jaka someh
“Eh tunggu sebentar, kang...kalau akang teh dari mana dan mau kemana? Koq bisa berada di kampung ini”. 
Jaka Someh menerangkan perihal dirinya secara singkat, bahwa dia mau ke gunung Tampomas untuk mengantarkan istrinya.
Jaka someh kemudian menemui Dewi Sekar dan menjelaskan kepada Dewi Sekar bahwa di kampung itu sedang terkena musibah terserang suatu penyakit. Sebagai seseorang yang pernah belajar ilmu pengobatan Jaka someh tergerak hatinya untuk mengobati para warga yang sedang sakit.
Dewi Sekar meskipun dengan berat hati, mempersilahkan Jaka Someh untuk melihat kondisi warga yang sedang sakit itu.  Mereka kemudian pergi ke rumah ki Madani.
Ki Madani sedang terbaring lemah saat Jaka Someh memasuki rumahnya, beberapa bagian tubuhnya nampak bengkak kebiruan. Dia lemah karena sudah tidak makan selama 3 hari. Setiap kali makan, dia langsung memuntahkannya kembali. Jaka Someh meminta izin untuk memeriksa keadaan ki Madani kepada anak aki Madani. Setelah mendapatkan izin, Jaka someh mulai memeriksa nadi, detak jantung dan beberapa saraf di tubuh ki Madani. Kemudian dia mengeluarkan beberapa helai daun dan akar tanaman dari kotak obat yang dia simpan di gerobak sapinya. Jaka Someh kemudian meracik bahan-bahan obat tersebut, setelah jadi, dia meminumkan sebagian kecil dari obat tersebut ke aki Madani. Sebagian yang lain dibagikan kepada warga lainnya yang juga sedang mengalami sakit. Dengan sabarnya Jaka Someh menunggui pasien-pasiennya.
Setelah kurang lebih 6 jam, bengkak-kebiruan di tubuh ki Madani berangsur-angsur menghilang. Tidak lama setelah itu, aki Madani merasakan lapar yang luar biasa, kemudian dia pun meminta makanan kepada anaknya
Abah jadi lapar...Jang...abah minta makan...”.
Anak ki Madani segera menyediakan makanan seadanya untuk makan ayahnya. Dengan lahapnya ki Madani memakan makanan tersebut. Jaka someh terlihat senang melihat kondisi ki Madani yang sudah bisa makan kembali. Dia menganggap hal tersebut sebagai tanda kesembuhan
“Alhamdulillah, aki sudah sembuh...Insya Allah aki sekarang sudah sembuh...he...he...”
Demikian juga dengan beberapa warga lainnya yang tadi mengalami sakit pun setelah diberi ramuan obat dari Jaka Someh kini mulai sembuh.
Melihat Ki Madani dan para warga yang sakit sudah sembuh, warga di kampung itu pun bersuka cita. Mereka mengucapkan terima kasih kepada jaka someh yang telah berhasil mengobati para warga yang sakit. Dewi Sekar juga merasa senang melihat suaminya berhasil menyembuhkan para warga kampung yang sakit itu.

The Hidden Master of Silat: Chapter 3. The Beginning of a Determination

  The sun was almost at its peak, and the heat was intense. Only a few clouds dotted the sky over Kampung Cikaret 1 , while a gentle mount...