Berbulan-bulan Dewi Sekar
menunggu kehadiran Jaka someh, namun suaminya tersebut masih belum juga datang
ke Padepokan Ki Buyut Putih. Hatinya sangat sedih. Arya raja dan gurunya, merasa prihatin dengan
Dewi Sekar yang selalu murung.
“Teteh, sabar ya...Saya yakin
kalau Kang Someh sudah membaca surat teteh, Insya Allah dia akan segera datang
ke sini....” Kata Arya Raja.
“Iya Adik, masalahnya Kang
Someh sampai sekarang belum membaca surat teteh, Aduuh...entah ada di mana dia
sekarang...apakah dalam keadaan baik atau tidak...”
Dewi Sekar mengeluh kepada
adiknya.
“Yaah...di doakan saja atuh
nyai...semoga suami kamu dalam keadaan baik...yang penting mah sekarang nyai fokus
pada diri kamu sendiri...kembali giat berlatih...” Nini Gunting Pamungkas
menasehati muridnya.
“Iya guru, terima
kasih...Maafkan saya yang masih belum bisa ikhlas menerima kehilangan Kang
Someh...” Kata Dewi Sekar.
Nini Gunting Pamungkas
menganggukan kepala dan tersenyum.
“Iya geulis...”
Hari demi hari, Dewi Sekar
masih tetap selalu berharap suaminya dapat segera kembali. Tak ada yang dapat
dia lakukan selain berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan
kebahagiaan Jaka Someh.
Tanpa terasa sudah Lima tahun Dewi Sekar tinggal di padepokan
Ki Buyut Putih. Untuk mengisi
waktunya, agar tidak terlalu ingat kepada suaminya, Dewi Sekar kembali berlatih
ilmu silat kepada Nini Gunting Pamungkas.
Di bawah bimbingan Nini Guntung
Pamungkas, dia berlatih dengan penuh kedisiplinan. Sekarang kemampuan silat nya
pun sudah berkali-kali lipat.
Sore itu Dewi Sekar berlatih seperti biasanya dengan Nini Gunting Pamungkas
di sebuah tanah lapang di padepokan
ki buyut putih. Saking asyiknya berlatih, tidak sadar bahwa ada orang yang ikut
menyaksikan mereka. Orang itu adalah Dewi tunjung biru dan Pangeran Jaya
Permana.
Pangeran Jaya Permana nampak bersemangat
memperhatikan Dewi Sekar
yang sedang berlatih. Dia merasa bangga melihat Dewi Sekar yang sudah mahir dalam memainkan jurus-
jurus silat yang nampak indah namun berbahaya.
Menjelang matahari terbenam, Nini
Gunting Pamungkas menyudahi latihannya. Sambil nafasnya terengah-engah, dia
berkata kepada murid kesayangannya
“Sudah, sudah Nyai, guru sudah Capek...he...he...sekarang
kemampuan kamu sudah meningkat hebat. Kamu sudah mampu membuat guru kerepotan
seperti ini...”
Dewi Sekar
tersenyum mendengar ucapan gurunya, kemudian menggoda gurunya “He...He...bukan
kemampuan saya yang sudah meningkat, guru. Tapi guru yang sekarang sudah
menjadi tua...he...he...”
Nini Gunting Pamungkas tertawa mendengar
candaan muridnya
“He...he...bisa saja kamu Nyai, yaah meskipun guru
sudah tua...dan peot...sudah menjadi nenek-nenek, tapi yang penting, guru masih
tetap cantik, guru juga tidak kalah dengan Nyai,
masih mampu kalau hanya mendapatkan seorang
brondong he...he...”.
Dewi Sekar
tertawa geli melihat gurunya yang
menjadi genit
“Ih
guru koq jadi genit begini...he...he...,
iya guru...guru memang cantik, belum peyot kayak nenek-nenek...he...he..., ya
sudah atuh guru, saya mau pamit dulu...mau mandi...”
Nini Gunting Pamungkas mengiyakan Dewi Sekar untuk pergi mandi
“Iya mangga Nyai, silahkan kalau mau
mandi mah, kalau guru masih ada urusan dulu...mau menemui ki buyut putih...”
Setelah mendapat izin gurunya, Dewi Sekar berjalan ke arah pemandian wanita yang letaknya
tidak jauh dari tempatnya berlatih. Namun baru saja Dewi Sekar berjalan beberapa
langkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya
“Nyai...Nyai
Dewi Sekar...Nyai..., tunggu Nyai...”
Dewi Sekar
kemudian melirik ke arah suara tersebut, dilihatnya Raden Jaya Permana sedang
berjalan ke arahnya sambil tersenyum, di belakangnya ada Dewi Tunjung Biru yang
juga datang menghampirinya. Dewi Sekar
terkejut melihat Jaya Permana ada di sana
“Eh, kang Jaya Permana, maaf ada apa ya Kang?”
Raden
Jaya Permana tersenyum manis kepada Dewi
Sekar, kemudian dia berkata
“Sudah selesai latihannya, Nyai?”.
Dewi Sekar
menganggukan kepalanya. Hatinya sebenarnya tidak suka berdekatan dengan Jaya
Permana.
“Iya, kang. Sudah selesai”. Kata Dewi Sekar agak sedikit ketus.
Dewi Sekar
melirik kepada Dewi Tunjung Biru
“Eh ada bibi, tumben atuh bibi datang ke
sini, ada apa bi?.”
Dewi Tunjung Biru tersenyum kepada Dewi Sekar
“Wah, sekarang kamu sudah jadi pendekar
hebat Nyai, he...he...”
Dewi Sekar
tersipu malu di puji oleh bibinya tersebut, dia berkata dengan merendah
“Ah,
biasa saja atuh bi, kemampuan saya teh masih kalah jauh kalau di banding
kemampuan bibi...”
Dewi Tunjung Biru tertawa mendengar
keponakannya yang merendah di hadapannya
“Iya, Nyai, tapi beneran koq. Menurut bibi,
kemampuan kamu sekarang sudah meningkat pesat. Tadi bibi lihat, guru kamu saja
sudah kewalahan dengan
jurus-jurusmu. Oh ya Nyai,
bibi teh sebenarnya datang menemui kamu karena mau ngasih tahu, bahwa nanti
malam akan ada pertemuan para pendekar di kaki
gunung Tampomas. Bibi lihat sudah banyak para
pendekar yang datang kesana. Apakah nini gunting belum bercerita kepada Nyai?”.
Dewi Sekar
tidak nampak terkejut mendengar informasi dari bibinya tersebut, kemudian dia
berkata
“Beberapa waktu yang lalu guru sudah
bercerita ke saya bahwa akan ada pertemuan para pendekar di sekitar gunung
Tampomas, guru juga bercerita bahwa dia akan mendampingi Ki Buyut untuk
memimpin pertemuan tersebut, tapi dia tidak memberitahu saya mengenai isi
pertemuan itu, memangnya ada apa ya bi? Koq sepertinya ada masalah yang cukup
serius”.
Belum sempat dewi tunjung menjawab
pertanyaan keponakannya, tiba-tiba Raden
Jaya permana sudah mendahuluinya
“Iya Nyai,
pertemuan tersebut untuk membahas rencana kita menyerang markas ki jabrik yang ada di gunung
Padang...Nyai
ikut datang ya ke pertemuan nanti malam...”.
Dewi Tunjung biru mengiyakan pernyataan
Pangeran Jaya Permana
“Iya Nyai,
nanti malam kita memang akan membicarakan rencana penyerangan ke markas ki
Jabrik, kebetulan mata-mata yang telah dikirim Ki Buyut Putih sudah kembali, nah bibi datang menemui kamu teh,
sebenarnya mau mengajak kamu menghadiri pertemuan tersebut, kebetulan pamam
kamu, sedang pergi, jadi bibi sendirian... tolong
temani bibi ya..He...he...”
Dewi Sekar tersenyum mendengar ajakan bibinya
“Aah bibi mah suka maksa, ya sudah kalau begitu,
Insya Allah saya temani bibi,
tapi kalau tidak ada
halangan ya bi....”.
Dewi Tunjung biru senang mendengar jawaban Dewi Sekar yang bersedia
menemaninya datang ke pertemuan para pendekar, demikian juga dengan Raden Jaya Permana.
Setelah itu, Dewi
Sekar kembali berpamitan kepada Dewi Tunjung
Biru dan Raden
Jaya Permana untuk pergi mandi.
Malam itu bulan dan bintang tidak
nampak, namun para pendekar aliran putih yang telah di undang ki buyut putih
sudah berkumpul di pelataran tanah di bawah
kaki gunung Tampomas. Jumlah mereka sangat banyak.
Banyak perguruan terkenal di
tanah Pasundan yang menghadiri acara tersebut. Bahkan ada yang datang dari jauh
seperti Perguruan Maung Karuhun dari Kampung Cikaret tempat asal Jaka Someh,
ikut hadir dalam pertemuan tersebut. Ki Jaya Kusuma mengirimkan 3 murid
andalannya untuk menghadiri acara tersebut. Sedangkan Dia sendiri dan beberapa
murid lainnya masih dalam perjalanan menuju Gunung Padang. Udara
pada malam itu begitu dingin serasa menusuk sampai ke tulang.
Cahaya obor terlihat banyak bertaburan
di beberapa sudut pelataran,
menerangi malam yang sedang gelap gulita. Para pendekar yang telah di undang
oleh Ki Buyut Putih sudah banyak yang berkumpul, sebagian besar dari mereka
duduk di atas tikar yang telah disiapkan oleh murid-murid padepokan ki buyut
putih. Sedangkan beberapa pendekar dan tokoh senior seperti Raden Surya Atmaja
dan yang lainnya, duduk di bangku-bangku kayu yang khusus disediakan untuk
mereka.
Sambil menunggu acara di mulai, mereka asyik
mengobrol dengan teman yang ada di dekatnya. Tidak lama kemudian, Ki Buyut Putih datang dengan didampingi para
sesepuh pendekar lainnya, di antaranya ada kyai Sepuh Anom, dan Nini Gunting
Pamungkas, mereka berjalan beriringan dengan gagah. Setelah masing-masing duduk di bangkunya, Ki Buyut Putih
berkata dengan suara yang lantang, menenangkan suara riuh para pendekar yang
sedang mengobrol.
“Para pendekar yang terhormat....harap
tenang...! Pertemuan akan segera di
mulai...”
Mendengar suara lantang yang mengandung
wibawa kepemimpinan dari ki buyut putih tersebut, para pendekar yang sedang
asyik mengobrol pun langsung terdiam.
Suasananya menjadi hening, setelah itu,
Ki Buyut Putih pun mulai membuka acara tersebut dengan mengucap salam dan
terima kasih kepada semua yang telah hadir di acara tersebut
“Assalamualaikum...para pendekar semuanya...sampurasun...pertama-tama...saya
berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pendekar semua...karena telah
sudi untuk hadir di acara kita ini...”
Suasana hening pun segera tergantikan
lagi oleh suasana meriah setelah ucapan salam pembuka dari Ki Buyut Putih tadi.
Beberapa hadirin ada yang menjawab salam Ki Buyut Putih dengan “Wa alaikum
Salam...”,
Sedangkan sebagian yang lain menjawab
dengan kata
“Rampess...”
Ki Buyut Putih tersenyum dan kembali
melanjutkan pidatonya kepada para pendekar
“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudari
pendekar semua, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam beberapa
tahun terakhir ini, dunia persilatan kita telah mengalami banyak musibah. Yakni
munculnya gerombolan penjahat yang telah memporak-porandakan perguruan silat di
wilayah kita ini...telah banyak perguruan-perguruan silat yang telah
dihancurkan oleh mereka.... Kita juga tahu bahwa gerombolan Ki Jabrik terdiri
dari para pendekar sakti aliran hitam.
Mereka juga sangat brutal dan sadis sehingga menyebabkan banyak korban, bukan
hanya dari kalangan pendekar
saja namun juga masyarakat umum.
Para pendekar semua...Meskipun mereka
terdiri dari kumpulan para pendekar sakti, tentu saja kita tidak boleh menyerah
begitu saja,
untuk melawan mereka, apalagi dalam beberapa
tahun terakhir ini,
kekejaman mereka sudah semakin melampaui batas. Kita tidak boleh membiarkan
kezaliman mereka. Mereka sekarang sudah banyak melakukan perampokan, penindasan,
pemerkosaan, dan pembunuhan secara sadis terhadap masyarakat. Banyak laporan
dari masyarakat kepada saya, bahwa anggota keluarga mereka yang telah di culik,
dijadikan budak, bahkan banyak wanita yang diperkosa. Intinya sudah banyak
masyarakat yang sudah menjadi korban kekejaman mereka. Untuk itu, kita sebagai
pendekar mempunyai
kewajiban untuk menghentikan kekejaman mereka tersebut...”.
Mendengar ucapan Ki Buyut Putih, suasana
kembali menjadi ramai dan gaduh. Mereka saling
berbeda pendapat. Ada yang setuju dengan ajakan Ki
Buyut Putih untuk melawan gerombolan Ki Jabrik, namun banyak pula yang tidak
setuju. Banyak dari mereka yang merasa sangsi untuk bisa mengalahkan gerombolan
ki jabrik yang terkenal kejam dan kuat. Namun ada juga yang bersemangat untuk
melawan gerombolan Ki Jabrik. Tidak peduli menang atau kalah, yang penting bagi
mereka adalah dapat bertempur sepenuh hati,
melawan segala kezaliman. Mereka rela dan siap berkorban meskipun dengan nyawa mereka
sekalipun. Dewi Sekar
dan keluarganya adalah termasuk diantara
mereka itu.
“Tenang....tenang...tenang para pendekar
semuanya....saya tahu...gerombolan ki Jabrik memang terdiri dari orang-orang
sakti, namun saya mengajak kalian semua, melawan Ki Jabrik bukanlah tanpa dasar yang
kuat alias hanya sekedar asal ngomong. Dalam setahun terakhir ini saya berhasil
mengumpulkan banyak informasi yang berkaitan dengan pergerakan mereka, saya
berhasil mengirimkan mata-mata untuk menyusup kedalam markas mereka, tujuannya
adalah untuk mengawasi setiap gerak dan kelemahan mereka. Menurut informasi
yang saya terima,
telah terjadi perpecahan di antara mereka.
Yang sekarang memimpin mereka
bukan lagi Ki Jabrik, melainkan
anak buahnya yang bernama Ki Anyar Malih. Ki Jabrik telah menghilang entah
kemana. Ada yang mengatakan kalau
dia tewas di khianati oleh Ki Anyar
Malih, namun kabar tersebut masih harus kita teliti lebih dalam lagi....”.
Mendengar keterangan bahwa Ki Jabrik
telah tewas dan digantikan oleh anak buahnya yang bernama Ki Anyar Malih, para
pendekar yang tadi merasa sangsi
mulai tumbuh rasa percaya dirinya. Mereka berpikir, tentu gerombolan Ki
Jabrik sekarang dalam kondisi yang lemah, karena pemimpinnya telah tewas di
tikam oleh anak buahnya sendiri.
Suasana kembali menjadi riuh, salah seorang
pendekar, bernama Darkasim dari perguruan Gagak Sakti, berkata dengan suara
keras kepada Ki Buyut Putih
“Wah, Aki, kalau memang benar seperti itu,
maka ini adalah saat yang
tepat untuk menghancurkan musuh kita...saya
yakin pemimpin mereka yang sekarang, tidak sesakti Ki Jabrik...dia hanya
seorang pengecut licik yang beruntung bisa menikam Ki Jabrik dari belakang...”.
Yang lain pun banyak yang mengiyakan
pendapat Darkasim tersebut. Mereka setuju untuk segera menghancurkan gerombolan
Ki Jabrik yang masih tersisa.
“Iya...kami sebagai wakil dari
perguruan Maung Karuhun juga setuju dengan pendapat saudara Darkasim dari Gagak
sakti...saat ini, guru kami, Ki Jaya Kusuma dan beberapa murid lainnya sedang
dalam perjalanan menuju gunung padang untuk membantu perjuangan saudara-saudara
semua, yaitu menumpas gerombolan Ki Jabrik yang telah meresahkan masyarakat...”
Kata Salah satu murid Ki Jaya Kusuma.
“Alhamdulillah, saya merasa
senang dengan dukungan dan bantuan dari Ki jaya Kusuma, beliau adalah salah
satu pendekar yang sangat di segani di tanah Pasundan ini....Dukungannya sangat
berarti bagi kami...” Kata Ki Buyut Putih kepada murid dari Ki Jaya Kusuma
“Terima kasih, Kyai...” Jawab
murid Ki Jaya Kusuma
Dewi Sekar melirik ke arah
pendekar dari Perguruan Maung Karuhun, dalam hati dia berkata,
“Hmmm....jadi ini murid-murid
dari perguruan yang dulu pernah menolak Kang Someh untuk belajar ilmu
silat....Kasihan Kang Someh...”
Para pendekar sebenarnya
tidak tahu kalau kemampuan
Ki Anyar jauh di atas kemampuan
Ki Jabrik. Bahkan sepeninggal Ki Jabrik,
dia telah berhasil merekrut beberapa pendekar sakti lainnya
seperti Ki Maung dan Ki Jalak Bodas, yang masih
satu seperguruan dengan Ki
Tapa yang telah tewas.
Ki Buyut merasa senang melihat semangat dan kepercayaan
diri mereka sudah tumbuh.
Kemudian melanjutkan kembali
pidatonya yang sempat terputus.
“Alhamdulllah,
kalau Ki Darkasim, Perguruan Maung
Karuhun dan kawan-kawan semuanya yang lain, sudah siap dan
bersemangat melawan musuh kita....Oh
iya..., tentunya banyak diantara pendekar sekalian yang telah mengenal
kehebatan Ki Tapa dan Nyi Sundel, dua dedengkot Ki Jabrik yang telah
menggegerkan dunia persilatan beberapa waktu yang lalu, menurut informasi yang saya terima, mereka ternyata sudah
tewas....”.
Mendengar kabar Ki Tapa dan Nyi Sundel
sudah tewas, banyak pendekar yang merasa terkejut,
walaupun beberapa dari mereka sebenarnya sudah sempat
mendengar tentang rumor tersebut. Api semangat pun semakin berkobar di dada mereka, ingin
segera menghancurkan musuh yang selama ini telah menjadi momok menakutkan.
Banyak dari mereka yang telah
menyaksikan sepak terjang Ki Tapa dan Nyi Sundel. Tak ada yang menyangsikan tentang kehebatan dua orang itu. Yang telah
menggegerkan dunia persilatan di tanah Pasundan. Bahkan Raden Surya atmaja, yang perguruannya terkenal hebat pernah
dihancurkan oleh Ki Tapa.
Raden Surya Atmaja termasuk
salah satu pendekar yang merasa terkejut ketika mendengar Ki
Tapa telah tewas.
“Punten Aki, Apakah benar kabar itu teh? Bahwa Ki Tapa sudah tewas?
Siapa pendekar hebat
yang telah mengalahkan Ki Tapa?”
Ki Buyut putih tersenyum kepada Raden
Surya atmaja
“Benar Raden, Ki Tapa dan Nyi Sundel
memang telah tewas, saya sudah mengecek kebenaran beritanya, Menurut informasi yang saya dapatkan, Nyi
Sundel tewas di tangan seorang pendekar
sakti...sedangkan Ki Tapa mati karena bunuh diri
setelah kalah bertarung dengan seorang pendekar yang mengalahkannya dengan mudah.
Saya tidak tahu apakah pendekar yang telah membunuh mereka itu masih orang yang
sama atau bukan. Sayangnya saya belum tahu dengan jelas,
mengenai siapa pendekar
misterius yang telah membunuh mereka
itu. Apakah
berasal dari aliran putih atau
hitam. Namun saya sempat mendengar kabar
tentang munculnya seorang pendekar sakti
yang sempat menjadi buah bibir di
tengah masyarakat, beberapa tahun
yang lalu. Pendekar tersebut telah banyak membasmi gerombolan penjahat, termasuk
membunuh Ki Bewok, ketua gerombolan rampok sadis dari leuweung Sukanagara.
“
Para hadirin menjadi ramai
riuh, mendengar penjelasan Ki Buyut Putih. Mereka merasa kagum dengan kehebatan
pendekar misterius yang telah mengalahkan Ki Tapa dan Nyi Sundel.
Darkasim kemudian berkata
“Betul Kata Kyai, saya sempat
mendengar rumor tersebut, bahkan menurut rumor yang saya dengar, pendekar
misterius itu membunuh Nyi Sundel hanya dengan satu pukulan ringan saja...”
Para hadirin bertambah kagum
mendengar keterangan Darkasim. Merasa takjub dengan kesaktian pendekar
misterius tersebut. Tak ada dari hadirin yang tidak merasa salut kepada
pendekar misterius tersebut
“Wah...hebat...hebat...sungguh
sakti sekali orang tersebut...Nyi Sundel yang sangat sakti seperti itu ternyata
dapat di kalahkan hanya dengan satu pukulan saja oleh pendekar itu...benar-benar
luar biasa...” Kata salah satu dari para pendekar.
Yang lain nya juga ikut
mengomentari
“Iya betul, pendekar misterius
tersebut memang luar biasa kesaktiannya...saya kagum...benar-benar
kagum...ingin rasanya mencium tangan pendekar itu...”
Raden Surya Atmaja juga inkutmerasa kagum mendengar orang-orang membicarakan kesaktian pendekar misterius.
Dia pun berkata
“Hebat sekali pendekar sakti
ini, apakah kalian ada yang tahu siapa pendekar tersebut? kalau saja saya
bertemu dengannya, saya akan memberi hormat dan mencium tangannya, sebagai rasa
terima kasih karena telah membunuh orang yang telah memporak porandakan
perguruan saya...”
Para pendekar menjadi riuh
mendengar ucapan Raden Surya Atmaja.
Raden Surya Atmaja tidak
mengerti kalau sosok pendekar yang dia kagumi sebenarnya adalah menantunya
sendiri, yakni Jaka Someh. Orang yang
dia remehkan dan dia benci karena kesederhanaannya. Tidak tahu apa jadinya
kalau dia mengetahui tentang Jaka Someh yang sebenarnya.
Darkasim kemudian menjawab
ucapan Raden Surya Atmaja
“Wah Raden, kalau kami tahu
siapa pendekar sakti ini, pastinya kami juga akan memberi hormat kepadanya,
bukan raden saja....sayangnya kami tidak tahu siapa sebenarnya pendekar
misterius ini...”
Ki Buyut Putih tersenyum
mendengar percakapan Raden Surrya Atmaja dan para pendekar
“Hmm...saya bersyukur ternyata
para hadirin sekarang menjadi antusias, sudah memiliki semangat tinggi untuk
menumpas kejahatan...meskipun kita tidak tahu siapa pendekar misterius yang
membunuh Ki Tapa dan Nyi Sundel, semangat perjuangan kita harus tetap berkobar,
Kita harus tetap berjuan meski tanpa bantuan dari pendekar misterius itu....”
Ki Sepuh Anom membenarkan
perkataan Ki Buyut Putih.
“Iya, betul kyai. Kita tidak
boleh menggantungkan bantuan pada orang yang masih misteri...”
Nini Gunting Pamungkas juga
ikut berkomentar dengan ucapan Ki Sepuh Anom.
“Betul kata Kakang Anom, kita
harus tetap semangat berjuang meski tanpa bantuan pendekar itu...rasanya
kemampuan kita sudah cukup untuk membasmi sisa-sisa gerombolan Ki Jabrik”
Orang-orang masih ramai
membicarakan sosok pendekar sakti yang misterius itu. Mereka semua merasa kagum
dengan kehebatannya. Mereka ingin sekali menjumpai pendekar itu. Mereka
penasaran dengan sosok misterius yang sekarang sedang hangat di bicarakan oleh
para pendekar.
Dewi Sekar tidak tahu, kalau
orang yang sedang dibicarakan dan dikagumi oleh para pendekar sebenarnya adalah
suaminya sendiri. Jaka Someh yang sederhana dan terlihat lugu. Lelaki yang
telah diremehkan oleh ayahnya sendiri dan orang lain.
Mendengar Nyi Sundel dan Ki Tapa sudah tewas, Dewi Sekar menjadi teringat dengan
kejadian ketika sedang di kejaroleh Nyi Sundel sampai lari ke bukit yang di
tempati oleh Jaka Someh. Masih terbayang
saat dia babak belur di siksa Nyi Sundel sampai
akhirnya pingsan. Ketika sadar, ternyata dia
telah di rawat oleh Jaka Someh.
Teringat dengan Jaka Someh, Dewi Sekar menjadi mengenang kembali saat-saat bersama suaminya. Rasa rindu kembali menguasai jiwanya.
Lamunan Dewi Sekar terganggu
saat hadirin berteriak menyatakan
setuju untuk menyerang markas Ki
Jabrik di gunung Padang
“Iya...setuju...Ki, ayo kita bantai
gerombolan penjahat itu...!”
Dewi Sekar kembali fokus mendengarkan
pidato Ki Buyut Putih.
Ki Buyut Putih menyampaikan keinginannya menyerang
markas Ki Jabrik,
dalam waktu satu atau dua bulan
ke depan.
Ki Buyut Putih kemudian meneruskan
lagi pidatonya
“Para pendekar semua, nanti kita akan
bagi dalam beberapa kelompok, kemudian kita pergi secara bertahap, jangan
sekaligus dalam jumlah besar, supaya pergerakan kita lebih fleksibel, dan tidak
membuat kepanikan di tengah masyarakat.
Untuk masalah pembagian kelompok, nanti akan kita bahas kemudian...di pertemuan
berikutnya...Mungkin untuk saat ini, saya cukupkan dahulu pertemuan ini, kita
akan kembali melanjutkan pertemuannya
minggu depan. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih...”.
Setelah pertemuan tersebut selesai, para pendekar bubar, sambil
mengobrol dengan teman-temannya mereka pergi menuju ke tempatnya
masing-masing. Dewi Sekar
pulang ke tempat peristirahatannya,
bersama Dewi Tunjung Biru dan Arya Rajah. Sedangkan ayahnya, Raden Jaya Permana
masih menemani Ki Buyut Putih, mengobrol dengan para sesepuh pendekar lainnya.
Keesokan paginya.
Setelah
melaksanakan shalat subuh, Dewi Sekar
pergi ke puncak gunung untuk berlatih sendirian. Dia begitu bersemangat dalam
melatih ilmu kanuragannya, apalagi sebentar
lagi mereka berencana untuk menyerang markas Ki
Jabrik. Setelah beberapa jam berlatih di tengah sinar matahari pagi yang masih
hangat, Dewi Sekar memtuskan untuk beristirahat sejenak. Keringatnya mulai
bercucuran, Dewi
Sekar duduk di sebuah batu berukuran sedang, kemudian memandang ke arah bawah gunung
Tampomas. Pemandangannya begitu indah dan mendamaikan hati. Angin yang semilir
pun menerpa wajahnya.
Sesaat kemudian Dewi Sekar
terbuai oleh lamunan. Dia teringat dengan suaminya, Jaka Someh. Ingat dengan
momen-momen saat mereka bersama. Waktu itu mereka sedang asyik menikmati
pemandangan indah bulan purnama di atas gerobak sapi yang sedang berjalan.
Mereka mengobrol dan bercengkrama.
Saat itu mereka baru saja
menjadi pengantin baru. Dewi Sekar juga teringat dengan momen saat dia menjahili suaminya saat berada di
pinggir sungai. Waktu itu Dewi Sekar mendorong suaminya sehingga tercebur ke
dalam sungai, kemudian dia lari dan mentertawakan Jaka Someh yang basah kuyup.
Terlihat jelas wajah polos Jaka someh yang terkaget-kaget saat sadar dirinya
tercebur ke dalam sungai. Wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Tiba-tiba
lamunannya membuyar
saat seseorang memanggilnya
dari arah belakang
“Teh...teteh...eh teteh teh sedang apa
di sini? Dari tadi saya mencari-cari teteh...”.
Dewi Sekar
terperanjat adiknya sudah
berdiri di belakangnya sambil melongo. Arya
Raja heran dengan Kakaknya yang sedang duduk
menyendiri di tempat yang sepi.
“Eh adik...Teteh kira siapa... anu....teteh barusan berlatih di sini...karena
capek...maka istirahat dahulu
sambil melihat pemandangan...”.
Arya Rajah tersenyum melihat kakaknya kaget
kepergok sedang duduk
menyendiri sambil melamun.
“Aah...si teteh mah, adik kira sedang apa...habisnya saya
lihat teteh tadi senyum-senyum
sendiri...he...he...”
Wajah Dewi Sekar menjadi merah, merasa malu dengan ucapan adiknya
“Oh tidak ada apa-apa koq
adik, bisa saja kamu
mah...teteh hanya sedikit
teringat beberapa kenangan lucu...saja...sudah ah. Oh ya kamu kenapa mencari
teteh?”.
Arya Rajah tersenyum dan kembali menggoda kakaknya
“He...he...emang ada kenangan apa yang membuat teteh bisa tersenyum sendiri?
Apakah teteh sedang ingat dengan Kang Someh ya...?
Wah...hebat teteh saya ini, masih tetap selalu setia kepada suami tercinta...Oh iya teh, tadi Rama mencari teteh,
sepertinya ada hal penting yang ingin di sampaikan...”.
Mendengar ayahnya sedang mencarinya, Dewi Sekar sedikit merasa heran
“Eh
ada apa ya Adik...? Tidak biasanya Rama mencari saya.
Apakah ada sesuatu hal yang serius...?”.
Arya Rajah Menggelengkan kepalanya
“Tidak tahu, teh. Saya tidak tahu, sepertinya Rama mau
menyampaikan sesuatu ke teteh...sebaiknya
teteh segera menemui Rama saja atuh...”.
Dewi Sekar
tersenyum kepada
adiknya, dan berkata
“Ya sudah, kalau begitu, ayo kita pulang saja
menemui Rama...”.
Mereka berjalan bersama menuju
arah padepokan ki Buyut Putih, menuruni
puncak gunung. Langkah mereka
terkesan hati-hati saat menuruni jurang bebatuan yang curam.
Tak memakan waktu lama,
mereka sudah sampai di depan halaman padepokan.
Dewi Sekar
segera menuju aula untuk menemui ayahnya.
Di dalam aula tersebut ayahnya sedang duduk,
sambil menikmati hidangan teh dan kue wajit buatan Bi Kesih, seorang wanita paruh baya, juru masak padepokan.
Melihat Dewi Sekar datang, Raden Surya Atmaja
langsung menyambutnya dengan
riang “Eh...geulis..., Syukur Alhamdulillah kamu datang, dari
tadi Rama mencari kamu...”
Dewi Sekar
tersenyum hormat kepada
ayahnya,
“Iya...Rama...
mohon maaf tadi Saya sedang berlatih silat…punten, Dik Arya mengatakan bahwa ada hal penting yang
Rama mau sampaikan kepada Saya...?”
Raden Surya Atmaja tertawa kecil, kemudian
mempersilahkan anaknya duduk di dekatnya “He...He...Iya Nyai. Sok...atuh...ke
sini...duduk dulu di sini dekat
Rama...”
Dewi Sekar
duduk di depan ayahnya. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang. Kemudian Raden Surya atmaja menuangkan air
teh dari teko perunggu ke dalam gelas kosong yang ada di dekatnya
“Sok Nyai,
di minum dulu atuh minuman nya...!”.
Dewi Sekar
mengikuti perintah ayahnya untuk
meminum air teh yang ada di dalam gelas. Setelah
itu, Raden Surya Atmaja membuka obrolannya.
“Sebenarnya tidak ada hal yang sangat serius,
Rama hanya sekedar ingin mengobrol
saja dengan Nyai...sudah
lama kita tidak ngobrol ya...?”
Raden Surya Atmaja terdiam
beberapa saat.
Dia menghela nafas, kemudian
kembali berkata dengan nada yang mulai serius
“Hmmm...sebenarnya begini nyai...tadi bibi kamu, Dewi
Tanjung Biru menyampaikan sesuatu kepada Rama, katanya keluarga Raden Jaya
Permana ada itikad baik kepada Nyai....yaitu ingin mempersunting kamu....Jujur
Rama merasa senang sekali mendengarnya, secara kamu sekarang sudah tidak
memiliki suami lagi, Rama ingin kamu segera menikah kembali....tak baik kalau
kamu menjanda terlalu lama...apalagi bisa menikah dengan Raden Jaya Permana...Seorang
lelaki yang terpandang..”.
Dewi Sekar
terperanjat mendengar ucapan ayahnya tersebut. Dia
merasa bingung harus berkata apa kepada
ayahnya.
“Maksud Rama bagaimana? Saya belum mengerti....”.
Raden Surya Atmaja mengulangi lagi isi pembicaraannya
“Begini Nyai,
Rama ingin Kamu menikah dengan Raden Jaya Permana.
Menurut Rama beliau adalah seorang lelaki idaman bagi para wanita...Dia Tampan dan gagah... berdarah ningrat...seorang yang kaya...
rasanya bagi Rama, dia tidak
memiliki kekurangan apapun untuk
seorang lelaki...banyak gadis yang mengantri untuk mendapatkan cintanya...tapi semuanya dia
tolak...justru dia memilih kamu, nyai. Putri Rama....kamu lah wanita yang
beruntung itu”.
Dewi Sekar
terdiam sesaat, setelah itu
dia berkata dengan ucapan
yang mengandung ketegasan
“Maaf Rama, Saya tidak punya perasaan
apa-apa kepada Kang Jaya Permana...Mohon maaf sekali Rama, jujur Saya masih merasa terikat
pernikahan dengan Kang Someh...Kami memang telah terpisahkan oleh suatu
keadaan, namun status Saya masih istri syahnya Kang Someh, Saya belum menjanda,
karena belum ada kata talak dalam pernikahan kami...Mohon Rama mengerti dengan
perasaan Saya....Saya sekarang sedang memfokuskan diri saja pada berlatih kanuragan.
Tidak mau memikirkan masalah yang lain dahulu, Apalagi
dalam waktu dekat ini, kita akan pergi berperang melawan gerombolan Ki
Jabrik...saya sendiri tidak
tahu apakah dalam pertempuran nanti
saya bisa selamat atau tidak...”
Raden Surya Atmaja merasa kecewa mendengar
jawaban putrinya. Suasana kembali menjadi hening. Sama tegangnya. Keduanya terdiam dalam kebisuan.
Setelah beberapa saat kemudian, Raden
Surya Atmaja mencoba menenangkan suasana
percakapannya
“Ya sudah kalau memang itu keputusan kamu, Rama akan hargai, Rama hanya ingin
kamu hidup bahagia, memiliki suami yang terhormat
dan mulya, seperti Raden Jaya Permana. Tapi
ternyata kamu berbeda pandangan dengan Rama. Hmm...Rama tidak mungkin
memaksakan kehendak kepada kamu, karena sekarang kamu sudah dewasa. Hanya saja,
Rama mohon bantuan kamu Nyai, nanti sore Jaya
Permana dan keluarganya akan berkunjung kemari untuk menyampaikan
pinangan....tolong kamu hargai dan hormati mereka...tolong jangan bersikap kasar kepada mereka”.
“Mangga rama, silahkan kalau Kang Jaya Permana dan keluarganya mau datang
bersilaturahim ke sini...tentu harus kita hormati
dan terima dengan baik, saya akan menghormati mereka...”.
Raden Surya Atmaja menganggukan kepalanya,
“Terima Kasih nyai”
Dewi Sekar menganggukan
kepalanya, kemudian bangkit dari duduknya dan meminta izin untuk pamit dari hadapan
ayahnya
“Punten Rama, kalau boleh, saya mau
pamit dulu, ingin istirahat di kamar....”.
Raden Surya Atmaja memepersilahkan Dewi Sekar untuk pergi ke
kamarnya.
Sore harinya keluarga Raden Jaya Permana
datang ke tempat
Dewi Sekar. Raden Jaya Permana datang
dengan didampingi oleh kakak kandungnya dan istri alamarhum kakak pertamanya,
yaitu Nyi Ageung Cintanagara. Sedangkan dari pihak keluarga Dewi Sekar, selain ayah dan
adiknya, hadir juga bibinya, Dewi Tunjung Biru. Kedatangan keluarga Jaya
Permana di sambut hangat oleh Raden Surya Atmaja dan Dewi Tanjung Biru.
Dewi Sekar
sendiri awalnya mengurung diri di dalam kamar, namun karena desakan ayahnya dia
pun terpaksa menemui Jaya Permana
dan keluarganya.
Meski berdandan
seadanya, namun Dewi Sekar
terlihat begitu cantik dan berwibawa. Tak henti-henti Raden Jaya Permana
menatap wajah Dewi Sekar
yang cantik mempesona. Dewi Sekar
merasa kikuk dengan tatapan Raden Jaya Permana, hatinya merasa tidak senang. Wajah Dewi Sekar pun tertunduk.
Dalam pertemuan tersebut Dewi Sekar lebih banyak terdiam,
hanya sesekali saja dia berkata secara singkat.
Di akhir pertemuan keluarga
Jaya Permana secara resmi mengutarakan maksud
dan kedatangan mereka kepada keluarga Dewi
Sekar.
Mereka datang untuk melamar Dewi Sekar agar bersedia menjadi
istri Raden Jaya Permana.
Raden Surya Atmaja nampak terlihat
tegang, hatinya sebenarnya senang dengan lamaran dari keluarga Jaya Permana,
namun dia tahu bahwa putrinya akan menolak lamaran itu.
Dewi Tunjung Biru juga nampak tersenyum senang, dia membayangkan akan berbesanan
dengan keluarga Jaya Permana.
Dewi Sekar
terdiam karena bingung harus menjawab apa. Tak mungkin dia menerima lamaran itu, bukan
karena alasan tidak
memiliki perasaan suka
kepada Jaya Permana...Namun karena dia masih
memiliki ikatan pernikahan dengan Jaka Someh. Apabila
langsung menolak lamaran tersebut, tentu akan mempermalukan keluarganya.
Melihat Dewi Sekar nampak
bingung dan susah, Raden Surya Atmaja mencoba menengahi
“Kalau
memang kamu masih bingung untuk menjawabnya
sekarang…tidak apa-apa kamu putuskan nanti
saja nyai...”
Dewi Sekar
berkata kepada ayah dan Jaya Permana
“Terima
kasih, Rama...” Dewi Sekar terdiam sebelum melanjutkan lagi ucapannya
“Hmmm, Kang
Jaya Permana......Nyi Ageung, dengan segala kerendahan hati, Saya meminta
maaf, anu...ehmmm...maaf
saya belum bisa menjawab lamaran ini, anu...Saya sendiri sedang bingung, karena seperti yang
Kang Jaya Permana ketahui, saya sudah menikah dengan Kang Someh. Karena sesuatu
hal kami jadi terpisah. Saya memang tidak tahu apakah saat ini Kang Someh masih
hidup atau sudah tidak ada, tapi saya merasa, sampai detik ini saya masih
terikat oleh tali pernikahan itu...Mohon Kang Jaya Permana bisa mengerti
keadaan Saya. Untuk saat ini saya masih belum mau memikirkan pernikahan dahulu...saya memilih untuk fokus pada latihan saya,
untuk persiapan memerangi gerombolan Ki Jabrik nanti...punten...Kang... saya minta maaf...Mungkin suatu saat kalau segala sesuatunya telah menjadi
jelas bagi saya, saya bisa memutuskan
jawabannya...”.
Mendengar jawaban dari Dewi Sekar yang berbelit-belit,
namun jelas maksudnya adalah
menolak lamaran Raden Jaya Permana dengan halus. Mereka merasa kecewa, terlebih
lagi Raden Jaya Permana dan Dewi Tunjung
Biru.
Jaya Permana
kemudian berkata kepada Dewi Sekar dengan nada yang tinggi, nadanya
mengandung emosi
“Nyai...coba
dipikir lagi atuh...kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali
...memang Nyai
teh masih mikir apa lagi
atuh...? coba
dipikir...kurang apa Saya teh bagi nyai...saya kaya dan seorang ningrat,
bahkan saya juga seorang pendekar ksatria, berkebalikan
dengan si Someh yang seorang gelandangan, bahkan ilmu silat saja dia tidak bisa.
Banyak gadis cantik yang berebutan untuk mendapatkan
cinta Saya.....haduuuh...nyai...akang heran dengan kamu....”
Dewi Sekar
tertunduk, Ada perasaan marah,
sedih dan malu yang berkecamuk dalam
hatinya, dia khawatir karena telah mengecewakan ayahnya.
Ketika Raden Jaya Permana hendak melanjutkan lagi kemarahannya kepada Dewi Sekar, tiba-tiba Nyi Ageung Cinta nagara
langsung memotongnya “sudah...sudah...Jaya
Permana, mungkin Dewi Sekar perlu waktu untuk berfikir dulu... Kamu tolong beri kesempatan
Dewi Sekar, untuk berfikir lagi....”.
Dewi Sekar
merasa sedih karena harus mengecewakan keluarga
Jaya Permana. Dia juga merasa sedih karena telah
mempermalukan keluarganya. Dia tak
kuasa untuk meneteskan air mata. Raden Jaya Permana yang melihat Dewi Sekar terlihat sedih, menjadi reda emosinya
“Ya
sudah...Nyai,
kalau begitu akang minta maaf, akang
tidak mau membuat kamu susah seperti ini...Kamu tidak usah sedih lagi
ya...akang ikhlas untuk menunggu Nyai
sampai kapan pun itu...”.
Dewi Sekar
menyeka air matanya
yang menetes di pipi kemudian berkata kepada Raden Jaya Permana
“Terima kasih Kang Jaya Permana...saya
minta maaf...terima kasih
atas kebaikan akang mau memaklumi keadaan saya...”.
Raden Jaya Permana meskipun hatinya
sedih, marah dan kecewa karena
telah di tolak oleh Dewi Sekar
secara halus, namun berusaha untuk tetap tersenyum
“Iya...Nyai...tidak apa-apa...”.
Setelah itu, Dewi Sekar pun meminta ijin
kepada ayah dan para tamunya untuk masuk ke dalam kamar. Ayahnya hanya bisa
menganggukan kepala tanpa mengucap sepatah kata pun.
Di
dalam kamar Dewi Sekar menangis karena
merasa telah mengecewakan ayahnya. Tak lama kemudian Raden Jaya Permana dan
keluarganya berpamitan kepada tuan rumah.
Hari-hari berikutnya, wajah Dewi Sekar selalu menampakan
kesedihan. Dewi Sekar
yang biasanya ceria, penuh semangat dan ramah ke setiap orang, sekarang terlihat
murung dan kurang ceria.
Tak banyak patah kata yang dia ucapkan dalam kesehariannya.
Perubahan sikap Dewi Sekar yang drastis membuat
perasaan sedih dan maklum
keluarganya. Mereka sedih karena melihat Dewi
Sekar sudah tidak ceria lagi seperti
biasanya. Meskipun demikian,
mereka tidak mau terlalu dalam untuk mencampuri urusan pribadi Dewi Sekar.
Bersambung ke bab 56